Jumat, 28 Juni 2013

Duh, Munarman

SEANDAINYA Munarman yang disiram air oleh Thamrin Amal Tamagola, maka media (yang kemudian diikuti oleh publik), akan menyalahkan dia. Jangankan berperilaku salah, benar pun dianggap salah. Itulah nasib pembela Front Pembela Islam (FPI), organisasi gerakan nahi munkar.  
Nasib gerakan nahi munkar sangat berbeda dengan gerakan amar ma’rufAmar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa risiko besar. Para penceramah atau mubalig dan da’i pada  umumnya disebut sebagai orang yang menyeru kepada klebenaran itu. Bahwa yang diseru untuk baik dan benar itu bersedia atau tidak bukan urusan mereka.
Sementara gerakan nahi munkar (mencegah kemaksiatan, pemurtadan, kekafiran, dan sebagainya) tidak sekadar menyeru kebaikan, melainkan mencegah dan mengatasi masyarakat yang sudah munkar. Itulah sebabnya, FPI bersemboyan, “Jangan pernah membiarkan kemunkaran terjadi begitu saja tanpa diusik.”
Maka kalau melihat anak-anak muda mabok karena minum-minuman keras atau narkoba, FPI tak mau diam. Awalnya mereka melaporkan kasus itu ke polisi. Kalau polisi tak kunjung bergerak, mereka menangani sendiri. Demikian juga kalau ada gerakan pemurtadan dan pengkafiran, mereka akan selalu menghadangnya.
Rasulullah dalam sebuah hadis bersabda, “Kalau kalian melihat kemunkaran, ubahlah dengan tanganmu. Kalau tak mampu (tak berani), ubahlah dengan lisanmu. Kalau tak mampu (tak berani), cukuplah dalam hatimu mengatakan bahwa perbuatan itu tidak baik. Itulah selemah-lemah iman).
Hadis ini memang sangat menantang. Tapi, sedikit umat Islam yang berani mengambil opsi yang pertama, mengubah dengan tangan. FPI selama ini mengambil pilihan pertama itu. Tapi akibatnya, citranya menjadi sangat buruk dan tidak popular. Kebanyakan umat Islam mengamil opsi terakhir, mengubah dengan hati, mengatakakan bahwa, “Oh, prostitusi tidak baik. Oh, minum narkoba tidak baik, dst.” Tapi banyak dari umat Islam yang malah tak peduli. Berarti lebih rendah dari selemah-lemah iman.
Gerakan nahi munkar sangat berisiko. Karena berhadapan dengan perilaku masyarakat yang anomali dan dalam kondisi sakit. Menghadapi dunia narkoba sama dengan menghadapi dunia mafia. Karena penjualan narkoba selalu melibatkan mafia (walaupun dalam skala kecil) yang bergerak secara ilegal. Menghadapi dunia mafia memaksa gerakan nahi munkar berhadapan dengan kekerasan.
Di samping itu, media di Indonesia selama ini sangat tidak memihak kepada gerakan nahi munkar. Media kita lebih memilih pada gerakan amar ma’ruf, terutama yang bias menaikkan rating. Bahkan secara umum, media kita cenderung mengikuti gerakan Islam phobi. Secara membabi buta media sangat produktif ikut-ikutan menggunakan istilah Barat menjelek-jelekkan ajaran Islam.
Maka, mendengar kata “jihad”, “jemaah Islamiah”, “Al-Qa’idah”, “Thaliban” dan seterusnya langsung berkonotasi  kepada keburukan, kekerasan, kejahatan, dan seterusnya. Padahal, jihad adalah ajaran yang sangat mendasar dalam Islam. Sepanjang hayat, Rasulullah selalu berjihad, baik jihad nafs maupun jihadul qital. Jamaah Islamiyah artinya umat Islam. Asalkan kita Islam, maka kita disebut jamaah Islamiyah. Al Qaeda artinya kaidah, ajaran Islamiyah. Tapi mendengar kata Al Qaeda selalu dikaitan dengan Osama bin Laden. Apalagi mendengar nama Thaliban, selalu dikaitan dengan mantan penguasa di Afganistan, padahal Thaliban artinya “Pelajar”.

