Senin, 25 Februari 2008

Gapura


SAYA tidak tahu sejarahnya, mengapa setiap bangsa Indonesia memperingati hari ulang tahun kemerdekaan, masyarakat secara beramai-ramai membangun gapura. Mereka membangun pintu gerbang di depan kompleks perumahan, mulut gang, bahkan di depan rumah penduduk. Bahannya bisa terbuat dari kayu atau bambu, jarang yang menggunakan bahan permanen. Tak jarang, gapura justru mempersempit ruang yang sumpek. Apalagi, nilai seni yang ingin ditonjolkan tak sebanding dengan keindahan yang kita harapkan. Apa pun bentuk gapura yang dibangun, kita pantas memberikan apresiasi kepada mereka yang membangun gapura. Setidaknya, mereka telah berupaya membangun nilai gotong royong dalam kehidupan bersama. Kita akan memberikan nilai lebih kepada masyarakat yang membuat gapura, tidak sekadar bersifat artifisial, tapi lebih hakiki. Saya tidak peduli apa asal kata gapura. Namun, saya menginginkan agar kata itu berasal dari bahasa Arab ghafura, artinya diampuni. Maklum, bangsa ini yang merayakan kemerdekaan ke-62 tahun sudah sedemikian terpuruk, nyaris nyungsep. Kalau dirunut, semua kesalahan ini berasal dari pemegang kekuasaan yang salah dalam membangun konsep maupun melaksanakannya. Akan tetapi, penguasa pun tidak sepenuhnya salah, toh yang memilih mereka rakyat juga. Bahkan, tak jarang disodorkan banyak calon pemimpin, termasuk yang memiliki kredibilitas teknis maupun moral, namun rakyat tetap saja lebih memilih memimpin yang sekadar pemberi gula-gula.Intinya, kesalahan bangsa ini adalah kesalahan bersama. Persoalannya, bagaimana dalam usia 62 tahun ini kita mendapatkan ampunan (ghafura) atas semua kesalahan kita. Singapura, dalam beberapa hal, dapat menjadi ibrah agar kita mendapatkan ampunan itu. Kata "Singapura" sendiri dapat dipecah menjadi kata "sin" dan "gapura". Sin dalam bahasa Inggris artinya dosa, "gapura/ghafura" artinya dimaafkan. Singapura, berarti dosa yang dimaafkan. Apakah karena namanya yang demikian, sehingga negeri kota yang sedemikian kecil menjadi kaya raya? Terlepas suka atau tidak dengan Singapura, sekecil apa pun wilayah mereka, kenyataannya mereka mampu melipatgandakan semua harta miliknya. Ini kebalikan dari kebiasaan bangsa Indonesia yang seringkali memubazirkan semua kekayaannya yang melimpah.Kalau Indonesia ingin menjadi negeri yang sangat luas dan makmur, filosofi "dosa yang diampuni" itulah yang harus dipedomani. Syaratnya, pemerintah dan birokrat harus segera bertobat dari mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Rakyat pun harus masuk gapura, mencari ampunan Tuhan, Allah SWT. Jika tidak, kita akan dipermalukan anak cucu dan ditertawakan peradaban.

Tidak ada komentar: