Sabtu, 07 Januari 2012

Ke Mana Engkau, Wahai Jurnalisme Mabrur?


Oleh H. WAKHUDIN

IDULADHA merupakan ritual yang agung. Menapaki sejarah Bapak Para Nabi, Ibrahim a.s. dan Ismail. Kaum Nasrani menyebut itu kisah Nabi Ishak. Makna di balik ritual juga begitu besar. Ada solidaritas sosial, pentingnya berbagi, pentingnya kolesterol dan lemak bagi si miskin, dan banyak makna mendalam lainnya. Dalam empat hari, jutaan ton daging dibagikan secara gratis kepada kaum papa.
Tapi apa yang diberitakan TV, Koran, radio, internet serta media kita? Berita ecek-ecek. Ditemukan cacing dalam hati sapi kurban; Sejumlah hewan kurban diketahui mengandung antrax; Rusuh, penerima kurban berdesak-desakan; Hewan kurban mengamuk saat akan disembelih; Tukang jagal tertusuk pisau sendiri saat akan menyembelih hewan kurban; Jatuh korban pada penyembelihan kurban; Takut rusuh, pembagian hewan kurban dialihkan subuh. Semua berita itu tak satu pun yang mencerminkan keagungan Iduladha. Bahkan terkesan, Iduladha menyebabkan bencana.
Penulis betul-betul mengeluh. Padahal, sebagian besar wartawan dan redakturnya adalah umat beragama. Tapi tanpa sadar mereka tidak menjadikan momentum Iduladha sebagai syiar agama. Tapi justru menorehkan noktah pada citra agama. Keluhan seperti ini sesungguhnya tidak saja terjadi saat Iduladha, tapi juga dalam kehidupan di hari lain. Saat Idulfitri, misalnya, media kita sangat produktif memberitakan secara simplistik: Gara-gara Idulfitri, Pantura macet total; Gara-gara Idulfitri, harga bahan pokok terus melonjak; Gara-gara Idulfitri, kecelakaan meningkat.
Islam dan umat Islam dalam citra media di seluruh dunia memang terus dipojokkan. Sejak isu terorisme diluncurkan, semua tangan menuding umat Islam biangnya. Meskipun sederet fakta menunjukkan ada teroris yang lebih hakiki, tetap saja umat Islam menjadi objek penderita. Umat Islam sendiri yang menyusun agenda setting media tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya turut memproduksi informasi yang tidak proporsional ini. Umat Islam sendiri sangat produktif menghasilkan informasi buruk tentang Islam dan dunia Muslim.
Fakta lain menunjukkan, berita dari dunia Muslim selalu perang, saling mengebom antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Semua dilihat dari sisi buruknya. Tapi kalau dari Barat, informasinya tentang peluncuran film terbaru, produk teknologi mutakhir, pertandingan bola yang seru, dll. Hanya saja belakangan memang dunia akan berbalik. Barat menuju kebangkrutan. Ekonomi mereka melesak, dimulai dari Yunani akan merembet ke Uni Eropa. Amerika Serikat juga pertumbuhan ekonominya terus merosot hingga 2,5%.
Tulisan ini hanya bermaksud mengingatkan bahwa bermedia itu sangat penting. Kebatilan dan keburukan yang diulang-ulang seribu kali di media bisa berubah menjadi kebenaran dan kebaikan. Dengan pemberitaan yang diulang-ulang, dengan berbagai media, bahwa Iduladha adalah rusuh, Iduladha adalah bencana, maka lama kelamaan tercipta bayangan bahwa Iduladha adalah benar-benar bencana. Maka bagi umat Islam, mengembangkan media untuk dakwah menjadi titik strategis. Umat Islam tidak bisa mengabaikan media sebagai salah satu pilar kehidupan berekspresi.
Berita buruk lebih mudah dijual ketimbang informasi yang bersifat positif. Mereka menyebut bad news is good news. Tapi paradigma ini tidak selamanya benar. Banyak berita postif juga menarik diikuti. Semua tergantung dari bagaimana mengemasnya. Informasi sepele yang dikemas baik juga menarik. Yuni Shara pisah dengan Rafi sangat adalah persoalan sangat pribadi dan bukan persoalan umat, tapi informasi ini menarik dan dikonsumsi jutaan pemirsa.
Persoalannya, bagaimana visi dakwah dan syiar bisa memegang kendali melakukan agenda setting media itu? Caranya, umat Islam harus membangun sistem media sendiri. Setidaknya, media yang bisa dikonsumsi sendiri. Itulah sebabnya, penulis manawarkan gagasan tentang Jurnalisme Mabrur, yaitu jurnalisme yang mampu memberikan inspirasi bagi orang lain untuk berbuat baik. Media yang mabrur adalah media yang bertanggung jawab.
Jurnalisme saat ini pada umumnya berkaitan dengan industri, maka jurnalisme memiliki paradigma tersendiri yang dapat mendorong agar produk yang dihasilkannya dapat dijual. Maka berbagai persoalan yang bersifat populair selalu menjadi objek pembahasan. Itulah sebabnya, media pada umumnya ber­paradigma bahwa bad news is good news, berita buruk adalah beria yang baik. Sebab, berita buruk biasanya lebih menarik ketimbang berita tentang kebaikan. Kecelakaan yang menyebabkan tewasnya 50 orang, misalnya, adalah berita yang bagus ketimbang berita tentang arus lalu lintas yang lancar. Itulah sebabnya, insan media sering diibaratkan dengan “burung pemakan bangkai”. Mereka akan melahap habis seluruh berita buruk sampai “ke tulang-tulangnya”, namun mereka tidak “doyan memakan” peristiwa yang baik. Saat seseorang sukses, wartawan tidak suka memberitakannya, sementara saat terjadi peristiwa buruk, wartawan selalu mem­beritakannya sampai tuntas.

