Senin, 12 November 2012

Pemilu Penuh Penghibur



Oleh WAKHUDIN
(Dosen Komunikasi Politik Program Pascasarjana Unisba dan FP IPS Universitas Pendidikan Indonesia)

PEMILIHAN Gubernur dan calon Gubernur Jawa Barat 2013 tak ubahnya panggung hiburan. Full entertainment. Dari lima pasangan calon, tiga pasang di antaranya artis. Paling pertama mendaftar Rieke Diah Pitaloka yang di panggung hiburan dikenal dengan Oneng. Ia berpasangan dengan Teten Masduki.  Gubernur incumbent Ahmad Heryawan juga memilih berpasangan dengan artis, Dedy Mizwar. Dede Yusuf yang berpasangan dengan Lex Laksmana juga seorang artis, meskipun sudah malang melintang di dunia politik. Hanya dua pasang yang bukan artis, yaitu Irianto M.S. Syafiudin yang berpasangan dengan Tatang Farhanul Hakim dan Dikdik Muliana Arief Mansur yang berpasangan dengan Cecep Nana Suryana Toyib.
Fenomena ikut sertanya entertainer dalam panggung politik menggambarkan semakin pragmatisnya dunia politik di tanah air. Memenangi pemilu memang membutuhkan popularitas. Maka supaya menang dalam pilkada, stakeholders di bidang politik langsung mencomot orang yang populair yang biasanya bejibun di panggung hiburan. Pada kenyataannya, menyertakan artis dalam pemilihan umum sangat efektif dalam mendulang suara. Itulah sebabnya, artis semakin laris manis di panggung politik. Soal kinerja pun hampir tidak ada bedanya. Toh pemimpin bisa didampingi birokrat kawakan dan para ahli. Sukses tidaknya memimpin bergantung dari kemampuan memilih yang terbaik dari para stafnya.
Masuknya artis panggung hiburan dalam dunia politik dan efektifnya mereka sebagai  pendulang suara sekaligus menggambarkan bahwa hiburan kini menjadi panglima bagi bangsa Indonesia. Apa pun problem yang dihadapi bangsa, maka hiburan jawabannya. Masyarakat yang sedang memiliki rasa suka, duka, sedih dan bahagia, mungkin tepat mendapatkan solusi hiburan. Tapi problem yang berkaitan dengan semakin sempitnya lapangan kerja, semakin mahalnya biaya pendidikan, tata kota yang semrawut, disparitas antara si kaya dan si miskin dengan si kaya, problem berkaitan dengan ketahanan dan keamanan, apakah juga akan diselesaikan dengan hiburan?
Penulis tidak mengatakan bahwa para artis tidak akan mampu memimpin. Tapi persoalan bangsa dan negara sebaiknya dipegang orang yang tepat, yaitu politikus sekaligus negarawan. Problemnya, para politikus kerap lebih pragmatis dan tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Mereka lebih suka mengambil jalan pintas dalam mencapai kekuasaan, ketimbang membangun sistem yang baku. Partai politik yang mestinya menjadi wadah dan akses  ke kekuasaan tak berbeda dengan pasar bertransaksi kekuasaan dan jual beli politik. Ideologi  yang lazim menjadi ruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak lagi berbekas.
Maka pada saat sistem politik berjalan tidak normal, bisa jadi, artis lebih baik dalam memimpin bangsa ketimbang politikus, manakala jiwa dan hatinya diwakafkan untuk bangsa dan negara. Dalam kondisi sistem politik tak berfungsi dengan baik seperti itu, politikus lebih tahu secara teknis dan taktis bagaimana mengumpulkan kekuasaan di tangannya untuk kepentingan diri sendiri  dan kelompoknya ketimbang berpolitik untuk bangsa dan negara. Tapi, sebaik-baik perkara adalah yang proporsional. Artinya, politikus adalah orang yang bekerja di bidang politik. Maka yang paling proporsional memimpin bangsa adalah politikus, tapi harus total dan berjiwa negarawan, bukan sekadar berdagang di dunia politik.
Memangnya para penghibur dilarang terjun ke dunia politik? Tak ada konstitusi yang melarang mereka. Politik adalah wilayah terbuka yang bisa dimasuki siapa pun. Setiap warga negara mempunyai hak masuk ke dalam dunia politik, baik melalui partai politik maupun jalur lain yang memungkinkannya. Namun, Indonesia harus mulai belajar tertib. Politik merupakan wilayah yang amat sangat strategis dan penting, karena menyangkut masa depan kehidupan bangsa dan negara. Di tangan mereka lah arah kehidupan negeri ini ditentukan. Maka, ketika politik dipegang tokoh yang tidak proporsional, arah kehidupan bangsa tidak lurus.
Para penghibur, biarkankan bekerja total dengan mengibur rakyat di panggung hiburan. Sementara dunia politik sebaiknya diurus para politikus. Demikian pun persoalan ekonomi, biarkan diurus ekonom, soal agama diurus agamawan dan kiai, dan seterusnya. Saat hiburan menjadi panglima, maka para penghibur memasuki setiap relung kehidupan dengan tidak proporsional. Semua persoalan, dari masalah sajadah hingga haram jadah dikomentari mereka, meskipun tidak menguasai materinya. Apalagi, ucapan para selebritis saat ini lebih diikuti ketimbang ucapan para moralis dan pemegang otoritas di bidang keagamaan. Maka, kehidupan hedonistis semakin mewarnai kehidupan bangsa.
Bahwa kondisi kita karut marut, ya. Misalnya, artis dan ekonom justru memegang kendali politik, sementara politikus justru sibuk “berdagang”. Namun bukan berarti kita berhenti sampai di sini. Akademisi dan para pengambil keputusan perlu mulai meluruskan kehidupan yang tidak linear ini. Kehidupan harus mulai berjalan normal. Kalaupun sekarang belum normal, setidaknya, para artis yang terjun di bidang politik perlu mendedikasikan hidupnya untuk politik dan negara secara total. Jadilah negarawan, bukan sekadar petualang politik, apalagi sekadar calo politik yang menjadi boneka para petualang yang mengail di air keruh.
Kembalikan kehidupan pada relnya masing-masing. Politik yang dimasuki segala macam jenis orang dan profesi telah tercemar menjadi lembaga yang terkesan kotor, menghalalkan segala cara, brengsek, dan berbagai stigma buruk yang lain. Padahal, politik adalah mulia, seperti bidang lain yang memungkinkan bagi pelakunya untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.  Saatnya bangsa Indonesia melakukan purifikasi, agar tidak sembarang orang masuk ke wilayah ini. Hanya negarawan dan bersikap mulia yang pantas memasukinya.***

