Senin, 25 Februari 2008

Yogya

”PERGILAH ke arah Timur untuk mencari ilmu, dan pergilah ke arah Barat untuk mencari uang.” Nasihat itu tidak tertulis, namun terpatri di benak masyarakat ”tengah”, maksudnya masyarakat yang berada di tengah antara Yogyakarta dan Jakarta, seperti eks Karesidenan Banyumas, eks Karesidenan Pekalongan, Kebumen, dan sekitarnya. Apa bedanya, Yogyakarta dan Jakarta? Lihatlah cara masyarakatnya berjalan kaki. Warga Yogya berjalan dengan sepenuh hati disertai ayunan tangan yang mantap mengiringi irama kaki melangkah. Sebaliknya, warga Jakarta dan sekitarnya cara berjalannya tidak sinkron antara ayunan tangan dengan langkah kaki. Tentu dua cara ini bukan menggambarkan cara berjalan yang sesungguhnya, melainkan untuk menggambarkan bahwa masyarakat Yogyakarta hidupnya lebih santai dibandingkan masyarakat ibu kota. Karena santai itulah, orang Yogya dapat berjalan dengan ayunan tangan yang mantap. Sebaliknya, orang Jakarta yang selalu sibuk tidak sempat menikmati berjalan kaki dengan santai, sehingga antara langkah kaki dan ayunan tangan terpaksa tidak berimbang, karena terburu-buru.Karakter masyarakatnya pun berbeda antara orang ”Timur” dengan orang ”Barat”. Secara umum, orang ”Timur” masih bersifat ideologis dan filosofis, serta romantis, sedangkan orang ”Barat” lebih ekonomis dan materialistis. Maksudnya, masyarakat Yogyakarta masih sangat menghargai ide-ide, nilai-nilai religius (tanpa menafikan nilai-nilai spiritual), dan bersikap lemah lembut. Bahasanya yang oleh orang ”Barat” disebut medhok sesungguhnya menunjukkan kelembutan itu. Sebaliknya, masyarakat ”Barat” lebih menghargai nilai-nilai materi dan nilai ekonomis. Kita bisa menyaksikan lahirnya pakar-pakar ekonomi makro biasanya berasal dari Yogyakarta. Mereka masih rela memikirkan ekonomi secara filosofis tanpa harus memiliki uang. Sebaliknya, masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang pandai dan menguasai ilmu ekonomi, tentu tidak puas dengan memiliki ilmu ekonomi makro tanpa bersentuhan dengan kekayaan dan ekonomi sektor riil. Ekonom di ”Barat” lebih senang menjadi direktur bank, pengusaha, atau jabatan apa pun yang bersentuhan dengan ekonomi sektor riil. Tentu dua kutub ini tidaklah mutlak, karena hanya bersifat umum, ada juga masyarakat Yogya yang lebih ekonomis dan masyarakat Jakarta dan sekitarnya lebih filosofis. Kini, kutub ”Timur” sedang tertimpa musibah, akibat gempa tektonik. Mereka tentu saja tidak cukup menyelesaikan masalahnya dengan filsafat, melainkan perlu wujud nyata berupa materi dan ekonomi. Hasil karya masyarakat ”Barat” saatnya dimeratakan ke arah Timur, agar solidaritas di antara anak-anak bangsa lebih terbina.Secara pemikiran, dua kutub ini juga saatnya masing-masing dimekarkan. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya tidaklah haram mengembangkan ekonomi sektor riil untuk basis perekonomian rakyat. Sebaliknya, masyarakat Jakarta dan sekitarnya tak boleh melupakan landasan filosofis dan religius sebagai basis kehidupan, sehingga meskipun kaya raya namun mempunyai arah tujuan hidup lebih baik. Musibah yang menimpa Yogya, saatnya dijadikan ”perkawinan” ideologis dan ekonomis. (Wakhudin)

Tidak ada komentar: