Senin, 25 Februari 2008

Negeri yang Sakit

MERELAI Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) bagi televisi dan radio swasta seakan-akan najis dan haram. Menyiarkan kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dinilai tidak reformis, sentralistis, tidak demokratis, tidak bermutu, dan seterusnya. Alasannya, rakyat saat ini sudah cerdas dan pintar. Tidak saatnya lagi mereka terus dicekoki pemerintah.Tetapi aneh, sementara menolak TVRI dan RRI, kita justru merelai Voice of America (VoA). Kita mesti menerima berbagai berita dari ujung dunia dengan kultur yang amat jauh berbeda. Saking seringnya menyaksikan dan mendengar berita soal salju, misalnya, kita pun jadi rindu musim salju. Padahal, negeri kita bermusim tropis, tak ada salju kecuali di puncak Gunung Jayawijaya di Provinsi Papua. Saking inginnya melihat salju, kita pun amat bangga dan bersuka cita menikmati salju buatan, seakan-akan hidup di negeri Barat.Karena arus informasi semakin timpang, semua yang berbau Barat seakan terasa modern, elegan, bagus, rasional, dan terbaik. Iklan makanan dengan menyebut American taste membuat air liur kita keluar, ngiler, seakan-akan bercita rasa tinggi. Mobil, motor, dan mesin kalau tidak menggunakan oli buatan negeri sono sekan-akan bunyinya lebih kasar dan cepat rusak. Sebaliknya, menggunakan produk mereka bunyi mesin seakan-akan nyaris tak terdengar, lembut, dan mesin awet meskipun dibawa ngebut.Ini tentu tabiat kita yang aneh dan sakit, sebagaimana tetangga saya yang menderita jantung koroner akibat penyempitan pembuluh darah. Saat orang lain hareudang dan berkipas-kipas setelah Bandung lama tidak turun hujan dan kepanasan, dia justru mengenakan jaket. Katanya, kedinginan. Sebaliknya, saat orang lain kedinginan dan merasa nyaman berselimut, dia malah berkeringan dan kepanasan. Perasaannya baru kembali normal setelah dia menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta.Negeri kita jangan-jangan sakit seperti tetangga saya. Rakyat semakin alergi terhadap berbagai slogan yang membangun. Kata-kata "kesatuan dan persatuan", "ideologi bangsa", "Pancasila", "gotong royong", "sopan -santun", tidak lagi populer. Yang haram menjadi seakan-akan halal. Sebaliknya, yang haram seakan-akan menjadi halal. Cobalah Anda berpura-pura ngotot mengatakan bahwa poligami adalah halal dan boleh, maka sekian mata kemudian melotot, mengutuk. Sebaliknya, menggandeng pasangan baru tanpa menikah karena sudah lama menjomblo, kemudian masuk kamar hotel bersama, menjadi kebanggaan. Para selebriti yang demikian dengan bangga masuk dalam acara gosip. Bahkan, saat hamil di luar nikah pun, dia tidak merasa bahwa peristiwa yang menimpanya adalah aib. Lain waktu ia muncul lagi dengan pasangan baru, tanpa menikah lagi.Duh... Gusti Allah...! Dunia kita sudah terbalik-balik. Bagaimana mungkin kita dapat maju jika kita tidak mengenai apa sejatinya kemajuan itu. Yang kita sangka kemajuan, justru itulah kebangkrutan. (Wakhudin)

Tidak ada komentar: