Rabu, 22 April 2009

Gula


GULA rasanya manis. Sangat nikmat dan bermanfaat jika digunakan untuk mencampur minuman atau bumbu masakan dengan ukuran yang pas. Anak suka memakannya yang dikemas dalam kembang gula. Masyarakat Cirebon dan Tegal menggunakan batu gula untuk teh poci. Orang tua yang bejat moralnya suka "gula-gula", permainan wanita di antara pekerjaannya.

Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadikan gula sebagai lambang kesejahteraan. Kalau bertamu kepada mereka dan disuguhi minuman bergula, itu menunjukkan bahwa mereka sedang memiliki rezeki yang cukup, setidaknya cukup membeli gula. Sebagian besar masyarakat Sunda dan Jawa Barat tidak suka gula. Itulah sebabnya, teh yang disajikan saat bertamu tidak mesti terasa manis. Gula atau glukosa sangat bermanfaat untuk tubuh, khususnya untuk membentuk tenaga. Tetapi jika kadar gula di dalam darah terlalu banyak maka bisa menyebabkan sakit gula.

Demokrasi tak ubahnya gula. Paham yang memberikan kesempatan luas bagi konstituen ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi demokrasi jika diberikan kepada masyarakat terlalu besar bisa juga kontraproduktif. Kebebasan yang kebablasan bisa menggoyahkan stabilitas nasional. Dalam beberapa kasus, ketika keran demokrasi diberikan secara lebih leluasa kepada masyarakat, yang memanfaatkan lebih optimal kebebasan ini justru para penjahat, petualang, dan kaum spekulan.

Pemilu 2009 secara sistemik relatif lebih demokratis dibandingkan dengan Pemilu 2004 atau pemilu sebelumnya. Di masa lalu, calon jadi adalah calon yang menempati nomor urut awal. Sistem ini memungkinkan manipulasi oleh para pengurus partai, sehingga hanya orang yang menguasai partai yang dapat mengatur siapa yang jadi anggota legislatif. Pemilu 2009 sekarang ini memungkinkan semua caleg memenangi pemilu, selama perolehan suaranya memenuhi angka yang ditetapkan walaupun berada pada nomor urut bontot.

Meski demikian, karena semua caleg mempunyai peluang yang sama memenangi pemilu maka setiap apa pun yang terjadi di tempat pemungutan suara menjadi sangat sensitif. Jika kartu suara tercoret sedikit akibat error, misalnya, maka coretan tak sengaja pun bisa diklaim sebagai pencontrengan. Demikian pula saat penetapan suara, seberapa pun selisih suara akan menentukan apakah seorang caleg akan mendapatkan kursi atau tidak. Kebebasan ini juga memberikan celah konflik yang lebih luas, baik bagi caleg internal partai maupun caleg antarpartai.

Dapat dikatakan, Pemilu 2009 adalah ujian bagi demokrasi bangsa Indonesia. Apakah gula demokrasi yang dicampurkan dalam politik ini proporsional, sehingga hasilnya dapat direguk dengan nikmat oleh bangsa Indonesia atau bahkan sebaliknya, gula yang terlalu banyak justru memperparah sakit gula yang memang belakangan ini menyebabkan memar di beberapa bagian tubuh bangsa Indonesia.

Kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kunci apakah gula demokrasi ini dapat dicerna dengan baik, sehingga demokrasi menjadi wahana mengantar bangsa Indonesia ke pintu gerbang kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebaliknya, jika gula demokrasi ini hanya mendatangkan mudarat, maka semua pihak harus ikhlas melakukan evaluasi. Yang pasti, bukankah semua tidak suka menghadapi otoritarianisme? (Wakhudin/"PR")***

