Selasa, 13 Maret 2012

Perbenturan Islam-Barat, Siapa Yang Menang?


Oleh H. WAKHUDIN
Jurnalis, doktor bidang pendidikan moral Universitas Pendidikan Indonesia

Dihitung dari terbitnya buku The Clash Civilization and the Remaking of World Order yang ditulis Sammuel P Huntington 1998, maka perbenturan antara Barat dan dunia Islam sudah berlangsung selama 14 tahun. Setidaknya, perbenturan itu sudah berjalan selama 12 tahun terhitung sejak runtuhnya Uni Soviet tahun 1990. Perbenturan dua peradaban itu sudah relatif lama. Bagaimana hasilnya? Siapa yang kalah dan siapa yang memenangi perbenturan itu?
Dalam The clash of civilization Huntington menulis tentang benturan peradaban. Jika di masa lalu, konflik terjadi berdasarkan peta ideoligis, Barat dan Timur, namun setelah perang dingin berakhir, perbenturan terjadi berdasarkan peta peradaban dunia. Secara garis besar ada delapan peradaban dunia yang potensial saling berbenturan, yakni Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Namun potensi konflik yang paling besar adalah perbenturan antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.
Umat Islam tidak begitu menyadari adanya perbenturan peradaban itu antara tahun 1990 hingga tahun 2000-an. Jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, bisa jadi merupakan bagian dari perbenturan peradaban itu. Maklum, Pak Harto ketika itu begitu dekat dengan umat Islam. Berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menandai pemerintahan yang “ijo royo-royo” itu. Sebab, Pak Harto mengangkat para pembantunya yang berasal dari santri. Demikian pula parlemen, serta Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau sekarang TNI. Posisi strategis di DPR/MPR serta di tubuh ABRI didominasi santri.
Bahwa Presiden Soeharto dibelit kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), memang ya. Tapi “dosa” terbesar Pak Harto sesungguhnya karena ia dekat dengan umat Islam itu. Itulah sebabnya, Barat meruntuhkan Orde Baru dengan menciptakan krisis moneter (krismon) melalui tangan George Soros yang menanam uang panas dalam jumlah besar dan kemudian menariknya secara besar-besaran dalam waktu cepat. Penarikan uang dalam jumlah besar itu menimbulkan kepanikan (rush) yang kemudian memicu krisis ekonomi. Rupiah yang selalu stabil sekitar Rp 2.500 perdolar AS selama Orde Baru tiba-tiba melonjak hingga Rp 16.000 perdolar AS. Krisis ekonomi kemudian merembet ke krisis politik, dan akhirnyanya menjadi krisis multidimensi sehingga Soeharto jatuh di tengah demonstrasi mahasiswa yang menduduki gadung parlemen.
Perbenturan peradaban Barat dan dunia Islam itu mulai terasa saat terjadi serangan terhadap World Trade Center (WTC) di Washington DC tahun 2001. Saat Presiden Amerika Serikat mendeklarasikan perang terhadap terorisme menyusul runtuhnya menara kembar itu, hari-hari dunia Islam terasa semakin pahit. Taliban yang baru saja berkuasa merebut kekuasaan dari penjajah Rusia di Afganistan langsung diruntuhkan. Alasannya, penguasa Afganistan melindungi Osama bin Laden yang dituduh menjadi otak utama penyerangan WTC itu.
Kalau alasannya karena penguasa Kabul terlibat penyerbuan WTC, mengapa AS, Uni Eropa dan sekutunya menghajar Irak tahun 2003? Padahal, tidak ada track record Presiden Irak Saddam Husein melakukan penyarangan terhadap menara kembar itu. Presiden Bush ketika itu menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Namun inspeksi IAEA, Badan Pengawas Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap negeri seribu satu malam itu membuktikan bahwa Irak tak memiliki senjata yang dituduhkan Barat itu. Meski demikian, AS dan sekutunya tetap menginvasi Irak, sehingga Saddam Husein jatuh dan digantung.
Barat mengira dapat menyelesaikan pertempuran di Afganistan dan Irak dalam waktu singkat. Sebab, mereka ingin segera menekuk Iran dan menggulung Suriah. Boro-boro memperluas peperangan ke kedua negara itu, mempertahankan basis pertempuran di Afganistan dan Irak saja berat dan kewalahan. Berhasil membantai rakyat dua negara itu sampai hingga puluhan ribu orang bukan jaminan mereka menang. Para pejuang Muslim yang berasal dari berbagai negara bagaikan hantu di siang bolong. Pemberontak ini satu persatu berhasil membunuh tentara AS dan sekutu.
