Kamis, 28 Februari 2008

Gundul dan ”Dugul”


GUNDUL, dugul, atau botak merupakan keadaan objektif, tiadanya rambut di kepala, baik karena dicukur atau karena akar rambutnya tidak mau tumbuh lagi. Tak ada nilai baik atau nilai buruk dalam peristiwa gundul, kecuali jika dikaitkan dengan peristiwa atau keadaan tertentu. Gundul untuk bertahalul setelah melakukan umrah atau haji mengandung nilai baik, karena perintah agama yang secara fiqh hukumnya sunah, atau bahkan sangat diutamakan. Sebagian jemaah haji merasa sangat bangga dengan memangkas habis seluruh rambut di kepalanya. Gundul dianggap sebagai sebuah "pesta", pesta untuk tampil seadanya, pesta kesederhanaan dan menampilkan manusia benar-benar sebagai manusia. Padahal saat di tanah air, tidak semua orang berani tampil dengan kepala plontos.Sedangkan dugul di usia 40-an, sangat menghantui para pria di saat puber keduanya. Di saat meraka "gatal" dan ingin genit lagi, terkendala oleh penampilan rambutnya yang tak macho lagi. Kebotakan seperti ini tentu bernilai buruk (disvalue). Kecuali jika orang mensyukuri kebotakannya, sehingga berketetapan hati untuk tidak genit, apalagi selingkuh, sehingga tidak merusak rumah tangganya.Ungkapan, misalnya Persib "menggunduli" tamunya 5-0, berarti Persib berhasil "mempermalukan" lawan tanding di Stadion Persib dengan skor 5, sedangkan lawan tandingnya tidak berhasil satu pun memasukkan gol. Kata "gundul" di sini memiliki nilai (value) bagi Persib, tapi tidak bernilai (disvalue) bagi tamunya. Istilah pajenggut-jenggut nu dugul jeung nu botak (saling menjambak antara yang gundul dengan yang botak) juga cenderung berkonotasi pada nilai yang negatif. Pada musim anak-anak lulus sekolah seperti sekarang dan mereka ingin melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya, banyak orang tua yang panik. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai sekolah lanjutan. Jalan satu-satunya yang dilakukan adalah berutang kepada sanak saudara atau teman dekat. Namun jika orang-orang dekat yang ingin dipinjami sama-sama sedang "belingsatan" akibat beratnya beban hidup alias bokek, maka peristiwa ini bisa disebut, pajenggut-jenggut nu dugul jeung nu botak. Sama-sama tidak punya uang, dan sama-sama menderita, bagaimana mungkin dua orang yang miskin ini saling meminjami uang?Penulis bermaksud menggunakan terminologi gundul dan dugul dalam pengertian kedua, untuk menggambarkan betapa "gundulnya" negeri ini. Aparat dan pejabat pemerintah kita bersama rakyatnya sama-sama dugul. Bangsa dan negara kita cenderung menuju kepada gundul karena "rambut di kepala" tidak tumbuh lagi, bukan dugul karena dicukur. Negeri ini makin maju menuju ke jurang kebangkrutan.**KRISIS multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sejak 1987-an hingga saat ini, dapat dilukiskan sebagai peristiwa gundul. Satu sisi, pemerintah dan birokrat pada umumnya tidak memiliki moralitas yang kredibel untuk memimpin. Pejabat dari golongan I sampai tingkat eselon, bahkan pejabat-pejabat politis benar-benar gundul dalam soal moral. Amat sangat sulit birokrat dan pejabat kita untuk terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kalaupun ada, sifatnya kasuistik dan terbatas waktunya. Dalam kasus tertentu, pejabat kita bebas KKN, namun dalam kasus yang lain, mereka ikut KKN dan masa tertentu ikut menyuap atau disuap. Banyak orang bisa mengerti perilaku birokrat dan pejabat kita karena sejak dari "hulu"-nya, dari saat pendaftaran dan proses masuk pun, calon pegawai harus "kasak-kusuk" dan memiliki koneksi. Dan "koneksi" paling mujarab adalah uang. Para calon pegawai yang membayar pun bukanlah orang yang "bodoh". Membayar untuk menjadi pegawai dihitung sebagai "investasi" yang harus kembali selama menjadi pegawai atau pejabat. Itulah sebabnya, gaji yang kecil sebagai pegawai pun tidak menghalanginya untuk hidup kaya, mereka bisa mendapatkan uang kembali dari berbagai sumber, ti sisi ti gigir. Halal dan haram dianggapnya sebagai slogan lama, terakhir diganti, halal atau haram yang penting ada. Bahkan orang yang sudah "kembali modal" pun semakin rakus, halal atau haram yang penting banyak, terus-menerus, dan berkesinambungan.Sulit dimengerti, negeri yang sedemikian luas, memiliki potensi kekayaan yang luar biasa, baik di laut berupa ikan, bahan tambang; hutan dengan kekayaan flora dan faunanya; daratan untuk perkebunan; isi perut bumi baik berupa gas alam, panas bumi, minyak; dan begitu banyak kekayaan alam lainnya, tapi rakyatnya kemudian mati kelaparan. Anak-anak perutnya buncit dan tulang iga yang menonjol diserta pandangan yang kuyu tidak bergairah karena menderita busung lapar. Pemandangan anak-anak yang memilukan dengan ingus yang dihinggapi lalat itu beberapa tahun lalu hanya kita saksikan di negara-negara Afrika miskin yang dilanda pertikaian antarsuku. Tapi dalam hari-hari terakhir ini, pemandangan seperti itu kita lihat di negeri kita, bahkan di kabupaten kita. Jangan-jangan juga menimpa tetangga kita, hanya kita apriori.Kalau dilihat dari potensi alam, tidak masuk akal jika banyak anak negeri ini yang menjadi generasi yang hilang (the lost generation). Namun melihat kerakusan dan ambisi para elite, maka kita bisa tahu bahwa kekayaan alam kita memang bisa habis oleh moralitas pemimpin yang ambruk. Secara de jure negara kita memang merdeka, diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tapi de facto siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa ini harus mendapat "restu" dari "penjajah" di luar negeri. Dengan "modal restu" siapa pun bisa menjadi pemimpin. Hanya saja, jika sudah duduk di kursi empuk, si pemberi "restu" harus mendapatkan kebebasan untuk mengambil sendiri kekayaan negeri ini. Tambang emas boleh diambil dengan memberikan fee yang sedemikian kecil untuk pemda dan penduduk di sekitar tambang emas; panas bumi juga boleh diambil dengan menyisakan "limbahnya" untuk penduduk sekeleling. Demikian juga kekayaan hutan berupa kayu dan aneka macam isinya yang lain, mereka boleh mengambil sesuka hatinya, dan rakyat cukup mendapatkan dampaknya berupa banjir setiap tahun. Para pejabat cukup menandatangani UU dan berbagai macam peraturan yang intinya membolehkan "investasi" dan eksploitasi asing terhadap kekayaan alam kita. Para pejabat dan birokrat tidak berpikir panjang tentang masa depan rakyat yang dipimpinnya. Yang penting, teken UU dan berbagai macam peraturan yang bisa menguntungkan diri sendiri sembari "menyuapi" bangsa asing, meski mengabaikan rakyat sendiri. Dengan cara begitu, mereka bisa hidup nikmat, dapat membangun rumah megah, membeli mobil mewah, berpesiar ke seluruh penjuru dunia. KKN terus bebas merajalela, rakyat pun bebas merdeka untuk miskin dan menderita.Meski demikian, kita harus jujur memandang, tidak semua pemerintah dan birokrat kita amburadul dan gundul. Gebrakan pemerintah sekarang untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme cukup menggentarkan para elite yang culas. Penangkapan para pejabat yang dianggap korupsi, dari mulai KPU, KPUD di berbagai tempat, para gubernur, DPR dan DPRD, bupati, yang tidak bersih telah membuat pejabat yang lain berpikir panjang untuk melakukan korupsi dengan vulgar.Gebrakan pemerintah SBY untuk menindak para koruptor ibarat kepala botak yang mulai tumbuh rambutnya. Namun kita terus menunggu, apakah pejabat yang "botak moralnya" akan benar-benar ditindak semua, atau hanya terhenti kepada orang-orang tertentu dan kelompok tertentu. Jika hanya masyarakat dan kelompok tertentu yang akan ditindak dan hanya berhenti sampai di sini, "rambut" yang tumbuh kembali itu bisa rontok. Moralitas pejabat kembali "gundul" dan rakyat pun akan bertambah dugul.***

