Sabtu, 11 Desember 2010

Keracunan Informasi


MEDIA selama ini berparadigma bahwa bad news is good news. Berita buruk adalah berita baik. Semakin buruk suatu keadaan, semakin baik untuk diberitakan. Musibah dengan korban ribuan jiwa menjadi berita yang lebih baik dibandingkan dengan kecelakaan dengan korban ratusan jiwa. Semakin kecil jumlah korban, semakin kecil nilai news-nya. Akibat paradigma ini, maka setiap media berupaya menampilkan berita buruk. Demontrasi yang dilakukan secara damai dianggap kurang menarik. Sebaliknya, unjuk rasa yang chaos disertai dengan pengrusakan dianggap sebagai berita yang lebih bagus ketimbang penyampaian pendapat secara prosedural.
Maka, televisi, radio, surat kabar, dan situs berita seperti berlomba memberitakan berbagai peristiwa kriminal. Semakin sadis suatu pembunuhan akan mendapatkan pemberitaan secara berulang-ulang dan terus menerus. Apalagi jika jumlah korbannya tidak tunggal, dan cara membunuhnya pun dengan cara kejam. Pembunuhan dengan cara apa pun sesungguhnya sadis, tapi pembunuhan yang disertai mutilasi akan menambah “bumbu” berita, sehingga semakin menarik diberitakan.
Penyelewengan dalam penegakan hukum menjadi menu utama informasi sepanjang pagi, siang, sore dan malam. Korupi yang merajalela masuk dalam agenda pemberitaan yang tidak pernah habis. Apalagi jika yang melakukannya penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, maka peristiwanya tak kunjung habis dan pemberitannya tak kunjung tuntas. Apalagi jika unsur politik masuk di dalamnya, maka berita menjadi semakina mengharu biru. Ditambah saling tuduh, saling menyalahkan, saling memaki, bahkan pada akhirnya saling mengerahkan massa.
Informasi buruk mengalir deras bagaikan air bah yang tak bisa dibendung. Saat menikmati rendang dan ayam pop di restoran Padang sekalipun, tiba-tiba mata tak sengaja mengikuti berita kriminal yang ditayangkan TV. Suami membunuh istrinya, atau cucu membunuh neneknya. Maling motor digebuki sampai tewas. Darah terus mengalir di mana-mana, nyawa juga meregang karena sia-sia. Tapi kita tetap asyik menikmati rendang beserta kuah dan sambal hijaunya. Sadisme yang ditayangkan TV seperti tak ada kaitannya dengan penikmat makanan Minang.
Karena berita kekerasan, penyelewengan, sadisme, pornografi dan pornoaksi terus memenuhi otak membanjiri lambung bangsa Indonesia, maka bangsa ini secara tidak sadar keracunan informasi. Masyarakat secara perlahan semakin permisif dan menganggap bahwa menyeleweng dan berkianat sebagai sesuatu yang lazim. Bahkan, secara perlahan, mereka mati rasa. Melihat pengendara sepeda motor yang terkapar di jalan akibat kecelakaan pun menjadi biasa. Tak ada yang perlu dibicarakan, bahkan dengan nyaman lewat begiu saja, tanpa ikut menolong.
Sejak kebebasan informasi diperkenalkan, maka sepanjang itu pula bangsa Indonesia menghirup racun informasi. Kini keadaannya semakin tak keruan. Agar normal, bangsa ini membutuhkan informasi penawar yang dapat menormalkan suasana. Membalikkan informasi dari yang serbaburuk kepada yang serbabaik bukanlah jalan keluar yang panasea. Sebab, peristiwa bagus sering tidak menarik sehingga tidak menjadi berita bagus.
Namun dalam keadaan bangsa Indonesia sdang mengalami keracunan informasi, kabar yang mencerahkan dan menyenangkan dapat menjadi obat penawar, Bahkan dapat menjadi oase bagi bangsa Indonesia yang sudah lama mengembara di belantara informasi serbanegatif.
Berita bagus yang dapat menginspirasi orang lain berbuat kebajikan adalah saat ini diperlukan. Sebab, kebaikan dapat diajarkan kepada orang lain melalui tingkah laku dan contoh. Maka, kalau bangsa ini ingin kembali normal, media ditantang memberikan solusi secara bertanggung jawab dengan mengungkapkan fakta tentang petingnya menginspirasi masyarakat berbuat baik. Cara ini bukan berarti tidak kritis. Kritis silakan, tapi perlu menginspirasi masrakat lain untuk berbuat yang terbaik. (Wakhudin/”PR”)***

Senin, 22 November 2010

Pakem Wayang Golek dan Modernitas




LAKON Bambang Sumantri mengabdi kedapa Raja Mahespati, Prabu Sasrabahu sesungguhnya cerita klasik dan termasuk kisah tua. Disebut tua karena peristiwa ini terjadi sebelum kisah Mahabarata, kisah pertempuran antara sesama darah Kuru di medan pertempuran Kurusetra. Bahkan, kisah ini lebih tua dibandingkan dengan cerita Ramayana.

Kisah Ramayana diyakini terjadi lebih tua dibandingkan dengan Mahabarata. Sebab, Prabu Rama Wijaya dari Ayodya yang menjadi titisan Dewa Wisnu merupakan kakek moyang Prabu Kresna dari Dwarawati. Prabu Kresna adalah operator perang Baratayudha. Dia adalah tokoh yang keukeuh agar "Perang Dunia III" dalam pewayangan ini harus terjadi. Sebab, perang ini sudah menjadi nazar para dewa, demi sirnanya angkara murka.

Meskipun kisah Bambang Sumantri Mengabdi termasuk kisah yang klasik, di tangan dalang Ki Umar Darusman Sunandar (30), kisah itu menjadi sedemikian aktual. Dialog antara satu tokoh dan tokoh lainnya sangat masa kini. Lihatlah nasihat ayah Sumantri, Resi Suwandageni dari Pertapan Jaka Sampurna tentang pengabdian seorang warga terhadap negara. Pengabdian seorang ksatria terhadap negara harus tanpa pamrih, bukan sekadar mendapatkan takhta agar berkuasa dan memperoleh kuasa, melainkan merupakan ekspresi pengabdian seorang makhluk kepada Sang Khalik yang diekspresikan dalam upaya menjaga keseimbangan kekuasaan antara pamong praja dan rakyat. Tugas aparat yang duduk di kursi kekuasaan bukan untuk menikmati kue pembangunan dengan porsi paling besar, melainkan mendistribusikan kesejahteraan yang berhasil dikuasai negara kepada sebagian besar warga.

"Tugas aparat bukan malah melarang warga mencari rezekinya masing-masing. Negara sudah tidak mendistribusikan kesejahteraan kepada rakyat, di saat yang sama malah membatasi warganya mencari rezeki sendiri. Pedagang asongan yang cuma menjual tiga bungkus rokok pun disita barang dagangannya. Lalu, di mana tingkat keadilan aparat yang demikian," kata Begawan Suwandageni ketika menasihati anaknya yang akan melamar menjadi aparat di Kerajaan Mahespati itu.

Kemudian, Suwandageni pun menceritakan nasib pilu yang dihadapi masyarakat yang diperlakukan secara tidak adil oleh aparat. Kisah para pedagang kaki lima yang tidak pernah tenteram berdagang di tempat strategis. Akibatnya, Si Amed nangis terus seharian karena gerobaknya disita aparat. "Yang paling membuat saya sedih, istri saya di gerobak itu sedang tidur, terbawa aparat," katanya.

Di tangan murid dalang kondang Ki Asep Sunandar Sunarya ini, semua yang klasik bisa berubah menjadi sangat aktual. Simaklah bagaimana bingungnya Sukrasana ketika bangun kesiangan dan ternyata kakak kesayangannya, Bambang Sumantri, tidak ditemuinya.

"Ama, Kakang Sumantri ke mana?" tanya Sukrasana, adik Bambang Sumantri yang berbadan raksasa dan bermuka buruk.

"Mungkin sedang mandi," ujar Suwandageni sembari membelai rambut Sukrasana.

"Sudah kubuka seluruh kamar mandi, tidak ada tuh?" ujar Sukrasana sembari penasaran.

"Atau mungkin ke warung?" ujar ayah Suwandageni yang semakin tua. Lagi-lagi, Sukrasana tidak percaya. Sebab, selama ini kakaknya Sumantri tidak suka ke warung, bahkan kalau memiliki kebutuhan kakaknya lebih suka menyuruh dia agar membelikan barang.

"Atau, kakakmu mungkin pergi ke warnet," ujar Suwandageni sembari membujuk Sukrasana.

"Ah, tidak mungkin. Kakang Sumantri termasuk orang yang gagap teknologi. Menggunakan Facebook saja tidak bisa. Bahkan, kirim sms saja tidak pakai spasi," ujar Sukrasana yang disambut gerrr... penonton.

Akhirnya, Suwandageni pasrah dan menceritakan kepergian Sumantri ke Mahespati untuk melamar sebagai aparat di negara itu.

Bagi dalang yang akrab dipanggil Ki Dalang Riswa ini, kekunoan kisah wayang dan kekakuan pakem tidak pernah menjadi masalah sebagai bahan bodoran. Ia termasuk dalang yang sangat produktif memproduksi kosa kata baru, termasuk berbagai macam idiom yang menunjukkan kelucuan.

Dawala dan Cepot yang bersaudara kadang harus terlibat konflik. Mereka pun bertengkar sengit. Namun, ketika satu dengan yang lain saling menyakiti, Cepot pun sadar dan berkata, "Kamu kok tega sih menyakiti aku yang fakir misscall?"

"Fakir miskin, meureun?" ujar Dawala menanggapi keluhan Cepot.

"Bukan, saya ini fakir misscall. Habis, menelefon pacar tidak kunjung diangkat sehingga misscall melulu," ujar Cepot.

Dawala juga mengeluhkan perilaku Cepot yang menganiayanya. "Saya ini seorang yatim piano, tetapi kamu tega menganiayaku?" keluh Dawala.

"Maksudnya, yatim piatu?" ujar Cepot berusaha membetulkan ucapan Dawala.

"Bukan yatim piatu, tetapi yatim piano. Kalau yatim piatu berarti tidak punya ayah dan ibu. Kalau yatim piano, berarti tidak punya gitar-gitar acan," ujar Dawala.

**

KESENIAN Sunda, khususnya wayang golek sesungguhnya bagaikan lautan yang tidak bertepi. Sangat luas. Kisah yang diceritakan sesungguhnya hanya lakon yang diambil dari kisah Ramayana dan Mahabarata atau akar dari kisah itu, serta kisah turunannya.

Namun, uraian antawacana, setting konflik, dan intrik yang berkaitan dengan kehidupan kontemporer seperti tidak pernah kering. Semakin piawai seorang dalang, semakin pintar ia mengelaborasi kisah wayang dalam kehidupan kekinian. Artinya, wayang sesungguhnya tidak pernah kering digunakan untuk melakukan proses edukasi manusia modern.

Di samping itu, sumber daya manusia yang berada di balik pergelaran wayang juga cukup banyak. Ki Dalang Riswa merupakan salah seorang dalang muda yang tengah bergelut dengan dinamika modernitas. Ia bersama teman seangkatannya dapat dikatakan sebagai pejuang untuk mempertahankan eksistensi kesenian dan budaya tradisi.

Itulah sebabnya, dengan berbagai kemasan, Ki Riswa berupaya menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Salah satunya adalah pergelaran Pojok Si Cepot di stasiun televisi Kota Bandung.

"Tujuannya, supaya setiap warga negara merasa memiliki terhadap seni budaya ini. Sebab, kalau bukan bangsa Indonesia yang mengembangkan seni budaya sendiri, lalu siapa lagi?" ujar Dalang Riswa.

Karena menonton wayang seseorang dituntut berkonsentrasi selama 6 hingga 8 jam, Ki Riswa pun mencoba mengakalinya dengan membuat wayang yang tidak ada sebelumnya, seperti dalam kisah Mahabarata dan Ramayana. Maka, ia pun membuat wayang bersosok hansip, petani, militer, pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Tujuannya, untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka memiliki kesenian yang adiluhung ini.

Ki Asep Sunandar Sunarya yang menjadi guru Riswa di Pedalangan, telah terlebih dahulu membuat banyak kreasi menghadapi era modern dalam bidang perwayangan. Sabetan yang kreatif dengan ekspresi yang lebih manusia menjadi kekuatannya sehingga ia menjadi dalang tenar di era serbadigital ini.

Sayangnya, arah angin modernitas kurang memberi tempat bagi kekayaan seni tradisi orisinal karya Indonesia. Masyarakat lebih banyak tergiring untuk mencintai budaya manca yang tidak memiliki akar di dalam masyarakat. Bahkan, budaya manca tersebut menggerogoti akhlak dan moral bangsa.