Sabtu, 28 Juli 2012

Mencoba "Menikmati" Paniknya Dikejar Aparat

SETELAH berkeliling menelisik warung-warung di Kampung Cibogo, Cipatat, Kabupaten Bandung, dari mulai rumah makan khas Sunda hingga sepanjang lima ratus meter ke arah Cianjur beberapa kali, saya akhirnya singgah di sebuah warung yang tidak terlalu ramai. Warung yang satu ini hanya dihuni dua orang penjaga laki-laki dan seorang perempuan. Sebutlah namanya Pualam. Cewek yang kira-kira berusia 26 tahun tapi mengaku berumur 21 tahun ini seperti merajuk.
Saya kemudian duduk di atas salah satu kursi dari lima kursi yang tersedia yang sudah mulai sobek dan bolong-bolong. Untuk meyakinkan bahwa saya tidak akan pergi lagi, Pualam menawarkan minuman. Saya langsung menyebutkan teh dingin dalam botol. Ia kelihatan tidak puas dengan jawaban saya. "Nggak minum bir?" katanya.
"Saya tak suka mabuk, juga tak merokok," kata saya.
"Tapi suka cewek?" sergah Pualam.
"Ya, itu saja," jawab saya.
Sembari mengambilkan minuman untuk saya, Pualam me­minta satu botol bir berwarna hitam. Saya mengiyakannya. Kemudian ia membuka dua botol di depan saya. Saya meminum jatah saya langsung dari botol, sedangkan Pualam menuangkan minumannya dalam gelas besar. Sebelum meminumnya, ia kembali meminta saya membelikan untuknya sebuah minuman energi. Setelah saya mengiyakan, Pualam menuangkannya dalam gelas yang nyaris penuh. Setelah minuman dicampurkannya, Pualam pun menyeruputnya dengan rasa nikmat.
Meski kelihatan puas dengan minuman oplosannya, Pualam kelihatan masih kurang sesuatu. "Bagaimana kalau sekalian saya dibelikan rokok?" katanya. Saya pun mengangguk. Kemudian ia buru-buru datang ke counter rokok mengambil sebungkus rokok filter yang isinya 20 batang.
Pualam memang akhirnya menawarkan saya untuk melakukan hubungan seks. Tarifnya Rp 150.000,00 untuk short time, dan Rp 500.000,00 untuk long time, ditambah uang cabutan (untuk mucikari) Rp 50.000,00. Saya menyanggupi membayarnya Rp 150.000,00 untuk sekadar berfoto-foto di kamar-kamar yang biasa dia gunakan untuk melayani para tamunya.
Sembari mengajak Pualam bercerita tentang perjalanan hidupnya, saya mencoba memotretnya dalam beberapa pose. Tapi baru mendapatkan dua kali jepretan, tiba-tiba lampu di kamar kami padam. Pualam pun berteriak, "Aa...! Ada apa, kok lampunya dimatikan?"
Penjaga warung yang dari tadi tengah minum bir sembari setengah berbisik berteriak, "Ada razia...!"
Mendengar kabar adanya penertiban, Pualam segera bergegas. Matanya melihat ke segala arah, kemudian tertuju ke tas miliknya dan menyambarnya. Penjaga warung yang memadamkan lampu kamar tersebut menyarankan kami untuk meneruskan kencan di rumah kontrakannya di belakang warung tersebut. Tanpa banyak bicara, Pualam pun menarik tangan saya ke rumah kontrakan yang disebutkan penjaga warung.
Kami menyelinap dari pintu samping, kemudian menuruni jalan yang begitu terjal dan gelap. Pualam sudah begitu hafal jalan ke arah jurang ini, sehingga meskipun jalannya terjal dan berbatu ia dapat melewatinya dengan sigap. Sebaliknya, saya yang baru malam itu melewati lereng ini gelagapan. Bahkan sesekali kaki terpeleset sehingga nyaris terjatuh. Sebetulnya saya tidak perlu tergesa-gesa seperti Pualam yang lari dari tempat praktiknya, tapi saya harus solider kepadanya dan sekaligus "menikmati" dramatisnya dikejar aparat.
Kami berjalan dengan bergegas sekira 100 meter dari warung yang letaknya jauh di bawah dari warung remang-remang itu. Kami masuk ke dalam rumah petak yang menurut Pualam rumah kos milik penjaga warung. Setelah meletakkan tas miliknya, Pualam kemudian pergi ke kamar mandi yang letaknya di luar. Ia sengaja membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya. Ia khawatir aparat yang tengah me­lakukan razia mendatangi tempat kosnya. Dengan keadaan wajah yang polos ia dapat berkilah bahwa dirinya bukanlah WTS.
Meskipun semua make up sudah dibersihkan dan kemudian mengganti pakaian rumahan, Pualam masih kelihatan panik. Ia kembali mengecek dompetnya, KTP-nya ternyata aman. Kemudian ia mengambil dokumen berwarna merah. Ternyata itu adalah kartu keluarga (KK). Ia mengaku, namanya sudah tercantum dalam daftar sebagai anggota keluarga pemilik warung. Melihat beberapa dokumen yang dimaksudkan sudah lengkap, Pualam kelihatan tenteram.
Meski Pualam sudah mulai tenang, justru kegaduhan terjadi di luar. Kali ini teman Pualam bernama Viruz justru tengah mengalami kepanikan. Ia melihat tiga buah mobil aparat melintas di depan warungnya yang biasa ia gunakan untuk mangkal. Saya menyarankan agar Pualam mengajak Viruz untuk bergabung di kamar kami. Tapi sebelum bergabung, Virus pun pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Ia membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya sebagaimana dilakukan Pualam.
Begitu kumpul bertiga di kamar kos itu, Pualam kemudian melontarkan ide untuk bermain kartu. Ia menyebutnya dengan istilah bermain "merahan". Mereka terbiasa tidur sekira pukul 3.00 atau 4.00 dini hari, padahal malam itu baru menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kembali ke warung bagi mereka tidak mungkin, Pualam dan Viruz tidak mau mengambil risiko ditangkap aparat, sementara untuk tidur sore belum bisa, karena kantuk belum kunjung datang. Bermain kartu adalah alternatif untuk membunuh waktu, sebagaimana mereka selalu lakukan saat-saat menanti para pelanggan.
Saya sebetulnya siap ikut ber­main kartu, namun saya tidak paham sistem "merahan" yang mereka mainkan. Apalagi, Pualam menyarankan agar saya tidak perlu ikut bermain kartu, karena cukup dilakukan dua orang. Saya hanya diminta menjadi donatur, siapa pun yang kalah untuk membayarinya. Sebelum mereka bermain, uang receh yang ada di kantung saya dimintanya, sebagai modal. Dua perempuan ini pun kemudian tenggelam dalam permainan kartu. Sesekali Pualam mengocok kartu, namun kadang-kadang Viruz yang mengo­coknya.
Selama kedua perempuan ini bermain kartu sambil berjudi, saya kembali mengajak mereka mengobrol. Pualam tidak banyak menjawab pertanyaan saya, ia lebih memilih tenggelam dalam kartu yang tengah dipegangnya. Justru Viruz yang lebih mudah untuk bercerita. Meskipun usianya sekarang sudah 35 tahun, ia masih beroperasi sebabagi pelacur. Ia memulai menjadi WTS di Cibogo setelah diceraikan suaminya. Wanita yang mengaku berasal dari Garut ini baru terjun ke dunia esek-esek setelah usianya 30 tahun.
Sejak tidak memiliki suami dan harus menghidupi seorang anaknya, ia memang ingin bekerja. Namun, meskipun sudah melamar ke sejumlah pabrik, ia tidak kunjung diterima sebagai karyawan. Makanya saat ada seorang menawarinya untuk menjadi penunggu warung, ia menyanggupinya. Pada mulanya ia tidak menyangka bahwa menunggu warung sekaligus menjual dirinya untuk berbuat mesum. Itulah sebabnya setelah beberapa bulan di Cibogo ia kembali ke Garut. Namun karena terus didera kemiskianan, Viruz kembali ke Cibogo. Kali ini ia datang sendiri dengan kemauan sendiri, sehingga dijalaninya selama dua tahun.
Pualam maupun Virus saat ditanya kapan akan berhenti menjadi WTS, tidak tahu harus menjawabnya. "Nggak tahu, kapan. Terserah. Apa yang akan terjadi terjadilah," kata Viruz. Pualam pun mengamininya. Kami mengobrol hingga pukul 1.00 dini hari. Penjaga warung tiba-tiba datang, dan menyodorkan bon minuman yang diminum Pualam dan dirinya sendiri ratusan ribu rupiah. Saya pun membayarnya sekalian pamitan.
Setelah menaiki tebing yang begitu terjal, saya pun sampai di depan warung remang-remang itu kembali. Sebagian besar warem tersebut sudah tutup. Rupanya beberapa mobil aparat yang lewat hanya mampir di dua warung tidak bermaksud melakukan razia. Tapi para WTS telanjur lari tunggang langgang. (Wakhudin/"PR")***