Nurustunjung


BAHASA Indonesia yang sepadan dengan kata "nurustunjung" adalah "keterlaluan". Dalam bahasa Jawa, "nurustunjung" sama artinya dengan "lacut" (ala kebacut). Maksudnya, sudah tahu bahwa itu merupakan keburukan tapi nekat dilakukan, bahkan secara terus menerus keburukan itu dilestarikan. Bahasa religius yang paling tepat menggambarkan itu semua adalah "fisq", bentuk jamaknya "fusuq" atau dalam bentuk isim fa'il menjadi "fasiq" (orang fasik), yaitu orang yang telah mengetahui tentang baik-buruk, tapi lebih senang memilih keburukan dan dosa.Sejumlah kosa kata di atas sangat pantas menjadi label (stigma) bagi bangsa Indonesia yang merayakan pergantian tahun baru 2004-2005 dengan cara bergembira ria dengan berhura-hura. Bagaimana tidak disebut nurustunjung, saudara-saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tengah menderita akibat gempa bumi yang diikuti dengan tsunami yang menewaskan puluhan ribu orang, sementara kita yang mengaku sebagai saudaranya tetap berpesta. Belum berhenti darah mengalir, belum pula ditemukan seluruh mayat yang menjadi korban musibah, bahkan jasad-jasad yang mulai membusuk pun belum sempat dikuburkan semua, namun saudara-saudaranya yang berada di daerah lain tetap berjingkrak-jingkrak kegirangan karena tahun 2004 berganti nama menjadi 2005. Kita seperti orang kemaruk yang kalau tidak berjoget barang sehari, seluruh tubuh akan pegal-pegal dan pantat akan terasa gatal-gatal. Aneka lagu riang gembira yang diiringi joget massa dan juga joget erotis yang mendekati striptis atau setidaknya semistriptis selalu menjadi menu pergantian tahun. Kita seperti kehilangan gagasan bahwa satu-satunya cara merayakan pergantian tahun adalah dengan cara berjoget, menari, meniup terompet, membakar kembang api, dan seabrek cara yang semuanya dapat dikategorikan mubazir. Apakah tidak berpikir bagaimana mengambil hikmah yang optimal dari pengorbanan saudara-saudara kita yang sangat luar biasa di Aceh dan Sumatra Utara. Dengan demikian, kita tidak melakukan kesalahan yang kedua kali. Atau seandainya suatu saat musibah itu menimpa kita, maka pada saat itu kita telah siap mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatan kita.Kita sudah berusaha menyingkir dari tempat-tempat terbuka dan jalan-jalan raya yang biasa digunakan untuk merayakan pergantian tahun baru. Tapi tetap saja lagu-lagu gembira di televisi yang masih memasang logo "Indonesia Menangis", "Indoseia Berduka", "Indonesia Berkabung" dan sebagainya tidak tahan untuk tidak menayangkan goyang dan kegembiraan. Padahal, masyarakat yang bermoral, uratnya masih kaku untuk tersenyum, apalagi tertawa. Dahinya masih mengernyit ngeri dan sedih karena menyaksikan dan membayangkan musibah yang dahsyat. Saudara kita yang menyaksikan langsung musibah itu masih banyak yang kelu untuk mengungkap parahnya kerusakan dan kehancuran yang menimpa saudara-saudara kita.Kita memang keterlaluan, nurustunjung. Mungkin karena kelakuan kita yang selalu demikian, sehingga sebagian masyarakat Aceh ingin tidak lagi bersaudara dengan kita. Mereka mungkin membayangkan bahwa hidup berpisah dengan bangsa yang keterlaluan seperti kita ini akan lebih baik dan lebih bermoral. Itulah sebabnya mereka pertaruhkan nyawa dan harta serta keluarga agar bisa keluar dari golongan orang-orang yang fasik. Karena itu pula mereka kemudian diburu, ditembaki, dikejar-kejar terus sampai ke hutan-hutan, sembari mendapat label Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Gerakan Separatis Aceh (GSA). Sebagian dari mereka telah terbunuh oleh obsesinya, sebagian lain tertangkap dan dipindahkan ke berbagai penjara di Pulau Jawa, dan sebagian lain turut menjadi korban tsunami karena saat air pasang itu datang, penjara masih dalam keadaan terkunci.Sebagian dari masyarakat Aceh memang tidak lagi ingin menjadi saudara kita. Nyatanya, kita memilih bertahan agar Aceh tetap menjadi bagian dari kita, bagian dari darah dan daging kita, bagian dari tanah air kita. Bahkan, saking inginnya kita mempertahankan agar Aceh tetap bersaudara, kemudian kita menjadikan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM), kemudian berganti menjadi darurat sipil dan darurat militer, serta serba darurat lainnya. Tapi, ketika kita masih bersaudara dan masih bersatu dengan masyarakat Aceh, beginikah sikap moral kita ketika mereka tengah berduka? Mana wujud empati kita kepada warga Aceh yang telah kita paksa agar tetap menjadi saudara kita? Apakah karena kita telah mengirimkan beberapa dus mi dan membantu beberapa puluh ribu rupiah yang kemudian ditayangkan dalam runing text di TV atau mengisi kolom di surat kabar, lantas kita melupakan penderitaan mereka? Sungguh nurustunjung. Terlalu cepat kita melupakan penderitaan. Katakanlah, selama setahun kita sama sekali tidak menyelenggarakan suatu pesta, maka itu pun sesungguhnya belum impas sebagai pernyataan duka kita.Kita dalam berbangsa dan bertanah air, sejak awal mestinya berterima kasih kepada warga Aceh yang telah amat gigih menyumbang kemerdekaan RI, bahkan secara nyata menyumbang pesawat kepada Presiden Soekarno. Tapi kenyataan, negara yang didukung Aceh tidak kunjung sejahtera, makmur, dan adil sebagaimana yang diimpikan mereka. Alih-alih adil, kekayaan alam mereka berupa hasil hutan dan tambang berupa gas alam cair yang muncul dari perut bumi mereka terus disedot, entah dibawa ke mana. Dibawa orang pusat, dibawa orang asing, atau entah ke mana.Sekali lagi kita pantas berterima kasih dengan sikap mereka yang telah mengingatkan kita bahwa negeri ini tengah mengalami sesuatu yang tidak beres. Protes mereka mestinya kita jawab dengan perbaikan dalam penyelengaraan pemerintahan. Namun apa lacur, api permusuhanlah yang dinyalakan.Peristiwa gempa bumi yang disusul tsunami tanggal 26 Desember 2004 tentu saja memiliki makna yang amat besar bagi keberlangsungan hubungan kita dengan warga Aceh. Tapi lagi-lagi kita berpesta, pamer pusar, pantat berputar-putar, tak bosan menyanyikan lagu yang itu-itu juga. Kita tidak berubah oleh peringatan yang telah mengorbankan warga Aceh dan Sumatra Utara dengan nilai tak terhingga. Kita tak mengambil hikmah apa pun dari sebuah pengorbanan yang amat besar. Dasar, kita memang nurustunjuuuuuungngng!

Terorisme di Amarta

DALANG mana pun, wayang golek atau wayang kulit, menceritakan bahwa Amarta adalah negerinya orang baik-baik. Rajanya, Puntadewa alias Yudistira bersama rakyatnya terkenal saleh dan religius. Tapi sejak kehilangan Jamus Kalimasada, sebuah jimat yang dapat dikatakan roh dan eksistensi negeri itu, Amarta terlihat suram. Matahari seakan-akan ragu-ragu muncul dari ufuk timur. Menjelang siang, terik pun tidak, tapi tidak juga dingin, hanya terasa nggereges sampai ke sumsum tulang. Para birokrat maupun rakyat seakan gamang menghadapi situasi baru, kultur baru, sementara kepribadian lamanya pelan-pelan ditinggalkan.Maka lihatlah apa yang terjadi di pusat ibu kota Amarta itu. Kafe, diskotek, bar, dan pusat hiburan lainnya dibangun dengan investasi besar. Anehnya, tempat-tempat hiburan dibuka dengan doa bersama yang diawali dengan pengajian yang menampilkan ustaz yang terkenal di Amarta itu. Tapi lazimnya tempat hiburan malam, begitu ustaz selesai membuka secara resmi, tempat hiburan itu pun langsung dioperasikan. Makanan dan minuman mewah tersaji dengan apik. Minuman keras produk manca maupun lokal dihidangkan sepanjang malam.Sementara di Jln. Madukara dibangun masjid bersama sarana penunjang lainnya, termasuk tempat parkir mewah. Pondok pesantren dan tempat belajar agama juga tampak mengelilingi masjid. Masyarakat dengan kultur lama pun masih ada. Bahkan, mereka antusias mempelajari agama tanpa menolak kultur baru yang selama berabad-abad sebelumnya ditentang para pendiri bangsa Amarta. Pada saat Ramadan, muda-mudi yang belum menikah dengan antusias bergandengan tangan menuju ke masjid. Masyarakatnya yang baong pun mulai "insyaf", mereka kembali melaksanakan salat isya sebelum berzina dengan pelacur, supaya mandi keramasnya cukup dilakukan sebelum salat subuh.Amarta belakangan ini memang terus mengalami perubahan menuju modernisme tanpa ingin meninggalkan kepribadiannya yang lama. Di satu sisi, bangsa Amarta telah mewariskan nilai-nilai luhur bangsa baik yang bersumber dari tradisi maupun religi. Namun di sisi lain, gempuran dari budaya asing masih lebih dahsyat mendompleng kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itulah sebabnya masyarakat Amarta mengalami kepribadian yang pecah (split personality). Satu sisi, mereka ingin mewarisi nilai-nilai luhur bangsa, sementara di sisi yang lain mereka telah menganut nilai baru tanpa disertai sikap selektif.Memang, kehidupan religius makin familier di kalangan masyarakat Amarta, namun di sisi lain kehidupan jahiliah masih melekat dan menjadi kebiasaan hidup. Itulah sebabnya, mereka kemudian mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Mereka seolah telah mendamaikan antara setan dan malaikat. Dua makhluk ciptaan Tuhan ini seakan sudah menandatangani perjanjian damai (MoU) untuk tidak saling bermusuhan, sehingga antara surga dan neraka tidak ada batasnya.Secara ekonomi, Amarta terus mengalami kemerosotan. Namun situasi ekonomi yang chaos tersebut justru sangat menarik hati investor asing. Maka, investasi dari manca, baik dari Astina Raya bersama sekutu-sekutunya maupun dari Alengka Serikat bersama kroni bisnisnya terus mengincar berbagai komoditas yang memungkinkan mereka beli dari Amarta. Perusahaan milik kerajaan maupun milik para kesatria dibeli para investor asing dengan harga sangat murah. Maklum kurs mata uang dan indeks saham negeri itu terus merosot sampai ke titik nadir. Berbagai perusahaan tambang di Amarta sudah lama menjadi milik Dasamuka Group dari Alengka, dan PT Duryudana Perkasa dari Astina. Penguasaan aneka tambang di Amarta tak lebih sebagai kompensasi dukungan para petinggi di Alengka dan Astina terhadap kepemimpinan raja dan para petinggi di Amarta. Apalagi saat ini Amarta menganut demokrasi modern, sehingga setiap kali diselenggarakan pemilu langsung, para kandidat tersebut membutuhkan dana segar dalam jumlah yang besar. Pada saat itulah para calon investor tampil sebagai pahlawan dengan menyediakan seluruh fasilitas yang diperlukan oleh kandidat pejabat tersebut. Kompensasinya, setelah duduk sebagai raja, adipadi, tumenggung atau wakil rakyat, mereka kemudian memberikan perizinan kepada investor untuk mengeksploitasi kekayaan alam Amarta. Toh pekerjaan pejabat itu tidak sulit, sekadar memberikan secarik kertas izin. Para investor mengambil dan mengekploitasi sendiri kekayaan alam di perut bumi Amarta, tanpa bantuan apa pun dari pihak kerajaan Amarta. Sejak Jamus Kalimasada hilang, Raja Yudistira alias Puntadewa pun tak jelas keberadaannya. Demikian pula para pangeran, Bima, Arjuna, maupun si kembar Nakula dan Sadewa. Kekuasaan mereka telah digantikan oleh badut-badut yang merupakan penjelmaan dari para abdi dalem. Maklum, karena yang menjadi raja adalah para pelawak, lawak menjadi komoditas yang paling mahal di Amarta saat ini. Para pelawak amatiran pun akhirnya menjadi orang-orang yang kaya raya setara dengan konglomerat.Jangankan acara hiburan dangdut, atau huburan lainnya yang memang selalu menampilkan acara dagelan sebagai selingan. Seluruh kegiatan kemasyarakatan, acara di televisi, radio, surat kabar, semua menggunakan jasa pelawak. Masak dibantu para pelawak; makan pagi ditemani pelawak; berbuka puasa bahkan makan sahur pun ditemani pelawak. Semua kegiatan baru dianggap afdol jika dilakukan bersama pelawak. Maka para dai pun belajar jadi pelawak, sementara para pelawak pun tampil lebih dai daripada para dai itu sendiri.Meski raja dan para pangeran tidak jelas keberadaannya, rakyat tidak terlalu merasa kehilangan. Hanya secara ekonomis, kehidupan mereka sangat merosot. Ruang lingkup mata pencaharian mereka semakin menyempit, PHK besar-besaran sejak krisis sepuluh tahun terakhir ini semakin menyesakkan dada mereka. Makanya, mereka tidak peduli lagi siapa pun yang menjadi pemimpinnya, yang penting mereka bisa hidup, makan, mampu menyekolahkan anak, syukur bisa bersenang-senang.Hilangnya raja dan pangeran memang misterius. Namun saat terjadi peristiwa pengeboman di jantung kota Alengka Serikat sehingga terjadi kebakaran besar, jaringan Pandawa dituduh sebagai pelaku utama pengeboman itu. Apalagi setelah Anoman diidentifikasi sebagai pelaku utama pengeboman sehingga menimbulkan kebakaran besar pada gedung-gedung pemerintahan di Alengka. Kepolisian setempat pun berkesimpulan bahwa Anoman adalah pecahan teroris dari Pandawa karena Anoman seperguruan dengan Bima.Seringnya terjadi pengeboman menjadikan para kesatria ini menjadi tertuduh sehingga stigma teroris melekat kepada diri mereka. Terakhir, terjadilah peledakan besar di Hotel Sigala-gala di pusat kota Astina Raya. Puluhan orang tewas, dan ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Sangkuni yang menjadi kepala kepolisian negeri itu langsung angkat bicara dan menyatakan bahwa pelaku pengeboman dilakukan dengan bunuh diri. Pelakunya kini adalah para Pandawa. Ratusan mayat yang menjadi korban jiwa, lima orang di antaranya diidentifikasi sebagai Pandawa. Sidik jari lima mayat tersebut segera diambil, dan penguasa di Astina itu memutuskan untuk tidak perlu melakukan tes DNA atas mayat-mayat tersebut. Yang jelas, empat orang mayat bertubuh sedang dan kecil, sementara satu mayat bertubuh besar. Itulah Bima, sedangkan empat lainnya adalah Yudistira, Arjuna, dan Sadewa serta Nakula. Rakyat cukup puas dengan penjelasan Sangkuni yang siarannya terus diulang-ulang di Astina TV dan jaringannya serta surat-surat kabar setempat.Para dalang biasanya mengakhiri kisah pengeboman Balai Sigala-gala dengan terbongkarnya kasus yang sebenarnya, di mana sesungguhnya yang tewas dalam hajatan di ruang pertemuan itu bukanlah Pandawa, tapi orang-orang yang dikorbankan oleh Sangkuni dan orang-orang Korawa. Sementara Yudistira dengan adik-adiknya justru diselamatkan oleh binatang landak, dengan masuk ke dalam bunker. Skandal itu juga terbongkar, karena bahwa pengeboman di Hotel Sigala-gala adalah rekayasa Sangkuni yang sengaja membunuh Pandawa untuk menguasai Astina sekaligus Amarta.Sementara dalam kisah hilangnya Jamus Kalimasada, para Pandawa kembali muncul, namun mereka dikalahkan oleh raja badut, Welgeduwelbeh Tongtongsot alias Petruk. Namun berkat bantuan Seman, ayah para badut itu, raja-raja gadungan itu dikalahkan. Apalagi setelah Pandawa kembali menemukan Jamus Kalimasada yang merupakan lambang tauhid dan lambang kepribadian, sehingga Amarta kembali tenteram. Namun kisah di rubrik ini dengan sengaja tidak sampai kepada happy ending seperti itu. Sebab, pada saat laporan ini disusun, peristiwa pengeboman tersebut baru saja terjadi, dan para rajanya masih para pelawak itu

