Rabu, 10 Maret 2010

Duh, Marzuki Alie...!


SEMUA orang sempat berpikir hitam atau putih. Pilihannya, pengucuran dana talangan terhadap Bank Century ”bermasalah” atau ”tidak bermasalah”. Bahkan, kalkulasi dari hasil laporan Ketua Pansus Bank Century Idrus Marham menunjukkan, enam fraksi menyatakan bailout bermasalah. Sementara itu, tiga fraksi menyatakan ”sesuai prosedur hukum”.

Bahkan, lebih jauh, masyarakat membayangkan, jika DPR menyatakan kasus Bank Century merupakan kesalahan kebijakan Boediono dan Sri Mulyani, Wakil Presiden dan Menteri Keuangan itu harus ”diamputasi” dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Itulah sebabnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan adanya tata cara pemakzulan wakil presiden dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Senin (1/3). Sebagian lawan politik politik bahkan menginginkan pemakzulan dilakukan terhadap pasangan Yudhoyono-Boediono.

Ternyata, semua ramalan itu salah. Bayangan pemakzulan yang sudah di depan mata sirna. Gara-garanya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie yang memimpin sidang paripurna itu segera menutup pertemuan, begitu Ketua Pansus Bank Century Idrus Marham selesai menyampaikan laporan. Hujan interupsi pun terjadi. Akan tetapi, Ketua DPR bersikukuh semua agenda sidang hari itu telah berakhir sesuai dengan kesepakatan pertemuan pimpinan fraksi. Pengeras suara yang mati dan kericuhan setelah penutupan sidang bukanlah urusan Ketua DPR.

Marzuki Alie berhasil menjungkirbalikkan semua prakiraan. Bahkan, nyaris tidak seorang pun menyangka akan ada manuver politik yang sangat mengejutkan itu. Dia berhasil mengalihkan dari opsi ”bermasalah” atau ”tidak bermasalah” menjadi berakhir begitu saja. Kerja keras dan perdebatan seru serta ”interogasi” gaya DPR selama berbulan-bulan musnah begitu saja.

Apakah manuver Marzuki sah? Secara konstitusi dan politik sah. Marzuki yang membuka, dia yang menutup. Memang tidak ada agenda lain yang harus dibahas dalam sidang paripurna itu kecuali pelantikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PAN dan penyampaian laporan Pansus Bank Century.

Akan tetapi, sidang paripurna DPR belumlah berakhir karena Rabu (3/1) ini, sidang itu akan dilanjutkan. Apakah akan ada kejutan baru? Naif, kalau orang terkejut yang kedua kali. Yang pasti, seluruh anggota DPR akan ”pasang kuda-kuda” begitu sidang paripurna itu dibuka kembali. Apakah manuver Marzuki bermanfaat bagi kubu Yudhoyono-Boediono? Itu langkah untung-untungan. Setidaknya, Partai Demokrat bersama koalisi yang masih setia, memiliki waktu semalam lagi untuk melakukan lobi politik.

Lalu, apakah sikap Marzuki demokratis? Ini bisa diperdebatkan, ada yang mengatakan demokratis, bisa juga disebut otoriter. Semua bergantung pada kacamata menilai, apakah dia pro-Yudhoyono-Boediono atau tidak. Dilihat dari kacamata demokrasi prosedural, ia telah sesuai prosedur. Akan tetapi, secara substantif, tak berkualitas. Tetapi lumayan, lucu. Lebih tepat disebut politik lucu atau kelucuan politik. Hua ha ha...! Duh, Marzuki Alie. (Wakhudin)

Dr. H. Wakhudin M.Pd., Belajar Minum Segelas




TEPAT pukul 9.09 WIB, Rabu (9/9), Redaktur Dalam Negeri Pikiran Rakyat, Drs. H. Wakhudin M.Pd. (44), dinyatakan lulus ujian promosi gelar doktor dalam sidang terbuka Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Disertasi yang berjudul "Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia Melalui ’Valuing Process’ Menuju Masyarakat Melek Media", dianugerahi yudisium sangat memuaskan. Disertasi ini yang ditulisnya merupakkan hasil studi etnografis pada pengguna internet di HU Pikiran Rakyat.

Menjadi "pekerja media" sejak 1989, Wakhudin melihat perkembangan media dan aliran informasi menjadi krusial dalam perkembangan masyarakat. Apalagi, sejak memasyarakatnya internet. "Di internet, semuanya ada. Mulai dari film porno, gosip, sampai ilmu pengetahuan," katanya.

Menghadapi melimpahnya informasi--yang baik maupun yang kontraproduktif--itu, Wakhudin memaparkan tiga alternatif. Pertama, sensor. Kedua, masyarakat dibebaskan sama sekali mengakses informasi apa pun. "Kita tidak bisa lagi memberlakukan sensor, sementara membiarkan informasi bebas harus berhadapan dengan konsekuensi pada kehancuran nilai moral," tuturnya.

Oleh karena itu, Wakhudin menawarkan alternatif ketiga, memberikan pembelajaran melek media. "Informasi di internet itu dahsyat sekali. Seperti kalau kita membutuhkan segelas air, internet menawarkan satu kolam besar. Saking melimpahnya, kita malah bisa tenggelam," katanya.

Membuat generasi muda dan masyarakat melek media atau media literate inilah yang ditawarkan dalam bentuk model pembelajaran dalam disertasinya itu. "Kita harus belajar minum segelas. Memanfaatkan internet secara efektif," ujar doktor pertama di lingkungan Redaksi Pikiran Rakyat ini. (Islaminur Pempasa/"PR")***

Drs. Wakhudin, M.Pd. Raih Gelar Doktor di UPI


BANDUNG, (PR).-
Aplikasi pelajaran teknologi informasi dalam dunia pendidikan, terutama tingkat dasar dan menengah, perlu menerapkan metode proses penilaian (valuing process) guna membendung sisi negatif dan kontraproduktifnya.

Demikian dikatakan Drs. Wakhudin, M.Pd. dalam sidang terbuka promosi doktor bidang pendidikan umum di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Rabu (9/9).

Dalam sidang tersebut, Wakhudin berhasil mempertahankan disertasinya di depan tim penguji yang terdiri atas para promotor Prof. Dr. Indrus Affandi, Prof. Dr. Chaedar Al Wasilah, Prof. Dr. Djudju Sudjana, Prof. Dr. Deddy Mulyana, dan Prof. Dr. Sofyan Sauri. Yang bertindak sebagai pimpinan sidang dalam kesempatan itu, Direktur Pascasarjana UPI, Prof. Furqon, Ph.D.

Dalam disertasinya yang berjudul "Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia Melalui Valuing Process Menuju Masyarakat Melek Media", Wakhudin mengemukakan, teknologi informasi tidak bisa dielakkan lagi sebagai sarana pendukung yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Kendati demikian, derasnya arus informasi yang mengalir di dunia maya tidak semua bersifat produktif. Masih banyak konten yang bisa membawa pengaruh negatif bagi pembentukan jiwa pengguna sejak dini. Oleh karena itu, perlu adanya kemampuan dari pengguna internet, termasuk kalangan pendidik dan siswa, untuk memilih dan menyaring informasi yang kontraproduktif.

Dalam pelaksanaannya, kesadaran memilah informasi di internet ternyata tidak dapat ditanamkan melalui pendekatan kognitif, melainkan melalui pembelajaran yang lebih bersifat afektif. Untuk itu, Wakhudin menilai metode pembelajaran yang dipaparkan dalam disertasinya dapat diterapkan dalam pelajaran komputer dan internet yang sudah ada di tingkat SD dan SMP sekarang ini.

Inti dari model pembelajaran yang dimaksud adalah setiap orang harus mampu memberi nilai positif atau negatif terhadap setiap informasi yang diperoleh di internet. Wakhudin menyusun model pembelajaran itu berdasarkan pada studi etnografi pada pengguna internet di HU Pikiran Rakyat Bandung. (A-178)***

Selasa, 09 Maret 2010

Berhaji dengan Cara Indonesia


Judul Buku : Tips & Petunjuk Praktis Orang Indonesia Pergi Haji
Penulis : H. Wakhudin
Penerbit : Mutiara Press Bandung
Cetakan I : Desember 2003
Tebal : xix + 169

BERHAJI merupakan sebuah hajatan umat Islam dari seluruh dunia, termasuk umat Islam Indonesia. Karena berhaji berada di Arab Saudi, maka bangsa Indonesia seperti melakukan hajatan di luar negeri. Makanya menjadi bertambah sibuk, ingar bingar, dan banyak hal yang sering tak terjangkau, baik oleh alat komunikasi ataupun transportasi. Apa yang terjadi di Arab Saudi, maka terjadilah, kita hanya dari jauh memantaunya.

Sesungguhnya melaksanakan haji bagi semua Muslim sama saja, yakni datang ke Mekah untuk umrah, dengan cara tawaf, sa'i, ditambah berbagai macam ritual nawafil berupa salat berjamaah di Masjidilharam dan sebagainya. Kemudian, mereka melaksanakan wukuf di Arafah; mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melontar Jamarat. Selain melaksanakan wajib dan rukun haji di Makah dan Masy'aril Haram, jemaah juga mengunjungi Madinah untuk melaksanakan shalat arba'in dan berziarah.

Meskipun ritualnya sama, namun teknis dan berbagai tetek bengek berhaji antara seseorang yang datang dari Indonesia dengan negara-negara lain akan berbeda. Di Indonesia, kita mengenal BPIH atau dulu ONH. Di Malaysia, kita mengenal Tabung Haji, di negara-negara lain seperti India, Pakistan, Eropa, Amerika tentu saja caranay berbeda. Kebiasaan hidup antara seorang jemaah dari suatu negara dengan yang lain juga saling berbeda, dan itu nampak sangat mencolok saat ada di tanah suci.

Teknis berhaji yang khas Indonesia itulah yang disorot oleh wartawan "PR" Wakhudin, dan kemudian dia memberikan berbagai macam solusinya dengan memberikan tips dan petunjuk yang sangat praktis bagi orang Indonesia yang menunaikan rukun Islam kelima.

Melalui buku yang disajikan dengan bahasa sederhana dan dengan psikoanalisa spiritual yang juga sangat sederhana ini, penulis buku ini kebetulan mendapat kesempatan sebagai peliput pelaksanaan ibadah haji di tanah suci selama beberapa tahun.

Buku ini memaparkan kondisi objektif dari situasi, tradisi, tipologi, cuaca geografis serta karakteristik dari dunia Arab Saudi dan masyarakatnya, khususnya Mekah Al-Mukarramah, yang di dalamnya ada Kakbah yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam di dunia dan juga Madinah al Munawwarah, kota paling bersejarah dalam perjalanan agama Islam dan tokoh sentralnya, Nabi Muhammad.

Buku ini cukup menarik dan sangat penting dijadikan salah satu referensi (dokumentasi) bacaan bagi siapa saja yang hendak menunaikan ibadah haji. Isi keseluruhannya adalah mengabarkan kepada (calon) jemaah haji tentang banyak hal praktis yang sederhana, tampak sepele dan, terkadang dicuekin tapi sangat berpengaruh terhadap harmonisasi perjalanan ritual haji itu sendiri. Di antara hal yang dikabarkan itu adalah persiapan-persiapan teknis menjelang pemberangkatan, seperti untuk penyetoran biaya perjalanan ibadah haji ke beberapa bank yang memang telah memiliki hubungan sistem komputerisasi langsung dalam konteks pelaksanaan ibadah haji (Siskohat) dengan Departemen Agama. Dan termasuk yang dikabarkan juga adalah bagaimana kita mesti mempersiapkan kesehatan jasmani dan rohani kita dalam melaksanakan ibadah haji, berdasarkan pada perbedaan cuaca dan kultur masyarakat Arab dengan cuaca dan tradisi sosial masyarakat Indonesia. Lebih jauh dari semua itu, Wakhudin, dengan kesaksian-deskriptiknya menghimbau kepada siapa saja yang hendak menunaikan ibadah haji agar senantiasa mempertimbangkan sematang mungkin kesiapan mental mereka.

Bahkan, dengan pola bahasa humoristiknya, Wakhudin menceritakan bagaimana seandainya kita melakukan transaksi dengan pedagang Arab saat berbelanja. Misalnya, lebih baik kita membekali diri dengan pengetahuan bahasa Arab sekalipun hanya beberapa kata; kam wahid dan ainal fakturah. Ini demi menjaga agar tidak terjadi miskomunikasi yang mengakibatkan kerugian dan dampak negatif lainnya terhadap jemaah haji.

Hal teknis-praktis lain yang disajikan Wakhudin dalam buku ini ialah bagaimana langkah-langkah yang mesti ditempuh oleh para jemaah haji bila hendak melaksanakan bagian terpenting dari ritual ibadah haji di daerah Mina, Arafah dan Muzdalifah. Dan masih banyak "anjuran praktis" lain yang telah dipaparkan yang perlu kita cermati bersama, khususnya bagi para (calon) jemaah haji.

Karena bukan buku "fikih" yang sangat teoritis dan njelimet, di dalamnya Wakhudin tidak memperbincangkan hal-hal yang bersifat halal ataupun haram. Sajian dalam buku ini murni "deskripsi praktis" terindah dan "termahal" dari seorang wartawan untuk ikut andil "menyelamatkan" para (calon) jemaah haji dari pelbagai tingkah laku "kecil" yang jika diabaikan, insya Allah, akan merusak kemabruran haji itu sendiri. Dengan kesaksian tulusnya ini, Wakhudin betul-betul memanfaatkan tugasnya dan membuktikan bahwa ujung pena seorang wartawan adalah "cahaya" bagi perjalanan hidup umat manusia. Sungguh produktif!

Tiga (3) hal pokok yang mesti dicatat dari 'kecerdasan deskriptik'nya Wakhudin dalam buku ini. Pertama, dengan penuh kejujuran Wakhudin menegaskan kembali apa yang telah digagas filsafat empirisme, yakni, menjadikan "kekuatan pengalaman" itu sebagai penghampiran kritis dalam mengetahui (pengetahuan) dan memaknai (pemaknaan) terhadap "realitas praktis" dari ibadah haji. Kedua, lewat buku yang sederhana ini, Wakhudin, saya kira, hanya ingin menebarkan aroma isyarat besar Alquran, "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan yang saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan mentaati kesabaran". (Q.S. Al Ashr: 1-3). Ketiga, Wakhudin tentu sekadar (akan) mengingatkan kepada kita bahwa pepatah "malu bertanya sesat di jalan" itu memiliki filosofi tersendiri.(Jamiludin aktivis Studi Khittah, Pusat Kajian Sejarah dan Filsafat,
Bandung)***

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/buku-islam/message/1268

Gua Pawon, Objek Wisata Petualang Pemula


BANGSA Indonesia kurang menghargai peninggalan masa lalu. Pernyataan tersebut kurang tepat. Yang lebih presisi adalah, jangankan menghargai masa lalu, bahkan masa depan pun dihancurkan. Gambaran tersebut cukup pas melukiskan keadaan Gua Pawon, gua peningggalan zaman prasejarah di Pegunungan Masigit, kurang lebih 25 km dari kota Bandung atau 8 km dari Tol Padalarang ke arah Cianjur. Meskipun berbagai pihak yang berselisih pendapat tentang keberadaan Gua Pawon telah berakhir, kenyataannya gua ini tetap telantar.