Agamis Versus Nasionalis



SIAPA yang akan menduduki kursi Presiden RI 2009-2014 dengan mudah dapat ditebak, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab, kemenangan Partai Demokrat pada hakikatnya merupakan hadiah rakyat untuk Yudhoyono yang dinilai berhasil menciptakan stabilitas politik. Yang kini sedang menjadi pertempuran seru justru siapa yang akan mendampingi Yudhoyono meneruskan masa baktinya lima tahun mendatang, kelompok partai agamis atau nasionalis?
Memang tidak ada garis perbedaan yang tegas antara partai agamis dan nasionalis. Bahkan dapat dikatakan tidak ada, tapi kenyataannya ada. Atau sebaliknya disebut ada, tapi tidak ada yang mengaku. Sebab, politikus yang agamis sekaligus seorang nasionalis. Atau sebaliknya, tokoh nasionalis tapi bersikap saleh dan rajin beribadah.
Tulisan ini mengacu kepada anggapan tradisional bahwa partai politik di tanah air terpolarisasi ke dalam dua kelompok, agamis dan nasionalis. Disebut agamis karena konstituennya mengandalkan basis umat beragama, seperti PAN yang lebih banyak didukung warga Muhammadiyah, PKB yang dipilih kaum Nahdliyin, PKS yang di-support kaum muda Muslim dan seterusnya. 
Sedangkan partai nasionalis adalah partai yang konstituennya khas bangsa Indonesia, beragama tapi tidak bergabung dalam kelompok agama mana pun. Sebagian pakar menyebut konstituen ini dengan sebutan kaum abangan, sedangkan konsituen partai agama adalah kaum santri.
Secara tradisional juga, jumlah konstituen partai beragama berkisar 40%, sedangkan konstituen partai nasionalis sekitar 60%. Jumlah ini ternyata tidak kunjung berubah, meskipun jumlah partai politik bertambah atau berkurang, bahkan berganti baju dan berubah nama.
Mengacu kepada komunikasi politik parpol sebelum berlangsung Pemilu Legislatif, 9 April lalu, Yudhoyono mestinya berkoalisi dengan partai yang berkomitmen mendukungnya. Beberapa parpol yang kukuh bersanding adalah PKS, PKB Muhaimin Iskandar, dan PAN (meskipun sebagian bersikap oposisi).
Sedangkan Partai Golkar terlanjur declare akan mencalonkan Ketua Umumnya, Jusuf Kalla. PDI Perjuangan sejak “pagi hari” sudah menggadang calon wakil presiden yang akan mendampingi Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri. Maka, PDIP pun sibuk mematut-matut diri dengan para politikus dari partai lain untuk menghadang laju Yudhoyono.
Kini, pemilu legislatif telah berlalu. Hasil real count belum selesai dihitung, tapi hasil quick count sudah menjadi dasar penghitungan politik selanjutnya. Intinya, hasil Pemilu 2004 sama sekali berbeda dengan Pemilu 2009. Partai Demokrat keluar sebagai satu-satunya partai yang tanpa berkoalisi pun mampu mengajukan Yudhoyono sebagai calon presiden.
Maka, pertempuran siapa yang akan menjadi presiden nyaris fix, Yudhoyono. Persoalannya, siapa yang akan mendampingi dia? Politikus dari partai agamis atau nasionalis? Menilik dari komunikasi politik sebelum pemilu legislatif, maka calon wapres yang dapat mendampingi Yudhoyono adalah dari PKS, mungkin Hidayat Nurwahid. PKS merupakan partai agamis tertinggi perolehan suaranya. Di samping itu, PKS juga menjadi pendukung utama Partai Demokrat dalam Pemilu Presiden 2004. Selama proses pemerintahan SBY-JK, PKS juga tidak melakukan tindakan wanprestasi.
Persoalannya, kaum nasionalis tentu tidak rela jika Yudhoyono kemudian dikelilingi kaum agamis. Mereka khawatir, iklim politik kembali seperti ujung pemerintahan Orde Baru di mana kabinet dan parlemen bernuansa ijo royo-royo. Hasil pemilu 2009 ini tidaklah menghijaukan legislatif, tapi warna itu bisa mendominasi kabinet.
Itulah sebabnya, Partai Golkar yang semula berniat berkoalisi dengan PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan. Sebagian rela menjilat ludahnya untuk berpisah dengan Yudhoyono dan kembali merapat ke Partai Demokrat. Namun sebagian lain terus mencari jalan agar langkahnya tetap konsisten, mandiri dari Yudhoyono.
PKS tentu tidak happy dengan langkah Golkar yang dinilai plin plan ini. Itulah sebabnya, Sekjennya Anis Matta menyatakan akan keluar dari koalisi dengan Partai Demokrat jika Yudhoyono kembali berduet dengan Kalla. Jika duet SBY-JK diulang dalam Pemilu Presiden 2009 ini, maka peta politik dapat berubah. Katakanlah, PKS kemudian mengajukan capres sendiri dengan menggalang kekuatan sesama partai agamis. 
Jika PKS berhasil mengumpulkan kekuatan konstituen kaum agamis secara optimal, dia akan meraih suara 40% dalam pilpres mendatang. Jumlah ini tentu dapat menjungkirbalikkan penghitungan, terutama jika kaum nasionalis lain, dalam hal ini PDI Perjuangan, juga mengajukan calonnya sendiri. Maka, suara nasionalis yang 60% bisa terpecah ke dalam kubu Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-10 nasionalis. Sebutlah, Megawati meraih suara minimal 20%, maka suara Yudhoyono akan mendapat 40%. Artinya, SBY-JK dan partai agamis akan meraih suara yang imbang. Baru setelah pilpres kedua, Yudhoyono dapat kembali di atas angin.
Soal calon wapres memang terpulang kepada Partai Demokrat dan Yudhoyono. Kalau mereka memilih partai agamis, maka bangunan politik nasional semakin lengkap, nasionalis didukung agamis. Tapi jika nasionalis bergabung dengan nasionalis, sementara politikus agamis termarginalkan, maka stabilitas politik 2009-2014 kembali dipertanyakan. Tapi semua terpulang kepada sang pemenang, toh semua adalah pilihan-pilihan. (Wakhudin/”PR”)***

