Sabtu, 11 Desember 2010

Keracunan Informasi


MEDIA selama ini berparadigma bahwa bad news is good news. Berita buruk adalah berita baik. Semakin buruk suatu keadaan, semakin baik untuk diberitakan. Musibah dengan korban ribuan jiwa menjadi berita yang lebih baik dibandingkan dengan kecelakaan dengan korban ratusan jiwa. Semakin kecil jumlah korban, semakin kecil nilai news-nya. Akibat paradigma ini, maka setiap media berupaya menampilkan berita buruk. Demontrasi yang dilakukan secara damai dianggap kurang menarik. Sebaliknya, unjuk rasa yang chaos disertai dengan pengrusakan dianggap sebagai berita yang lebih bagus ketimbang penyampaian pendapat secara prosedural.
Maka, televisi, radio, surat kabar, dan situs berita seperti berlomba memberitakan berbagai peristiwa kriminal. Semakin sadis suatu pembunuhan akan mendapatkan pemberitaan secara berulang-ulang dan terus menerus. Apalagi jika jumlah korbannya tidak tunggal, dan cara membunuhnya pun dengan cara kejam. Pembunuhan dengan cara apa pun sesungguhnya sadis, tapi pembunuhan yang disertai mutilasi akan menambah “bumbu” berita, sehingga semakin menarik diberitakan.
Penyelewengan dalam penegakan hukum menjadi menu utama informasi sepanjang pagi, siang, sore dan malam. Korupi yang merajalela masuk dalam agenda pemberitaan yang tidak pernah habis. Apalagi jika yang melakukannya penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, maka peristiwanya tak kunjung habis dan pemberitannya tak kunjung tuntas. Apalagi jika unsur politik masuk di dalamnya, maka berita menjadi semakina mengharu biru. Ditambah saling tuduh, saling menyalahkan, saling memaki, bahkan pada akhirnya saling mengerahkan massa.
Informasi buruk mengalir deras bagaikan air bah yang tak bisa dibendung. Saat menikmati rendang dan ayam pop di restoran Padang sekalipun, tiba-tiba mata tak sengaja mengikuti berita kriminal yang ditayangkan TV. Suami membunuh istrinya, atau cucu membunuh neneknya. Maling motor digebuki sampai tewas. Darah terus mengalir di mana-mana, nyawa juga meregang karena sia-sia. Tapi kita tetap asyik menikmati rendang beserta kuah dan sambal hijaunya. Sadisme yang ditayangkan TV seperti tak ada kaitannya dengan penikmat makanan Minang.
Karena berita kekerasan, penyelewengan, sadisme, pornografi dan pornoaksi terus memenuhi otak membanjiri lambung bangsa Indonesia, maka bangsa ini secara tidak sadar keracunan informasi. Masyarakat secara perlahan semakin permisif dan menganggap bahwa menyeleweng dan berkianat sebagai sesuatu yang lazim. Bahkan, secara perlahan, mereka mati rasa. Melihat pengendara sepeda motor yang terkapar di jalan akibat kecelakaan pun menjadi biasa. Tak ada yang perlu dibicarakan, bahkan dengan nyaman lewat begiu saja, tanpa ikut menolong.
Sejak kebebasan informasi diperkenalkan, maka sepanjang itu pula bangsa Indonesia menghirup racun informasi. Kini keadaannya semakin tak keruan. Agar normal, bangsa ini membutuhkan informasi penawar yang dapat menormalkan suasana. Membalikkan informasi dari yang serbaburuk kepada yang serbabaik bukanlah jalan keluar yang panasea. Sebab, peristiwa bagus sering tidak menarik sehingga tidak menjadi berita bagus.
Namun dalam keadaan bangsa Indonesia sdang mengalami keracunan informasi, kabar yang mencerahkan dan menyenangkan dapat menjadi obat penawar, Bahkan dapat menjadi oase bagi bangsa Indonesia yang sudah lama mengembara di belantara informasi serbanegatif.
Berita bagus yang dapat menginspirasi orang lain berbuat kebajikan adalah saat ini diperlukan. Sebab, kebaikan dapat diajarkan kepada orang lain melalui tingkah laku dan contoh. Maka, kalau bangsa ini ingin kembali normal, media ditantang memberikan solusi secara bertanggung jawab dengan mengungkapkan fakta tentang petingnya menginspirasi masyarakat berbuat baik. Cara ini bukan berarti tidak kritis. Kritis silakan, tapi perlu menginspirasi masrakat lain untuk berbuat yang terbaik. (Wakhudin/”PR”)***