Senin, 25 Februari 2008

”Sompral”

SOMPRAL artinya berbuat atau berbicara sembarangan, ada unsur bercanda, kadang di luar nalar dan mustahil, serta sering kali tidak ada kandungan niat. Dalam bahasa Sunda atau bahasa Jawa, kata sompral memiliki arti yang sama. Misalnya, "Kamu tak tendang sampai Semarang...!" Menendang seseorang sampai Semarang, tentu saja mustahil. Namun, orang yang sama-sama sompral akan menjawab, "Kebetulan, saya mau ke Semarang, kan jadinya tak perlu naik bus atau kereta. Tolong tendang saya deh... sekarang...!"Anehnya, ucapan atau perbuatan sompral justru sering benar-benar terjadi. Ampuhnya tak kalah dengan seseorang melakukan kaul. Saya sendiri setengah tahun lalu sakit dan mendaftar untuk dirawat di rumah sakit, tapi dokter yang menangani saya menolak dan meminta saya untuk berobat jalan. Meski demikian, dengan sompral saya berkata, "Saya ingin dirawat di RS. Saya senang kalau naik kursi roda dan dijenguk teman-teman." Mungkin karena sompral itu, beberapa waktu lalu saya jatuh pingsan usai main badminton di lapangan. Penyebabnya sepele, karena alergi makan seafood. Dengan berolah raga, alergi itu menyebar sangat cepat sehingga tiba-tiba saya terhuyung saat duduk dan jatuh ke lantai. Jidat sempat sobek selebar 3 cm. Akibat sobek itulah, saya pingsan dalam keadaan berlumuran darah. Teman-teman yang sedang bermain bulu tangkis pun sontak berhenti. Mereka segera melarikan saya ke unit gawat darurat (UGD) sebuah rumah sakit. Karena penyebab sakit hanya alergi, dalam dua jam saya sudah merasa baikan. Yang aneh, semua kesompralan saya terlaksana. Saya sempat naik tempat tidur yang didorong bahkan menggunakan kursi roda. Lain lagi kisah teman saya yang dengan "sombongnya" mengatakan, dia tidak pernah mengalami flu sejak rajin berolah raga. Namun tiga hari kemudian, sembari membawa sapu tangan lebar dan dengan suara parau mengutarakan, dirinya sedang menderita flu berat. Keampuhan sompral disebabkan oleh ketemenanen belis. Artinya, begitu setan (iblis) mendengar ada seseorang yang berkata sompral, ia berusaha mewujudkan ucapan ngawur itu menjadi kenyataan. Ini nyaris sama dengan kaul, di mana setiap orang yang menginginkan sesuatu dengan kaul, biasanya Allah mengabulkannya. Jika telah terkabul, kaul tersebut kemudian syarat-syaratnya dilakukan.Melihat begitu ampuhnya sompral, ada baiknya semua orang berbicara sompral, tapi yang baik-baik. Katakan, "Saya akan menjadi gubernur yang amanah", atau "Saya akan menjadi pemimpin yang adil", "Rakyat harus makmur", dan seterusnya. Kalau perlu, canangkan gerakan sompral nasional agar dalam sehari setiap bangsa Indonesia mengucapkan sompral-sompral yang baik, misalnya, "Ekonomi nasional segera pulih, bangsa Indonesia segera menyamai negara-negara maju, kita menguasai iptek" dan sebagainya. Masa, program kok sompral. Dasar sompral. Tapi kalau terkabul? (Wakhudin)

“Recovery”

PANDAWA dan Kurawa sesungguhnya memiliki peluang yang sama untuk memenangkan perang Baratayudha dan berhak memperoleh negara Astina. Syaratnya cuma satu, asalkan mampu membangunkan Krisna yang sedang terlelap tidur di hutan. Krisna adalah titisan Batara Wisnu, dewa pemelihara alam yang nurani dan nalarnya selalu berjalan seiring. Raja Dwarawati ini adalah lambang kehidupan yang sangat dinamis. Orang Betawi menyebutnya, "tak ade matinye". Persoalan serumit apa pun akan dengan mudah diselesaikan, karena ia tahu sebelum winarah. Sebelum orang lain tahu, ia sudah terlebih dahulu mengetahuinya.Begitu tahu bahwa syarat memenangkan perang Mahabarata adalah dengan cara membangunkan Krisna, maka para Kurawa yang sedang menjadi pejabat di Astina pun segera naik ke gunung mencari Krisna. Mereka secara beramai-ramai membangunkan Sang Wisnu. Pada mulanya, mereka dengan sopan, namun akhirnya dengan cara kasar. Sekujur tubuh dari mulai kaki hingga kepala ditendang, diinjak, bahkan dijatuhi batu sebesar kepala kerbau. Namun Krisna tetap tidur lelap, dengan suara mendengkur.Saat para Kurawa frustrasi gagal membangunkan Krisna, Arjuna hadir dan langsung ikut tidur di samping Krisna. Ia tahu, arwah Krisna tengah berunding dengan para dewa yang membuat skenario perang Baratayudha. Pada mulanya ditetapkan bahwa Kurawalah yang akan memenangkan perang. Namun kehadiran Krisna dan Arjuna memaksa para dewa mengubah skenario. Yang benar haruslah menjadi pemenang. Kebaikan harus mengalahkan keburukan. Usai berunding dengan para dewa, Krisna pun bangkit dari tidur. Kurawa mengajak Krisna, tapi mereka ditipu untuk pulang bersama seribu raja. Karena tak bawa Kresna, itulah sebabnya, Kurawa yang berjumlah 100 orang akhirnya tewas oleh Pandawa yang berjumlah lima.Bangsa Indonesia kini sedang menghadapi masa-masa sulit. Nalar dan nuraninya masih tidur seperti Krisna. Kalau ingin segera pulih mencapai recovery, maka harus menggugah nalar dan nuraninya tersebut. Satu-satunya cara untuk membangkitkan dan menyelaraskan nurani dan nalar tersebut adalah pendidikan. Sayang, kita sering lebih memilih sesuatu yang artifisial, bukan substantif. Kalaupun anggaran 20% dari APBN/APBD untuk bidang pendidikan yang merupakan mandatori akhirnya turun, jangan-jangan kita lebih memilih bersenang-senang, ketimbang tetap prihatin membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Kita sering lebih suka memilih upacara daripada bekerja.(Wakhudin)

Yogya

”PERGILAH ke arah Timur untuk mencari ilmu, dan pergilah ke arah Barat untuk mencari uang.” Nasihat itu tidak tertulis, namun terpatri di benak masyarakat ”tengah”, maksudnya masyarakat yang berada di tengah antara Yogyakarta dan Jakarta, seperti eks Karesidenan Banyumas, eks Karesidenan Pekalongan, Kebumen, dan sekitarnya. Apa bedanya, Yogyakarta dan Jakarta? Lihatlah cara masyarakatnya berjalan kaki. Warga Yogya berjalan dengan sepenuh hati disertai ayunan tangan yang mantap mengiringi irama kaki melangkah. Sebaliknya, warga Jakarta dan sekitarnya cara berjalannya tidak sinkron antara ayunan tangan dengan langkah kaki. Tentu dua cara ini bukan menggambarkan cara berjalan yang sesungguhnya, melainkan untuk menggambarkan bahwa masyarakat Yogyakarta hidupnya lebih santai dibandingkan masyarakat ibu kota. Karena santai itulah, orang Yogya dapat berjalan dengan ayunan tangan yang mantap. Sebaliknya, orang Jakarta yang selalu sibuk tidak sempat menikmati berjalan kaki dengan santai, sehingga antara langkah kaki dan ayunan tangan terpaksa tidak berimbang, karena terburu-buru.Karakter masyarakatnya pun berbeda antara orang ”Timur” dengan orang ”Barat”. Secara umum, orang ”Timur” masih bersifat ideologis dan filosofis, serta romantis, sedangkan orang ”Barat” lebih ekonomis dan materialistis. Maksudnya, masyarakat Yogyakarta masih sangat menghargai ide-ide, nilai-nilai religius (tanpa menafikan nilai-nilai spiritual), dan bersikap lemah lembut. Bahasanya yang oleh orang ”Barat” disebut medhok sesungguhnya menunjukkan kelembutan itu. Sebaliknya, masyarakat ”Barat” lebih menghargai nilai-nilai materi dan nilai ekonomis. Kita bisa menyaksikan lahirnya pakar-pakar ekonomi makro biasanya berasal dari Yogyakarta. Mereka masih rela memikirkan ekonomi secara filosofis tanpa harus memiliki uang. Sebaliknya, masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang pandai dan menguasai ilmu ekonomi, tentu tidak puas dengan memiliki ilmu ekonomi makro tanpa bersentuhan dengan kekayaan dan ekonomi sektor riil. Ekonom di ”Barat” lebih senang menjadi direktur bank, pengusaha, atau jabatan apa pun yang bersentuhan dengan ekonomi sektor riil. Tentu dua kutub ini tidaklah mutlak, karena hanya bersifat umum, ada juga masyarakat Yogya yang lebih ekonomis dan masyarakat Jakarta dan sekitarnya lebih filosofis. Kini, kutub ”Timur” sedang tertimpa musibah, akibat gempa tektonik. Mereka tentu saja tidak cukup menyelesaikan masalahnya dengan filsafat, melainkan perlu wujud nyata berupa materi dan ekonomi. Hasil karya masyarakat ”Barat” saatnya dimeratakan ke arah Timur, agar solidaritas di antara anak-anak bangsa lebih terbina.Secara pemikiran, dua kutub ini juga saatnya masing-masing dimekarkan. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya tidaklah haram mengembangkan ekonomi sektor riil untuk basis perekonomian rakyat. Sebaliknya, masyarakat Jakarta dan sekitarnya tak boleh melupakan landasan filosofis dan religius sebagai basis kehidupan, sehingga meskipun kaya raya namun mempunyai arah tujuan hidup lebih baik. Musibah yang menimpa Yogya, saatnya dijadikan ”perkawinan” ideologis dan ekonomis. (Wakhudin)