Kembali ke Munarman, nasib dia tidak berbeda dengan istilah-istilah di atas.  Jangankan salah, benar pun akan dianggap salah. Nasib FPI pun kurang lebih sama. Dia akan terus disoraki media kalau berani mengusik pedagang jamu yang menjual narkoba, kalau berani membubarkan prostitusi, kalau melawan pemurtadan dan seterusnya. Tapi mereka telah memilih jalan hidupnya dengan segala risikonya. Kita juga tinggal memilih menyorakinya atau membiarkannya.

Rabu, 27 Februari 2013

Partai Religius Belum Mati



Oleh WAKHUDIN
(Wartawan senior. Doktor Bidang Pendidikan Moral Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung)
N
ASIB partai politik religius dikhawatirkan runtuh, menyusul ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Padahal, PKS oleh para pengusungnya digadang menjadi benteng terakhir partai Islam yang konsisten memberikan warna agama, menyusul partai religius lain yang secara perlahan berubah menjadi partai nasionalis. Pemilu Gubernur Jawa Barat membuktikan bahwa partai religius belumlah mati, terbukti pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar yang diusung PKS masih unggul dalam beberapa penghitungan cepat (quick count), Minggu (24/2/2013).
Secara teoretis, warna politik Indonesia terdiri atas partai politik nasionalis dan religius. Kekuatannya, 60% berbanding 40%. Partai politik yang dapat dikategorikan sebagai partai nasionalis adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra, dan Partai Nasdem. Sedangkan partai berbasis agama dan kelompok agama terdiri atas Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. PKS disebut partai religius karena sejak berdiri sudah mengusung warna agama; PAN secara kultur mewadahi kelompok Islam Muhammadiyah; PKB mewadahi umat Islam dari kalangan NU; Sedangkan PPP sejak lahir mewadahi suara umat Islam saat partai politik Islam “dipaksa” melakukan fusi.
Pada kenyataannya, perbedaan antara partai nasionalis dan partai religius tidak bisa ditarik garis lurus. Sebab, kenyataannya, banyak tokoh partai nasionalis bersikap religius, bahkan lebih saleh perilakunya dari partai pengusung agama. Sebaliknya, tokoh partai politik Islam juga memiliki nasionalisme yang kuat. Justru religiusitas yang diusungnya bermakud menjunjung tinggi nasionalisme. Di samping itu, para pemilih sering berpindah pilihan dari partai religius ke partai nasionalis atau sebaliknya. Pindah pilihan ini bergantung pada popularitas tokoh yang dipilih dalam partai politik tersebut.
Berbagai jajak pendapat yang menyebutkan bahwa suara PKS akan mengalami penurunan drastis pasca ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq terbantahkan dalam Pilkada Jabar ini. Fenomena ini sekaligus memberikan sinyal bahwa partai politik Islam masih mendapatkan kepercayaan rakyat. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa Jabar berbeda dengan DKI Jakarta, di mana PKS yang mengusung mantan Presiden PKS Hidayat Nurwahid kalah telak dalam rivalitas Pilgub DKI Jakarta melawan Jokowi dan Foke.
Meskipun partai Islam belum segera mati, bukan berarti para pendukungnya bisa berlenggangkangkung. Sebab, pemilih pada umumnya lebih suka sebagai swing voter, setiap saat berubah sesuai dengan angin politik yang berembus. Pemilih fanatisk religius bisa dengan rela memilih pemimpin dari kalangan nasionalis manakala pemimpin tersebut dinilai bersikap agamis. Tapi sebaliknya, pemilih nasionalis tidak pernah memberikan suara kepada tokoh agamis. Itulah sebabnya, jika partai politik religius kehilangan kepercayaan dari konstituennya, suara religius dapat dengan mudah berpaling ke tokoh n asionalis.