Padahal, tentara Barat pada umumnya berusia muda, gagah, dan dipersenjatai dengan peralatan yang canggih. Kematian demi kematian tentara Barat selalu diratapi. Sebaliknya, kematian warga sipil dianggap sebagai peristiwa wajar dan biasa. Pembunuhan terhadap tentara yang berlangsung terus menerus dalam waktu puluhan tahun membuat tentara Barat frustrasi. Itulah sebabnya mereka mengalami paranoid, sehingga membantai warga masyarakat secara sembarangan. Mereka juga menyiksa para tahanan yang tak berdaya di Penjara Guantanamo dan kamp-kamp tahanan.
Perang Barat di dunia Muslim tak hanya menguras air mata, tapi juga menguras kantong mereka. Sumber minyak dan tambang yang menjadi incaran mereka tak kunjung dikuasai Barat. Bahkan, sekadar mengantar bahan logistik dari Pakistan menuju pusat militer NATO di Afganistan pun butuh pengawalan, yang konon disewa dari salah satu sel organisasi Taliban, yang notabene musuh mereka. Itulah sebabnya, AS dan Uni Eropa terus menyalahkan Pakistan yang dianggap tidak tegas terhadap Al Qaeda dan Taliban.
Maka, saat dukungan finansial AS dan Uni Eropa semakin menipis, hanya karena kemacetan investasi di sektor properti yang dikenal dengan morgan mortgage pun dapat mendorong ekonomi AS pada krisis ekonomi berkepanjangan. Ekonomi Eropa juga terus merosot yang dipicu oleh krisis ekonomi Yunani. Bahkan, kini ekonomi AS dan Uni Eropa tak mampu lagi dipertahankan oleh mereka sendiri, tanpa dukungan kepercayaan dari Republik Rakyat Cina sebagai investor terbesar mereka. International Monetary Fund (IMF) yang sok jagoan menyelamatkan ekonomi negara yang runtuh pun tak sanggup mengatasinya.
Ekonomi Barat yang terus merosot tentu saja tak mampu mempertahankan tentara mereka yang masih ada di lapangan, dengan dana yang sangat cekak. Apalagi, medan pertempuran semakin tidak mudah. Itulah sebabnya, Barat lebih memilih membangkitkan semangat oposisi mengambil alih kekuasaan di dunia Arab. Arab Spring, dunia Arab mengalami musim semi, dengan bangkitnya rakyat memusihi para penguasa yang dinilai diktator. Memecah belah bangsa model Arab Spring seperti itu merupakan perang paling murah bagi Barat. Toh nyatanya, sejumlah penguasa Arab runtuh. Dimulai dari terusirnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi, menyusul kemudian Presiden Mesir Husni Mubarok yang menyerah, tewasnya Presiden Libya Muammar Qaddafi yang dibantai massa, dan sekarang pertempuran di Suriah.
Meskipun para penguasa Arab jatuh, kenyataannya Islam tetap bersinar. Bahkan berbagai pemilu di dunia Muslim dimenangkan kekuatan Islam. Sebaliknya, Barat yang tengah hancur menuju ke kebangkrutan justru diwarnai dengan berbondong-bondongnya warga mereka masuk Islam. Sekitar 20.000 orang AS menyatakan bersyahadat setiap tahun dan di Eropa. Fenomena itu menunjukkan, perbenturan Barat dengan dunia Islam tidak dimenangkan oleh Barat. Perbenturan itu, bagaimanapun, membuat kedua belah pihak babak belur. Umat Islam sampai jengah dituduh sebagai teroris dan puluhan ribu orang tewas menjadi korban. Sementara Barat tidak semakin, cemerlang melainkan semakin terperosok ke tubir jurang kebangkrutan. Apakah Barat masih bernafsu meneruskan perbenturan peradaban itu? Mestinya, mereka melempar anduk untuk menciptakan perdamaian.