Sementara itu, seni tradisi milik bangsa sendiri menawarkan keindahan estetika yang tak ternilai harganya. Di sinilah, para seniman telah menyumbangkan seluruh kreativitas dan kemampuannya untuk mengabdi.

Penonton yang hadir dalam pentas wayang golek semalam suntuk di Taman Pramuka, Jumat (5/11) malam pasti gemuruh dengan gelak tawa menyaksikan lakon Bambang Sumantri Ngenger. Mereka pun merenungi kisah dan petuah yang lahir dari tontonan itu.

Akan tetapi, sayang, tak banyak masyarakat yang tergugah untuk mengikuti tradisi ini. Di malam yang dingin disertai rintik hujan, masyarakat lebih enak tidur di rumah. Mungkin mereka tidak tahu akan adanya pementasan wayang dalam rangka HUT ke-200 Kota Bandung. Bahkan, yang tahu pun tidak tertarik menonton kisah wayang. Akan tetapi, jangan mengeluh jika kelak seni budaya ini tiba-sudah menjadi milik bangsa lain. Mengapa tidak kita pertahankan? (Wakhudin/"PR") ***

Memberi


BIMA marah luar biasa ketika kakaknya, Puntadewa menyerahkan istrinya, Drupadi, kepada Hanoman, utusan dari Pancawati. Maklum, tidak lazim, seseorang menyerahkan istri kepada orang yang memintanya. Di samping itu, Bima marah demi menjaga nama baik kakaknya yang raja Amarta itu. Tapi Puntadewa keukeuh tetap menyerahkan istrinya kepada siapa pun yang membutuhkan, walaupun wajah Dewi Drupadi pucat pasi ketakutan dan tidak mau melakukan. Melihat niatnya dihalang-halangi, Puntadewa balik marah kepada Bima.
“Kalau aku menyerahkan istriku kepada Prabu Rama dihalang-halangi, silakan bunuh aku saja. Sejak muda, aku bersumpah untuk menjadi raja yang suka memberi. Siapa pun yang meminta dariku berupa apa pun, harus aku beri. Hari ini, aku akan melaksanakan sumpahku, tapi kau halang-halangi, berarti engkau menghalang-halangi aku melaksanakan sumpahku,” ujar Puntadewa.
Mendengar alasan Puntadewa, Bima tak bisa berkata-kata. Ucapan kakaknya benar, tapi tidak masuk akal. Krisna yang menjadi penasihat Pendawa segera membujuk Bima untuk menuruti kemauan Puntadewa. Tapi secara diam-diam, Krisna menyuruh Arjuna untuk segera menukar tandu yang berisi Dewi Drupadi dengan Gatotkaca. Maka, Hanoman bersama pasukan monyet bersorak sorai kembali ke Pancawati membawa tandu yang yang mereka duga berisi Dewi Drupadi, padahal berisi Gatotkaca.
Sampai di Pancawati, Hanoman dibuat malu luar biasa. Sebab, tandu yang berisi seorang calon permaisuri rajanya, ternyata seorang ksatria. Maka ditangkaplah Gatotkaca. Tapi ia berhasil lolos. Rupanya, Prabu Rama melamar Drupadi tidak benar-benar mau menikahinya. Tapi dia sesungguhnya sedang melakukan uji coba. Setelah berhasil menumpas angkara murka di Alengka, Prabu Rama mendapatkan janji dari para dewa, bahwa ia akan manitis (menyatu jiwa dan raga) ke dalam raja yang bijaksana.
Maka ketika mendengar bahwa Putadewa begitu bijaksana, Prabu Rama penasaran. Ia bertanya dalam hati, inikah raja yang akan menjadi anugerahnya? Dengan melamar Drupadi, ia sengaja hanya ingin mencari gara-gara agar bisa bertemu muka dengan raja yang super baik itu. Maka ia pun mengerahkan seluruh prajuritnya. Sementara penasihat Amarta yang menjadi raja Dwarawati juga menggelar pasukan yang seimbang. Perang pun segera pecah. Prabu Rama dan Prabu Kresna pun berhadap-hadapan.
Tapi sesaat sebelum dua pasukan saling berkecamuk, Batara Guru pun datang meredakan ketegangan. Ia menjelaskan bahwa Prabu Rama dan Prabu Kresna masih satu darah dan keduanya titisan Batara Wisnu. Krisna adalah anugerah bagi Rama, bukan Puntadewa. Anugerah itu baru datang beberapa tahun kemudian, meskipun Rama saat itu sudah berusia 100 tahun lebih. Bergabungnya “kekuatan” Pancawati ke Amarta semakin menguatkan Pandawa dalam merebut kembali negara mereka, Hastinapura.
Pertemuan kisah antara Ramayana dan Mahabarata ini menggambarkan betapa memberi tidak pernah sia-sia. Bahkan, memberi selalu mendatangkan anugerah. Simaklah kisah sufi yang menceritakan tidak ada orang yang mabrur kecuali orang yang gagal pergi haji, karena uang akan digunakan biaya perjalanan haji digunakan untuk sedekah. Simak pula kisah Rasulullah dan para sahabat yang selalu saling tolong menolong saling membantu. Mereka selalu memberikan yang terbaik miliknya di jalan Allah, bahkan nyawa mereka sekalipun.
Alangkah berbedanya dengan umat sekarang yang lebih suka menerima daripada memberi. Bahkan, apa pun dilakukan untuk mendapat. Aparat melepas tahanan Gayus agar dapat sogokan. Rakyat kecil siap menginjak sesama mereka untuk mendapatkan sepotong daging kurban. Mendapatkan adalah lebih utama dari memberi. Inikah yang menyebabkan negeri ini lebih banyak mendapatkan musibah dari anugerah. Kalau mendapatkan selalu menjadi ciri bangsa ini, maka cita-cita menjadi negara yang maju dan modern serta diridai Tuhan, semakin jauh panggang dari api. (Wakhudin/”PR”)***

Selasa, 02 November 2010

Dubutuhkan, Pengelola Negara Berjiwa Zuhud


INGIN hidup bersih, memiliki hati yang bening, dan pikiran jernih, lalu seseorang menolak menjadi pimpinan projek, apalagi kalau harus memegang uang. Sebab, kalau memegang uang, ia khawatir memanipulasi laporan dan menyisihkan uang bukan haknya untuk diri sendiri. Ia juga tidak mau menjadi politikus, baik sekadar menjadi anggota DPRD atau DPR maupun duduk di lembaga eksekutif. Sebab, kekuasaan “memaksanya” (cenderung) korup.
Orang yang bersikap seperti ini, mungkin akan tercapai keinginannya. Ia menjadi orang yang zuhud, bersih dari kotoron duniawi, dan mendapatkan kesempatan luas mengurus kepentingan akhirat. Persoalannya, apa istimewanya orang yang tidak pernah berurusan dengan uang kemudian tidak melakukan tindakan koruptif? Apa hebatnya petani yang terbiasa bekerja di ladang dan jauh dari kekuasaan tapi tidak pernah bertindak otoriter dan tidak korupsi? Tentu saja tidak ada yang aneh.
Yang istimewa adalah, pimpinan projek yang memiliki tanggung jawab atas uang dalam jumlah yang besar namun tidak tertarik mengorupsinya, walaupun memiliki kesempatan. Yang juga sangat mengagumkan adalah pemimpin yang memiliki kewenangan besar namun tidak bertindak sewenang-wenang. Ia tetap berlaku demokratis dan memberikan kesempatan kepada anak buah untuk mengembangkan kreativitasnya.
Walaupun memiliki kesempatan dan kemampuan mengambil uang bukan haknya, bahkan ia tidak perlu melakukannya, karena tinggal “menerima bersih” atas rekayasa orang lain, ia tidak mau melakukannya. Itulah yang disebut zuhud sejati.
Zuhud merupakan akhlak utama seorang Muslim, terutama saat di hadapannya terbentang kesempatan meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya, baik kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Zuhud menjadi karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.
Bekerja di tempat yang krusial tak ubahnya seperti perang. Kemenangan yang sejati bukan diukur apakah seseorang berhasil memperebutkan projek dan mendapatkan keuntungan pribadi yang besar dengan cara apa pun. Kemenangan yang hakiki adalah melaksanakan projek dengan capaian terbaik. Kekalahan adalah melaksanakan projek dengan seadanya namun mendapatkan keuntungan yang maksilam, apalagi kalau dikerjakan dengan penuh manipulasi. Meninggalkan pekerjaan itu sama dengan meninggalkan peperangan.
Mendapatkan keuntungan maksimal sesuai dengan kontribusi yang diberikan dalam projek tersebut adalah halal. Kalau kontribusi seseorang begitu besar, layaklah ia mendapatkan keuntungan yang besar. Namun jika kontribusinya terlalu kecil dan mendapatkan keuntungan yang besar, sesungguhnya ada kezaliman, meskipun mungkin secara hukum termasuk legal. Yang pasti, zuhud mengajarkan proporsionalitas. Pekerja keras mendapatkan keuntungan yang besar, pemalas mendapat bagiannya yang paling buncit.
Zuhud model terakhir dalam perspektif spiritual Jawa disebut tapa ngrame, bertapa di dalam keramaian. Lazimnya, orang yang bertapa melakukan khalwat, bersepi-sepi sendiri di tengah hutan, di dalam gua, atau di atas gunung. Sedangkan bertapa di tempat ramai adalah ia melakukan apa pun yang berguna bagi orang lain di tempat keramaian. Bahkan kalau perlu, ia mencari orang yang mau ditolongnya. Ekstremnya, walaupun tinggal di komunitas setan, ia tetap beragama dan menjunjung tinggi kebersihan jiwa.
Meski demikian, ia tidak mengharap pamrih apa pun. Ia boleh saja menerima upah, tapi tidak berlebihan apalagi melampaui kemampuan yang dapat ia lakukan. Tapa ngrame berarti bertapa mencari keutamaan diri dengan bergaul di tengah masyarakat banyak tanpa terpengaruh oleh hitamnya kehidupan duniawi.
Zuhud merupakan ajaran Islam, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw. dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, “Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu.”
Alquran juga memerintahkan manusia untuk bertindak zuhud. Meskipun tidak secara eksklusif menyebutnya, perhatikan Alquran Surat Al-Hadid ayat 20 s.d. 23 yang menyebutkan bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan yang melalaikan. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Maka, umat Islam diminta berlomba-lombalah mendapatkan ampunan dari Allah dan meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi, bukan memperebutkan dunia.
Alangkah produktifnya negeri ini jika kaum zuhud mendapatkan amanat mengurus kepentingan publik. Mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan umat dengan tidak mengharapkan keuntungan berlebih selain mencari rida Allah SWT. Tipe sumber daya manusia model ini dapat menggantikan tipe manusia yang lebih suka akal-akalan, semisal mencari sisa lebih dari perjalanan ke Yunani untuk belajar etika. Bagaimana mungkin mereka meraih cita-cita mendapatkan pelajaran etika kalau dilakukan secara tidak etis.
Dalam dunia hukum, polisi, jaksa, dan hakim akan bekerja proporsional. Yang salah pasti mendapatkan hukuman yang sebanding dengan perbuatannya, siapa pun yang melakukannya. Yang benar mendapatkan haknya memperoleh perlindungan dan nama baik. SDM zuhud seperti ini dapat mengganti aparat yang menuhankan materi. Siapa pun yang mampu membayar lebih akan mendapatkan perlindungan hukum. Sebaliknya, siapa pun yang berurusan dengan hukum dan tidak mamiliki modal untuk menyuap akan mendapatkan hukuman, meskipun belum tentu melakukannya.
Pejabat eksekutif yang zuhud akan memprioritaskan menolong warga negaranya yang sedang tercekik oleh bencana sampai tuntas. Ia akan mengabaikan seluruh kepentingan diri dan citranya. Pribadi seperti Mbah Maridjan adalah tipe pejabat eksekutif zuhud yang bisa diteladani. Meskipun mendapatkan gaji Rp 81.000 setiap bulan sebagai penjaga gunung, ia melaksanakan tugasnya hingga tuntas. Ia tidak meninggalkan tugasnya, apa pun yang terjadi, meskipun nyawa taruhannya.
Mbah Maridjan adalah tipe “pejabat eksekutif” yang tidak silau oleh harta dan kehidupan dunia. Ia bangga kalau mampu melaksanakan tugas dengan sempurna. Ia tidak pernah meninggalkan gelanggang, meskipun tinggal seorang. Ia bangga selalu mengenakan peci, baju batik, dan kain sarung, khas Indonesia.
Jika Indonesia ingin menjadi negara yang jaya di masa mendatang, pribadi zuhud harus mengganti pejabat yang hanya sibuk dan asyik maksyuk mengurus “investor” yang membantunya modal memenangi pemilu.
Rakyat yang zuhud selalu memimpikan negara yang makmur. Mereka tidak sekadar membuat keputusan untuk diri sendiri, namun juga memberi yang terbaik bagi bangsanya. Mereka akan memilih para pemimpinnya yang dapat dipercaya, menggantinya dengan pejabat yang zuhud, bukan para petualang yang menghamburkan devisa.
Kehidupan zuhud itulah yang dilakukan kaum sufi. Dalam perspektif modern, di era serbadigital, kaum sufi tidak hanya berkhalwat, tapi juga bisa berkiprah di dunia yang serba tak beretika. Imam Ghazali pun mengatakan, kaum sufi melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik. Akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi.
Dalam konteks inilah, seminar internasional tentang tasauf sebagai opsi utama untuk menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lilalamin yang diselenggarakan Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat untuk memperingati ulang tahun ke-105 pesantren tersebut mendapatkan relevansinya.
Indonesia yang terus mengalami degradasi di berbagai bidang pada hakikatnya bertolak dari kekekoposan moral. Obatnya adalah spiritualitas gaya zuhud dan kaum sufi itu. Karena, sebagaimana dikemukakan Imam Al-Ghazali, tasauf bisa mengobati penyakit hati itu. Tasauf berkonsentrasi pada tiga hal. Pertama, mereka selalu melakukan kontrol diri, melakuka muraqabah (mendekatkan diri kepada Allah) dan muhasabah (introspeksi). Kedua, kaum sufi juga selalu berzikir, mengingat Allah SWT di mana pun. Ketiga, kaum sufi menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. (Wakhudin/”PR”)***

Minggu, 24 Oktober 2010

Western World Crisis


The war that lasted nearly ten years and even tend to embarrass the U.S. and the West in general.