Setan dan Kesetanan

KATA "setan" merujuk pada jenis makhluk Tuhan yang tidak kasat mata. Sementara waktu, saya memuji setan sebagai makhluk yang luar biasa, tahan banting. Makhluk ini termasuk pekerja keras yang tidak pernah mengenal lelah. Mereka bekerja dengan sangat sistematis, terencana, berulang-ulang, dan selalu menggunakan metode terbaru manakala sistem lama dianggap gagal. Meskipun dicaci maki, setan tidak pernah putus asa, mencoba dan terus mencoba. Mereka selalu "istiqamah" dengan tujuannya, menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Itulah sebabnya, umat Islam yang istiqamah selalu meminta perlindungan Allah secara berulang-ulang sembari mengutuknya, menggunakan kalimat ta'awudz.Sedangkan "kesetanan" menunjuk pada jenis kata sifat yang menempel pada manusia. Sifat-sifat setan yang tengah dilakoni manusia itulah kesetanan. Apakah orang yang kesurupan dengan tubuh kejang-kejang dan mata melotot berarti dalam diri orang tersebut kemasukan makhluk setan? Wallau a'lam. Kali ini, saya justru lebih tertarik membahas manusia yang secara fisik badannya sehat dan mengaku secara lahir dan batin sehat, tapi pada hakikatnya mereka benar-benar kesetanan.Ketika semua orang buntu mencari kambing hitam dari penyebab berbagai bencana yang menimpa tanah air, maka kesetanan dapat ditunjuk sebagai kambing hitam itu, tanpa menyinggung perasaan setan itu sendiri. Ya, kesetanan telah merasuk nyaris ke seluruh lapisan masyarakat kita, dari rakyat kecil, apalagi hingga pejabat tinggi dan tertinggi. Sebelumnya, saya ragu-ragu menyebut rakyat kita juga kesetanan. Sebab, mereka sesungguhnya hanyalah korban dari pemimpin yang kesetanan. Rakyat yang miskin tanpa memiliki rumah dan pekerjaan tetap terkapar di daerah-daerah kumuh, kini sebagian dari mereka bahkan terkena banjir, pada awalnya benar-benar korban perilaku kesetanan. Tapi karena tekanan hidup yang dahsyat, sebagian dari mereka ikut pula kesetanan. Tapi karena miskin dan lemah, kesetanannya pun sebatas mereka mampu. Paling-paling, saat meminjam motor atau kalau punya motor mengendarainya dengan kesetanan, menyalip semua kendaraan lainnya tanpa mengenal lelah dan tanpa ampun. Meskipun tidak ada tujuan yang jelas dan tanpa target apa pun, bahkan begitu sampai tujuan sering sekadar menyulut rokok, tapi ngebut adalah sikap keseharian.Anehnya, semakin tinggi kewenangan dan keterampilan teknis yang dimiliki seseorang semakin dahsyat pula sikap kesetanan yang dilakoninya. Semakin tinggi jabatan yang dipangkunya, semakin lembut cara kesetanannya meski dampak yang ditimbulkannya rusak luar biasa. Menandatangani izin hak pengusahaan hutan (HPH) dengan menerima upeti tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan adalah perilaku kesetanan yang paling aktual saat ini. Jangan-jangan, membiarkan Kawasan Bandung Utara (KBU) rusak dan kemudian menimbulkan banjir di cekungan Bandung masuk dalam konteks ini. Maka sikap yang paling relevan saat ini adalah mengaktualkan ta'awudz, minta perlindungan Allah dari godaan setan, sekaligus dihindarkan dari sikap kesetanan, baik dalam diri rakyat maupun pejabat.(Wakhudin)

Rakus

PENYAKIT yang paling banyak menjangkiti orang Indonesia saat Lebaran adalah penyakit perut. Berbagai jenis penyakit yang terlupakan saat Ramadan kembali kambuh, mulai disentri, mencret, mag, dan lain-lain. Terlalu rakus makan dan lupa diri adalah penyebab utama sakit perut tersebut. Sebelum pergi ke tempat salat id, lontong dan opor sudah disantap, usai salat makan nasi pecel di rumah ustaz, sebelum kembali ke rumah sembari berkeliling ke rumah-rumah tetangga makan nasi rendang. Berbagai jenis minuman juga terus menggoda, es buah, sirop, es krim, dan berbagai minuman ringan. Cara makan yang demikian selama dua hari tentu saja menyebabkan sakit. Walhasil, berbagai makanan yang disantap bukannya menyebabkan maslahat, melainkan mudarat.Sakit perut sesungguhnya masalah sepele yang selalu berulang setiap tahun. Meski demikian, mari kita coba melihat masalah ini lebih serius, jangan-jangan ini adalah sifat bangsa ini yang sejati. Sikap "balas dendam", aji mumpung, rakus, tak tahu diri, tidak perhitungan, dan berbagai jenis sifat buruk yang lain. Nyatanya, Indonesia yang mestinya kaya raya dengan kekayaan alamnya, ternyata rakyatnya miskin, dan terus bertambah miskin. Siapa pun yang mendapatkan kesempatan memimpin bangsa ini dan mendapatkan mandat mengelola uang rakyat berperilaku buruk sebagaimana sifat-sifat di atas.Padahal, puasa selama sebulan telah mengajarkan berbagai nilai suci. Sabar, bekerja keras, rajin salat malam, suka berbagi, makan dan minum secukupnya, toleransi, dan berbagai nilai-nilai positif lainnya. Sayang, begitu Ramadan lepas, sifat-sifat baik ikut lepas juga. Lebih mengkhawatirkan lagi, sifat-sifat buruk itu berjalan selama 11 bulan ke depan, dan baru kembali ingat sifat-sifat baik setelah masuk Ramadan berikutnya.Padahal, keutamaan Ramadan termasuk turunnya Lailatulqadar jangan-jangan tidak berlaku hanya bulan Ramadan. Bolehlah, Lailatulqadar turun dalam bulan Ramadan, tapi dampaknya tentu berlaku sepanjang tahun. Bayangkan, keutamaannya saja setara dengan seribu bulan atau 83,3 tahun. Tentu saja, perilaku baik para penerima Lailatulqadar tidak lekang pasca-Lebaran. Lalu orang-orang yang tetap rakus dan tak tahu diri setelah Lebaran berarti tidak menerima anugerah Lailatulqadar? Bisa jadi memang tidak, bahkan tidak mustahil, mereka hanya orang-orang yang merasakan haus dan lapar selama Ramadan. Na'udzubillah min dzalik. Menjaga diri, berperilaku sesuai dengan nilai moral agama dan nilai-nilai kemasyarakatan adalah bagian dari diterimanya puasa kita. Mudah-mudahan, kita termasuk shaimin yang diampuni dosa-dosa karena Ramadan. (Wakhudin)

Pehul & Dehul

ZAMAN Palasara masih hidup, Semar telah mewujud dalam sosoknya aki-aki peot. Namun setelah Palasara memiliki keturunan Resi Wiyasa, yang kemudian memberinya cucu Pandu dan Destarastra, bahkan lahir pula cicit-cicitnya para Pandawa dan Kurawa, Semar tetap tidak mati. Penampilannya pun tidak berubah, sebagai lelaki tua gendut dengan potongan rambut modern, lancung with gel. Hingga babak akhir kisah Mahabarata di mana Parikesit kemudian naik tahta menjadi raja di Hastina, Semar tetap sehat bersama anak-anaknya Gareng, Dawala, dan Cepot.Para kritikus wayang tentu tidak tinggal diam mencari tahu siapa Semar itu. Mereka pun menyimpulkan bahwa Semar adalah dewa yang mangejawantah, turun ke bumi untuk menemani para kesatria melakukan darma, amar ma'ruf nahi munkar. Semar, Batara Guru, dan Togog berasal dari asal yang sama, sebutir telur. Semar terbuat dari kuning telur, Batara Guru berasal dari putih telur, dan Togog berasal dari cangkangnya. Saat di dunia, Semar melambangkan kebaikan, Batara Guru melakukan regulasi kekuasaan, sedangkan Togog berpihak kepada kemunkaran.Melihat kehidupannya yang tidak lazim sebagai manusia, Semar, Batara Guru, dan Togog jangan-jangan bukan "manusia", melainkan sekadar lambang makhluk-makhluk lain di luar manusia, seperti malaikat, jin, atau setan. Tanpa bukti-bukti empirik, kita bebas menafsirkannya siapa ketiga tokoh itu yang begitu melegenda dalam kisah Mahabarata yang sangat heroik. Bahkan, kita boleh saja menganggap tiga tokoh tersebut masih tetap hidup. Bahkan, mereka sesungguhnya selalu hidup dan mengikuti kehidupan kita sejak zaman merdeka tahun 1945, Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi, hingga orde-orde di masa mendatang.Kehadiran ketiga tokoh itu tidak hanya muncul di depan publik, tetapi pada individu-individu. Pribadi kita seringkali didatangi Semar, di lain waktu dikunjungi Batara Guru, dan sering pula disinggahi Togog. Kehadiran mereka bergantung pada seberapa besar volume kita melakukan kebaikan dan kemunkaran, serta kemaslahatan atau kemudaratan. Konon, di zaman paling modern sekarang ini, Semar lebih suka tinggal di negara-negara yang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berekonomi lebih baik. Oleh karena itu, Semar lebih kerap muncul di Orchad Road Singapura untuk berbelanja, kadang muncul di Malaysia dan Brunei. Ia kerap menjadi dosen tamu universitas terkenal di Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Ia lebih suka menitipkan tanah airnya, Indonesia, kepada kakaknya, Togog dan Batara Guru.Kedua tokoh terakhir justru sangat aktif mengampanyekan teorinya tentang pehul (peot hulu) dan dehul (gede hulu). Selain berceramah di berbagai perguruan tinggi terkenal, Togog dan Batara Guru juga sangat aktif melakukan demonstrasi dan presentasi di depan masyarakat tentang kepengecutan dan kesombongan. Mereka selalu membanggakan tumbuhnya sikap ketakutan berbuat baik dan keberanian berbuat aniaya. Itulah sebabnya, buah amalnya senantiasa melimpah dan terus dipanen, yaitu bencana melulu. (Wakhudin)