Berhaji Hanya Perlu Satu Kata, Pasrah


(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh “rafats”, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Q.S. Albaqarah:197)


PESAWAT take-off pukul 8.00 pagi. Tapi jam 1.00 dini hari, sudah hiruk pikuk. Jemaah yang sudah mulai mengantuk tak lagi bisa tidur. Petugas melalui pengeras suara yang bising meminta mereka naik ke dalam bus yang segera membawanya ke bandara. Pukul 2.00, semua jemaah satu kloter kelihatannya sudah naik ke dalam bus. Ketua kloter yang dibantu ketua rombongan menghitung jemaah satu per satu. Ternyata jumlahnya 449 jemaah, kurang 6 orang.

Maka para karom (ketua rombongan) segera mencari jemaah yang belum masuk ke dalam bus. Dua orang jemaah ditemukan di dalam WC asrama, tapi tidak dapat segera naik bus, karena masih buang hajat. Petugas pun menungguinya, sampai selesai. Sementara dua jemaah yang lain segera menaiki bus setelah mengisap sebatang rokok. Ketua kloter pun kembali menghitung mereka, dan jumlahnya tetap belum genap, masih kurang dua orang.

Para petugas kembali sibuk mencari mereka. Sebagian melakukan sweeping ke kamar-kamar jemaah. Tapi hasilnya nihil. Maka petugas segera mengumumkan kembali melalui pengeras suara meminta dua jemaah segera naik ke dalam bus yang sebentar lagi berangkat. Tapi lagi-lagi tidak ada jemaaah yang memasuki bus.

Sebagian jemaah kesal, sebagan lain uring-uringan, namun sebagian lain menikmati tidur di dalam bus. Beberapa waktu kemudian seorang kakek berusia 75 tahun pun datang dengan dituntut anaknya memasuki bus. Waktu pun terus berlalu, pukul 2.30. Ketua kloter kembali menghitung jemaahnya, namun lagi-lagi kurang satu orang. “Halo... halo...” kembali berkumandang. Ternyata, jemaah yang belum masuk adalah orang yang tadi ikut mencari jemaah yang belum datang. Jam 3.05 rombongan bus itu baru berangkat ke bandara dengan jumlah jemaah yang genap, 455 orang.

Pergi menunaikan ibadah haji memang berbeda dengan melancong pada umumnya. Mengunjungi Baitullah dituntut kekompakan rombongan dan kelompok terbang. Ketua kloter, tim pembimbing haji daerah (TPHD), tim pembimbing ibadah haji (TPIH), dan tim kesehatan haji Indonesia (TKHI) yang dibantu sejumlah ketua rombongan dituntut bekerja keras mengoordinasikan jemaah. Satu saja jemaah yang ketinggalan atau mengalami peristiwa di luar dugaan, akan merepotkan semua jemaah. Oleh karena itu, sekadar naik ke dalam bus pun memakan waktu tiga jam lebih.

Padahal, bepergian biasa memerlukan waktu tak lebih dari satu jam untuk mencegat hingga naik bus. Bahkan satu jam untuk boarding pass sebelum terbang pun masih punya kesempatan jalan-jalan di bandara.

Saat berhaji sebetulnya jemaah sudah terbebas dari pekerjaan rutin kantor dan pekerjaan rumah. Tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, selain makan dan minum demi kesehatan serta beribadah. Meski demikian, peluang meningkatnya stres sangat tinggi. Bayangkan, naik bus saja memakan waktu tiga jam dan bertele-tele. Padahal, perjalanan yang penuh tekanan seperti itu berlangsung setiap hari selama sekitar 40 hari.

Setibanya di bandara, jemaah dituntut antre naik pesawat setelah sebelumnya mendapatkan pemeriksaan dokumen dan barang bawaan. Tentu, tidak semua jemaah familiar dengan bandara sehingga sering proses pemeriksaan ini memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kalau pemeriksaan dilakukan di bandara Arab Saudi, baik di Bandara Jeddah maupun Madinah. Soal bahasa senantiasa menjadi kendala dalam berkomunikasi.

Setelah istirahat di bandara, jemaah melanjutkan perjalanan ke Kota Madinah atau langsung ke Mekah bagi jemaah gelombang II. Akibat kelelahan perjalanan, jemaah biasanya semakin menurut saat mulai diberangkatkan ke kota suci ini. Namun saat sampai di pemondokan, keributan sangat potensial terjadi. Jemaah yang masih berusia muda kerap tidak mau mengalah untuk menempati pondokan di lantai bawah, sementara jemaah yang berusia lanjut terpaksa tinggal di kamar lantai atas. Para petugas kali ini dituntut memberikan pengertian kepada jemaah yang berusia muda untuk mengalah.