Mengutip pendapat Ir. H. Sujatmiko, Dipl.Ing., anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), Gua Pawon merupakan situs gua prasejarah pertama yang pernah ditemukan di Jawa Barat. Nilainya sangat penting dalam upaya penelusuran jejak manusia prasejarah di provinsi ini. Menurut Dr. Harry Truman dan Dr. Thor Andy, peneliti Prancis, Gua Pawon kemungkinan besar telah dihuni dan dijadikan bengkel sejak zaman pra-neolitikum kurang lebih 10.000 tahun yang lalu hingga zaman neolitikum.

Menurut para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung, sebagai bukti bahwa Gua Pawon pernah dihuni oleh manusia purba secara terus-menerus, gua ini terdiri dari beberapa ruangan yang kemudian diberi nama-nama khusus seperti ruang utama, ruang makan, ruang dapur, ruang anak, dan lain-lain. Apalagi, di tempat ini kemudian ditemukan peralatan batu berbentuk sederhana sampai pecahan-pecahan gerabah dengan pola hias dalam jumlah yang sangat berlimpah dan bervariasi. Jika kita mengunjungi gua itu sekarang, barang-barang tersebut tidak lagi berada di tempatnya semula, melainkan berada di Balar Bandung. Meski demikian, ruang-ruang yang dimaksudkan masih dapat kita lihat.

Menaiki Gua Pawon tidak terlalu berat. Meski sedikit menanjak dan licin, tidak sulit menjangkaunya. Bahkan, anak-anak usia tiga hingga lima tahun pun mampu menaikinya, tentu mereka memerlukan bimbingan orang tua, supaya tidak jatuh ke jurang. Dapat dikatakan, Gua Pawon sangat cocok pagi para petualang tingkat pemula. Tidak terlalu sulit, tapi juga tidak terlalu mudah menjangkaunya.Kesan pertama memasuki Gua Pawon adalah bau kotoran kelelawar yang menyengat kuat. Karena, gua ini sekarang menjadi sarang kelelawar. Bunyi binatang yang gemar keluar malam hari ini terus bersahutan, sehingga semakin menyempurnakan nuansa seram sebuah gua. Sesekali terdengar bunyi mirip ketawa Nenek Lampir seperti dapat disaksikan di televisi swasta. Hi..hi..hi…! Mungkin itu bunyi kelelawar yang begitu banyak. Namun terkadang, bunyi-bunyi itu mengesankan seperti banyak anak-anak di dalam gua sedang bermain-main.Selain bunyi kelelawar yang bersahutan di dalam gua, kita juga dapat mendengarkan berbagai macam suara dari puluhan rumah di kampung Gunung Masigit yang jaraknya 500-an meter. Bayi yang sedang menangis, kokok ayam jago dan ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian dapat terdengar begitu jelas dari gua yang posisinya di atas perkampungan itu.

Gua Pawon mirip gua di Wadi Rum (Rum Desert) di Yordania, kurang lebih 25 km dari Aqaba. Di tengah gurun padang pasir itu terdapat gunung-gunung batu, yang dicelah-celahnya terdapat gua. Di gua inilah terdapat goresan-goresan peninggalan Kerajaan Rum dua ribu tahun silam. Hanya saja, bebatuan di Wadi Rum terlihat lebih tua dan memiliki banyak gunung batu yang sangat indah. Petualang pemula tentu tidak direkomendasikan mengunjungi tempat ini, karena anginnya yang begitu kencang di tengah gurun pasir yang jauh dari perkampungan penduduk.Sementara mengunjungi Gua Pawon tidak sesulit berpetualang di Wadi Rum Yordania yang memerlukan kendaraan beroda besar. Anginnya yang sejuk menambah asri pemandangan eksotis di sekitar Gunung Masigit dan wilayah di sekitar Kecamatan Cipatat. Sepeda motor dapat menjangkau Gua Pawon ini, namun kendaraan roda empat harus diparkir 500-an meter dari gua. Kalau ingin petualangannya lebih mantap, disarankan pengunjung berjalan kaki dari jalan raya Padalarang-Cipatat.Gua Pawon relatif mudah dijangkau. Jika perjalanan ditempuh dari Kota Bandung, setelah melewati Situ Ciburuy, kita akan mulai melewati jalan-jalan di sekitar Pegunungan Masigit yang berdebu dan penuh asap, karena banyak pabrik kapur. Tak lebih dari tiga kilometer dari Situ Ciburuy, kita dapat melihat papan petunjuk arah ke Gua Pawon.