Kata mabrur berasal dari kata “barra” atau “birru”, artinya baik. Kata “birrul walidain” atau berbuat baik kepada kedua orang tua, diambil dari kosa kata yang sama, “birru” atau “barru” itu. Itulah sebabnya, kemabruran haji tidak terbatas saat jemaah sedang melaksanakan ritus haji di Tanah Suci, melainkan terus ditumbuhsuburkan saat mereka kembali ke tanah air, dan buahnya dapat dipetik oleh masyarakat sekitar.

Itu artinya, jemaah haji yang mabrur adalah sumber daya manusia Indo­nesia yang secara spiritual telah terbarukan dengan proses daur ulang melalui proses ritus haji. Sebab, jemaah yang meraih haji mabrur siap berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan dirinya, keluarga dan handai tolan, lingkungan sekitar, dan untuk kejayaan bangsanya. Menilai seseorang mabrur atau mardud (ditolak) memang hak Allah, tapi kalau seseorang yang sudah berhaji tidak juga mengubah perilakunya yang buruk, maka itu pertanda hajinya ditolak. Dan orang lain dapat merasakan dampaknya.

Maka, jurnalisme mabrur tak berbeda dengan jurnalisme yang bertanggung jawab. Artinya, jurnalisme yang bebas memberitakan apa pun. Tapi kebebas­annya dibatasi oleh diri sendiri hanya memberitakan segala sesuatu yang dapat mendorong masyarakat berbuat yang terbaik, dan menghentikan peristiwa buruk.

Jurnalisme mabrur sesungguhnya merupakan bagian dari jurnalisme pada umumnya yang bergelut dengan industri. Itulah sebabnya, jurnalisme mabrur juga tidak boleh steril dari persoalan yang sedang trend dan popular di dalam masyarakat. Meski demikian, menurut hemat penulis, jurnalisme mabrur harus didasarkan pada paradigma yang berbeda. Jurnalisme pada umumnya berpara­digma bahwa bad news is good news, sedangkan jurnalisme mabrur harus berpara­digma bahwa apa pun berita dan informasi yang disampaikan harus mampu meng­inspirasi penerima informasi untuk berbuat baik.***

Penulis, jurnalis senior.

HPN Kupang: PWI Rilis 17 Buku Karya Wartawan

Jakarta (Rakyat Merdeka) – Sebanyak 17 buku dilaunch pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 9 Februari lalu
Belasan buku karya para jurnalis itu dipersembahkan sebagai bakti PWI kepada negeri dalam rangka penguatan sumber daya insani.
Penerbitan buku ini adalah bukti komitmen kuat PWI untuk menata kecerdasan bangsa agar lebih demokratis dan berperadaban.
Ketua Umum PWI Margiono menegaskan, peringatan Hari Pers Nasional 2011 harus dijadikan momentum untuk melecut insan pers melahirkan karya-karya yang bermanfaat, baik bagi masyarakat pers sendiri, maupun bagi bangsa dan negara.
Hal tersebut, tambah Margiono, merupakan tujuan yang relevan dan aktual untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam kata sambutan di semua buku yang diterbitkan, Margiono mengatakan, tujuan tersebut tercapai apabila pers nasional memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi serta senantiasa mau terus belajar, membaca, menulis bahkan menulis buku.
“Oleh karena itu kita patut bersyukur menyambut baik atas terbitnya sejumlah buku karya wartawan dan tokoh pers nasional yang sengaja diluncurkan dalam menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2011 ini,” kata Margiono.
Pernyataan Margiono tersebut diamini oleh Ketua Pelaksana Hari Pers Nasional 2011 Priyambodo RH.
“Khusus Hari Pers Nasional 2011 menfokuskan pula kegiatan melek media (media literacy) dan pengembangan potensi kepulauan,” ujar Priyambodo.
Dijelaskan Priyambodo, 17 buku yang diterbitkan sepenuhnya ditulis oleh para wartawan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Sebut saja buku; Bila Parodi Diadili karya Karim Paputungan, Off The Record, Kisah-kisah Jurnalistik dari Lapangan & Meja Redaksi Surat Kabar racikan Zaenuddin HM. Berikutnya, buku Jurnalisme Haji yang disunting Wakhudin.
Ada juga yang khusus menilik bahasa visual, Politik Santun dalam Kartun yang digarap Misrad dan Ratna Susilowati serta buku Jurnalisme Karikatur karya Gatot Eko Cahyono.
Dalam paket penerbitan buku ini tak ketinggalan buku yang menegaskan kearifan lokal, seperti Wartawan NTT Bicara, yang disunting Tony Kleden.
Selebihnya buku-buku tersebut diracik, karena kedalaman para wartawan tanah air atas berita, baik nasional maupun internasional. Selain buku-buku konvensional, PWI juga meluncurkan buku-buku digital (e-book) agar bisa diakses lebih luas.
Penerbitan e-book tersebut sebagai lanjutan dari rilis Ensiklopedi Pers Indonesia (EPI) yang dapat diakses melalui kenal Presspedia di laman http://www.pwi.or.id
Dari 17 buku yang diterbitkan Rakyat Merdeka Books (RMBooks) dipercaya menggarap 15 judul buku yang akan diluncurkan di Kupang nanti.
Penerbitan buku ini menegaskan “getaran intelektual” luar biasa dari para wartawan tanah air. Semoga terus bisa berkarya untuk meramaikan pasar intelektual. Dan tentu saja, Selamat Hari Pers Nasional 2011 untuk bangsa dan negara! * (RM)