THESIS Samuel Huntington about the clash of civilization (civilization clash), consciously or unconsciously, has plunged the West into the abyss of previously unimaginable crisis. In the 1990s, when the Soviet Union disintegrated and collapsed, the United States to be a winner and became the only super power country. But because it was won, the U.S. became jumawa. He was like feeling "lonely" and searched for the enemy. That's when Samuel Huntington's book appeared titled Clash of Civilization (1993) which states will be the clash between six or seven world civilizations, namely Western, Islamic, Confucian, Hindu, African, and Latin America. The most probable clash into a hot fire point is the conflict between Western civilization and Islam.
Huntington was a scholar from Harvard University who made the analysis. Yet this is precisely the analysis steps followed by U.S. President George W. Bush with an attack against Afghanistan (2001) subsequent invasion of Iraq (2003). That is why, increasingly harsh criticism directed at Huntington to call it a provocateur. Rare United States as a leader when it followed throughout the West in Muslim countries invaded. Although West did not recognize that their step as the fruit of inspiration from Huntington, but in fact, almost every step taken no single step out of the thesis.
Regardless of whether the collapse of World Trade Center (WTC) in Washington from a terrorist attack led by Osama bin Laden as a step or a Western conspiracy, which would cause the event the U.S. has a "ticket" to attack any country desired. By cooperating with allies who are members of the North Atlantic Treaty Organization (NATO), American troop overthrow the Taliban-led Afghanistan. Lapse of two years later, the same power undermine the Iraqi government led by Saddam Hussein.
Logically, the U.S. and its allies will win this battle very easily. Because, the U.S. is the country's largest and sole super power, plus all the allied countries in the European Union, Asia and even Australia. Indeed, the Taliban government in Afghanistan and Saddam Hussein in Iraq collapsed. However, the war could not be quits in quick time. The war that lasted nearly ten years and even tend to embarrass the U.S. and the West in general.
NATO forces did manage to kill tens of thousands of Afghan people suspected Taliban members and suspected of killing the Iraqi people become followers of Saddam Hussein. But many victims of the Afghan people and the Iraqi insurgents do not discourage resistance against this occupation army. When the U.S. is more focused to do battle in Iraq, while it also fought persistent insurgents. As one grows a thousand dead. Although a lot of casualties, but the Muslim guerrillas can hit back the U.S. and its allies with weapons of a simple rocket.
However, throughout the war in Iraq, 5,000 U.S. troops and allies were killed in the Country A Thousand and One night, and more than 3,000 people of Western soldiers killed in Afghanistan. Even in the last month, 45 NATO soldiers killed in Afghanistan. So the U.S. blamed Iraq's neighbors, Iran. Bush and his successor Barack Obama accused Iran of being behind the Iraqi people's resistance against the occupation of the West. Iranian President Mahmoud Ahmadinejad never admit it, but he was always in a loud voice against Western hegemony in the Muslim world. So many sentences designed the U.S. and its allies through the United Nations (UN). Instead of effective sanctions, the U.S. and its allies even more cornered. Instead, Ahmadinejad's name more popular in the Muslim world.
U.S. and NATO also blamed Pakistan border allegedly used to hide al Qaeda and Taliban forces. That is why, the U.S. repeatedly attacked Pakistan using unmanned aircraft. In fact, this attack had killed Pakistani forces. And the Pakistan-US relations had chills, so that the supply of accommodation from Pakistan into Afghanistan had faltered. Even hundreds of tanks carrying fuel for NATO forces sabotaged the Taliban.
Internal factors also affect Western society alotnya U.S. victory in the war in Afghanistan and Iraq. U.S. propaganda about the war against terrorism associated with Islamic radicalism would lead to Western societies that have curious (curiousity) became curious about Islam. That is why, they were a lot of studying the Koran and Islamic teachings. Most Western societies were later converted to Islam. Even some West season went into battle in Iraq and Afghan troops against their own country.
Various factors that cause the West never won a war, even a crisis that was finally trapped unclear when the recovery. A number of countries have been allies to leave Iraq and Afghanistan. U.S. and some EU countries that still survive the world crisis. Surviving the war will cost a very large, with the absurd victory. So the best, the West better flag of peace, than war .***

Documents on Wikileaks


Perhaps, the West does not know the theory of "kuwalat", but Wikileaks has taught them the concept.

FREEDOM West introduced to the world as long as it actually is an absurd concept. Therefore, the freedoms that are not clear directions. Freedom means freedom to do anything. Free to do good, but also free to do bad. Freedom is without these limits in turn can destroy liberty itself. That is why Western society and then restrict that freedom with the deal. Free society to do anything, provided it be agreed. Instead, they do not do something, because it agreed not to do. The rest, they are free to do or leave.
Because they interpret the concept of freedom thus, this time freedom that they agree to eat his master. On behalf of freedom, the site Wikileaks, 22 October, again reveal the secret U.S. military documents that contain army action during the war in Iraq. No fewer than 391,832 logs or notes during the war January 1, 2004 until December 31, 2009 was released to the public. Previously, documents about the war in Afghanistan also released a site that is based in Sweden. The leak was the biggest in U.S. military history and the West.
Could not help, a number of Western governments were inflamed. America and Britain, for example, condemned the publication of this confidential document. Minister of Foreign Affairs of the United States Hillary Clinton and Secretary of Defense England states, publishing it only makes the lives of people threatened. Pentagon spokesman tried to annul the problem by saying that the document was only a crude observation of a number of tactical units of the contents of tragic events and regular footage. But they acknowledge that the spread of this document as a tragedy which helped the Western enemy.
Western governments could persuade Julian Assange, founder of Wikileaks is to undo the secret documents aired Western war in Afghanistan and Iraq. But in the name of freedom, Assange not get banned. In fact, Assange was bullied by her arrest for alleged rape in the past. However, the Attorney General in Sweden and then abandoned it, because there is no evidence that Assange rape.
Freedom of the West introduced during this applied double standards. Freedom is no more understood as freedom to support their ambitions and interests. Anyone who does not support them, let alone hinder their ambitions, then the person, institution, or country stigmated as terrorists, axis of evil, axis of evil, and so forth. In fact, refers to their concept of freedom, anyone may think and do anything. But in reality, no one, especially state institutions and may inhibit the West do hegemonic ambitions throughout the world.
Unfortunately, the delivery of secret U.S. war and its allies comes as their war position worse off, both in Iraq and in Afghanistan. Although they have killed tens of thousands, maybe even hundreds of thousands of Iraqis and Afghans who claimed to be the enemy, but in fact the occupying forces also continued to experience Nahas. A super-sophisticated war equipment plus war tactics and strategies involving all coalition partners from around the world, was not able to paralyze the resistance forces. Instead, it continues to haunt the Muslim guerrillas occupying army, so one by one coalition troops retreated from the battlefield.
Demolition scandal of human rights violations committed Wikileaks further weaken the U.S. position and its allies in the two-stage war. At least, the world's eyes and glared at getting to know what actually happened in the war in Iraq and Afghanistan. So secured, support the world community against the Western war in two countries will further decline. On the contrary, the U.S. image and its allies will be a month thereafter.
In addition, the tactics and strategy of the United States and Afghanistan will be more easily monitored by the guerrilla forces. Thus, anyone who is considered involved in the tragedy of war in Iraq and Afghanistan will be hunted enemy to be held accountable. Unfavorable position for the U.S. and its allies is certainly not going to be wasted by troops guerrillas to free his country from the occupying army. Even if U.S. forces joined with allies in NATO will remain at two points in the battle, they will lose control. In contrast, guerrilla forces who are Iraqi natives and citizens of Afghanistan can soon take over the reins loose it.
Serving secret documents on Wikileaks and prove that the correction of the error was coming from the Western world of their own. Assange originating Scandinavian nation by a landslide correcting their arrogance by the West itself, freedom. While Eastern nation that became the object of Western hegemony only confirms the theory that the Indonesian people called kuwalat. West might not recognize kuwalat theory, but Wikileaks has taught them the concept. That whoever is doing good will get good, otherwise who do evil will reap similar ugliness. So, if the West wants to reap goodness, let's sit together West and East stands at a low and high .***