Kasus Aher-Demis
Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar tidak dapat dilepaskan dari suara pemilih religius. Suara untuk Amad Heryawan dapat dipastikan hanya masuk dari suara PKS murni yang berkisar belasan persen. Partai lain sangat sulit mengalihkan suara kepada Aher. Selebihnya adalah suara untuk Dedy Mizwar. Ketenaran Demiz tidak bisa dilepaskan dari citranya sebagai artis yang religius. Karena, berbagai sinetron gubahannya selalu berwarna religius dan dapat diterima dengan baik. Seandainya Aher salah pilih pasangan, maka suara murni PKS sulit mendongkrak suaranya menuju kemenangan.
Meskipun sebagian besar calon gubernur Jabar dipenuhi artis, namun “warna” artis tersebut sangat memengaruhi raihan suara. Artis Rieke Diah Pithaloka sangat mewakili suara nasionalis. Pasangan Rieke-Teten berasal dari suara murni pemilih nasionalis, ditambah sedikit popularitas Rieke sebagai artis. Teten Masduki meskipun track record-nya sangat bagus tidak memiliki daya tambah suara, selain hanya menguatkan kepada kaum nasionalis memilih mereka. Itulah sebabnya, suara mereka tak mampu mengungguli pasangan Aher-Demiz.
Klaim Dede Yusuf bahwa kemenangan Aher dalam Pilgub I Jabar adalah suaranya telah dibuktikan dalam Pilgub II. Suara Dede Yusuf-Lex Laksamana adalah suara mereka murni. Meskipun pasangan ini didukung Partai Demokrat dan PAN, bukan berarti suara partai ini masuk ke mereka. Para pemilih pasangan Dede-Lex merupakan produk profesionalisme keduanya dalam politik, tanpa disertai fanatisme pemilih, baik dari kaum religius maupun nasionalis. Nilai lebih Dede Yusuf disbanding pasangan yang kalah lain adalah keartisannya.
Kekalahan pasangan Yance-Tatang sama dengan kekalahan Dede-Lex, karena tidak didukung pemilih fanatic dari kaum religius dan nasionalis. Di samping tak didukung pemilih fanatik, mereka tidak “dibedaki” dengan artis. Kekuatan Yance berada di kewilayahan, terutama Pantura yang belakangan semakin gerah dengan sistem pembangunan Jabar yang memarginalkan mereka.
Sedangkan minimnya suara Dikdik-Thoyib bisa dianalisis dari mesin politik yang tidak dimiliki keduanya, yakni partai politik. Di samping itu, popularitas mereka juga masih sangat minim. Meski demikian, setidaknya, munculnya figur mereka dapat menjadi “investasi” menjadi tokoh di Jawa Barat. Yang pasti, kalau dua tokoh terakhir dapat memperlihatkan religiusitasnya, tidak mustahil dapat terpilih pada Pemilu Gubernur 2019.

Prabowo akan Menang Pemilu Presiden 2014



Oleh Dr. WAKHUDIN, M.Pd.
(Wartawan senior. Doktor bidang Pendidikan Moral Universitas Pendidikan Indonesia)
L
OLOSNYA sepuluh partai politik dalam verifikasi faktual dan kemudian berhak ikut dalam kontestasi Pemilu 2014 memberikan peluang bagi Prabowo Subianto menjadi Presiden RI menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan berakhirnya masa bhakti Yudhoyono, ditambah dengan banyaknya kasus yang menimpa Partai Demokrat, suara yang selama ini memilih Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono akan “bermigrasi” ke Partai Gerindra.
Kalau saja Yudhoyono masih mempunyai kesempatan maju dalam pemilihan pemilu presiden ketiga kali, tidak mustahil ia akan terpilih kembali. Sebab, Yudhoyono memiliki tingkat resistensi paling rendah dibandingkan dengan calon presiden yang lain. Memang sejumlah kader Partai Demokrat menghadapi berbagai masalah pelik seperti kasus Bank Century dan pembangunan wisma atlet, bahkan kasusnya menimpa Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum, namun berbagai kasus itu tidak langsung menimpa Presiden Yudhoyono.  Itulah sebabnya, akseptabilitas masih tetap tinggi di mata rakyat.