Tinggal di pemondokan Madinah relatif lebih bagus dan longgar ruangannya dibandingkan dengan di Mekah. Tentu saja, satu kamar yang dihuni 5 sampai 10 orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri, meskipun bangunan pondokan tersebut setara dengan hotel berbintang. Kondisi pemondokan dapat menyebabkan jemaah bertengkar.

Soal antre menggunakan WC, memasak yang cocok untuk semua jemaah sekamar, pengaturan jam tidur dan tempat tidur, waktu berangkat ibadah ke Masjidilharam dan sebagainya sepertu kelihatan sepele. Namun demikian, banyak jemaah yang menjadikan masalah remeh temeh ini menjadi pemicu adu mulut.

Maka tidak heran kalau tiba-tiba kita baru tahu ada pasangan suami istri yang tidak melakukan tegur sapa lebih dari seminggu. Suami kadang ingin langsung pulang usai melaksanakan salat di masjid, sementara sang istri masih ingin berjalan-jalan ke toko untuk berbelanja. Kadang suami meminta bantuan membawakan barang tentengan, sementara istri yang menenteng beberapa tas menjawab dengan ketus.

Maka tidak mustahil, percekcokan pun terjadi antara suami istri, antara sesama penghuni kamar, antarkamar atau bahkan antar kloter. Tidak mustahil juga pertengkaran terjadi antara satu warga negara dengan warga negara yang lain. Peristiwa tabrakan maut di seputar Jumrah Aqabah beberapa tahun silam bermula dari tidak adanya pihak yang mengalah antara jemaah dari Afrika Selatan dengan jemaah lain dari Turki dan Pakistan.

Masalah hubungan seks antara suami dan istri kerap pula menjadi problem yang menyebabkan pasangan kehilangan keharmonisan. Melakukan hubungan intim dalam ruang terbatas yang kerap hanya disekat kain tentu tidak nyaman. Namun membiarkan suami atau istri tanpa hubungan seks menyebabkan pergaulan dalam perjalanan ini mengarah kepada konflik.

Belum lagi saat kita berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang tempat kemahnya terbatas. Saat menaikturunkan barang bawaan dari asrama ke bus atau sebaliknya, saat salat di masjid, saat berbelanja, dan semua kegiatan haji memungkinkan kita untuk stres. Apalagi kalau sampai jemaah mengalami kehilangan barang, uang, atau dokumen, atau kehilangan keluarga. Tekanan batin akan sedemikian dahsyat.

Menghadapi berbagai peristiwa seperi itu, hanya satu kata untuk menyelesaikannya, pasrah. Memasrahkan diri kepada Allah SWT. Kita harus segera berintrospeksi diri. Bukankah berhaji berarti menjadi tamu Allah? Sang Khalik tentu akan memperlakukan tamu-Nya sebagaimana tamunya bersikap. (Wakhudin/”PR”)*** 