Negeri yang Sakit

MERELAI Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) bagi televisi dan radio swasta seakan-akan najis dan haram. Menyiarkan kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dinilai tidak reformis, sentralistis, tidak demokratis, tidak bermutu, dan seterusnya. Alasannya, rakyat saat ini sudah cerdas dan pintar. Tidak saatnya lagi mereka terus dicekoki pemerintah.Tetapi aneh, sementara menolak TVRI dan RRI, kita justru merelai Voice of America (VoA). Kita mesti menerima berbagai berita dari ujung dunia dengan kultur yang amat jauh berbeda. Saking seringnya menyaksikan dan mendengar berita soal salju, misalnya, kita pun jadi rindu musim salju. Padahal, negeri kita bermusim tropis, tak ada salju kecuali di puncak Gunung Jayawijaya di Provinsi Papua. Saking inginnya melihat salju, kita pun amat bangga dan bersuka cita menikmati salju buatan, seakan-akan hidup di negeri Barat.Karena arus informasi semakin timpang, semua yang berbau Barat seakan terasa modern, elegan, bagus, rasional, dan terbaik. Iklan makanan dengan menyebut American taste membuat air liur kita keluar, ngiler, seakan-akan bercita rasa tinggi. Mobil, motor, dan mesin kalau tidak menggunakan oli buatan negeri sono sekan-akan bunyinya lebih kasar dan cepat rusak. Sebaliknya, menggunakan produk mereka bunyi mesin seakan-akan nyaris tak terdengar, lembut, dan mesin awet meskipun dibawa ngebut.Ini tentu tabiat kita yang aneh dan sakit, sebagaimana tetangga saya yang menderita jantung koroner akibat penyempitan pembuluh darah. Saat orang lain hareudang dan berkipas-kipas setelah Bandung lama tidak turun hujan dan kepanasan, dia justru mengenakan jaket. Katanya, kedinginan. Sebaliknya, saat orang lain kedinginan dan merasa nyaman berselimut, dia malah berkeringan dan kepanasan. Perasaannya baru kembali normal setelah dia menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta.Negeri kita jangan-jangan sakit seperti tetangga saya. Rakyat semakin alergi terhadap berbagai slogan yang membangun. Kata-kata "kesatuan dan persatuan", "ideologi bangsa", "Pancasila", "gotong royong", "sopan -santun", tidak lagi populer. Yang haram menjadi seakan-akan halal. Sebaliknya, yang haram seakan-akan menjadi halal. Cobalah Anda berpura-pura ngotot mengatakan bahwa poligami adalah halal dan boleh, maka sekian mata kemudian melotot, mengutuk. Sebaliknya, menggandeng pasangan baru tanpa menikah karena sudah lama menjomblo, kemudian masuk kamar hotel bersama, menjadi kebanggaan. Para selebriti yang demikian dengan bangga masuk dalam acara gosip. Bahkan, saat hamil di luar nikah pun, dia tidak merasa bahwa peristiwa yang menimpanya adalah aib. Lain waktu ia muncul lagi dengan pasangan baru, tanpa menikah lagi.Duh... Gusti Allah...! Dunia kita sudah terbalik-balik. Bagaimana mungkin kita dapat maju jika kita tidak mengenai apa sejatinya kemajuan itu. Yang kita sangka kemajuan, justru itulah kebangkrutan. (Wakhudin)

Musik dan Menyanyi

JIKA ada survei tentang sesuatu yang paling mendapatkan perhatian orang modern, maka musik dan menyanyi kemungkinan mendapatkan angka tertinggi. Bahkan, minat masyarakat terhadap lagu dan musik lebih tinggi daripada minat terhadap persoalan ekonomi, politik, dan sosial. Perhatian masyarakat terhadap menyanyi dan musik bahkan lebih besar ketimbang perhatian mereka terhadap Tuhannya. Dua kegiatan ini tanpa disadari dapat menjadi thaghut, tuhan baru.Orang modern sangat senang terhadap nyanyian dan musik ini, tua maupun muda, di kampung maupun di kota, dalam keadaan senang ataupun duka. Perhatikanlah pergelaran musik, apa pun jenisnya, pop, dangdut, jaz, kecuali musik tradisi, peminatnya begitu massal. Jangankan pertunjukan gratis, bahkan harus membayar pun penonton selalu membeludak. Tak jarang terjadi kerusuhan bahkan saling injak gara-gara penontonnya yang tidak tertampung dalam suatu ruang yang luas.Menyanyi dan mendengarkan musik menjadi menu masyarakat modern, baik saat bekerja, istirahat, makan, dan menjelang tidur. Maka kita menyaksikan, lomba menyanyi dan musik begitu diminati sehingga pesertanya antre panjaaaaang...! Itu menunjukkan betapa besarnya magnet menyanyi dan musik bagi masyarakat, melebihi segalanya.Lalu salahkah musik dan nyanyian? Tentu tidak. Ia adalah produk manusia. Jika harus dicari mana yang benar dan salah, maka manusialah yang benar dan salah itu. Setidaknya kini kita semakin menyadari bahwa musik dan nyanyian mampu menyedot perhatian manusia sedemikian dahsyat. Maka kita dapat menyaksikan kampanye dan propaganda calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif selalu mengundang penyanyi dan pemusik terkenal. Ketidakbecusan dan omong kosong mereka pun segera tertutupi oleh nyanyian dan musik. Sebaliknya, calon pemimpin yang memiliki komitmen kuat membangun masa depan, jika tanpa disertai nyanyian dan musik, jangan harap kampanye mereka dihadiri massa. Ajaib, musik dan nyanyian memang memiliki daya magis dan mampu menghipnotis.Berbahagialah para pencipta musik dan nyanyian, meskipun honor karya mereka tidak begitu menjanjikan. Setidaknya, hasil karyanya memiliki peluang besar digandrungi dan digilai penggemarnya. Bisa jadi, para penggubah lagu dan musik sesungguhnya memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan institusi keluarga atau sekolah dalam soal pendidikan? Apa pun syair lagu yang mereka karang, dalam waktu cepat menjadi hafalan masyarakat. Orang begitu fasih melafalkan setiap kata, “Oo, kamu ketahuan...!” daripada melafalkan kata-kata yang ada dalam kitab suci. Saat sudah bosan suatu lagu, para penyanyi parodi sudah siap mengganti syairnya dengan kata-kata yang memungkinkan masyarakat tertawa. Ya, menyanyi menjadi bagian masyarakat modern. Sedih dan tidak punya uang sekalipun tetap menyanyi, apalagi senang dan banyak uang. Padahal, setelah itu mau apa? Tak peduli. (Wakhudin)

Membunuh Anak

MENGAJUKAN syarat tertentu sebelum menikah merupakan hal lumrah. Tapi syarat yang diajukan Dewi Amba sangat aneh. Dia minta untuk tidak dikomentari oleh suaminya, apa pun yang ia lakukan setelah menikah. Syarat pun disetujui, sehingga resmilah Dewi Amba menjadi permaisuri Sentanu, raja digdaya dari Astina. Dari pernikahan yang bahagia ini, setiap tahun Dewi Amba hamil dan melahirkan. Anehnya, setiap hamil dan melahirkan, Dewi Amba kemudian membunuh bayinya dengan cara membenturkan kepala bayi ke tembok dan mayatnya kemudian dibuang ke Sungai Gangga.Sebelum membunuh anaknya yang ketujuh, Raja Sentanu sudah tidak tahan menahan perasaan. Ia pun bertanya kepada Dewi Amba apakah anaknya yang ketujuh juga akan dibunuhnya. Istrinya pun mengiyakannya. Mendengar jawaban tersebut, Raja Sentanu murka dan berkata, "Siapakah engkau sebenarnya? Apakah engkau penjelmaan iblis sehingga tega membunuh anak-anakmu sendiri?" Menanggapi kemarahan suaminya, Dewi Amba pun mengingatkan janji suaminya untuk tidak berkomentar apa pun yang ia lakukan. Tapi Sentanu sudah benar-benar tidak tahan dan terus mempersoalkan kelakuan istrinya. Mendengar desakan suaminya, Dewi Amba kemudian menceritakan bahwa dirinya sebenarnya seorang bidadari yang bersama enam saudaranya para parasu dikutuk para dewa. Mereka bisa kembali ke Kahyangan setelah menjelma terlebih dahulu menjadi manusia. Bayi yang dikandung Dewi Amba sebetulnya saudara-saudaranya sendiri. Mereka dibunuh dan dilempar ke Sungai Gangga sebetulnya sekadar mengantar mereka kembali ke Kahyangan. Namun pembunuhan terhadap bayinya yang ketujuh gagal, karena suami mencegahnya. Menghadapi jalan buntu seperti itu, Dewi Amba pun menyerah. Ia akhirnya menitipkan anak terakhir yang juga saudaranya kepada suaminya, Prabu Sentanu. Anak yang dititipkan ke suaminya diberi nama Raden Gangga atau setelah besar bernama Bisma. Membaca berita pembunuhan tiga bocah --Faras (6), Nazhif (3), dan Umar (7 bulan)-- yang dilakukan Ny. AKS (31) yang merupakan ibunya, saya teringat kisah lahirnya Bisma di atas. Bahkan saya berharap, kisah seperti itulah yang terjadi. Tapi tentu mustahil. Yang jelas, jika benar ibunya yang melakukan pembunuhan itu, pasti dilatarbelakangi oleh kehidupan yang luar biasa. Saya bisa menduga, problematika yang sangat pelik itu berkaitan dengan kehidupan modern yang makin kompleks. Itulah sebabnya, modernitas harus senantiasa dikawal moralitas. (Wakhudin)