Kalangan elite bisa saja bersikap kritis kepada Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono, tapi rakyat pemilih yang sebagian besar merupakan kelas menengah ke bawah masih memandang Yudhoyono sebagai pemimpin terbaik saat ini. Nilai tambah bagi akseptabilitas Yudhoyono adalah, dia anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Proses demiliterisasi politik memang terus bergulir, namun masih terbatas pada elite politik tertentu. Pada galibnya, rakyat masih memandang militer sebagai lembaga penghasil pemimpin terbaik di tanah air.
Yudhoyono bisa diterima kalangan nasionalis sekaligus pemililih religius. Sejauh ini, pemilih di Indonesia masih relevan untuk dipetakan menjadi dua pemilih itu dengan komposisi nasionalis 60% dan religius 40%. Partai Demokrat “berkromosom” nasionalis. Itulah sebabnya, para pemilih nasionalis yang sempat tumpah ruang di Partaai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri kemudian bermograsi ke Partai Demokrat dalam dua kali pemilu terakhir. Pemilih PDIP sebelumnya merupakan suara yang masuk ke Partai Golkar di masa Orde Baru.
Yudhoyono yang didukung suara nasionalis ditambah  suara religious dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Perastuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan sebagainya kemudian mampu memenangi Pemilu 2009 hanya dalam satu putaran. Saat Yudhoyono tak mungkin kembali maju menjadi calon presiden, kini suara nasionalis dan religius itu akan bermigrasi ke mana?
Melihat dari 10 partai politik yang lolos verifikasi faktual, yang ujungnya akan mengajukan calon presiden, Partai Gerindra memiliki kans yang besar untuk menampung suara nasionalis dan religious sekaligus. Sejauh ini, rakyat pemilih tidaklah fanatik memilih partai politik. Saat Orde Baru, mereka memilih Partai Golkar, saat reformasi berpindah ke PDIP, dan terakhir lari ke Partai Demokrat. Maka, tidak musatahil pula, pemilih akan bermigrasi ke Partai Gerindra. Pemilih lebih terkonsentrasi kepada figur calon presiden, tidak peduli dari partai mana mereka berasal. Peluang besar suara Partai Gerindra tidak lepas dari karisma Prabowo sebagai calon presiden, bukan karena solidnya mesin politik partai.
Nilai tambah Prabowo Subianto karena dia seorang tentara, terakhir berpangkat Lenan Jenderal. Seperti dijelaskan di atas, rakyat masih melihat pemimpin didikan TNI lebih baik dibandingkan pimpinan didikan sipil. Kalangan elite bisa jadi mengkritisi kiprah Prabowo saat di Timor Leste saat Prabowo masih menjadi tentara. Namun, kalau dilihat dari kacamata yang lain, kiprah Prabowo di Timor Timur itu justru bisa menggambarkan heroisme dia mempertahankaan provinsi terakhir RI yang kemudian memisahkan diri.
Prabowo bisa dikategorikan sebagai tokoh nasionalis dengan Partai Gerindra yang “berkromosom” nasionalis. Itulah sebabnya, para pemilih nasionalis tidak akan alergi memilih Partai Gerindra sebagai partai pilihan baru setelah menyusutnya suara di Partai Demokrat. Prabowo juga diterima di kalangan pemilih religious. Itulah sebabnya, sejumlah tim suksesnya direkrut dari kalangan tokoh partai religius seperti Partai Bulan Bintang.
Nama Prabowo Subianto di kalangan pemilih religius juga belum ternoda. Hubungan baik Prabowo dengan kalangan elite religius sudah terlihat sejak reformasi bergulir tahun 1997/1998. Bahkan pada saat sejumlah kota dilanda kerusuhan, para tokoh Muslim merapat ke Prabowo saat menjabat sebagai Panglima Kostrad. Sejumlah tokoh politik religius menggambarkan Prabowo sebagai Hamzah, paman Nabi Muhammad saw. yang gugur dalam Petang Uhud di Madinah. Sesungguhnya, hubungan Rasulullah dengan Hamzah biasa saja. Namun karena Muhammad terus menerus dianiaya orang kafir Quraisy, Hamzah akhirnya bangkit membela keponakannya.