Seks Komersial, Antara Deru dan Debu


MESKI sesekali hujan, musim kemarau tahun ini menyebabkan debu berterbangan ke seluruh Kota Bandung dan sekitarnya. Di daerah pinggiran kota, seperti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, pencemaran udara diperparah oleh beroperasinya pabrik-pabrik dan penambangan kapur di kawa­san pegunungan Masigit. Para pelancong dapat menderita sesak napas saat "menikmati" udara perjalanan Padalarang-Cianjur yang tercemar mulai dari Situ Ciburuy, hingga ke Kecamatan Cipatat. Belum lagi, pencemaran ditambah suara bising truk pengangkut pasir dan bus-bus jurusan Jakarta-Bandung yang masih bertahan, meski sudah ada jalan tol Jakarta-Bandung atau bus jurusan Sukabumi-Bandung.
Di antara deru kendaraan bermotor dan pabrik pembakaran gamping di sekitar perjalanan yang berkelak-kelok itu, kita dapat menyaksikan sekira 50 warung dibangun dipinggir jalan di Kampung Cibogo. Di bagian depan warung tersebut, tiang menancap setara dengan tingginya jalan raya. Namun di bagian belakang, tiang-tiang warung tersebut terpancang setinggi antara 5 hingga 10 meter, dengan kemiringan tanah lebih dari 50 derajat, dan menurun hingga ke jurang. Di bagian lembah ini berdiri ratusan rumah penduduk.
Di antara warung-warung tersebut terdapat ruang yang cukup lebar di seberang bagian utara yang dapat digunakan parkir lebih dari 20 kendaraan, juga dikelilingi bangunan-bangunan warung sederhana. Di antara warung-warung itu terdapat kafe, tempat karaoke, diskotek, dan pertunjukan musik dangdut. Di seberang bagian selatan, meskipun merupakan bukit yang curam juga terdapat sebuah bangunan yang digunakan sebagai ruang pertunjukan musik.
Setiap malam, tempat-tempat ini tidak terlalu ramai. Namun, Sabtu di akhir bulan Juli, terlihat dua mobil dan 5 sepeda motor diparkir di depan pertunjukan dangdut di tepi bukit di seberang bagian selatan. Para penumpangnya yang sebagian besar kaum pria masuk ke dalam ruangan. Mereka disambut puluhan wanita bergincu merah menyala yang rata-rata berusia antara 20 hingga 30 tahun. Pakaian mereka pun tak ubahnya para artis dangdut yang sering kita saksikan di televisi, setelan kaus lengan panjang dan celana panjang ketat dengan warna-warna yang mencolok.
Masuk ruang hiburan tidak dikenakan charge. Para tamu hanya membayar minuman yang mereka pesan dan sesekali membayar uang sawer untuk penyanyi saat menyamperinya. Para tamu bisa ditemani perempuan yang juga berdandan seperti penyanyi saat menikmati musik. Namun, mereka juga boleh menolak tawaran itu jika sedang ingin menyendiri. Karena tawaran dilakukan berulang-ulang, tamu biasanya tidak tahan untuk menikmati dangdut sendirian, sehingga akhirnya ia turun berjoget ditemani perempuan yang sudah lama menunggunya.
Perempuan-perempuan yang menemani berjoget dan minum di tempat hiburan tersebut, juga bisa diajak keluar ke mana pun tamu mau. Semua bergantung pada "transaksi" yang disepakati. Mereka boleh dibawa ke hotel-hotel kecil di sekitar Padalarang atau di Kota Bandung, Lembang, atau bahkan di tempat di sekitar tempat hiburan tersebut. Namun, setiap tamu yang mengajak cewek Cibogo ini dikenakan charge Rp 50.000,00 yang disebut dengan "uang cabut". Sebab, setiap perempuan yang tidak lain adalah para pelacur ini memiliki induk semang masing-masing sebagai mucikari.
Namun para tamu yang tidak mau membayar "uang cabut" tersebut, dapat menuntaskan nafsunya di warung remang-remang yang mengelilingi tempat hiburan di Cibogo ini. Warung-warung tersebut, selain menyediakan aneka macam minuman juga terdapat satu atau dua kamar yang dapat disewakan untuk melakukan hubungan seks short time. Harga sewanya antara Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00. Namun, perempuan yang diajak kencan biasanya mengenakan tarif Rp 50.000,00 kepada tamunya.
Warung remang-remang ini sendiri biasanya menyediakan seorang hingga lima orang wanita tuna susila (WTS). Para tamu yang hanya menginginkan layanan seks dapat langsung menuju warung-warung ini, tanpa harus terlebih dahulu mencari WTS di tempat hiburan. Meskipun namanya warung dan dibangun di atas jurang, namun di dalamnya biasanya terdapat ruang yang lumayan lega. Ruang terbuka yang tak ada meja kursi ini biasanya dapat digunakan untuk berjoget atau berdansa bersama cewek kencannya. Sebab, di depan ruang lega yang membelakangi jalan raya tersebut terdapat TV dilengkapi seperangkat CD dan DVD player yang dapat mengiringi para tamunya melantai. Jangan membayangkan ruang ini mewah, rata-rata lantainya terbuat dari papan dan TV yang mengiringi mereka berjoget pun berukuruan paling besar 21 inci atau bahkan 14 inci.
TV dan alat-alat elektronik lainnya memang hanyalah asesoris tambahan, bisnis para cewek penunggu warung yang utama adalah pelayanan seks secara komersial. Sedangkan bisnis utama pemilik warung adalah minuman, baik beralkohol rendah maupun yang berkohol tinggi. Para pekerja seks komersial (PSK) sendiri tidak dikenai pungutan dari hasil melacurnya dengan tamu. Namun, mereka berkewajiban memasarkan minuman dan rokok milik warung tersebut. Caranya, biasanya WTS tersebut membeli minuman dan rokok untuk tamu dan untuk dirinya sendiri, tapi semua biaya dikenakan kepada tamunya. Bahkan, para PSK tersebut seringkali minum bir berulang-ulang dengan berbagai macam campuran, minuman berenergi aneka macam merek, dengan demikian pemilik warung pun diuntungkan dengan semakin banyak keluarnya uang dari tamu.
Namanya juga bisnis seks, ilegal dan haram jadah. Segala macam hal sering dilakukan untuk mengeduk uang para tamu, tanpa harus memberikan pelayanan yang sebanding dengan uang yang dikeluarkan tamu. Keterampilan para PSK memoroti uang tamu adalah keterampilan yang melekat pada setiap PSK. Anehnya, para lelaki hidung belang tak pernah kapok. Kaditu deui kaditu deui...! (Wakhudin/ "PR”)

Cibogo tak Seramai Dulu


Oleh WAKHUDIN
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjaning wong kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
(Ranggawarsita 1802-1873)