Sementara dari arah Cianjur, setelah melewati Kecamatan Cipatat dan tempat pelesiran di Cibogo, dalam dua kilometer berikutnya kita dapat melihat papan petunjuk di sebelah kiri. Melalui jalan aspal seadanya yang menurun dan kemudian naik, kita dapat menjangkau gua ini dari jalan raya. Tidak semua jalan menuju ke Gua Pawon beraspal. Sebagian jalan itu bahkan becek dan sangat licin saat hujan.Jika Pemerintah Kabupaten Bandung atau Kabupaten Bandung Barat tidak akan menghancurkan masa depan Gua Pawon, adalah wajar jika Dinas Pariwisata setempat membangun sebuah posko di sekitar gua. Di posko ini, diharapkan para pengunjung dapat memperoleh berbagai penjelasan mengenai keberadaan masyarakat Bandung purba. Jalan menuju Gua Pawon juga perlu diperbaiki agar bermanfaat bagi pariwisata di KBB. Sebab, dengan menghidupkan pariwisata, dengan sendirinya perekonomian di sekitar Desa Gunung Masigit akan hidup.Sangat sayang jika Gua Pawon dibiarkan telantar, apalagi jika suatu saat gua ini malah hancur akibat penambangan fosfat yang terus menerus dilakukan. Papan pengumuman yang terserak di dalam gua perlu ditegakkan kembali. Bahkan, fasilitas-fasilitas pariwisata sangat memungkinkan dibangun di sekitar Gua Pawon itu, untuk sekadar relaks di akhir pekan. Sangat disayangkan jika pemandanga asri di sekitar Gunung Masigit dibiarkan mubazir. (Wakhudin)

Itulah Indonesia


UANG hilang Rp 6,7 triliun adalah data dan semua orang mengakui sebagai fakta yang luar biasa dan banyak jumlahnya. Tapi ketika ditanya siapa yang menghilangkan uang itu? Uang mengalir ke mana? Siapa yang menerima? Siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya semua gelap. Si ini tidak mengaku, si itu tidak tahu menahu, yang lain juga bukan pelaku. Itulah Indonesia.
Di negeri ini, orang masuk penjara tidak menderita. Di sel, apa pun ada. Makan minum setiap saat tersedia. Meskipun matahari bersinar terik, tapi AC selalu menyala. Perawatan kecantikan bisa dilakukan dari mulai kaki, paha, dada, kulit muka, sampai kepala. Di tempat terpisah, seorang yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang curang malah bernasib malang. Jaksa terus menyerang meskipun pengadilan negeri menyatakan dia menang. Itulah Indonesia.
Demokrasi dan reformasi telah bergelora sejak lama. Tapi rakyat tak kunjung sejahtera. Mereka bahkan semakin bertambah menderita. Anak yang mengalami busung lapar justru ada di mana-mana. Orang jahat dan suka berbuat aniaya justru paling merdeka. Sebaliknya, orang berilmu yang saleh hanya bisa mengelus dada. Para kekasih Tuhan ini tidak lagi ditunggu ketika mengeluarkan fatwa, tapi sebaliknya tidak lagi dianggap berwibawa. Para ulama, yabar, ya....! Itulah Indonesia.
Indonesia memang eksklusif. Tidak menganut paham sosialis, bukan pula kapitalis. Bukan pula negara yang berdasarkan satu agama, tapi bukan pula ateis. Maksud hati ingin punya kepribadian sendiri, berdasarkan Pancasila. Tapi para pengikutnya sudah lama melupakannya. Bahkan banyak yang malu meskipun sekadar menyebut namanya. Itulah Indonesia.
Berapa pun uang akan dikeluarkan demi pemilihan presiden, DPR, DPD, dan pilkada. Sebab, demokrasi memang mahal harganya. Dari mana uang untuk pemilu maupun pilkada? Jangan tanya, pokoknya selalu ada. Mau utang ke luar negeri, utang ke bank, atau menerbitkan surat berharga cuek saja. Rakyat mau jenuh, neg, muak melihat muka-muka dipajang di jalan raya, biarkan saja. Itulah Indonesia.
Meskipun menghamburkan uang segudang, tapi hasil pemilu tetap menghasilkan pemimpin yang curang. Setelah menang, mereka dibelit utang bank. Maka setelah duduk di kursi empuk, bukannya memikirkan jalanan yang berlubang-lubang atau rakyat yang semakin susah tidak kepalang. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dianggap sebagai jalan yang paling lapang dan gampang. Pemimpin malah terjebak utang, membayar jasa tim sukses dengan membiarkan mereka memilih projek yang paling strategis meskipun tidak melalui tender atau prosedur yang pantas. Pemimpin malah menjadi orang yang sadis, menggilas kelompok yang selalu kritis. Sebaliknya, ia selalu merasa bahagia kalau orang dekatnya mencari muka. Itulah Indonesia.
Sudah tahu setiap hujan banjir akibat got mampet, tapi tetap saja orang membuang sampah sembarangan. Setelah menyapu, kotoran tidak dikumpulkan di suatu tempat, dikubur atau dibakar, tapi langsung dihanyutkan di sungai atau di empang. Sudah tahu hutan yang dirambah semena-mena menyebabkan banjir di mana-mana, khususnya wilayah di sekitarnya. Itulah Indonesia.
Sudah tahu negara adidaya datang sebagai penjajah. Ia menguras semua sumber daya alam sampai tinggal sampah. Tapi tetap saja kita bersikap ramah. Peradaban dan budayanya selalu menjadi anutan. Musik, film, dan keseniannya dinilai lebih unggul dibandingkan budaya lokal yang adiluhung. Apa pun yang datang dari mereka disikat tanpa seleksi yang ketat. Sebaliknya, kekayaan budaya sendiri dikira tidak lagi bermanfaat. Itulah Indonesia.
Jika kondisi seperti ini berjalan secara konstan. Maka cepat atau pelan, Indonesia akan masuk ke dalam tubir jurang. Ideologi, politik, sosial dan budaya lokal pada akhirnya hilang. Bahkan tak mustahil, peta Indonesia pun musnah, berubah menjadi wilayah yang terbelah-belah. Na’udzubillah. Maka, seluruh komponen bangsa harus kembali menata diri, bukan berjalan sendiri-sendiri. Mari....! (Wakhudin)

Kekayaan Singapura Melebihi Indonesia?


Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim:7)

APA bedanya Indonesia dengan Singapura? Indonesia adalah negara besar, sebesar negara-negara Eropa seluruhnya, atau setara dengan Amerika Serikat. Tanahnya subur dan kekayaan alamnya luar biasa, baik di darat, hutan, laut, maupun di dalam kandungan bumi. Sayang, rakyatnya miskin dan terus bertambah miskin.

Kekayaan alam dan kesuburan tanah yang dimiliki bangsa Indonesia tidak diperlakukan dengan baik, sehingga tidak mendatangkaan berkah, melainkan justru mudarat. Hutan yang mestinya memberikan kekayaan hayati yang luar biasa dirusak dan dibakar, sehingga menimbulkan banjir di musim hujan, dan mendatangkan asap kebakaran di musim kemarau. Sawah dan pegunungan yang mestinya membuat petani makmur justru menimbulkan bencana. Gunung meletus, sawah diganti pabrik dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Kalaupun petani bertahan, harga gabah dan beras terus merosot karena pemerintah kemudian mengimpor beras.

Lautan yang mestinya menjadi sumber kekayaan bagi bangsa dengan negara kepulauan ini tidak mengabarkan adanya nelayan yang hidup makmur. Kabar yang diterima dari sebagian besar nelayan juga sama, kemiskinan. Mereka terjerat utang rentenir, sehingga berapa pun ikan yang diperoleh dari laut tak kunjung cukup membayar para pembunga uang. Lautan yang merupakan wilayah terluas bagi bangsa Indonesia sesekali justru mendatangkan bencana besar berupa tsunami.

Sedangkan Singapura adalah negara kecil, setara dengan luasnya Bandung Raya. Jumlah penduduknya tak lebih dari enam juta orang. Singapura tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah sebagaimana Indonesia. Mereka tidak memiliki tambang dari dalam tanahnya atau menghasilkan kayu dari hutan, demikian pula laut yang luasnya tidak seberapa. Meski demikian, kekayaan Singapura melebihi kekayaan Indonesia. Bahkan berbagai perusahaan dan bank di swasta di Indonesia, termasuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) sudah dibeli sahamnya oleh perusahaan-perusahaan Singapura.

Karena kemakmuran negaranya, rakyat Singapura terdidik baik (well educated). Meskipun pemerintah Singapura sering dikritik sebagai pemerintahan otoriter dan sangat keras, namun karena kekerasan hati pemerintah itulah telah melahirkan disiplin nasional yang sangat tinggi. Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dilaksanakan dengan sangat disiplin dan konsisten. Tanah yang sejak awal direncanakan untuk dibuat bangunan, jalan, atau tempat yang ha­rus dibeton maka dibangun­lah, tapi mereka tidak me­lupakan tanaman dan pohon.

Tanah yang seharusnya digunakan sebagai serapan air tetap dibiarkan terbuka tanpa dipaksakan dengan bangunan-bangunan apa pun. Akibatnya, selain sistem drainase yang begitu bagus, selama musim hujan pun tidak terdengar masyarakat Singapura kebanjiran. Sepanjang pagi hingga sore hari hujan sekalipun, kendaraan tetap hilir mudik dengan lancar tanpa dihadang banjir cileuncang. Pendek kata, begitu air datang maka air itu meresap dan dimanfaatkan untuk kehidupan berikutnya.

Musim hujan di Singapura pun taat asas. Rumus orang awam selalu mengatakan, Agustus adalah awal musim hujan. Sedangkan bulan-bulan sesudah itu merupakan puncak musim hujan. Rumus itu benar-benar sesuai dengan "rumus lama" di Indonesia. Sebab, iklim di Indonesia sudah tidak taat asas lagi. Akibat kerusakan lingkungan yang amat dahsyat, bulan-bulan yang diperkirakan masuk musim hujan justru tetap kemarau.

Sebaliknya, bulan mestinya sudah musim kemarau justru malah musim banjir. Jangankan hujan sepanjang hari, satu atau dua jam turun hujan, maka banjir menggenang di mana-mana. Akibat lebih jauh, semua masyarakat Singapura relatif jauh terpelihara kesehatannya. Lingkungan hidup mereka sangat mendukung hidup sehat. Anak-anak mereka terdidik dengan baik, bahkan banyak sekali doktor lulusan Amerika, Eropa, dan Cina.

Khusus bidang kedokteran, dokter Singapura mendapatkan kesempatan jauh lebih luas untuk melanjutkan spesialisasi-spesialisasi tertentu. Bahkan karena saking kompetitifnya, banyak dokter spesialis yang spesifik. Misalnya, terdapat dokter khusus menangani trauma akibat olah raga. Berbagai rumah sakit juga dibangun baik milik pemerintah maupun swasta.