Demikian juga dengan Prabowo Subianto, dia sesungguhnya lebih nasionalis. Namun melihat perkembangan politik Islam dengan para tokohnya yang tidak kunjung mendapatkan posisi yang stabil, pembelaannya dengan kaum religius menjadi semakin mendalam. Hanya karena “kekalahan” dalam proses reformasi, karier Prabowo kemudian surut, dan peta politik religius pun tidak kunjung bersinar.
Kans partai politik
Lalu bagaimana dengan kans partai politik selain Gerindra? Seperti diketahui, partai politik yang lolos adalah Partai Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Gerindra, Hanura, dan Partai Nasdem. Dari sepuluh partai yang akan berpeluang meraih suara signifikan adalah PDIP dan Partai Golkar karena keduanya memiliki mesin politik yang selalu panas. Namun, dua mesin politik ini belum akan mampu menempatkan tokohnya sebagai Presiden RI.
Kalau PDIP akan menempatkan Megawati sebagai calon presiden RI 2014-2019, maka ini sudah expired. Sudah berapa kali PDIP mengajukan nama Ketua Umumnya, tapi selalu tidak berhasil. Kalau saja PDIP mengajukan Joko Widodo, mungkin gairah rakyat kembali terangkat. Namun kalau PDIP mengajukan Puan Maharani atau Ketua MPR RI Taufik Kiemas, maka suara yang diperoleh tak akan melebihi suara Megawati Soekarnoputri.
Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif mungkin mendapatkan suara yang signifikan karena banyak kader Golkar di tingkat menengah yang berkualitas. Tapi suara tersebut belum tentu paralel dengan suara pada pemilu presiden. Aburizal Bakri yang sudah ditetapkan sebagai calon presiden versi Golkar dalam berbagai polling menunjukkan suara yang rendah. Demikian juga suara alternatifnya, misalnya Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, atau siapa pun.
Partai Hanura yang dipimpin Wiranto sesungguhnya memiliki “modal” yang hamper sama dengan Partai Gerindra pimpinan Prabowo. Namun sejak mendapatkan suara yang tidak signifikan, nama Wiranto tidak lagi dipublikasikan secara besar-besaran. Dinginnya Hanura bisa keterusan sampai Pemilu 2014.
Yang menjadi tantangan terbesar Prabowo dalam Pilpres 2014 adalah partai religius apabila mereka bersatu. Tapi lazimnya, suara religius yang berjumlah 40% itu sering terfragmentasi pada aliran masing-masing, bahkan lebih memilih menjadi pendukung tokoh nasionalis. Kalau saja partai religius bertemu dan mengajukan tokoh karismatik yang bisa diterima bersama, Prabowo bisa terkalahkah. Lalu siapa yang akan menjadi Presiden RI tahun 2014, tentu terserah konsituen. Yang penting, rakyat Indonesia menjadi semakin sejahtera.
Menampakkan hasil
Hasil survei National Leadership Center (NLC) bekerja sama dengan lembaga riset internasional, Taylor Nelson Sofres (TNS), seperti dimuat www.liputan6.com menunjukkan,  Prabowo Subianto dan Partai Gerindra sangat diminati rakyat pada Pemilihan Umum 2014. Hasil polling yang dilakukan oleh TNS memperlihatkan bahwa masyarakat yang diwakili responden, sebanyak 35% memilih Prabowo sebagai figur calon presiden terunggul, diikuti 20% memilih Megawati Soekarnoputri, dan 12% ke Jusuf Kalla.
Presiden Direktur NLC Taufik Bahaudin di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (28/2/2013) menjelaskan, hasil survei ini juga memperlihatkan partai besutan Prabowo pula, yakni Partai Gerindra juga diminati oleh masyarakat. "Masyarakat cenderung memilih Partai Gerindra. Kecenderungan masyarakat terhadap pilihan partai politik di mana Gerindra, PDIP, Golkar, Demokrat, dan PPP secara berurutan menjadi lima partai terunggul. Partai, Gerindra dipilih 26% responden, PDIP 25%, Golkar 18%, Partai Demokrat 8%, PPP 3%, PKS 3%, Partai Nasdem 3%, PKB 2%, PAN 2%, Hanura 2%.