BAIT macapat di atas merupakan karya pujangga Keraton Surakarta, Jawa Tengah, Ranggawarsita. Karya tersebut sangat terkenal, karena memiliki nilai prediksi yang sangat aktual dengan kondisi zaman sekarang. Syair yang disusun dua abad lalu itu mengungkapkan bahwa suatu saat akan datang zaman gila. Zaman gila ini sangat membingungkan masyarakat. Kalau ikut gila, rakyat benar-benar tidak tahan. Tapi, kalau tidak ikut gila, rakyat tidak kebagian. Bahkan pada gilirannya akan mengalami kelaparan. Tapi- bagaimanapun, seharusnya semua tetap berada di jalan Allah. Sebab, semulia-mulianya orang yang lupa akan lebih mulia orang yang selalu ingat dan waspada.
Zaman yang dilukiskan Ranggawarsita disebut zaman Kalabendu. Masa seperti ini dapat dirasakan nyaris di semua sendi kehidupan oleh masyarakat modern. Masyarakat kini sering dihadapkan berbagai dilema yang dramatis, antara pilihan salah atau benar, jujur tapi miskin dengan kaya tapi culas, korupsi dan karier melejit atau bersih tapi karier mentok, dan sebagainya. Sayangnya, tidak sedikit di antara kita yang memilih alternatif ikut gila ketimbang eling dan waspada.
Yang paling ironis adalah masyarakat yang memilih ikut gila, namun tidak juga sejahtera. Norma-norma kemasyarakatan dan agama sudah terlanjur diterjang, namun harta benda yang diidamkan tidak kunjung tiba. Alih-alih mereka semakin sejahtera, tapi justru semakin hina dina di mata sesama, namun kalau mati dan tidak sempat bertobat, dijamin masuk neraka.
Nasib wanita tuna susila (WTS) di Cibogo, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat ini dapat dimasukkan dalam kategori yang ironis ini. Tidak seorang perempuan pun ingin menjadi WTS. Hanya karena kondisi yang luar biasa menyeret mereka terjun ke dalam dunia pelacuran. Meskipun segala hal sudah dijualnya, termasuk menjual dirinya sendiri, namun nasib mereka secara materi tidak kunjung membaik. Hari demi hari, lokalisasi di Cibogo semakin sepi. Satu demi satu, warung remang-remang ini tutup. Beberapa tempat hiburan sebagai induk daya tarik masyarakat untuk datang pun satu demi satu gulung tikar. Dibangunnya jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) semakin membuat Cibogo sepi.
Meskipun para pelacur setiap saat melakukan perzinaan, namun semua menyadari bahwa perzinaan bukanlah perbuatan bermoral dan bermartabat. Bahkan lebih jauh, para WTS sesungguhnya ingin meninggalkan dunia prostitusi itu secepatnya, jika problematika hidup mereka telah terselesaikan. Sayangnya, batasan problem hidup mereka tidak pernah jelas sebagaimana adanya garis antara hitam dan putih, melainkan selalu samar-samar. Itu pula sebabnya, setiap pelacur yang terjun dalam dunia prostitusi tidak mudah untuk mentas dari lembah hitam tersebut.
Meski demikian, penelitian membuktikan banyaknya perempuan pelacur yang berani meninggalkan dunianya untuk meraih masa depan mereka yang lebih jernih. Proses penyadaran dari wanita pelacur menjadi wanita baik-baik ini bersifat unik. Antara satu perempuan dengan perempuan yang lain memiliki proses sendiri-sendiri.
Meski demikian, terdapat kecenderungan yang sama yakni bagi para WTS untuk meninggalkan dunia pelacuran, yakni (a) Proses penyadaran bersifat represif. Proses penyadaran wanita pelacur menggunakan cara-cara represif memang bukanlah cara yang ideal. Sebab, para pelacur ditangkap oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja. Meskipun bersifat represif, namun cara-cara tersebut selama ini terbukti relatif efektif. Para pelacur yang tinggal di panti rehabilitasi dipaksa untuk hidup normal dan hidup sehat. Mereka diajarkan bagaimana cara mencari nafkah di luar melacurkan diri, yakni dengan berbagai usaha wiraswasta atau belajar bekerja kepada orang lain dengan cara halal. Apalagi setelah keluar dari panti mereka dibekali modal kerja, pada umumnya dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri.