Selasa, 06 Juli 2010

Bermimpi Memiliki Pesantren Bola


Oleh H. WAKHUDIN

MASYARAKAT dunia berpesta bola di Afrika Selatan, Juni-Juli 2010. Pemenang berpesta pora, yang kalah menangis. Tapi aneh bagi bangsaIndonesia, siapa pun pemenangnya, dia ikut berpesta. Itulah sebabnya kafe dan berbagai tempat nonton ramai dikunjungi penggila si kulit bundar.
Maklum, Indonesia tidak pernah mengirimkan timnya ke pentas bola dunia. Jangankan masuk piala dunia, bahkan mewakili Asia, atau ASEAN pun tidak. Karena hanya menonton, maka bangsa ini ikut bersorak siapa pun yang menang. Bahkan banyak orang yang latah ikut mengenakan kausseragam kesebelasan tertentu.
Mengapa bangsa Indonesia senantiasa menjadi penonton dan menjadi objek? Padahal penduduk negeri ini begitu banyak, mencapai 240 juta orang. Apakah tidak ada11 orang ditambah beberapa orang lagi sebagai cadangan yang piawai bermain bola? Inilah ironi betapa terpuruknya pengelolaan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Memang ada anggapan bahwa kemajuan sepak bola suatu bangsa banyak ditentukan oleh kemajuan ekonomi suatu negara. Maka, bangsa-bangsa di Eropa yang secara ekonomi lebih baik, mendominasi sebagai negara peserta Piala Dunia terbanyak. Bahkan, Jerman, Belanda, Prancis, Inggris, dan negara Eropa lainnya selalu menjadi peserta favorit, di samping Brazil dan Argentina, dan Paraguai dari Amerika Latin. Sementara Indonesia yang ekonominya tak kunjung bangkit dengan sendirinya tidak memiliki harapan memiliki pesepak bola andal. Benarkah demikian? Jawabannya tergantung kita, bisa ya bisa tidak. Kalau tak pernah usaha, maka keberhasilan itu tidak akan pernah ada. Sebaliknya, kalau kita berjuang keras, insya Allah kita akan memilikinya.
Kalau begitu, apakah bangsa Indonesia mungkin mengirimkan timnya ke Piala Dunia? Persoalan dunia, apa yang tidak mungkin? Menurut saya, Indonesia mungkin mengirimkan timnya ke Piala Dunia, bahkan harus menjadi pemenang. Bisa gitu? Kenapa tidak? Caranya, Indonesia harus membuat pesantren bola. Hah? Apa pula itu pesantren bola?
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat terkenal di Indonesia. Lembaga pendidikan ini mengajarkan santrinya selama 24 jam. Tak hanya mengajarkan kecerdasan otak, tapi juga mengajarkan moral, perilaku, dan nilai. Pendeknya, mengambil istilah Bloom, pesantren mengajarkan ranah kognitif (kecerdasan), afektif (nilai moral), dan
psikomotorik (gerak).
Suasana pesantren memungkinkan tersedianya SDM yang qualified untuk bermain bola. Bayangkan, kalau ada pesantren bola, maka pagi setelah subuh,santri wajib lari pagi atau latihan fisik. Setelah sarapan dan mandi, siswa belajar berbagai ilmu tentang bola secara teoretik.
Inilah yang jarang dipelajari oleh pemain bola di Indonesia, mereka jago bermain bola, tapi tidak memiliki ilmunya secara mendalam. Setelah salat zuhur dan makan, santri bisa beristirahat sampai salat asar. Setelah salat asar, santri kembali ke lapangan untuk belajar teknik dan taktik. Sesekali santri bertanding antar kelas.
Setelah salat magrib, santri bola harus belajar agama. Pelajaran ini penting untuk memompa semangat,ghirah, bahkan untuk membimbing kedisiplinan santri. Pelajaran yang bersifat afektif ini dimaksudkan untuk membentuk karakter santri sehingga membentuk jiwa ksatria, sportif, jujur, terbebas dari sikap jahil, kasar, dan sikap jahat
lainnya.
Setelah salat Isya dan makan malam, santri diajak masuk gedung bioskop khusus yang menayangkan berbagai pertandingan kelas dunia. Setelah menonton film, santri dan kiai kemudian berdiskusi tentang tayangan yang mereka tonton.
Jika dalam sehari semalam santri disiapkan secara afektif, kognitif dan psikomotorik, maka sangat memungkinkan terciptanya SDM yang andal dalam bermain bola. Jika santri dimulai dari SD, maka tidak mustahil, begitu lulus, para santrinya mampu melawan klub profesional Indonesia seperti PSIS Semarang, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, AremaMalang, dan sebagainya.
Begitu tamat SMP, sangat memungkinkan bagi mereka untuk tampil di ajang pertandingan tingkat nasional. Baru kalau tamat SMA, mereka siap bertanding di ajang internasional sampai dengan usia mereka mencapai 30-an tahun.
Sejak masuk pesantren ini, santri mestinya dibebaskan dari berbagai biaya. Pemerintah mestinya membiayai seluruh operasional pesantren bola ini. Kalau tidak, klub tertentu bisa membiayainya. Daripada membayar pemain asing yang tidak juga memenangkan klubnya, mengapa uangnya tidak digunakan untuk kaderisasi?
Santri harus mendapatkan makanan dan minuman yang cukup dan bergizi. Sebab, untuk menunjang pertumbuhan fisik yang bagus harus ditunjang oleh makanan yang cukup dan berimbang. Dengan makanan dan gizi yang cukup, maka tulang, otot, dan seluruh fisik yang sangat diperlukan dalam permainan bola akan berkembang dengan pesat dan baik.
Dengan pesantren bola, memungkinkan bangsa Indonesia tidak melulu menjadi penonton, tapi tidak mustahil menjadi pemain di ajang internasional. Kapan mulai? (Penulis wartawan HU Pikiran Rakyat Bandung, alumni Pondok Pesantren Madrasah
Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Banyumas, 1983)***

Minggu, 20 Juni 2010

Menangkal Pornografi dengan Media Literasi


Oleh H. WAKHUDIN

ADEGAN seks dalam film antara orang mirip Ariel "Peterpan" serta wanita mirip Luna Maya dan Cut Tari, merupakan anak kandung dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi. Melalui media, informasi yang masuk kepada masyarakat sangat dahsyat, sehingga kekuatan pengaruhnya melebihi pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak, atau pendidikan yang dilakukan guru kepada siswanya, atau pengaruh ustaz di musala atau masjid kepada para santrinya.

Semakin populernya telefon seluler yang dapat merekam gambar, justru digunakan untuk merekam berbagai macam adegan seks, ketelanjangan, dan segala macam kegiatan tak senonoh lainnya. Dalam waktu lima tahun setelah munculnya VCD "Bandung Lautan Asmara", beredar lebih dari lima ratus film porno amatiran (Sony Set, 2007). Setiap hari, minimal dua film porno lokal baru diunggah ke internet. Sebagian besar dibuat menggunakan handphone berkamera dalam durasi yang singkat (kurang dari 10 menit). Cuplikan video porno tadi dikonversi menjadi file berukuran kecil, yang tersebar di handphone dan pemutar film mini (MP4 player) yang harganya semakin murah. Set (2007: 10) juga mengungkapkan, sembilan puluh persen pelaku dan pembuat film video porno amatiran tersebut adalah pelajar dan mahasiswa.

Persoalannya, bagaimana agar bangsa Indonesia bisa selamat agar tidak tenggelam dalam arus informasi yang kontraproduktif, semacam pornografi itu? Sebaliknya, informasi yang melimpah di dalam media tersebut justru menjadikan bangsa ini semakin bernilai dan bahkan memberikan nilai tambah?

Setidaknya ada tiga pilihan. Pertama, pemerintah membebaskan rakyatnya untuk mengakses media seluas-luasnya. Silakan masyarakat mengonsumsi informasi apa pun, dari mulai persoalan yang baik, hingga persoalan yang selama ini termasuk tabu. Cepat atau lambat, pada gilirannya, masyarakat akan jenuh dengan sendirinya. Pilihan ini tentu sarat risiko. Sebelum masyarakat mencapai tingkat jenuh dan membutuhkan informasi yang berguna, mereka telah tersesat ke arah yang tak terbayang jauhnya. Oleh karena itu, pilihan ini sangat riskan, mengancam kesatuan dan persatuan bangsa, bahkan dapat menghancurkan bangsa dan negara Indonesia.

Pilihan kedua, pemerintah memberlakukan sensor total. Pemerintah bisa menggunakan wewenang yang dimiliki memilihkan informasi yang bermanfaat untuk rakyat, dan mengendalikan informasi yang dinilai tidak baik mereka. Pemerintah bisa memblokir pada tingkat masyarakat, tingkat institusi/perkantoran, dan tingkat internet service providers (ISP). Metode bisa dilakukan menggunakan piranti lunak software filter.

Meski demikian, menurut para pakar teknologi informasi, jika langkah sensor seperti itu dilakukan, pemilik situs porno Indonesia dapat menutup "warungnya", tetapi mereka mengganti alamat kontak di data whois kepemilikan domain ke nama orang lain atau sekalian diubah ke mode privacy protect yang disediakan di kontrol domain. Dengan privacy protect, siapa pun tak akan tahu pemilik domain itu. Dari sisi hosting (kapasitas server untuk meletakkan data atau file website) mereka dengan singkat (hanya hitungan menit) bisa memindahkan ke hosting luar negeri yang lebih aman.

Pakar teknologi informasi Onno W. Purbo (2003) mengemukakan, undang-undang yang dikeluarkan berasumsi pemerintah Indonesia superpower dan serbabisa. Yang terjadi di lapangan, pemerintah lebih sering bermain power (bedil dan kekuasaan) daripada memberdayakan rakyat serta memfasilitasi pembangunan untuk kemajuan rakyat. Ini yang terjadi di dunia internet.

Pendeknya, teknologi informasi kini sedemikian berpengaruh, dan tidak mustahil dapat menjadi tuhan baru (thaghut) sehingga pada gilirannya masyarakat menyembah selera dan nafsu. Masyarakat akan berubah secara drastis menjadi masyarakat yang hedonistis, ingin senantiasa bersenang-senang, pendek akal, sangat mencintai dunia dan takut mati (wahn). Sementara arus informasi tidak dapat dibendung lagi karena sedemikian deras bagaikan air laut yang menerjang daratan seperti tsunami.

Maka, alternatif ketiga merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia. Membendung derasnya arus informasi media itu bukan dengan cara menghentikan informasi media tersebut, melainkan justru membuat masyarakat semakin melek media (literasi media). Model pembelajaran literasi media menawarkan berbagai keterampilan proses, dari mulai bagaimana mengakses media, menganalisis media, mengevaluasi, bahkan sampai menciptakan media. Dengan pembelajaran literasi media, masyarakat tidak diasingkan dari media, melainkan justru dilibatkan sekaligus ke dalamnya.

Orang yang melek media mampu memanfaatkan teknologi informasi secara positif, dan mampu menghindari penggunaan teknologi untuk kepentingan yang kontraproduktif. Keterampilan menggunakan teknologi untuk kebajikan dan menolak keburukan bukan atas dasar pemaksaan, melainkan tumbuh dari dalam diri sendiri melalui berbagai pelatihan literasi media. Dengan literasi media, pengetahuan dan keterampilan masyarakat ditingkatkan, tidak hanya pasif menerima apa pun yang disajikan media, melainkan mereka mampu menganalisis arus informasi yang masuk, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan kritis terhadap media. Bahkan suatu waktu, generasi baru bangsa Indonesia diharapkan mampu menciptakan media sendiri yang menjadi alternatif dari media yang dinilai tidak sehat dan kontraproduktif.

Pembelajaran literasi media ini disarankan dilakukan setiap orang tua kepada putra dan putrinya yang mulai berminat terhadap komputer dan mulai mengakses internet. Awal mengakses internet merupakan masa yang amat penting. Jangan biarkan anak yang secara dini membuka internet melakukan trial and error, melainkan langsung diarahkan untuk belajar literasi media sehingga anak dapat memanfaatkan internet untuk kepentingan masa depannya yang lebih gemilang.

Pembelajaran multimedia ini juga dapat dilakukan dalam lembaga pendidikan formal dan nonformal. Pelajaran internet yang bernilai ini dapat dilakukan dalam pelajaran ekstrakurikuler atau masuk ke dalam mata pelajaran berinternet yang reguler. Setiap pendidikan internet yang bernilai ini dapat disusun kurikulumnya secara lebih rinci.***

Penulis, wartawan HU "Pikiran Rakyat" Bandung, doktor bidang pendidikan nilai.