Memuncaknya perlawanan rakyat Afganistan dan umat Islam dunia terhadap pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan Amerika Serikat (AS) akibat pembakaran mushaf Alquran di Penjara Bagram bisa menjadi titik balik dan menandai runtuhnya kejayaan Barat. Di saat bersamaan, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan AS juga tengah mengalami krisis ekonomi parah, sehingga jika tidak mendapatkan solusi, mereka terjun ke dalam jurang krisis yang menjerumuskan ke dalam kebangkrutan itu.***

Arab Saudi, Puncak Arab Spring?



Oleh WAKHUDIN
(Wartawan Senior Pengelola Newsroom Universitas Pendidikan Indonesia)
MUSIM Semi Dunia Arab (Arab Spring) akhirnya memasuki Arab Saudi. Riak demonstrasi menentang penguasa mulai meletup di Ryadh, ibu kota negeri Petro Dolar itu. Pemerintah setempat langsung memadamkan “bara” yang masih kecil itu. Namun sekecil apa pun peristiwa ini, publikasi di media mampu mem-blow up-nya menjadi peristiwa besar. Saat publikasi terus berkobar, maka “bara” yang meletup di Ryadh bisa menyebar bagaikan api yang membakar apa pun di sekelilingnya. Benarkah Arab Saudi merupakan antiklimaks dari Arab Spring yang meruntuhkan para penguasa di Timur Tengah? Apakah ada relevansinya antara Arab Spring dan gerakan antiterorisme yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikan George Walker Bush menyusul runtuhnya World Trade Center 2001?
Arab Saudi tidak mustahil menjadi incaran utama gerakan Arab Spring itu. Saudi adalah pusat dari segala ajaran Islam. Di sini ada Haramain, dua tempat suci, Mekah dan Madinah. Di Mekah terdapat Kabah, kiblat seluruh umat Islam menghadap. Mekah adalah pusat umat Islam berziarah untuk umrah maupun berhaji. Mekah adalah sumber Islam yang pertama, sementara Madinah adalah sumber Islam kedua. Di Madinahlah semua ajaran Islam diimplementasikan. Di Madinah, Rasulullah Muhammad saw. dimakamkan bersama Abubakar Ashidiq, Umar bin Khattab, dan jutaan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Seperti seorang yang makan bubur. Makan bubur dimulai dari pinggir, dipilih dari yang relatif dingin, lama kelamaan ke tengah saat bubur tidak terlalu panas. Demikian pula Arab Spring, gerakan yang menumbangkan rezim kuat di berbagai negara di Timur Tengah. Dimulai tahun 2010 di Tunisia, gerakan ini menumbangkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, sehingga ia kabur ke Arab Saudi. Demam di Tunisia menyebabkan Mesir ikut menggigil. Presiden Mesir Hosni Mubarok yang pun menyerah, meletakkan jabatan setelah lebih 32 tahun berkuasa, di tengah gerakan demonstrasi di Lapangan At-Tahrier.
Gerakan Arab Spring di Libya lebih mengenaskan, karena memakan lebih banyak korban jiwa. Perang saudara antara pemberontak dengan pro status quo berjalan cukup lama, sehingga jatuh korban jiwa ribuan orang dan infrastruktur pun porak poranda. Gerakan ini berakhir dengan tewasnya Muammar Qaddafi di tangan pemberontak, bahkan kemudian memajang mayat penguasa selama 42 tahun itu di sebuah mal.
Sukses menggulingkan penguasa di Tunisia, Mesir dan Libya akhirnya menjadi trend di negara-negara Arab. Maka, masyarakat sipil memberontak di di Bahrain; Aljazair; Yordania; Maroko; Oman; sempat ada protes kecil di Kuwait; Lebanon dan berbagai negara. Iran dan Suriah merupakan dua negara yang sudah lama digoda dengan pemberontakan gaya Arab Spring ini, namun keduanya memiliki daya tahan yang relatif kuat. Meski demikian, Suriah secara perlahan mengalami demam dahsyat. Pemberontakan bersenjata mampu mengundang badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab untuk ikut campur tangan. Suriah kini tinggal menanti hasil akhir, apakah kekuatan Presiden Basyar Al-Assad yang konon didukung Iran dan Republik Rakyat Cina ataukah kekuatan pemberontak yang didukung AS, Uni Eropa, dan Liga Arab yang akan memenangi pertempuran.