Legawa



NAPAS Resi Bhisma sudah di tenggorokan. Panah Srikandi tepat mengenai jantungnya dalam Perang Bharatayudha. Kresna dan Pandawa lima pun mendekat, demikian pula Duryudana dan Korawa. Saat menjelang ajal, pewaris tahta Astina ini ingin istirahat di tempat yang nyaman. Maka Duryudana membawakan tempat tidur yang terbaik agar Bhisma bisa beristirahat. Tapi ditolak. Sedangkan Werkudara membawakan bekas peralatan perang seperti patahan tombak, pedang yang buntung, pecahan meriam dan sebagainya. Bhisma pun menerima pemberian Pandawa dengan senyum bahagia.
Sebelum tidur, Bhisma meminta air minum yang dapat menghilangkan rasa hausnya. Maka Korawa membawakan anggur yang paling mahal dengan aneka macam jus buah segar. Tapi lagi-lagi ditolak. Sedangkan Pandawa membawakan air bekas mencuci peralatan perang. Bhisma meminum air bekas mencuci peralatan perang itu. Bagi dia, seindah-indahnya kematian adalah orang yang mati di dalam peperangan karena membala negara. Mati di dalam peperangan ditandai dengan tidur di atas potongan senjata dan minum air bekas mencuci peralatan perang.
Bhisma sesungguhnya pewaris tahta Astina yang sah. Tapi demi kesetiaan kepada ayahnya Prabu Sentanu yang menyerahkan negara kepada anak dari istri keduanya, ia ikhlas tidak menduduki tahta itu. Tapi saat Bharatayudha pecah, ia berada di kubu Korawa, dengan alasan ia membela negara Astina. Siapa pun yang menyerang Astina, dia akan membelanya. Meskipun kalah oleh tentara wanita, Srikandi, ia tetap mati sebagai ksatria yang mulia. Pandawa maupun Korawa sama-sama menghormatinya. Kematian bagi Bhisma merupakan jalan terbaik untuk berkumpul dengan istrinya Ambika dan Ambalika yang telah menanti di pintu sorga.
Seperti Bhismalah mestinya calon anggota legislatif yang kalah dalam pemilu, 9 April 2009. Kekalahan tidak dianggap sebagai “kiamat”, akhir dari segalanya. Orang yang menghargai demokrasi akan menerima apa pun yang menjadi pilihan rakyat. Sebaliknya, meskipun mengaku sebagai orang yang demokrat, jika menafikan pilihan rakyat, dan asal menggugat, maka ia hakikatnya orang yang sesat. Demokrasi membutuhkan kedewasaan sikap, bukan asal embat.
Apa pun hasil pemilu, semua pihak harus menerimanya dengan lapang dada. Sebab, kekalahan hanyalah satu titik pandang, sebab di balik kekalahan ada kemenangan. Setidaknya, kemenangan moral. Sesungguhnya di balik siang adalah malam, di balik malam ada siang. Begitulah hakikat hidup.Yang menang tak perlu sombong dan kembang kempis hidungnya. Yang kalah dan tidak meraih suara yang cukup untuk menduduki kursi legislatif masih berhak menjadi orang yang terhormat. Caranya, bersikap jantan, mengakui kemenangan lawan. Bukan malah sumpah serapah, sembari mencari orang yang salah, nanti ujung-ujungnya mencari rumah sakit jiwa yang murah.
Bahwa dalam proses pemilu ada kesalahan dan kecurangan, itu adalah “lazim”. Semua orang boleh mempersoalkan dan mengajukan gugatan ke lembaga yang berwenang. Indonesia butuh manusia ksatria yang ikhlas dan legawa menghadapi realita. Asal berbeda dan waton sulaya selalu bagus dimainkan pelawak untuk memancing orang tertawa. Tapi peristiwa yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menentukan arah peradaban tak cukup diserahkan kepada para pelawak. Para ksatria harus istikamah pada darmanya, menjaga moralitas bangsa. (Wakhudin/"PR")***