Jumat, 11 Juni 2010

Setiap Lelaki Ingin Seperti Ariel

SETIAP lelaki mungkin akan berbuat seperti yang dilakukan Ariel Peterpan, jika mereka memiliki wajah keren, banyak uang, tenar, dan jadi rebutan cewek. Jika kabar yang diberitakan media benar, bahwa Ariel melakukan hubungan seks dengan 32 selebritis, maka lelaki lain yang memiliki peluang sama juga akan melakukan perbuatan yang tak berbeda. Simaklah kisah para raja, biasanya mereka memiliki istri ditambah para selir yang jumlahnya puluhan. Coba baca pula kisah Tiger Wood, pegolf yang ganteng dan kaya raya, juga melakukan hal yang sama “menikmati kehidupan” secara maksimal sehingga ia berselingkuh dengan puluhan wanita yang memujanya.
Mengapa Ariel, Tiger Wood, para raja, juga lelaki pada umumnya suka melakukan seperti itu? Itulah fitrah manusia, itulah laki-laki. Merekalah pria sejati yang memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya secara optimal. Ini pula yang membedakan laki-laki dari wanita. Laki-laki memiliki cinta ganda, sedangkan wanita hanya memiliki cinta tunggal. Pria cenderung mampu mencintai lebih dari satu, dua, tiga, bahkan puluhan wanita, tanpa sedikit pun berkurang rasa cintanya kepada kekasih utamanya atau kepada permaisuri (istri padma). Sebaliknya, wanita cenderung hanya memiliki satu cinta. Cewek akan mencintai sepenuh hati pria yang diidam-idamkannya. Dan dia akan menolak pria lain yang gagah perkasa, kaya raya, baik hati, atau seperti apa pun, jika dia mencintai pria itu. Ketika wanita mencintai seorang pria, dia tidak bisa mencintai lelaki lain. Saat seorang istri berselingkuh, maka dia biasanya malah membenci suaminya.
Pendeknya, lelaki memiliki cinta lebih dari 400%, sehingga ia mampu mencintai wanita sepenuh hati, tanpa sedikit pun mengurangi cintanya kepada wanita lain. Sementara seorang perempuan hanya memiliki cinta 100%. Seorang wanita ketika tidak lagi mencitai seorang pria, dia akan mencabut rasa cintanya kepada pria itu, namun sering tidak mampu melakukannya, sehingga dia kerap mencintai suaminya yang baru tanpa sepenuh hati. Meskipun tanpa rasa cinta, wanita bisa melayani pria lain, karena mereka memiliki potensi baik hati, lembut, dan cenderung melayani. Meskipun melayani hubungan seksual, bukan berarti wanita itu sepenuh hati mencintai lelaki yang dilayaninya.
Kembali ke kasus Ariel, maka hanya lelaki yang berpegang kepada nilai moral dan agama yang mampu menahan diri untuk tidak mengumbar kelelakiannya sepeti yang diinginkan. Karena berpegang kepada normalah, seseorang mampu menahan diri untuk tidak mengumbar cintanya kepada setiap wanita yang menginginkannya. Nabi Yusuf a.s. sesungguhnya menyukai dan mencintai Zulaikha yang cantik, muda, mulia, dan menginginkannya. Tapi, Yusuf menolaknya, karena agama melarangnya berzina. Baru ketika tidak punya ikatan pernikahan dengan Raja Mesir, Yusuf menikahi Zulaikha itu. Semakin taat seseorang kepada agama dan norma, maka semakin mampu seseorang menahan diri dari nafsu yang alami dan lelakiwi.
Lalu mengapa begitu banyak wanita yang menyukai Ariel, bahkan wanita yang sudah menikah sekalipun? Sabda Rasulullah, “Kecantikan laki-laki terlihat dari kepintarannya, sementara kecerdasan perempuan terlihat dari kecantikannya.” Laki-laki akan terlihat cakep, jika dia pinter. Pinter otaknya, pinter menyanyi, pinter cari uang, dan tentu pinter merayu. Sebaliknya, meskipun perempuan tidak cerdas dan tidak pintar, jika cantik, maka di mata laki-laki akan terlihat pintar dan cerdas. Melihat Ariel yang banyak uang, tenar, dan terlihat bersih, maka wanita pun memujanya. Meskipun tahu banyak wanita yang mengejar-ngejarnya, jika wanita mampu menyampaikan rasa hatinya, apa lagi sampai mampu mempersembahkan yang terbaik pada dirinya, maka dia akan melakukannya.
Lalu mengapa hubungan seksual harus direkam dan diperlihatkan di depan umum melalui internet? Jika Ariel mampu melakukan hubungan seksual dengan wanita tenar sampai berjumlah 32 orang hanya diceritakan, siapa yang percaya. Paling dikatain, “Membual lho?!” Maka ada keinginan dalam hati kecilnya untuk membuktikan bahwa ia tidaklah membuat, tapi memiliki bukti. Bahwa bukti itu hilang, dicuri orang, atau sengaja “dilepas ke pasar”, itu urusan lain. Polisi memungkinkan melakukan pelacakan.
Yang pasti, internet merupakan miniatur dunia. Pertanyaaan apa pun akan dijawab dengan segera, dari mulai pertanyaan keagamaan, ilmiah, sampai masalah yang melanggar etika dan susila. Masya¬rakat awam menyebutnya, internet memuat dari mulai masalah sajadah hingga yang haram jadah. Dalam soal pornografi, internet merupakan “mucikari” sekaligus “pelacur” yang paling lengkap yang menjajakan wanita dan pria sekaligus, dari mulai anak-anak hingga kakek-kakek dan nenek-nenek.
Internet menampilkan ketelanjangan yang mungkin tidak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Di dalam internet, tidak ada lagi rahasia, semua yang sebelumnya menjadi ditutupi dan disembunyikan, dibeberkan segamblang mungkin, dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Maka siapa pun yang masuk ke dalam internet dengan bertelanjang, semua orang dapat menyaksikannya. Bahkan adegan ketelanjangan tersebut dapat diunduh serta dipublikasikan di dalam media massa, baik cetak mau¬pun elektronik. Kasus sejumlah anggota DPR yang bertelanjang dan berselingkuh adalah contoh betapa internet dapat memuat apa pun yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.
Ada beberapa model situs porno. Pertama menampilkan kisah persenggamaan dan ketelanjangan. Situs ini memuat teks yang secara eksplisit menyebutkan semua jenis pornografi dan ketelanjangan tanpa memperhatikan kesantunan yang tumbuh dalam masyarakat. Kedua, situs yang menampilkan gambar ketelanjangan dan persenggamaan. Gambar yang ditampilkan bisa berupa ketelanjangan setengah badan atau soft core ketelanjangan yang vulgar atau hard core. Ketiga, situs porno yang menampilkan video ketelanjangan dan persenggamaan, baik yang soft core maupun yang hard core. Ketiga situs porno yang menampilkan gambar dan animasi tentang ketelanjangan dan pornografi. Satu situs kadang hanya menampilkan satu jenis pornografi, na¬mun sebagian menampilkan semuanya. Audiens memilih jenis pornografi sesuai nafsunya.
Mengakses pornografi, apalagi mengunduh dan mengunggahnya meru¬pakan aktivitas yang tidak bernilai. Sebab, pornografi merupakan pintu le¬bar yang mengantar manusia terjerumus ke dalam penyimpangan seks, misalnya pelecehan seksual, seks bebas, homoseks, sodomi, selingkuh dan pemerkosaan. Pendukung pornografi, adalah orang yang men¬jadi sosok yang memengaruhi keberadaan dan perkembangan porno¬gra¬fi. Mereka mengemas pornografi dengan estetika dan seni.
Mengakses ketelanjangan melalui internet dengan tujuan studi, sementara waktu, dapat ditoleransi sebagai aktivitas yang bernilai. Demikian juga aktivitas wartawan yang mengakses dan mengunduh pornografi untuk kepentingan publikasi dan bukti pemberitaan. Aktivitas ilmiah seperti untuk kepentingan kedokteran, ketelanjangan menjadi sesuatu yang lazim. Namun aktivitas berinternet yang berkaitan dengan ketelanjangan dan pornografi, meskipun sekadar iseng ter¬masuk aktivitas yang tidak bernilai. (Wakhudin)***

Kamis, 10 Juni 2010

Entertainmen Menjadi Panglima


KETIKA Presiden Soekarno berkuasa, politik menjadi panglima. Dengan gerakan politik, Indonesia bisa merdeka. Sebagai negara yang baru terbebas dari penjajahan, Bung Karno membangun infrastruktur politik sebagai landasan pijak kehidupan berbangsa dan bertanah air. Saat Presiden Soeharto berkuasa, Orde Baru menjadikan pembangunan sebagai panglima. Maka, terjadilah depolitisasi. Partai politik direduksi hanya menjadi tiga parpol --Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kegiatan politik, apalagi politik praktis, berkonotasi negatif. Hanya aktivitas yang diberi judul “pembangunan” yang bisa dijalankan. Maka, Pak Harto kemudian dijuluki “Bapak Pembangunan”. Pada era Reformasi sekarang ini, lalu apa yang menjadi panglima?
Entertainmen menjadi panglima pada era globalisasi ini. Hiburan merupakan inti dari berbagai aktivitas masyarakat sepanjang dua puluh empat jam. Lihatlah generasi muda dan juga generasi tua berbondong-bondong menyaksikan musik yang ditayangkan secara live oleh televisi. Subuh sekalipun, penonton musik selalu padat, siang hari juga ramai, malam hari tetap gegap gempita. Orang yang berduka lari ke musik, sedih mencari musik, senang diekspresikan dengan musik, kegiatan ilmiah dicampur dengan musik, bahkan berdakwah pun dibumbui musik. Musik menjadi semacam tuhan baru (thaghut) yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah.
Lawak menjadi bumbu utama aktivitas manusia Indonesia. Kegiatan tanpa bodor dianggap hambar. Bahkan ceramah agama tanpa tertawa dianggap tidak punya daya tarik. Guru dan dosen yang lucu dianggap sebagai pendidik favorit dan terbaik. Sebaliknya, para pengajar yang tekun dan konsentrasi hanya pada mata pelajaran atau mata kuliah disebut guru atau dosen killer dan zakelijk. Jangan tanya menu di televisi, semua berlomba menampilkan tawa dan canda sebagai menu utama. Progarm TV yang banyak mengundang tawa, semakin tinggi rating-nya. Sebaliknya, acara yang bermaksud memikirkan bangsa dan negara, jika tak dibumbui canda, disebut kaku dan tak menarik. Cukup dengan sekali pencet remote, tayangan TV sudah kembali ke acara tertawa dan musik. Maka, host yang dianggap lucu sangat laris. Waria menjadi pembawa acara favorit, sehingga menu pagi dibawakan oleh bencong, siang banci, dan malam pria yang kemayu.
Bacalah secara seksama profil setiap anggota situs pertemanan di internet. Mereka sebagian tidak mencantumkan pandangan politiknya. Setiap ditanya soal politik, mereka menyebutkan kalimat yang menunjukkan ketidaksukaan pada bidang ini. Misalnya, “No comment, Golput, Au ah... Gelap, dan sebagainya.” Tapi coba simak jawaban soal musik favorit, mereka akan menyusun kalimatnya secara panjang dan lebar melebihi pekerjaan rumah yang kerap dibebankan kepada para pelajar. Mereka menuliskannya secara detail judul dan syairnya secara lengkap dari mulai musik klasik, masa kini, bahkan musik yang akan datang. Demikian juga ketika ditanya soal program televisi, mereka paham betul, bahkan hafal, acara di pagi hari, siang, sore, dan dan acara tengah malam.
Apakah salah orang yang menikmati hiburan? Bukankah mereka tidak melanggar hukum dan tidak menabrak norma? Tentu saja tidak salah, tapi kalau sepanjang hidup, seseorang hanya mencari hiburan, maka kehidupan mereka tidak normal. Logikanya, hidup ini pada intinya memecahkan persoalan. Semakin banyak problem yang bisa diselesaikan, seseorang semakin dianggap sukses. Sebaliknya, semakin sedikit problem yang bisa diselesaikan semakin, seseorang dianggap gagal. Orang yang dianggap pengangguran adalah orang yang tidak punya problem, sehingga tidak ada masalah yang harus diselesaikan. Padahal, problem dia adalah tidak punya problem itu sendiri. Di tengah-tengah seseorang memecahkan masalah, dia butuh waktu untuk refreshing, menyegarkan ruang agar mampu memiliki tenaga kembali untuk meneruskan pemecahan masalah. Persoalannya, kalau sepanjang hari hari hanya berentertainmen, kapan menyelesaikan masalahnya? Entertainmen ibarat vitamin, diperlukan, tapi tak cukup hanya vitamin, butuh makanan yang lain. (Wakhudin/”PR”)***

Rabu, 10 Maret 2010

Duh, Marzuki Alie...!


SEMUA orang sempat berpikir hitam atau putih. Pilihannya, pengucuran dana talangan terhadap Bank Century ”bermasalah” atau ”tidak bermasalah”. Bahkan, kalkulasi dari hasil laporan Ketua Pansus Bank Century Idrus Marham menunjukkan, enam fraksi menyatakan bailout bermasalah. Sementara itu, tiga fraksi menyatakan ”sesuai prosedur hukum”.

Bahkan, lebih jauh, masyarakat membayangkan, jika DPR menyatakan kasus Bank Century merupakan kesalahan kebijakan Boediono dan Sri Mulyani, Wakil Presiden dan Menteri Keuangan itu harus ”diamputasi” dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Itulah sebabnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan adanya tata cara pemakzulan wakil presiden dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Senin (1/3). Sebagian lawan politik politik bahkan menginginkan pemakzulan dilakukan terhadap pasangan Yudhoyono-Boediono.

Ternyata, semua ramalan itu salah. Bayangan pemakzulan yang sudah di depan mata sirna. Gara-garanya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie yang memimpin sidang paripurna itu segera menutup pertemuan, begitu Ketua Pansus Bank Century Idrus Marham selesai menyampaikan laporan. Hujan interupsi pun terjadi. Akan tetapi, Ketua DPR bersikukuh semua agenda sidang hari itu telah berakhir sesuai dengan kesepakatan pertemuan pimpinan fraksi. Pengeras suara yang mati dan kericuhan setelah penutupan sidang bukanlah urusan Ketua DPR.

Marzuki Alie berhasil menjungkirbalikkan semua prakiraan. Bahkan, nyaris tidak seorang pun menyangka akan ada manuver politik yang sangat mengejutkan itu. Dia berhasil mengalihkan dari opsi ”bermasalah” atau ”tidak bermasalah” menjadi berakhir begitu saja. Kerja keras dan perdebatan seru serta ”interogasi” gaya DPR selama berbulan-bulan musnah begitu saja.

Apakah manuver Marzuki sah? Secara konstitusi dan politik sah. Marzuki yang membuka, dia yang menutup. Memang tidak ada agenda lain yang harus dibahas dalam sidang paripurna itu kecuali pelantikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PAN dan penyampaian laporan Pansus Bank Century.

Akan tetapi, sidang paripurna DPR belumlah berakhir karena Rabu (3/1) ini, sidang itu akan dilanjutkan. Apakah akan ada kejutan baru? Naif, kalau orang terkejut yang kedua kali. Yang pasti, seluruh anggota DPR akan ”pasang kuda-kuda” begitu sidang paripurna itu dibuka kembali. Apakah manuver Marzuki bermanfaat bagi kubu Yudhoyono-Boediono? Itu langkah untung-untungan. Setidaknya, Partai Demokrat bersama koalisi yang masih setia, memiliki waktu semalam lagi untuk melakukan lobi politik.