Kesrakat

Oleh WAKHUDINGARA-GARA dalam sekuel perwayangan ditandai dengan bumi gonjang-ganjing dan langit terlihat kerlap-kerlip menyala, sehingga menyilaukan mata. Hujan pun turun di luar musim, gempa bumi terjadi tujuh kali dalam sehari, lautan meluap, petir terus-menerus menyambar. Kawah Candradimuka menggelegak, sehingga apinya menjilat marcapada dengan suara gemuruh dan sangat menakutkan. Begitu gara-gara mulai reda, muncullah dua bocah bajang kembar yang hanya mengenakan cawat dengan kepala dugul. Keduanya saling sesumbar. Yang satu, meski hanya membawa sebatang lidi, mengaku mampu menyapu seluruh jagat. Sementara, si bajang kedua meski hanya membawa satu tempurung, ia berjanji mampu mengeringkan lautan. Alih-alih bekerja sesuai janji, kedua bocah bajang ini justru terus gontok-gontokan di tengah jalan, sehingga malah menambah kisruh keadaan.Begitu gara-gara padam, gamelan pun turun satu oktaf, dari patet 6 menjadi patet 9, sehingga suasana terkesan santai. Muncullah para punakawan yang turun dari Kahyangan untuk ngebodor dan menghibur penonton. Suasana menghibur bukan akhir dari cerita, sebab itu merupakan awal perang kembang, di mana seorang ksatria dihadang para buta yang dipimpin Cakil. Meskipun perang kemudian dimenangkan si ksatria, mereka memerlukan dua perang lagi untuk mengakhiri kisah dengan happy ending.Ibarat wayang, Indonesia saat ini berada pada sekuel gara-gara. Semua jenis bencana yang disebutkan dalam gara-gara benar-benar terjadi. Begitu bencana sedikit mereda, anak-anak bajang pun unjuk gigi dengan berpura-pura jadi politisi. Mereka mengumbar janji dengan dalih demi kesejahteraan rakyat. Ujung-ujungnya, mereka hanya saling menyomasi, interpelasi, berkoalasi, demi sesuap nasi. Sementara rakyat tetap melarat dan bahkan kesrakat.Ya, kita sekarang berada dalam sekuel gara-gara. Musik masih kencang, belum ada tanda-tanda turun satu oktaf. Rakyat benar-benar kesrakat, mereka tidak hanya miskin dan fakir, melainkan di bawah itu. Miskin dan fakir, artinya mereka memiliki pendapatan, tapi sangat kurang, sehingga kehidupannya di bawah batas hidup yang layak. Sedangkan kesrakat, mereka tidak punya pendapatan dan tidak lagi punya jalan keluar.Lihatlah korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, rumahnya tenggelam, sumber mata pencaharian hilang, uang ganti rugi tak kunjung dibayarkan. Meskipun tidak setragis korban Lapindo, keluarga-keluarga di seluruh provinsi, termasuk Jawa Barat, juga banyak yang kesrakat. Mereka tidak punya ijazah, yang sudah bekerja pun diputus hubungan kerja, skill pun tiada, hanya istri dan anak-anak yang harus dinafkahi. Utang ke warung dan ke tetangga sudah tak dipercaya. Rasulullah Muhammad saw. bersama para sahabat juga pernah mengalami masa-masa kesrakat seperti ini. Saat tokoh-tokoh masyarakat Mekah begitu marah terhadap Nabi Muhammad dengan ajaran barunya, Hamzah r.a. dan Umar bin Khattab r.a. justru malah masuk Islam. Itulah sebabnya, Rasulullah bersama para sahabat kemudian diembargo. Seorang Islam tidak boleh keluar dari wilayah yang diisolasi, sementara orang di luar mereka tidak seorang pun diizinkan masuk menemui nabi dan sahabatnya.Isolasi ini berlangsung selama tiga tahun, dari tahun ke-7 hingga tahun ke-10 dari kenabian. Maka kelaparan pun merebak di kalangan kaum Muslimin. Setiap saat terdengar tangis bayi dan ibunya yang kelaparan. Setelah seluruh cadangan makanan habis, mereka makan seadanya, bahkan sekadar daun-daunan yang tumbuh di Kota Mekah. Bagi Rasulullah dan para sahabat, kesrakat justru menjadi modal. Kesengsaraan menjadi cambuk untuk bangkit, bukan malah putus asa. Justru setelah diembargo, Rasulullah siap menyebarkan Islam secara terang-terangan ke seluruh penjuru dunia. Bagi bangsa Indonesia, masa-masa kesrakat dan gara-gara seperti ini mestinya juga menjadi cambuk untuk bangkit. Dan semua pakar sepakat bahwa kunci kebangkitan adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai upaya menuju ke arah ini sudah dilakukan. Tapi sayangnya, kemajuan iptek yang kita ciptakan justru membangkitkan selera. Seperti makan-minum yang enak, hidup nyaman dan mewah. Meski demikian, bangkitnya selera tidak diikuti dengan proses pancapaian menuju hidup nyaman itu. Kita maunya langsung enak, tanpa terlebih dahulu merasakan kesrakat. Jika ini terus yang kita jalani, niscaya masa gara-gara masih akan berlangsung lama.

Karakter

SAAT luka di tubuh Bisma menganga akibat panah Srikandi, napasnya sesak pertanda ajal semakin dekat. Maka, para cucunya, Pandawa dan Kurawa yang tengah berseteru dikumpulkan. Ia pun meminta ditidurkan di tempat yang paling nyaman. Para Kurawa segera mengambil kasur dan bantal yang paling empuk, tetapi Bisma menolak. Pandawa segera mengambil potongan-potongan besi dan baja bekas senjata yang patah dalam perang, kemudian membaringkan ksatria yang sudah renta itu di atasnya. Sang maharesi itu pun kelihatan tenteram dan menyatakan terima kasih kepada Pandawa.Saat tiduran, Bisma pun meminta diambilkan air minum. Maka, para Kurawa dengan sigap mengambilkan berbagai minuman terbaik yang selama ini menjadi kegemarannya. Mereka membawa sirop yang paling murni dan tanpa bahan pengawet, sebagian membawa red wine, dan sebagian lain membawa minumal beralkohol. Tentu saja Putra Dewi Gangga ini menolaknya. Sebaliknya, saat para Pandawa menyodorkan air bekas cucian senjata perang, Bisma justru meminumnya dengan lahap.Bisma adalah seorang ksatria yang berkarakter. Sesungguhnya, ia adalah pewaris sah Astina dari ayahnya, Sentanu. Karena ayahnya menikah lagi dan berjanji akan mewariskan takhtanya kepada anak dari istri barunya, ia pun mengalah. Ia ikhlas sekadar menjadi resi dan menjaga Astina dari berbagai gangguan musuh. Maka, yang menggantikan Sentanu adalah Abiyasa, adik tiri Bisma. Abiyasa inilah yang kemudian melahirkan Pandawa dan Kurawa yang kemudian berperang satu dengan yang lainnya yang dikenal dengan Perang Baratayuda. Bagi Bisma, baik atau buruk yang memimpin Astina, ia akan membela Astina. Dia tidak membela Kurawa atau Pandawa, melainkan ia maju berperang demi membela tanah air kelahirannya. Karena sikapnya itulah, Bisma disegani oleh siapa pun, baik para Pandawa maupun Kurawa. **Coba bandingkanlah perilaku masyarakat dunia terhadap bangsa Indonesia. Istri Atase Pendidikan Kedubes RI di Kuala Lumpur, Musliana Nurdin ditahan aparat Rela (sejenis kamra/keamanan rakyat) Malaysia, menjelang Lebaran. Di akhir Agustus, wasit karate Donald Luther Colopita juga dianiaya polisi Malaysia, dengan tuduhan sebagai TKI ilegal. Ratusan, bahkan ribuan TKI lainnya yang menjadi pembantu rumah tangga pun mengalami penderitaan akibat dihina, disiksa, bahkan sebagian tewas karena disiksa majikan atau bunuh diri akibat tidak tahan mengalami derita di negeri jiran. Bangsa Indonesia pun bereaksi keras. DPR RI bahkan mempertimbangkan kemungkinan melaporkan Malaysia ke Komisi HAM PBB. Sebagian lain mengusulkan untuk memutus hubungan diplomatik dengan negara tetangga itu. Bahkan, kalimat-kalimat kasar yang sering kita ucapkan di masa lalu, ”Ganyang Malaysia...!” terpaksa kembali diucapkan.Peristiwa penghinaan, pelecehan, dan tindak kekerasan terhadap bangsa Indonesia tidak hanya dilakukan Malaysia, tetapi juga negara-negara lain yang menjadi tujuan tenaga kerja Indonesia (TKI). Bangsa-bangsa di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan negara-negara kaya lainnya juga sudah lama memperlakukan hal yang sama terhadap anak-anak bangsa. Bangsa Indonesia diperlakukan sebagai manusia kelas dua bahkan kelas tiga, sebagian dijebloskan sebagai pelacur bahkan diperlakukan sebagai budak yang bisa dijualbelikan.Haruskah kita ”mengamuk”, memutus hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat itu, ataukah kita memperlakukan warga negara mereka yang di Indonesia setara dengan yang mereka lakukan, seperti melakukan sweeping terhadap warga negara asing? Kalau kita menuruti hawa nafsu seperti itu tentu kita semakin terjebak ke dalam perilaku yang kontraproduktif. Bahkan, pada gilirannya Indonesia akan menjadi bangsa yang dikucilkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia.Tidak hanya dalam ketenagakerjaan, dalam percaturan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, Indonesia juga terus menjadi bulan-bulanan bangsa asing. Secara politis, Indonesia tak lebih sebagai subkultur dari politik asing, yang ujung-ujungnya kita hanya menjadi bangsa pembebek, bahkan bisa jatuh menjadi bangsa kuli. Apalagi secara ekonomi, bangsa ini semakin bergantung kepada bangsa-bangsa lain yang maju. Ketergantungan ini menyebabkan ketergantungan yang lain, termasuk bidang sosial dan budaya. Akibatnya, masyarakat semakin tercerabut dari kebudayaan akar rumput, sementara mengadopsi kultur bangsa lain tidak dilakukan sepenuh hati. Akibatnya lebih lanjut, Indonesia menjadi bangsa yang tanggung dan kokod monongeun.Olah raga merupakan bidang yang sangat objektif mencerminkan kondisi riil bangsa Indonesia. Nyaris semua cabang olah raga kita cenderung terus merosot. Jangankan di tingkat internasional, bahkan level ASEAN pun kita terus dijepit oleh Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan bahkan Vietnam. Kebanggaan terhadap para atlet nasional dan lokal semakin rendah. Kita lebih mendewa-dewakan pemain asing, meskipun minim prestasi. Mengapa kita menjadi bangsa yang dihina dan direndahkan bangsa lain? Kata kuncinya, bangsa Indonesia tidak menghargai kepada diri sendiri. Kita tidak bangga menjadi bangsa Indonesia. Kata Dr. Eep Saepullah Fatah, ”Saya justru malu menjadi bangsa Indonesia.” Kalau kita tidak menghargai kepada bangsa sendiri, bagaimana mungkin bangsa lain menghargai kita? Dies Natalis ke-53 UPI Bandung merupakan mementum penting untuk membangun kembali peradaban bangsa yang dimulai dari pembangunan bidang pendidikan, khususnya pembangunan karakter bangsa. Salah satu caranya adalah dengan menggelorakan semangat kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. (Wakhudin)

Kalla

DALAM mitos pewayangan, "Kalla" berkonotasi buruk, yakni Batara Kalla. Ia anak Batara Guru dari istrinya Batari Durga yang berwajah raksasa jahat. Pekerjaannya adalah memakan manusia yang lahir dengan keadaan tertentu namun belum diruwat. Itulah sebabnya, tradisi ruwat di berbagai daerah masih ada, meskipun skalanya semakin menyempit. Wakil Presiden RI bernama Jusuf Kalla. Tentu, nama "Kalla" di belakangnya bukan bermakna "Kalla" dalam mitos pewayangan di Jawa. Kalla justru diambilkan dari nama ayahnya, seorang pengusaha terhormat dan kaya raya di Sulawesi Selatan. Jauh sebelum menjadi wakil presiden, nama Kalla sudah terkenal sebagai pengusaha nasional. Di kalangan wartawan ibu kota, nama "Kalla" juga sangat beken. Bahkan saking terkenalnya, nama Kalla kemudian menjadi "mata uang" di kalangan para jurnalis untuk menunjuk angka Rp 50.000,00, namun dengan cara mempelesetkannya menjadi "kalai". Untuk mengatakan Rp 100.000,00 misalnya, wartawan yang biasa meliput di bidang ekonomi akan menyebutnya dengan, "dua kalai".Posisi sebagai wakil presiden menambah dia semakin termasyhur. Tidak perlu banyak bekerja, sebagai wapres itu saja, akan mengantar seseorang semakin terkenal. Apalagi, Jusuf Kalla bukanlah wapres seperti pada masa-masa Orde Baru yang sekadar bersifat seremonial, sebab semua keputusan strategis diambil oleh presiden. Posisi wapres yang kuat tersebut pula yang membuat kalang -kabut Mendiknas Bambang Sudibyo dan dunia pendidikan di tanah air. Pernyataan Kalla yang tidak bermaksud menyelenggarakan ujian negara (UN) ulang bagi siswa yang tidak lulus telah menimbulkan pro dan kontra yang semakin panas. Kalla mempunyai alasan kuat mengapa kelulusan siswa harus didasarkan pada UN, yakni bangsa Indonesia harus semakin maju mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Itulah sebabnya, pelajar di Indonesia harus memiliki standar kemampuan secara nasional, yaitu UN. Sayang, cita-cita Kalla memajukan pendidikan masih terbentur realitas, masih banyaknya siswa yang tidak lulus UN. Anehnya, yang tidak lulus justru mereka yang di kelasnya dikenal berprestasi. Lebih tragis lagi, penyelenggaraan UN disinyalir tidak bersih, karena banyak daerah yang membentuk "tim sukses" agar para siswa memperoleh angka UN yang bagus. Sejumlah pihak yang tidak puas dengan UN kini terus menuntut Kalla untuk "meruwat" mereka dengan cara UN ulang atau meniadakan sama sekali UN. Kini semua menunggu keputusan Kalla. (Wakhudin/"PR")***