Tapi persoalannya, dari manakah pasien rumah-rumah sakit itu? Bukankah masyarakat Singapura relatif terjaga kesehatannya, sehingga sedikit yang sakit? Jumlah rumah sakit pasti tidak sebanding dengan jumlah pasien dari warga Singapura. Dari mana lagi pasien itu kalau bukan dari Indonesia.

"Dari pasien luar negeri, sebanyak 70% pasien berasal dari Indonesia, sisanya terbagi dari berbagai negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara Asean lainnya, serta negara-negara Timur Tengah," kata Suwandi Leo, Senior Marketing Manajer (Indonesia) Parkway Group Healthcare PTE LTD, yakni sebuah perusahaan pemasaran rumah-rumah swasta di Singapura seperti RS East Shore, Gleneagels, dan Mount Elizabeth.

Nah lho! Dan pasien itu akan semakin banyak. Alam dan iklim di Indonesia semakin tidak kondusif untuk manusia hidup. Hutan yang gundul dijamin akan mendatangkan banjir dan petaka. Asap dari gas buangan sudah tidak dijadikan pertimbangan lagi menjadi prasyarat tempat manusia hidup normal. Akibatnya, RS-RS di Indonesia selalu penuh sesak, sehingga tidak sedikit pasien yang datang pukul 10.00 pagi baru dapat kamar pukul 12.00 malam. Bahkan jauh lebih banyak masyarakat yang membiarkan dirinya sakit terbaring di rumah tanpa ada yang memedulikannya, karena para tetangganya juga sama-sama miskin sehingga tak mampu bergotong-royong membawa ke rumah sakit.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia yang secara ekonomi lebih beruntung segera terbang ke Singapura untuk berobat. Bukankah perjalanan Jakarta-Singapura lebih cepat ketimbang Jakarta-Medan? Berobat di Singapura tidak perlu antre panjang, dan menunggu dokter yang tidak kunjung tiba. Justru berobat ke Singapura sudah dijemput sejak di bandara dan sampai rumah sakit langsung ditunggu dokter spesialisasi yang diinginkan.

Duh! Kok malah Singapura sih yang mampu melaksanakan "syukrun ni'mah", maksudnya selalu mampu melipatgandakan kenikmatan yang dimilikinya. Sedangkan rakyat Indonesia justru kebagian "siksa Tuhan yang pedih" terus-menerus. Pasti ini terjadi missmanagement. Tapi siapa yang mampu memperbaikinya? (Wakhudin)

Agama Membentuk Karakter Bangsa


SITUASI yang terjadi di Indonesia saat ini, bisa jadi, merupakan bagian dari tesis Samuel P. Huntington tentang benturan peradaban (The clash of civilization). Jika di masa lalu, konflik terjadi berdasarkan peta ideoligis, Barat dan Timur, namun setelah perang dingin berakhir, perbenturan terjadi berdasarkan peta peradaban dunia. Secara garis besar ada delapan peradaban dunia yang potensial saling berbenturan, yakni Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Namun potensi konflik yang paling besar adalah perbenturan antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.

Bahwa Indonesia setelah dipimpin oleh rezim otoriter selama 32 tahun kemudian terempas ke tubir jurang kebangkrutan, memang iya. Namun, itu terjadi sejak tahun 1997-an atau akhir abad ke-20 di mana ketika itu Presiden Soeharto semakin kentara keberpihakannya kepada Islam. Padahal sebelumnya, Indonesia dipuji-puji sebagai emerging force di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat menakjubkan bersama Korea Selatan. Ekonomi negeri ini hancur setelah George Soros bermain valas, sehingga membenamkan rupiah sampai nilai terendah Rp 16.000,00/dolar AS. Padahal, ketika itu pemerintah bersama swasta sedang jatuh tempo untuk membayar utang-utang luar negari kepada para donatur. Itulah sebabnya, Indonesia kemudian menyerah kepada International Monetery Fund (IMF).

Penyerahan masalah ekonomi Indonesia kepada IMF, bisa jadi merupakan bagian dari skenario Barat dalam melakukan perbenturan peradaban dengan Islam. Sebab, bagaimanapun, Indonesia merupakan negara yang sangat besar dengan jumlah umat Islam terbanyak. Itulah sebabnya, Huntington dituduh bukan sekadar futurolog, melainkan seorang provokator yang memanas-manasi Barat untuk melakukan perbenturan peradaban.

Perbenturan Barat dengan Islam dilakukan secara fisik maupun secara moral. Penyerangan AS yang dibantu Inggris, Australia, dan mitra koalisi lainnya ke Irak merupakan ekspresi perbenturan fisik. Konflik ini bisa jadi merembet ke Iran dan Suriah, serta negara-negara Islam lain yang dinilai membandel kepada Barat.