Lalu, apakah sikap Marzuki demokratis? Ini bisa diperdebatkan, ada yang mengatakan demokratis, bisa juga disebut otoriter. Semua bergantung pada kacamata menilai, apakah dia pro-Yudhoyono-Boediono atau tidak. Dilihat dari kacamata demokrasi prosedural, ia telah sesuai prosedur. Akan tetapi, secara substantif, tak berkualitas. Tetapi lumayan, lucu. Lebih tepat disebut politik lucu atau kelucuan politik. Hua ha ha...! Duh, Marzuki Alie. (Wakhudin)

Dr. H. Wakhudin M.Pd., Belajar Minum Segelas




TEPAT pukul 9.09 WIB, Rabu (9/9), Redaktur Dalam Negeri Pikiran Rakyat, Drs. H. Wakhudin M.Pd. (44), dinyatakan lulus ujian promosi gelar doktor dalam sidang terbuka Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Disertasi yang berjudul "Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia Melalui ’Valuing Process’ Menuju Masyarakat Melek Media", dianugerahi yudisium sangat memuaskan. Disertasi ini yang ditulisnya merupakkan hasil studi etnografis pada pengguna internet di HU Pikiran Rakyat.

Menjadi "pekerja media" sejak 1989, Wakhudin melihat perkembangan media dan aliran informasi menjadi krusial dalam perkembangan masyarakat. Apalagi, sejak memasyarakatnya internet. "Di internet, semuanya ada. Mulai dari film porno, gosip, sampai ilmu pengetahuan," katanya.

Menghadapi melimpahnya informasi--yang baik maupun yang kontraproduktif--itu, Wakhudin memaparkan tiga alternatif. Pertama, sensor. Kedua, masyarakat dibebaskan sama sekali mengakses informasi apa pun. "Kita tidak bisa lagi memberlakukan sensor, sementara membiarkan informasi bebas harus berhadapan dengan konsekuensi pada kehancuran nilai moral," tuturnya.

Oleh karena itu, Wakhudin menawarkan alternatif ketiga, memberikan pembelajaran melek media. "Informasi di internet itu dahsyat sekali. Seperti kalau kita membutuhkan segelas air, internet menawarkan satu kolam besar. Saking melimpahnya, kita malah bisa tenggelam," katanya.

Membuat generasi muda dan masyarakat melek media atau media literate inilah yang ditawarkan dalam bentuk model pembelajaran dalam disertasinya itu. "Kita harus belajar minum segelas. Memanfaatkan internet secara efektif," ujar doktor pertama di lingkungan Redaksi Pikiran Rakyat ini. (Islaminur Pempasa/"PR")***

Drs. Wakhudin, M.Pd. Raih Gelar Doktor di UPI


BANDUNG, (PR).-
Aplikasi pelajaran teknologi informasi dalam dunia pendidikan, terutama tingkat dasar dan menengah, perlu menerapkan metode proses penilaian (valuing process) guna membendung sisi negatif dan kontraproduktifnya.

Demikian dikatakan Drs. Wakhudin, M.Pd. dalam sidang terbuka promosi doktor bidang pendidikan umum di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Rabu (9/9).

Dalam sidang tersebut, Wakhudin berhasil mempertahankan disertasinya di depan tim penguji yang terdiri atas para promotor Prof. Dr. Indrus Affandi, Prof. Dr. Chaedar Al Wasilah, Prof. Dr. Djudju Sudjana, Prof. Dr. Deddy Mulyana, dan Prof. Dr. Sofyan Sauri. Yang bertindak sebagai pimpinan sidang dalam kesempatan itu, Direktur Pascasarjana UPI, Prof. Furqon, Ph.D.

Dalam disertasinya yang berjudul "Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia Melalui Valuing Process Menuju Masyarakat Melek Media", Wakhudin mengemukakan, teknologi informasi tidak bisa dielakkan lagi sebagai sarana pendukung yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Kendati demikian, derasnya arus informasi yang mengalir di dunia maya tidak semua bersifat produktif. Masih banyak konten yang bisa membawa pengaruh negatif bagi pembentukan jiwa pengguna sejak dini. Oleh karena itu, perlu adanya kemampuan dari pengguna internet, termasuk kalangan pendidik dan siswa, untuk memilih dan menyaring informasi yang kontraproduktif.

Dalam pelaksanaannya, kesadaran memilah informasi di internet ternyata tidak dapat ditanamkan melalui pendekatan kognitif, melainkan melalui pembelajaran yang lebih bersifat afektif. Untuk itu, Wakhudin menilai metode pembelajaran yang dipaparkan dalam disertasinya dapat diterapkan dalam pelajaran komputer dan internet yang sudah ada di tingkat SD dan SMP sekarang ini.

Inti dari model pembelajaran yang dimaksud adalah setiap orang harus mampu memberi nilai positif atau negatif terhadap setiap informasi yang diperoleh di internet. Wakhudin menyusun model pembelajaran itu berdasarkan pada studi etnografi pada pengguna internet di HU Pikiran Rakyat Bandung. (A-178)***

Selasa, 09 Maret 2010

Berhaji dengan Cara Indonesia


Judul Buku : Tips & Petunjuk Praktis Orang Indonesia Pergi Haji
Penulis : H. Wakhudin
Penerbit : Mutiara Press Bandung
Cetakan I : Desember 2003
Tebal : xix + 169

BERHAJI merupakan sebuah hajatan umat Islam dari seluruh dunia, termasuk umat Islam Indonesia. Karena berhaji berada di Arab Saudi, maka bangsa Indonesia seperti melakukan hajatan di luar negeri. Makanya menjadi bertambah sibuk, ingar bingar, dan banyak hal yang sering tak terjangkau, baik oleh alat komunikasi ataupun transportasi. Apa yang terjadi di Arab Saudi, maka terjadilah, kita hanya dari jauh memantaunya.

Sesungguhnya melaksanakan haji bagi semua Muslim sama saja, yakni datang ke Mekah untuk umrah, dengan cara tawaf, sa'i, ditambah berbagai macam ritual nawafil berupa salat berjamaah di Masjidilharam dan sebagainya. Kemudian, mereka melaksanakan wukuf di Arafah; mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melontar Jamarat. Selain melaksanakan wajib dan rukun haji di Makah dan Masy'aril Haram, jemaah juga mengunjungi Madinah untuk melaksanakan shalat arba'in dan berziarah.

Meskipun ritualnya sama, namun teknis dan berbagai tetek bengek berhaji antara seseorang yang datang dari Indonesia dengan negara-negara lain akan berbeda. Di Indonesia, kita mengenal BPIH atau dulu ONH. Di Malaysia, kita mengenal Tabung Haji, di negara-negara lain seperti India, Pakistan, Eropa, Amerika tentu saja caranay berbeda. Kebiasaan hidup antara seorang jemaah dari suatu negara dengan yang lain juga saling berbeda, dan itu nampak sangat mencolok saat ada di tanah suci.

Teknis berhaji yang khas Indonesia itulah yang disorot oleh wartawan "PR" Wakhudin, dan kemudian dia memberikan berbagai macam solusinya dengan memberikan tips dan petunjuk yang sangat praktis bagi orang Indonesia yang menunaikan rukun Islam kelima.

Melalui buku yang disajikan dengan bahasa sederhana dan dengan psikoanalisa spiritual yang juga sangat sederhana ini, penulis buku ini kebetulan mendapat kesempatan sebagai peliput pelaksanaan ibadah haji di tanah suci selama beberapa tahun.

Buku ini memaparkan kondisi objektif dari situasi, tradisi, tipologi, cuaca geografis serta karakteristik dari dunia Arab Saudi dan masyarakatnya, khususnya Mekah Al-Mukarramah, yang di dalamnya ada Kakbah yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam di dunia dan juga Madinah al Munawwarah, kota paling bersejarah dalam perjalanan agama Islam dan tokoh sentralnya, Nabi Muhammad.

Buku ini cukup menarik dan sangat penting dijadikan salah satu referensi (dokumentasi) bacaan bagi siapa saja yang hendak menunaikan ibadah haji. Isi keseluruhannya adalah mengabarkan kepada (calon) jemaah haji tentang banyak hal praktis yang sederhana, tampak sepele dan, terkadang dicuekin tapi sangat berpengaruh terhadap harmonisasi perjalanan ritual haji itu sendiri. Di antara hal yang dikabarkan itu adalah persiapan-persiapan teknis menjelang pemberangkatan, seperti untuk penyetoran biaya perjalanan ibadah haji ke beberapa bank yang memang telah memiliki hubungan sistem komputerisasi langsung dalam konteks pelaksanaan ibadah haji (Siskohat) dengan Departemen Agama. Dan termasuk yang dikabarkan juga adalah bagaimana kita mesti mempersiapkan kesehatan jasmani dan rohani kita dalam melaksanakan ibadah haji, berdasarkan pada perbedaan cuaca dan kultur masyarakat Arab dengan cuaca dan tradisi sosial masyarakat Indonesia. Lebih jauh dari semua itu, Wakhudin, dengan kesaksian-deskriptiknya menghimbau kepada siapa saja yang hendak menunaikan ibadah haji agar senantiasa mempertimbangkan sematang mungkin kesiapan mental mereka.

Bahkan, dengan pola bahasa humoristiknya, Wakhudin menceritakan bagaimana seandainya kita melakukan transaksi dengan pedagang Arab saat berbelanja. Misalnya, lebih baik kita membekali diri dengan pengetahuan bahasa Arab sekalipun hanya beberapa kata; kam wahid dan ainal fakturah. Ini demi menjaga agar tidak terjadi miskomunikasi yang mengakibatkan kerugian dan dampak negatif lainnya terhadap jemaah haji.

Hal teknis-praktis lain yang disajikan Wakhudin dalam buku ini ialah bagaimana langkah-langkah yang mesti ditempuh oleh para jemaah haji bila hendak melaksanakan bagian terpenting dari ritual ibadah haji di daerah Mina, Arafah dan Muzdalifah. Dan masih banyak "anjuran praktis" lain yang telah dipaparkan yang perlu kita cermati bersama, khususnya bagi para (calon) jemaah haji.

Karena bukan buku "fikih" yang sangat teoritis dan njelimet, di dalamnya Wakhudin tidak memperbincangkan hal-hal yang bersifat halal ataupun haram. Sajian dalam buku ini murni "deskripsi praktis" terindah dan "termahal" dari seorang wartawan untuk ikut andil "menyelamatkan" para (calon) jemaah haji dari pelbagai tingkah laku "kecil" yang jika diabaikan, insya Allah, akan merusak kemabruran haji itu sendiri. Dengan kesaksian tulusnya ini, Wakhudin betul-betul memanfaatkan tugasnya dan membuktikan bahwa ujung pena seorang wartawan adalah "cahaya" bagi perjalanan hidup umat manusia. Sungguh produktif!

Tiga (3) hal pokok yang mesti dicatat dari 'kecerdasan deskriptik'nya Wakhudin dalam buku ini. Pertama, dengan penuh kejujuran Wakhudin menegaskan kembali apa yang telah digagas filsafat empirisme, yakni, menjadikan "kekuatan pengalaman" itu sebagai penghampiran kritis dalam mengetahui (pengetahuan) dan memaknai (pemaknaan) terhadap "realitas praktis" dari ibadah haji. Kedua, lewat buku yang sederhana ini, Wakhudin, saya kira, hanya ingin menebarkan aroma isyarat besar Alquran, "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan yang saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan mentaati kesabaran". (Q.S. Al Ashr: 1-3). Ketiga, Wakhudin tentu sekadar (akan) mengingatkan kepada kita bahwa pepatah "malu bertanya sesat di jalan" itu memiliki filosofi tersendiri.(Jamiludin aktivis Studi Khittah, Pusat Kajian Sejarah dan Filsafat,
Bandung)***

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/buku-islam/message/1268

Gua Pawon, Objek Wisata Petualang Pemula


BANGSA Indonesia kurang menghargai peninggalan masa lalu. Pernyataan tersebut kurang tepat. Yang lebih presisi adalah, jangankan menghargai masa lalu, bahkan masa depan pun dihancurkan. Gambaran tersebut cukup pas melukiskan keadaan Gua Pawon, gua peningggalan zaman prasejarah di Pegunungan Masigit, kurang lebih 25 km dari kota Bandung atau 8 km dari Tol Padalarang ke arah Cianjur. Meskipun berbagai pihak yang berselisih pendapat tentang keberadaan Gua Pawon telah berakhir, kenyataannya gua ini tetap telantar.

Mengutip pendapat Ir. H. Sujatmiko, Dipl.Ing., anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), Gua Pawon merupakan situs gua prasejarah pertama yang pernah ditemukan di Jawa Barat. Nilainya sangat penting dalam upaya penelusuran jejak manusia prasejarah di provinsi ini. Menurut Dr. Harry Truman dan Dr. Thor Andy, peneliti Prancis, Gua Pawon kemungkinan besar telah dihuni dan dijadikan bengkel sejak zaman pra-neolitikum kurang lebih 10.000 tahun yang lalu hingga zaman neolitikum.

Menurut para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung, sebagai bukti bahwa Gua Pawon pernah dihuni oleh manusia purba secara terus-menerus, gua ini terdiri dari beberapa ruangan yang kemudian diberi nama-nama khusus seperti ruang utama, ruang makan, ruang dapur, ruang anak, dan lain-lain. Apalagi, di tempat ini kemudian ditemukan peralatan batu berbentuk sederhana sampai pecahan-pecahan gerabah dengan pola hias dalam jumlah yang sangat berlimpah dan bervariasi. Jika kita mengunjungi gua itu sekarang, barang-barang tersebut tidak lagi berada di tempatnya semula, melainkan berada di Balar Bandung. Meski demikian, ruang-ruang yang dimaksudkan masih dapat kita lihat.

Menaiki Gua Pawon tidak terlalu berat. Meski sedikit menanjak dan licin, tidak sulit menjangkaunya. Bahkan, anak-anak usia tiga hingga lima tahun pun mampu menaikinya, tentu mereka memerlukan bimbingan orang tua, supaya tidak jatuh ke jurang. Dapat dikatakan, Gua Pawon sangat cocok pagi para petualang tingkat pemula. Tidak terlalu sulit, tapi juga tidak terlalu mudah menjangkaunya.Kesan pertama memasuki Gua Pawon adalah bau kotoran kelelawar yang menyengat kuat. Karena, gua ini sekarang menjadi sarang kelelawar. Bunyi binatang yang gemar keluar malam hari ini terus bersahutan, sehingga semakin menyempurnakan nuansa seram sebuah gua. Sesekali terdengar bunyi mirip ketawa Nenek Lampir seperti dapat disaksikan di televisi swasta. Hi..hi..hi…! Mungkin itu bunyi kelelawar yang begitu banyak. Namun terkadang, bunyi-bunyi itu mengesankan seperti banyak anak-anak di dalam gua sedang bermain-main.Selain bunyi kelelawar yang bersahutan di dalam gua, kita juga dapat mendengarkan berbagai macam suara dari puluhan rumah di kampung Gunung Masigit yang jaraknya 500-an meter. Bayi yang sedang menangis, kokok ayam jago dan ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian dapat terdengar begitu jelas dari gua yang posisinya di atas perkampungan itu.

Gua Pawon mirip gua di Wadi Rum (Rum Desert) di Yordania, kurang lebih 25 km dari Aqaba. Di tengah gurun padang pasir itu terdapat gunung-gunung batu, yang dicelah-celahnya terdapat gua. Di gua inilah terdapat goresan-goresan peninggalan Kerajaan Rum dua ribu tahun silam. Hanya saja, bebatuan di Wadi Rum terlihat lebih tua dan memiliki banyak gunung batu yang sangat indah. Petualang pemula tentu tidak direkomendasikan mengunjungi tempat ini, karena anginnya yang begitu kencang di tengah gurun pasir yang jauh dari perkampungan penduduk.Sementara mengunjungi Gua Pawon tidak sesulit berpetualang di Wadi Rum Yordania yang memerlukan kendaraan beroda besar. Anginnya yang sejuk menambah asri pemandangan eksotis di sekitar Gunung Masigit dan wilayah di sekitar Kecamatan Cipatat. Sepeda motor dapat menjangkau Gua Pawon ini, namun kendaraan roda empat harus diparkir 500-an meter dari gua. Kalau ingin petualangannya lebih mantap, disarankan pengunjung berjalan kaki dari jalan raya Padalarang-Cipatat.Gua Pawon relatif mudah dijangkau. Jika perjalanan ditempuh dari Kota Bandung, setelah melewati Situ Ciburuy, kita akan mulai melewati jalan-jalan di sekitar Pegunungan Masigit yang berdebu dan penuh asap, karena banyak pabrik kapur. Tak lebih dari tiga kilometer dari Situ Ciburuy, kita dapat melihat papan petunjuk arah ke Gua Pawon.

Sementara dari arah Cianjur, setelah melewati Kecamatan Cipatat dan tempat pelesiran di Cibogo, dalam dua kilometer berikutnya kita dapat melihat papan petunjuk di sebelah kiri. Melalui jalan aspal seadanya yang menurun dan kemudian naik, kita dapat menjangkau gua ini dari jalan raya. Tidak semua jalan menuju ke Gua Pawon beraspal. Sebagian jalan itu bahkan becek dan sangat licin saat hujan.Jika Pemerintah Kabupaten Bandung atau Kabupaten Bandung Barat tidak akan menghancurkan masa depan Gua Pawon, adalah wajar jika Dinas Pariwisata setempat membangun sebuah posko di sekitar gua. Di posko ini, diharapkan para pengunjung dapat memperoleh berbagai penjelasan mengenai keberadaan masyarakat Bandung purba. Jalan menuju Gua Pawon juga perlu diperbaiki agar bermanfaat bagi pariwisata di KBB. Sebab, dengan menghidupkan pariwisata, dengan sendirinya perekonomian di sekitar Desa Gunung Masigit akan hidup.Sangat sayang jika Gua Pawon dibiarkan telantar, apalagi jika suatu saat gua ini malah hancur akibat penambangan fosfat yang terus menerus dilakukan. Papan pengumuman yang terserak di dalam gua perlu ditegakkan kembali. Bahkan, fasilitas-fasilitas pariwisata sangat memungkinkan dibangun di sekitar Gua Pawon itu, untuk sekadar relaks di akhir pekan. Sangat disayangkan jika pemandanga asri di sekitar Gunung Masigit dibiarkan mubazir. (Wakhudin)

Itulah Indonesia


UANG hilang Rp 6,7 triliun adalah data dan semua orang mengakui sebagai fakta yang luar biasa dan banyak jumlahnya. Tapi ketika ditanya siapa yang menghilangkan uang itu? Uang mengalir ke mana? Siapa yang menerima? Siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya semua gelap. Si ini tidak mengaku, si itu tidak tahu menahu, yang lain juga bukan pelaku. Itulah Indonesia.
Di negeri ini, orang masuk penjara tidak menderita. Di sel, apa pun ada. Makan minum setiap saat tersedia. Meskipun matahari bersinar terik, tapi AC selalu menyala. Perawatan kecantikan bisa dilakukan dari mulai kaki, paha, dada, kulit muka, sampai kepala. Di tempat terpisah, seorang yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang curang malah bernasib malang. Jaksa terus menyerang meskipun pengadilan negeri menyatakan dia menang. Itulah Indonesia.
Demokrasi dan reformasi telah bergelora sejak lama. Tapi rakyat tak kunjung sejahtera. Mereka bahkan semakin bertambah menderita. Anak yang mengalami busung lapar justru ada di mana-mana. Orang jahat dan suka berbuat aniaya justru paling merdeka. Sebaliknya, orang berilmu yang saleh hanya bisa mengelus dada. Para kekasih Tuhan ini tidak lagi ditunggu ketika mengeluarkan fatwa, tapi sebaliknya tidak lagi dianggap berwibawa. Para ulama, yabar, ya....! Itulah Indonesia.
Indonesia memang eksklusif. Tidak menganut paham sosialis, bukan pula kapitalis. Bukan pula negara yang berdasarkan satu agama, tapi bukan pula ateis. Maksud hati ingin punya kepribadian sendiri, berdasarkan Pancasila. Tapi para pengikutnya sudah lama melupakannya. Bahkan banyak yang malu meskipun sekadar menyebut namanya. Itulah Indonesia.
Berapa pun uang akan dikeluarkan demi pemilihan presiden, DPR, DPD, dan pilkada. Sebab, demokrasi memang mahal harganya. Dari mana uang untuk pemilu maupun pilkada? Jangan tanya, pokoknya selalu ada. Mau utang ke luar negeri, utang ke bank, atau menerbitkan surat berharga cuek saja. Rakyat mau jenuh, neg, muak melihat muka-muka dipajang di jalan raya, biarkan saja. Itulah Indonesia.
Meskipun menghamburkan uang segudang, tapi hasil pemilu tetap menghasilkan pemimpin yang curang. Setelah menang, mereka dibelit utang bank. Maka setelah duduk di kursi empuk, bukannya memikirkan jalanan yang berlubang-lubang atau rakyat yang semakin susah tidak kepalang. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dianggap sebagai jalan yang paling lapang dan gampang. Pemimpin malah terjebak utang, membayar jasa tim sukses dengan membiarkan mereka memilih projek yang paling strategis meskipun tidak melalui tender atau prosedur yang pantas. Pemimpin malah menjadi orang yang sadis, menggilas kelompok yang selalu kritis. Sebaliknya, ia selalu merasa bahagia kalau orang dekatnya mencari muka. Itulah Indonesia.
Sudah tahu setiap hujan banjir akibat got mampet, tapi tetap saja orang membuang sampah sembarangan. Setelah menyapu, kotoran tidak dikumpulkan di suatu tempat, dikubur atau dibakar, tapi langsung dihanyutkan di sungai atau di empang. Sudah tahu hutan yang dirambah semena-mena menyebabkan banjir di mana-mana, khususnya wilayah di sekitarnya. Itulah Indonesia.
Sudah tahu negara adidaya datang sebagai penjajah. Ia menguras semua sumber daya alam sampai tinggal sampah. Tapi tetap saja kita bersikap ramah. Peradaban dan budayanya selalu menjadi anutan. Musik, film, dan keseniannya dinilai lebih unggul dibandingkan budaya lokal yang adiluhung. Apa pun yang datang dari mereka disikat tanpa seleksi yang ketat. Sebaliknya, kekayaan budaya sendiri dikira tidak lagi bermanfaat. Itulah Indonesia.
Jika kondisi seperti ini berjalan secara konstan. Maka cepat atau pelan, Indonesia akan masuk ke dalam tubir jurang. Ideologi, politik, sosial dan budaya lokal pada akhirnya hilang. Bahkan tak mustahil, peta Indonesia pun musnah, berubah menjadi wilayah yang terbelah-belah. Na’udzubillah. Maka, seluruh komponen bangsa harus kembali menata diri, bukan berjalan sendiri-sendiri. Mari....! (Wakhudin)

Kekayaan Singapura Melebihi Indonesia?


Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim:7)

APA bedanya Indonesia dengan Singapura? Indonesia adalah negara besar, sebesar negara-negara Eropa seluruhnya, atau setara dengan Amerika Serikat. Tanahnya subur dan kekayaan alamnya luar biasa, baik di darat, hutan, laut, maupun di dalam kandungan bumi. Sayang, rakyatnya miskin dan terus bertambah miskin.

Kekayaan alam dan kesuburan tanah yang dimiliki bangsa Indonesia tidak diperlakukan dengan baik, sehingga tidak mendatangkaan berkah, melainkan justru mudarat. Hutan yang mestinya memberikan kekayaan hayati yang luar biasa dirusak dan dibakar, sehingga menimbulkan banjir di musim hujan, dan mendatangkan asap kebakaran di musim kemarau. Sawah dan pegunungan yang mestinya membuat petani makmur justru menimbulkan bencana. Gunung meletus, sawah diganti pabrik dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Kalaupun petani bertahan, harga gabah dan beras terus merosot karena pemerintah kemudian mengimpor beras.

Lautan yang mestinya menjadi sumber kekayaan bagi bangsa dengan negara kepulauan ini tidak mengabarkan adanya nelayan yang hidup makmur. Kabar yang diterima dari sebagian besar nelayan juga sama, kemiskinan. Mereka terjerat utang rentenir, sehingga berapa pun ikan yang diperoleh dari laut tak kunjung cukup membayar para pembunga uang. Lautan yang merupakan wilayah terluas bagi bangsa Indonesia sesekali justru mendatangkan bencana besar berupa tsunami.

Sedangkan Singapura adalah negara kecil, setara dengan luasnya Bandung Raya. Jumlah penduduknya tak lebih dari enam juta orang. Singapura tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah sebagaimana Indonesia. Mereka tidak memiliki tambang dari dalam tanahnya atau menghasilkan kayu dari hutan, demikian pula laut yang luasnya tidak seberapa. Meski demikian, kekayaan Singapura melebihi kekayaan Indonesia. Bahkan berbagai perusahaan dan bank di swasta di Indonesia, termasuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) sudah dibeli sahamnya oleh perusahaan-perusahaan Singapura.