Generasi Muda

PERANG Baratayudha sudah menjadi keniscayaan Sang Pencipta Alam. Bahkan para dewa pun tidak mampu membatalkannya. Tapi saat menghadapi perang, para Pandawa --Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa-- justru divonis hukuman yang memilukan, karena kalah judi. Mereka dibuang ke hutan selama 13 tahun, kemudian harus menyamar sebagai rakyat jelata selama 2 tahun. Dengan langkah gontai mereka meninggalkan negara Astina miliknya.Jika perang terjadi saat itu, maka ibarat duren melawan mentimun. Pandawa yang dalam keadaan sangat lemah akan dilumat habis oleh Astina yang sedang berada di atas angin. Sementara bagi Pandawa, tidak ada jalan lain kecuali harus memenangkan peperangan demi membela hak sebagai pewaris sah Kerajaan Astina. Mereka pun kemudian memutuskan sebuah strategi. Dalam kurun waktu 15 tahun, mereka harus menghasilkan generasi muda yang tangguh.Maka, dari Bima lahirlah Gatotkaca. Agar menjadi sakti, ia kemudian digembleng di kawah Candradimuka. Wajah dipermak dengan topeng terbuat dari perunggu, ototnya dilatih sehingga sekuat kawat, tulangnya setara dengan kerasnya besi baja. Dari Arjuna lahirlah Raden Irawan, pemuda saleh dan lemah lembut tapi dengan keberanian luar biasa. Benar juga, pada saat Perang Baratayudha berkecamuk di Medan Kurusetra, anak-anak Pandawa dan para pemudanya menguras kekuatan lawan, nyaris separuh kekuatan Kurawa. Memang, Gatotkaca tewas oleh Karna, karena pusarnya terbuat dari sarung Keris Kunta, sementara kerisnya sendiri dipegang Karna. Irawan juga gugur di medan perang dengan luka bacokan di seluruh tubuh. Tapi untuk memenangkan perang berikutnya tidak terlalu sulit, Pandawa tinggal menghabisi separuh dari kekuatan lawan. Indonesia saat ini posisinya seperti Pandawa ketika diusir setelah kalah perang. Utang menggunung lebih dari 200 miliar dolar AS. Politik nyaris tidak punya posisi tawar yang berarti, bagaikan kerbau dicocok hidungnya oleh para donatur. Rakyat miskin meninggal karena kurang gizi. Sumber daya alam sudah rusak parah, tak bisa lagi digunakan menghidupi generasi mendatang. Sayang, langkahnya tidak seperti Pandawa, menyiapkan generasi muda. Padahal, cara satu-satunya menyiapkan generasi mendatang adalah dengan pendidikan. Konstitusi telah menetapkan, minimal anggaran APBN/APBD adalah 20 untuk sektor pendidikan. Tapi eksekutif dan legislatif masih akal-akalan, berupaya mengurangi anggaran itu. Alasan diciptakan sejuta macam.Padahal menghadapi "Perang Baratayudha" berupa globalisasi dan liberalisasi tidak ada jalan lain harus melipatgandakan kekuatan generasi muda sebagaimana Gatotkaca yang digembleng di kawah Candradimuka. Tapi alih-alih generasi kini menyiapkan generasi muda, kita masih menyaksikan, generasi kita masih egois, rakus memakan semua jatah untuk generasi mendatang.

Gara-gara


GARA-gara dalam wayang ditandai dengan peristiwa bumi yang gonjang-ganjing, langit sebentar gelap sebentar terang, gempa bumi sehari tujuh kali. Hujan turun di luar musim, guntur menggelegar siang dan malam bercampur angin, air laut bergulung-gulung hingga ke daratan. Kawah Candradimuka terus bergejolak dan meluap-luap hingga menakutkan manusia di marcapada, ekor ular anantaboga terus bergerak-gerak sehingga nyaris menghancurkan pintu Selamatangkep di Kahyangan.Saat sedang puncaknya gara-gara, muncullah dua anak kembar berkepala botak. Salah satunya membawa sebatang lidi, ia mengatakan sanggup menyapu seluruh dunia. Sedangkan satunya lagi membawa tempurung kelapa, ia menyatakan diri mampu mengeringkan semua lautan. Kedua anak kembar ini bertemu di perempatan jalan, dan saling menyombongkan diri bahkan akhirnya berkelahi.Selesai gara-gara, dunia berganti dengan situasi gembira dan penuh gelak tawa. Empat orang punakawan, Dawala, Cepot, Gareng, dan Semar bercanda dan bersendau gurau. Namun kegembiraan belum usai, para buta ijo kemudian mengganggu juragan mereka, Arjuna. Setelah perang kembang, adegan berganti. Sebelum wayang selesai, terjadi lagi beberapa perang pungkasan.Indonesia kini dalam keadaan seperti digambarkan gara-gara. Berbagai bencana datang silih berganti, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, tanah longsor. Di tengah bencana muncul satu pasangan, dua orang. Yang satu menyatakan sanggup memberantas korupsi, namun yang satu malah sering mendatangkan kontroversi. Di tingkat internasional, muncul "duet dua negara kembar" Israel-Amerika Serikat. Mereka sombong ingin menaklukkan umat manusia sedunia.Berdasarkan setting wayang di atas, setelah selesai musim bencana akan datang masa tenang yang penuh gelak dan tawa. Bagi bangsa Indonesia, masa seperti itu tentu bukanlah taken for granted, ada begitu saja, melainkan harus melalui proses engineering (rekayasa secara sistematis). Situasi tenang merupakan masa yang menghargai hak-hak warga negara, humanis, religius, namun kreatif. Namun masa tenang hanya berlangsung sebentar, sebab buta ijo dari Astina Serikat (AS), Uni Alengka (UA), dan sekutu lainnya yang mereka tebar di mana-mana, tidak tinggal diam menyaksikan kita hidup makmur. Hanya dengan keteguhan hati dan tekad baja kita mampu mempertahankan jati diri dan mengusir para kolonialis itu. Menepis kebudayaan dan ideologi penjajah juga hanya bersifat sementara. Kekalahan buta ijo justru mengundang kemarahan bos-bos mereka, sehingga mereka datang dengan seluruh bala tentara. Pada saat seperti itu, kita membutuhkan para kesatria yang setara dengan Gatotkaca, Bima, dan Arjuna. Kombinasi antara kekuatan akal pikir, fisik, dan gerak lincah di lapangan. Tapi kapan kita menyiapkan generasi setangguh itu? Kita selama ini hanya tenggelam dalam gelak tawa meski gara-gara

Gapura


SAYA tidak tahu sejarahnya, mengapa setiap bangsa Indonesia memperingati hari ulang tahun kemerdekaan, masyarakat secara beramai-ramai membangun gapura. Mereka membangun pintu gerbang di depan kompleks perumahan, mulut gang, bahkan di depan rumah penduduk. Bahannya bisa terbuat dari kayu atau bambu, jarang yang menggunakan bahan permanen. Tak jarang, gapura justru mempersempit ruang yang sumpek. Apalagi, nilai seni yang ingin ditonjolkan tak sebanding dengan keindahan yang kita harapkan. Apa pun bentuk gapura yang dibangun, kita pantas memberikan apresiasi kepada mereka yang membangun gapura. Setidaknya, mereka telah berupaya membangun nilai gotong royong dalam kehidupan bersama. Kita akan memberikan nilai lebih kepada masyarakat yang membuat gapura, tidak sekadar bersifat artifisial, tapi lebih hakiki. Saya tidak peduli apa asal kata gapura. Namun, saya menginginkan agar kata itu berasal dari bahasa Arab ghafura, artinya diampuni. Maklum, bangsa ini yang merayakan kemerdekaan ke-62 tahun sudah sedemikian terpuruk, nyaris nyungsep. Kalau dirunut, semua kesalahan ini berasal dari pemegang kekuasaan yang salah dalam membangun konsep maupun melaksanakannya. Akan tetapi, penguasa pun tidak sepenuhnya salah, toh yang memilih mereka rakyat juga. Bahkan, tak jarang disodorkan banyak calon pemimpin, termasuk yang memiliki kredibilitas teknis maupun moral, namun rakyat tetap saja lebih memilih memimpin yang sekadar pemberi gula-gula.Intinya, kesalahan bangsa ini adalah kesalahan bersama. Persoalannya, bagaimana dalam usia 62 tahun ini kita mendapatkan ampunan (ghafura) atas semua kesalahan kita. Singapura, dalam beberapa hal, dapat menjadi ibrah agar kita mendapatkan ampunan itu. Kata "Singapura" sendiri dapat dipecah menjadi kata "sin" dan "gapura". Sin dalam bahasa Inggris artinya dosa, "gapura/ghafura" artinya dimaafkan. Singapura, berarti dosa yang dimaafkan. Apakah karena namanya yang demikian, sehingga negeri kota yang sedemikian kecil menjadi kaya raya? Terlepas suka atau tidak dengan Singapura, sekecil apa pun wilayah mereka, kenyataannya mereka mampu melipatgandakan semua harta miliknya. Ini kebalikan dari kebiasaan bangsa Indonesia yang seringkali memubazirkan semua kekayaannya yang melimpah.Kalau Indonesia ingin menjadi negeri yang sangat luas dan makmur, filosofi "dosa yang diampuni" itulah yang harus dipedomani. Syaratnya, pemerintah dan birokrat harus segera bertobat dari mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Rakyat pun harus masuk gapura, mencari ampunan Tuhan, Allah SWT. Jika tidak, kita akan dipermalukan anak cucu dan ditertawakan peradaban.