Sedangkan perang secara moral dilakukan terhadap Indonesia. Proses utang-piutang Indonesia dengan para donatur yang sebagian besar dari negara-negara Barat bukan tanpa skenario jangka panjang. Para donatur juga bukannya tidak tahu adanyanya korupsi dan kolusi dalam penggunaan dana mereka. Bisa jadi, mereka justru memfasilitasi para pejabat untuk mengorupsi dana pinjaman mereka. Perang dilakukan dengan cara pembusukan para pejabat melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Nama Indonesia sebagai negara Timur yang dikenal sangat religius pun runtuh. Kegiatan ritual siang-malam tidak cukup untuk menutupi aib sebagai negara paling korup di dunia. Bahkan secara finansial, negeri ini selalu mengalami defisit anggaran, sehingga mau tidak mau harus terus berutang kepada IMF untuk menutupi utang-utang yang menggunung sebelumnya. Ya, Indonesia kini telah kalah secara moral, dan hancur mental keagamaannya akibat KKN. Nilai-nilai yang bersifat kebendaan dan hedonistis menjadi panglima, sedangkan nilai-nilai religius yang menjadi kebanggaan selama ini, justru semakin ditinggalkan. Itulah inti kebangkrutan negeri ini yang semakin lama justru semakin parah.

Pendidikan karakter bangsa yang didasarkan atas nilai-nilai religius saat ini sangat penting. Berbagai studi tentang pengajaran agama yang efektif amat diperlukan untuk mengembalikan semangat juang asli bangsa ini kepada semangat pengabdian kepada Tuhan, bukan mengabdi kepada materi. Itulah sebabnya, mempelajari agama dan nilai-nilai moral menjadi relevan. Bangsa ini perlu disemangati untuk kembali meraih karakternya sebagai bangsa yang religius, adil, dan makmur. Kita perlu menyerukan kembali pernyataan Presiden I RI Ir. Soekarno tentang nation character building. Membangun kembali karakter bangsa.

Andil agama

Agama sangat kuat dan memiliki andil besar dalam proses pembentukan karakter seseorang, jika agama tersebut diajarkan secara benar. Tak ada yang membantah, terdapat hubungan positif antara agama dan pembentukan karakter yang baik. Yang sering menjadi persoalan dan lelucon adalah sering terjadi tak adanya hubungan antara orang yang pengetahuan agamanya baik (secara kognitif) dengan perilakunya sehari-hari.

Peran agama dalam proses membentuk karakter bangsa, adalah menjadikan moral agama menjadi pemimpin dalam kehidupan bangsa tersebut sehari-hari. Sergiovanni (1992) mengemukakan, kepemimpinan moral jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kepemimpinan tradisional. Sebab, jika moral telah menjadi pemimpin dalam setiap individu, seseorang itu akan melakukan yang terbaik, baik ada yang mengawasi atau tidak. Sebab, yang mengawasi adalah moral itu sendiri yang dalam dirinya menjadi pemimpin.

Seseorang yang menjadikan moral agama sebagai pemimpin, maka ajaran agama akan menjadi petunjuk dalam setiap perilakunya. Mereka tidak perlu pengawasan secara fisik, sebagaimana para mandor mengawasi para buruh bekerja, melainkan dalam setiap dirinya sudah ada "pengawas". Dalam ajaran Islam, "para pengawas" itu disebut dengan malaikat pencatat amal yang diyakini senantiasa mencatat perbuatan setiap manusia yang disebut Malaikat Raqib dan Atid. Dengan kepemimpinan moral seperti itu, setiap orang yang beragama dengan sendirinya akan berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Emile Durkheim (1925), misalnya, mengemukakan, bagaimanapun, moral senantiasa krusial, baik dilihat secara teori maupun praktik. Secara teoretis, moral merupakan sistem intrinsik ketahanan manusia dalam hubungan dengan orang lain, dalam soal ini termasuk kemampuan memaksa diri untuk berperilaku dan berbuat baik, sehingga pada akhirnya menciptakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kesatuan masyarakat. Sementara secara praktis, moralitas merupakan syarat mutlak terciptanya suatu bangsa yang sehat, bahkan menjadi tidak bisa dinafikan jika bangsa itu ingin survive.

Itulah sebabnya, jika suatu bangsa menjadikan agama sebagai sumber moral, maka jalan hidup bangsa tersebut akan lurus. Bahkan dalam Islam, suatu bangsa yang beriman dan bertakwa, maka Tuhan menjamin negeri itu mendapatkan kemakmuran dan kejayaan. "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya," firman Allah dalam Alquran Surat Al-A'raf, 7:96.

Sayangnya, agama belum menjadi inspirasi moral di negeri ini. Bahkan, moral secara umum belum menjadi pemimpin bagi sebagian besar anak bangsa termasuk para pemimpin. Itulah sebabnya, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tetap merajalela. Mereka tidak memiliki kendali secara intrinsik yang mampu menolak saat akan mengambil uang rakyat demi kepentingan diri sendiri dan kelompok.

Pembentukan moral bangsa yang dilandasi kepercayaan keagamaan sebagaimana yang selama ini kita banggakan sebagai bangsa yang religius, perlu kembali digaungkan. Semangat pendiri bangsa (founding father) Ir. Soekarno untuk membangun karakter bangsa (nation character building) saat ini justru sangat relevan untuk menyelamatkan negeri ini dari malapetaka. Dengan pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan agama, pada gilirannya kita mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain.(Wakhudin)