Karena kemakmuran negaranya, rakyat Singapura terdidik baik (well educated). Meskipun pemerintah Singapura sering dikritik sebagai pemerintahan otoriter dan sangat keras, namun karena kekerasan hati pemerintah itulah telah melahirkan disiplin nasional yang sangat tinggi. Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dilaksanakan dengan sangat disiplin dan konsisten. Tanah yang sejak awal direncanakan untuk dibuat bangunan, jalan, atau tempat yang ha­rus dibeton maka dibangun­lah, tapi mereka tidak me­lupakan tanaman dan pohon.

Tanah yang seharusnya digunakan sebagai serapan air tetap dibiarkan terbuka tanpa dipaksakan dengan bangunan-bangunan apa pun. Akibatnya, selain sistem drainase yang begitu bagus, selama musim hujan pun tidak terdengar masyarakat Singapura kebanjiran. Sepanjang pagi hingga sore hari hujan sekalipun, kendaraan tetap hilir mudik dengan lancar tanpa dihadang banjir cileuncang. Pendek kata, begitu air datang maka air itu meresap dan dimanfaatkan untuk kehidupan berikutnya.

Musim hujan di Singapura pun taat asas. Rumus orang awam selalu mengatakan, Agustus adalah awal musim hujan. Sedangkan bulan-bulan sesudah itu merupakan puncak musim hujan. Rumus itu benar-benar sesuai dengan "rumus lama" di Indonesia. Sebab, iklim di Indonesia sudah tidak taat asas lagi. Akibat kerusakan lingkungan yang amat dahsyat, bulan-bulan yang diperkirakan masuk musim hujan justru tetap kemarau.

Sebaliknya, bulan mestinya sudah musim kemarau justru malah musim banjir. Jangankan hujan sepanjang hari, satu atau dua jam turun hujan, maka banjir menggenang di mana-mana. Akibat lebih jauh, semua masyarakat Singapura relatif jauh terpelihara kesehatannya. Lingkungan hidup mereka sangat mendukung hidup sehat. Anak-anak mereka terdidik dengan baik, bahkan banyak sekali doktor lulusan Amerika, Eropa, dan Cina.

Khusus bidang kedokteran, dokter Singapura mendapatkan kesempatan jauh lebih luas untuk melanjutkan spesialisasi-spesialisasi tertentu. Bahkan karena saking kompetitifnya, banyak dokter spesialis yang spesifik. Misalnya, terdapat dokter khusus menangani trauma akibat olah raga. Berbagai rumah sakit juga dibangun baik milik pemerintah maupun swasta.

Tapi persoalannya, dari manakah pasien rumah-rumah sakit itu? Bukankah masyarakat Singapura relatif terjaga kesehatannya, sehingga sedikit yang sakit? Jumlah rumah sakit pasti tidak sebanding dengan jumlah pasien dari warga Singapura. Dari mana lagi pasien itu kalau bukan dari Indonesia.

"Dari pasien luar negeri, sebanyak 70% pasien berasal dari Indonesia, sisanya terbagi dari berbagai negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara Asean lainnya, serta negara-negara Timur Tengah," kata Suwandi Leo, Senior Marketing Manajer (Indonesia) Parkway Group Healthcare PTE LTD, yakni sebuah perusahaan pemasaran rumah-rumah swasta di Singapura seperti RS East Shore, Gleneagels, dan Mount Elizabeth.

Nah lho! Dan pasien itu akan semakin banyak. Alam dan iklim di Indonesia semakin tidak kondusif untuk manusia hidup. Hutan yang gundul dijamin akan mendatangkan banjir dan petaka. Asap dari gas buangan sudah tidak dijadikan pertimbangan lagi menjadi prasyarat tempat manusia hidup normal. Akibatnya, RS-RS di Indonesia selalu penuh sesak, sehingga tidak sedikit pasien yang datang pukul 10.00 pagi baru dapat kamar pukul 12.00 malam. Bahkan jauh lebih banyak masyarakat yang membiarkan dirinya sakit terbaring di rumah tanpa ada yang memedulikannya, karena para tetangganya juga sama-sama miskin sehingga tak mampu bergotong-royong membawa ke rumah sakit.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia yang secara ekonomi lebih beruntung segera terbang ke Singapura untuk berobat. Bukankah perjalanan Jakarta-Singapura lebih cepat ketimbang Jakarta-Medan? Berobat di Singapura tidak perlu antre panjang, dan menunggu dokter yang tidak kunjung tiba. Justru berobat ke Singapura sudah dijemput sejak di bandara dan sampai rumah sakit langsung ditunggu dokter spesialisasi yang diinginkan.

Duh! Kok malah Singapura sih yang mampu melaksanakan "syukrun ni'mah", maksudnya selalu mampu melipatgandakan kenikmatan yang dimilikinya. Sedangkan rakyat Indonesia justru kebagian "siksa Tuhan yang pedih" terus-menerus. Pasti ini terjadi missmanagement. Tapi siapa yang mampu memperbaikinya? (Wakhudin)

Agama Membentuk Karakter Bangsa


SITUASI yang terjadi di Indonesia saat ini, bisa jadi, merupakan bagian dari tesis Samuel P. Huntington tentang benturan peradaban (The clash of civilization). Jika di masa lalu, konflik terjadi berdasarkan peta ideoligis, Barat dan Timur, namun setelah perang dingin berakhir, perbenturan terjadi berdasarkan peta peradaban dunia. Secara garis besar ada delapan peradaban dunia yang potensial saling berbenturan, yakni Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Namun potensi konflik yang paling besar adalah perbenturan antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.

Bahwa Indonesia setelah dipimpin oleh rezim otoriter selama 32 tahun kemudian terempas ke tubir jurang kebangkrutan, memang iya. Namun, itu terjadi sejak tahun 1997-an atau akhir abad ke-20 di mana ketika itu Presiden Soeharto semakin kentara keberpihakannya kepada Islam. Padahal sebelumnya, Indonesia dipuji-puji sebagai emerging force di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat menakjubkan bersama Korea Selatan. Ekonomi negeri ini hancur setelah George Soros bermain valas, sehingga membenamkan rupiah sampai nilai terendah Rp 16.000,00/dolar AS. Padahal, ketika itu pemerintah bersama swasta sedang jatuh tempo untuk membayar utang-utang luar negari kepada para donatur. Itulah sebabnya, Indonesia kemudian menyerah kepada International Monetery Fund (IMF).

Penyerahan masalah ekonomi Indonesia kepada IMF, bisa jadi merupakan bagian dari skenario Barat dalam melakukan perbenturan peradaban dengan Islam. Sebab, bagaimanapun, Indonesia merupakan negara yang sangat besar dengan jumlah umat Islam terbanyak. Itulah sebabnya, Huntington dituduh bukan sekadar futurolog, melainkan seorang provokator yang memanas-manasi Barat untuk melakukan perbenturan peradaban.

Perbenturan Barat dengan Islam dilakukan secara fisik maupun secara moral. Penyerangan AS yang dibantu Inggris, Australia, dan mitra koalisi lainnya ke Irak merupakan ekspresi perbenturan fisik. Konflik ini bisa jadi merembet ke Iran dan Suriah, serta negara-negara Islam lain yang dinilai membandel kepada Barat.

Sedangkan perang secara moral dilakukan terhadap Indonesia. Proses utang-piutang Indonesia dengan para donatur yang sebagian besar dari negara-negara Barat bukan tanpa skenario jangka panjang. Para donatur juga bukannya tidak tahu adanyanya korupsi dan kolusi dalam penggunaan dana mereka. Bisa jadi, mereka justru memfasilitasi para pejabat untuk mengorupsi dana pinjaman mereka. Perang dilakukan dengan cara pembusukan para pejabat melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Nama Indonesia sebagai negara Timur yang dikenal sangat religius pun runtuh. Kegiatan ritual siang-malam tidak cukup untuk menutupi aib sebagai negara paling korup di dunia. Bahkan secara finansial, negeri ini selalu mengalami defisit anggaran, sehingga mau tidak mau harus terus berutang kepada IMF untuk menutupi utang-utang yang menggunung sebelumnya. Ya, Indonesia kini telah kalah secara moral, dan hancur mental keagamaannya akibat KKN. Nilai-nilai yang bersifat kebendaan dan hedonistis menjadi panglima, sedangkan nilai-nilai religius yang menjadi kebanggaan selama ini, justru semakin ditinggalkan. Itulah inti kebangkrutan negeri ini yang semakin lama justru semakin parah.

Pendidikan karakter bangsa yang didasarkan atas nilai-nilai religius saat ini sangat penting. Berbagai studi tentang pengajaran agama yang efektif amat diperlukan untuk mengembalikan semangat juang asli bangsa ini kepada semangat pengabdian kepada Tuhan, bukan mengabdi kepada materi. Itulah sebabnya, mempelajari agama dan nilai-nilai moral menjadi relevan. Bangsa ini perlu disemangati untuk kembali meraih karakternya sebagai bangsa yang religius, adil, dan makmur. Kita perlu menyerukan kembali pernyataan Presiden I RI Ir. Soekarno tentang nation character building. Membangun kembali karakter bangsa.

Andil agama

Agama sangat kuat dan memiliki andil besar dalam proses pembentukan karakter seseorang, jika agama tersebut diajarkan secara benar. Tak ada yang membantah, terdapat hubungan positif antara agama dan pembentukan karakter yang baik. Yang sering menjadi persoalan dan lelucon adalah sering terjadi tak adanya hubungan antara orang yang pengetahuan agamanya baik (secara kognitif) dengan perilakunya sehari-hari.

Peran agama dalam proses membentuk karakter bangsa, adalah menjadikan moral agama menjadi pemimpin dalam kehidupan bangsa tersebut sehari-hari. Sergiovanni (1992) mengemukakan, kepemimpinan moral jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kepemimpinan tradisional. Sebab, jika moral telah menjadi pemimpin dalam setiap individu, seseorang itu akan melakukan yang terbaik, baik ada yang mengawasi atau tidak. Sebab, yang mengawasi adalah moral itu sendiri yang dalam dirinya menjadi pemimpin.

Seseorang yang menjadikan moral agama sebagai pemimpin, maka ajaran agama akan menjadi petunjuk dalam setiap perilakunya. Mereka tidak perlu pengawasan secara fisik, sebagaimana para mandor mengawasi para buruh bekerja, melainkan dalam setiap dirinya sudah ada "pengawas". Dalam ajaran Islam, "para pengawas" itu disebut dengan malaikat pencatat amal yang diyakini senantiasa mencatat perbuatan setiap manusia yang disebut Malaikat Raqib dan Atid. Dengan kepemimpinan moral seperti itu, setiap orang yang beragama dengan sendirinya akan berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Emile Durkheim (1925), misalnya, mengemukakan, bagaimanapun, moral senantiasa krusial, baik dilihat secara teori maupun praktik. Secara teoretis, moral merupakan sistem intrinsik ketahanan manusia dalam hubungan dengan orang lain, dalam soal ini termasuk kemampuan memaksa diri untuk berperilaku dan berbuat baik, sehingga pada akhirnya menciptakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kesatuan masyarakat. Sementara secara praktis, moralitas merupakan syarat mutlak terciptanya suatu bangsa yang sehat, bahkan menjadi tidak bisa dinafikan jika bangsa itu ingin survive.

Itulah sebabnya, jika suatu bangsa menjadikan agama sebagai sumber moral, maka jalan hidup bangsa tersebut akan lurus. Bahkan dalam Islam, suatu bangsa yang beriman dan bertakwa, maka Tuhan menjamin negeri itu mendapatkan kemakmuran dan kejayaan. "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya," firman Allah dalam Alquran Surat Al-A'raf, 7:96.

Sayangnya, agama belum menjadi inspirasi moral di negeri ini. Bahkan, moral secara umum belum menjadi pemimpin bagi sebagian besar anak bangsa termasuk para pemimpin. Itulah sebabnya, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tetap merajalela. Mereka tidak memiliki kendali secara intrinsik yang mampu menolak saat akan mengambil uang rakyat demi kepentingan diri sendiri dan kelompok.

Pembentukan moral bangsa yang dilandasi kepercayaan keagamaan sebagaimana yang selama ini kita banggakan sebagai bangsa yang religius, perlu kembali digaungkan. Semangat pendiri bangsa (founding father) Ir. Soekarno untuk membangun karakter bangsa (nation character building) saat ini justru sangat relevan untuk menyelamatkan negeri ini dari malapetaka. Dengan pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan agama, pada gilirannya kita mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain.(Wakhudin)