Flu Burung


BAHWA virus flu burung (Avian Infuenza/AI) sangat berbahaya dan mematikan, ya. Bukti nyata menunjukkan sejumlah pasien flu burung meninggal dunia, baik saat menjalani perawatan di rumah sakit maupun penderita yang tidak sempat menjalani perawatan. Penulis tak hendak menafikan ancaman mengerikan yang kabarnya terus meluas di Jawa Barat, juga di Indonesia, bahkan di belahan dunia yang lain, melainkan bermaksud menggugah kewaspadaan yang lain di balik terus mewabahnya flu burung ini.Tidak mustahil mewabahnya flu burung bukanlah taken for granted, terjadi begitu saja, melainkan by design. Ada pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan virus tersebut sembari memantaunya dengan teliti kemudian segera memublikasikannya secara luas ke media massa sehingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. Siapa pelakunya? Tidak sulit ditebak, mafia perdagangan ayam dunia. Dengan terus-menerus ditemukannnya pasien flu burung atau diduga terinveksi flu burung, masyarakat semakin takut mengonsumsi ayam atau jenis unggas yang lain. Bahkan, peternakan milik rakyat satu demi satu dihabisi untuk menghindari tertularnya virus mematikan ini. Ditemukannya tablet anti-AI dan obat-obatan yang mampu menangkal tumbuh kembangnya virus flu burung tidak cukup mematikan rasa takut akan bahaya Avian influenza ini. Setelah peternakan milik rakyat habis, tidaklah sulit para mafia perdagangan ayam mengendalikan pasokan ayam dan sekaligus harganya. Belum apa-apa DOC, semakin melambung harganya. Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga anak ayam bibit ini. Padahal rakyat Indonesia penggemar makan daging ayam, untuk konsumsi sehari-hari maupun hajatan tertentu.Apakah penulis menemukan bukti bahwa virus flu burung disebarkan oleh jaringan mafia perdagangan ayam? Tidak dan belum ada bukti-bukti. Ini tugas intelijen kita. Meski demikian, kemungkinan seperti itu tidak mustahil. Mengingat, dunia makin gila. Pujangga Keraton Surakarta menyebutnya sebagai zaman edan. Negara-negara maju sekarang ini menerapkan perdagangan tak ubahnya sebagai perang. Bahkan tidak mustahil peperangan diciptakan untuk memenangi perdagangan itu sendiri.Lihatlah perang di Afganistan, Irak, Lebanon dan Palestina, dan tidak mustahil terus meluas ke Suriah dan Iran. Propaganda yang digembar-gemborkan adalah perang melawan terorisme, sebagian lain menyebut sebagai terusan Perang Salib. Meski demikian, di balik perang itu terdapat agenda perebutan hegemoni dan sumber energi dunia, minyak bumi. Dunia benar-benar edan. Untuk memenangi perdagangan, puluhan ribu nyawa dikorbankan tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dalam kasus flu burung pun tidak mustahil seperti perang di berbagai kawasan di Timur Tengah itu. Dengan mengorbankan ratusan rakyat tak berdosa, mereka akan menguasai perdagangan ayam dunia, termasuk di Indonesia. Na'udzubillah min dzalik.(Wakhudin/"PR")

Cakil Rakyat


APA bedanya wakil dan cakil? Tentu saja huruf depannya, "w" dan "c". Cakil adalah nama sewayang (seorang) raksasa atau buta yang sangat atraktif, suka memperlihatkan kemampuannya bersalto di depan umum, sembari menghunus senjata menakut-nakuti wayang yang lain. Teman-teman Cakil adalah jin, setan priprayangan, ilu-ilu banaspati, wewe gombel, genderuwa, jerangkong, barongsai, dan tongtongsot. "Profesi" cakil adalah begal dan menodong setiap satria yang melewati hutan untuk bersemedi atau melakukan "lelaku" utama.Sedangkan wakil adalah orang yang melakukan perbuatan sesuai dengan orang (zat) yang diwakili. Semakin tepat dan presisi seorang wakil melaksanakan perbuatan yang diwakili, orang tersebut dapat disebut semakin baik. Sebaliknya, semakin jauh perbuatan seseorang dari yang diwakilinya, orang tersebut semakin cocok disebut "cakil". Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi. Artinya, manusia harus berbuat sesuai dengan sifat-sifat Allah dalam mengelola alam ini. Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang baik), merupakan parameter bagi manusia apakah ia benar-benar menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi ini atau tidak.Istilah "wakil" dan "cakil" juga dapat digunakan untuk mencandra para anggota DPR dan DPRD yang sedang dihadapkan pada dilema, mengembalikan uang rapelan atau mengambilnya, terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2006. Saya tidak akan memvonis apakah mereka wakil rakyat atau cakil rakyat. Rakyat yang diwakili sendiri yang dapat menentukan.Parameternya pun mudah, apakah anggota DPR/DPRD melakukan perbuatan sesuai yang diwakilinya atau tidak. Yang pasti, rakyat saat ini terus menerus ditimpa musibah, segala jenis musibah dari "A" sampai "Z" telah turun di negeri ini. Pada saat bencana alam sedang jeda, musibah akibat ulah langsung manusia jahanam pun turun lagi. Bom kembali meledak, bentrokan aparat-rakyat yang menelan korban jiwa, dan sebagainya. Kemiskinan terus menyebar dan meluas. Beras yang menjadi makanan pokok semakin tidak terjangkau. Beras operasi pasar (OP) yang mestinya memotong harga-harga yang dipatok spekulan justru dicaplok oknum atau penimbun. Lapangan pekerjaan terus mengalami penyempitan. Pertanian yang sepanjang sejarah Indonesia menjadi penyelamat rakyat justru ditelantarkan dan dibuat mubazir. Rakyat pun meninggalkan kampung halamannya, memilih bermigrasi, mesti keleleran di kota. Pada saat rakyat yang diwakili menderita kurang pangan dan kurang sandang, para wakilnya justru menerima rapelan dalam jumlah fantastis dan sulit dibayangkan jika dibandingkan dengan keuntungan usaha pertanian. Adalah hak anggota DPR/DPRD jika mereka bekerja setara dengan nilai rapel yang mereka terima. Bahkan, rakyat sangat berdosa jika para wakilnya sudah bekerja tapi gaji/honornya tidak dibayarkan. Mestinya, mereka dibayar selagi keringat akibat bekerja belum mengering. Persoalannya, adakah para wakil rakyat telah bekerja sesuai yang diwakilinya? Atau jangan-jangan mereka lebih tepat disebut "cakil rakyat". Terserah rakyat menilainya. (Wakhudin/"PR")

Bergetar


SAAT televisi menayangkan mobil hanyut terbawa banjir, para penonton kaget luar biasa. Entah mobil siapa yang terbalik terbawa arus. Yang jelas, mereknya begitu akrab di mata penonton dan keluaran tahun mutakhir. Maka, mobil itu seakan-akan milik mereka juga. Semua penonton merasa ikut kehilangan, menyesali, dan tentu saja selama berhari-hari kepikiran terus.Pada saat yang lain, ketika televisi menayangkan banjir dan tanah longsor, tsunami, perang, kerusuhan konser, tawuran, dan beberapa musibah lain yang menelan korban banyak jiwa, mereka juga kaget. Seketika hati pun bergetar, takut kalau di antara para korban ada anggota keluarga kita. Saat tahu bahwa tidak satu pun korban adalah anggota keluarga, legalah kita dan menganggap musibah tersebut sebagai pengetahuan. Tak lebih dari itu.Sejak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi semakin akrab dengan masyarakat. Berbagai informasi, positif maupun negatif, masuk saban waktu, lama-kelamaan menyebabkan urat masyarakat semakin kebal. Berita kematian, pembunuhan, bahkan mutilasi sekalipun menjadi menu informasi yang biasa.Maka, nyawa berubah menjadi sekadar hitungan angka-angka, mati 5 orang, 60 orang, 200 orang, bahkan 1.000 orang. Jika yang mati bukan anggota keluarga, kita tidak wajib sedih. Kita tak perlu ikut menyesali dan tak perlu ikut berdukacita. Berbeda saat yang rusak dan hancur adalah mobil atau rumah bagus atau harta benda yang selama ini menjadi impian semua orang, hati pun bergetar dan terguncang. Mobil selama ini memang menjadi idaman setiap orang, maka melihat benda itu penyok, hati kita pun ikut penyok.Bergetarnya hati dapat menjadi parameter kecenderungan seseorang terhadap sesuatu. Allah pun menggunakan getaran hati ini untuk mengukur keimanan seseorang. Dalam Q.S. Alanfaal: 2, Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah imannya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal."Oleh karena itu, ketika kita semakin mati rasa menyaksikan kesengsaraan, kematian, dan penderitaan rakyat, jangan-jangan kita tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan, setidaknya humanisme dalam diri kita semakin tipis. Sebaliknya, saat hati kita berguncang keras ketika disebut barang-barang yang bersifat duniawi, jangan-jangan kita sudah benar-benar menjadi orang yang materialis. Bahkan tidak mustahil, tanpa sadar kita telah menjadikan harta benda dan kesenangan sebagai Tuhan (thaghut). Masyarakat Barat dapat dikatakan wajar materialis (baca: konsumtif). Secara ekonomi, mereka berkelimpahan. Kalau kita, mau konsumtif dan mata duitan, tapi tak punya materi dan tak berduit. Kalau begitu, apa kita ingin sekadar mendapatkan malu? (Wakhudin/"PR")***

Minggu, 24 Februari 2008

Ujian Nasional


GATOTKACA dari Pringgandani, merupakan ksatria legendaris. Putra pasangan Bima-Arimbi ini dikenal sakti mandraguna. Ia tidak mempan kalau sekadar dipukul dengan palu godam atau ditusuk menggunakan pedang yang paling tajam sekalipun. Bahkan, mimis kalantaka (peluru) pun tidak akan mampu melukainya. Mengapa? Karena Gatotkaca sejak lahir sudah dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Sebuah tempat paling buruk yang digambarkan sebagai tempat penyiksaan bagi makhluk yang dianggap tidak taat kepada para dewa. Begitu lahir, bayi yang diberi nama Jabang Tetuka ini dibawa para dewa ke Kahyangan untuk dijadikan ksatria sakti. Caranya, bayi yang masih berwarna merah itu dilempar ke dalam api besar yang menyala-nyala. Anehnya, bayi itu tidak meninggal. Maka para dewa yang jumlahnya 30 orang dan berwatak 9 macam itu menyerang bayi Tetuka dengan berbagai senjata yang dimilikinya. Semua pedang, golok, tombak, keris, bahkan senjata pemusnah masal pun disarangkan ke dalam tubuh Gatotkaca. Ajaib, Tetuka justru malah mampu merangkak, tersenyum, bahkan keluar dari kawah dalam keadaan mampu berbicara. Berbagai senjata yang ditusukkan ke dalam raganya justru menjadi kekuatannya. Dalam kehidupan nyata, rumus Kawah Candradimuka itu dapat dikemukakan bahwa, semakin mampu seseorang mengatasi keadaan paling sulit, maka semakin tinggi tingkat kemampuannya untuk survive. Sebagaimana Gatotkaca yang mampu mengatasi masalah yang tingkat kesulitannya ultimate dalam usia paling dini, ia menjadi ksatria paling terkenal di Pandawa. Alquran pun menyatakan, semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula Allah mengangkat derajat orang tersebut.Pada kenyataannya, semakin tinggi ilmu, semakin sulit diraih. Orang yang mampu meraih derajat yang lebih tinggi tentu telah melampaui tingkat kesulitan yang lebih tinggi pula. Derajat yang tinggi tersebut sebagai buah dari "derita" dan pengorbanan yang didedikasikan bagi pencarian ilmu tersebut.Ketika Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menetapkan ujian nasional (UN) bagi siswa SMP/MTs/SMA/MA/SMK dan terakhir bagi siswa SD/MI, sesungguhnya pemerintah telah menetapkan suatu tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari sekadar ujian tingkat sekolah, ujian tingkat kota/kabupaten atau provinsi. Seseorang yang lulus dalam UN berarti memiliki "derajat" yang lebih tinggi daripada yang lulus ujian lokal. Maka wajar jika untuk meraih nilai UN yang bagus diperlukan tingkat "derita" dan keprihatinan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan ujian lokal. Maka kita dapat mengatakan, kalau kita menolak UN karena takut menghadapi kesulitan, itu artinya kita menolak tingkat derajat yang lebih tinggi. Bahwa dalam praktik terdapat banyak penyimpangan, itu adalah masalah lain yang harus secara bersama-sama ditanggulangi. Atau, misalnya, banyak siswa yang tidak lulus, itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi siswa. Hidup memang tidak selamanya mulus, ada pahit dan manis. Kedua-duanya adalah alat belajar. Hanya orang bijaklah yang mampu memaknainya demi peningkatan derajat tersebut. Seandainya Gatotkaca tidak pernah dimasukkkan Kawah Candradimuka, maka ia tak lebih dari Cepot atau Dawala. (Wakhudin)