(b) Habis "masa produktifnya". Perempuan yang menjadi pelacur pada saatnya akan meninggalkan dunianya. Salah satu jalannya adalah jika pelacur tersebut kehabisan "masa produktifnya". Artinya, kondisi fisik dan psikisnya tidak memungkinkan lagi untuk tetap bertahan menjadi pelacur. Usia yang semakin tua, dengan kulit yang semakin keriput, disertai rambut yang beruban, serta gigi ompong, akan memaksa seorang perempuan menghentikan kegiatannya sebagai pelacur.
Aktivitas melacur dalam banyak kasus kemudian diikuti dengan langkah-langkah melakukan degradasi kelas pelacuran. Misalnya, perempuan pelacur yang tadinya menjadi primadona, suatu saat kemudian turun menjadi pelacur biasa. Pelacur biasa yang sebelumnya cukup menunggu di lokalisasi, lama kelamaan turun ke jalan secara agresif menyambut para lelaki hidung belang yang lewat di jalan-jalan. Sementara pelacur jalanan yang semakin tua, bisa jadi kemudian mengalami degradasi menjadi pelacur di pasar-pasar dengan melayani para pedagang atau masyarakat kecil di gubuk seadanya dengan tarif antara Rp 10.000,00 hingga Rp 25.000,00.
Habisnya "masa produktif" bagi pelacur dapat juga disebabkan oleh berbagai penyakit yang menggerogoti dirinya. Sebagai kelompok yang berisiko tinggi (risti) terhadap berbagai penyakit menular seksual, para pelacur sangat rentan mengidap berbagai penyakit berbahaya, bahkan tidak sedikit yang kemudian mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan. Dalam kondisi sakit seperti itu,pelacur dengan sendirinya kehabisan "masa produktifnya" sehingga berhenti melakukan perzinaan.
(c) Tersentuh hati dan sanubarinya. Peluang lain pelacur mengalami proses pencerahan, dari menjadi pelacur menjadi wanita baik-baik adalah jika merasa tersentuh hati sanubarinya. Berbagai upaya yang dapat menyentuh kalbu mereka, apalagi dilakukan secara humanis, merupakan terobosan terbaik untuk menyadarkan pelacur untuk kembali menjadi manusia yang beradab dan bermartabat. Dalam soal ini, Rasulullah Muhammad saw. telah mengantisipasi peluang itu dengan mengatakan bahwa wanita terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Jika dibiarkan ia akan tetap bengkok, namun jika diluruskan dengan cara paksa, tulang tersebut akan patah. Maka, melakukan proses penyadaran dengan cara menyentuh hati mereka adalah pilihan yang paling baik di antara pilihan lainnya.
Rupanya, kasus pelacuran di Cobogo cukup unik, tidak masuk dari tiga kemungkinan di atas. Sebab, pelacuran di wilayah Cipatat ini justru satu demi satu tutup bukan karena ditangkap, bukan karena kehabisan WTS, atau bukan pula karena sadar, melainkan ditinggalkan pelanggannya. Zaman sebelum jalan tol Cipularang dibangun merupakan masa keemasan Cibogo. Para awak truk dan trailer setiap saat mampir di warung remang-remang ini. Namun kini mereka tidak lagi melewati jalur ini, karena melewati jalan tol lebih mudah dan efektif.
Maman (35), sebutlah namanya demikian, seorang penunggu warung remang-remang (warem) di Cibogo pekan lalu menuturkan, jumlah warem remang-remang di Cibogo sekira 50. Yang masih beroperasi berjumlah 30-an. Setiap warung dihuni oleh seorang, dua orang, hingga lima orang WTS. Dengan demikian, jumlah WTS di Cibogo yang masih bertahan sekira 200 orang.
"Di sini para pemilik warung tidak ada yang mengoordinasikan. Semua berjalan sendiri-sendiri. Setiap orang juga boleh membuka usaha di sini, asalkan mampu membayar sewa warung tersebut. Harga sewa warung di sini Rp 600.000,00 perbulan. Kenyataannya, banyak pengusaha yang tidak tahan lama berusaha di sini, sebab makin hari makin sepi," kata Maman.
Ia menunjuk tiga tempat hiburan yang menjadi "induk" dari lokalisasi ini yang mulai tutup. Tinggal dua tempat yang masih beroperasi, itu pun terseok-seok dalam perjalanannya, karena para pelanggan meninggalkan tempat hiburan ini. Saat malam Sabtu atau Minggu, pengunjung yang datang dapat dihitung dengan jari tangan.
Cibogo kini dalam persimpangan jalan. Mau diteruskan untuk maksiat, toh semakin ditinggalkan pelanggan. Bukan keuntungan materi yang didapat, melainkan rugi dan terus merugi. Kalau begitu, mengapa tidak sekalian ditinggalkan saja dunia esek-esek itu dan pindah kepada dunia yang lebih cerah, lebih bermartabat, dan sekaligus mendatangkan rezeki?***