Perbenturan peradaban
Gerakan Arab Spring, menurut hemat penulis, tak bisa dipisahkan dari skenario perbenturan peradaban (clash civilization) yang digagas Sammuel Huntington dalam bukunya The Clash Civilization and the Remaking of World Order yang ditulis 1998. Setelah komunis bangkrut dengan runtuhnya Uni Soviet, Barat memerlukan sparing partner untuk berkonflik. Huntington berhasil menyodorkan konflik baru, yaitu antara Barat dengan dunia Islam, dengan judul perbenturan peradaban itu.
Maka masuk akal kalau Presiden Iran Mahmoud Ahmadijed menuduh bahwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di Washington DC merupakan skenario Amerika sendiri untuk memuluskan perbenturan peradaban itu. Sebab, hancurnya menara kembar itu merupakan tiket bagi Barat untuk melakukan perbenturan. Tanpa runtuhnya WTC, tak ada alasan bagi AS, Uni Eropa, dan sekutunya untuk menyerbu Afganistan. Setelah menaklukkan Afganistan 2001, Barat kemudian menekuk Irak 2003 dan menghukum gantung Saddam Husein.
Amerika dan Uni Eropa menghitung bahwa perang di Afganistan dan Irak hanya berlangsung sebentar, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun. Nyatanya, lebih dari sepuluh tahun tak kunjung berakhir, dan kemenangan nyata tak pernah terlihat. Puluhan ribu rakyat di dua negara itu memang tewas, tapi tak kurang dari 8.000 tentara AS dan NATO juga mati di dua negara itu.
Semakin lama mereka menduduki dua negara itu, semakin banyak tentara mereka yang tewas, puluhan ribu lainnya luka-luka. Sementara keuntungan nyata tak pernah terlihat. Minyak dan tambang yang diduga menjadi daya tarik penyerbuan dua negara itu tak kunjung diraih, sebab penguasaannya tetap di tangan pemberontak. Maka satu persatu tentara NATO mundur dari gelanggang pertempuran di Afganistan dan Irak. Amerika dan Uni Eropa pun pelan-pelan menarik tentara mereka dari Bagdad dan Kabul dengan malu. Taliban yang ditendang dan kemudian dituduh sebagai teroris mulai diajak bicara.
Perang di Afganistan dan Irak tak membuahkan hasil dan bahkan membuat Barat kini jatuh ke dalam krisis ekonomi. Mereka nyaris bangkrut. Sementara tujuan Barat menaklukkan dunia Islam, gagal total. Di dalam negeri, sekitar 20.000 warga AS justru masuk Islam setiap tahun, jumlah yang hampir sama terjadi di Uni Eropa. Meski demikian, ambisi Barat menghancurkan dunia Islam makin membara. Itulah sebabnya, Barat terus menggunakan berbagai cara menghancurkan rezim dunia Islam.
Memanas-manasi oposisi melakukan pemberontakan adalah cara yang cukup efektif. Pemberontakan dengan cara Arab Spring itulah yang mereka gunakan. Maka, hubungan antara gerakan antiterorisme yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikan George Walker Bush, dengan Arab Spring sangat relevan. Keduanya merupakan bagian dari paket perbenturan peradaban itu. Lihatlah keberpihakan Barat pada setiap pemberontakan di setiap negara terlihat begitu nyata dan terang-terangan. Tidak saja gerakan politik dan bermain spionase, melainkan secara nyata mempersenjatai kaum pemberontak di Libya, dan kini di Suriah, serta berbagai negara yang tengah bergolak.
Maka, ketika Arab Saudi juga mulai meletup, jangan-jangan inilah puncak dari perbenturan peradaban itu. Meletupkan pemberontakan dari Ryadh juga merupakan pola letupan gaya makan bubur itu. Ryadh memang kota strategis untuk mengguncang politik Arab Saudi, sebab ibu kota negara itu. Kalau guncangan politik dimulai daru Jeddah, apalagi Mekah dan Madinah, maka yang akan mempertahankan rezim Arab Saudi bukan saja keluarga besar Ibnu Saud, melainkan umat Islam seluruh dunia. Sebab, Arab Spring kini semakin kelihatan arahnya, kelanjutan dari clash civilization itu. Hanya saja, gerakan umat Islam tak kunjung kelihatan nyata. Liga Arab yang mestinya berada di dunia Arab malah menjadi alat barat.***
(Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Sabtu (20/2/2012)