Kamis, 28 Juni 2012

Memberatas “Hama” Dunia Pendidikan

Oleh WAKHUDIN
(Penulis wartawan senior. Doktor bidang Pendidikan Umum 
Universitas Pendidikan Indonesia) 

 TIDAK hanya padi dan tanaman yang terkena hama, tapi hampir semua kehidupan memiliki “hama” masing-masing. Hama pemerintahan dan birokrasi, misalnya, berupa korupsi kolusi, dan nepotisme (KKN); Hama dunia bisnis adalah kecurangan, dan mengurangi timbangan; Hama dunia olah raga, misalnya wasit curang, kerusuhan suporter, dan sebagainya. Dunia pendidikan mestinya menjadi penawar terhadap berbagai racun dan hama dunia yang lain, tapi dalam praktiknya, dunia pendidikan sendiri mengalami keracunan yang parah. Salah satu “hama” dunia pendidikan adalah praktik wartawan gadungan. Mereka bergentayangan mendatangi pimpinan sekolah dengan berbagai alasan, tapi ujungnya memeras meminta uang. Kalau tidak memberi, “Awas, kebobrokan sekolah ini akan kami muat di surat kabar,” dalih mereka. Wartawan gadungan memiliki banyak sebutan. Di Jakarta, mereka disebut wartawan boderek. Sebagian orang menyebut wartawan Muntaber (Kerap muncul tapi tanpa membuat berita), kadang disebut juga WTS (Wartawan tanpa surat kabar), juga dijuluki Wartawan Abal-abal. Di setiap daerah, mereka punya sebutan sendiri-sendiri sebagai kode bahwa mereka datang, dan yang didatangi supaya hati-hati. Saat tertentu, mereka mengaku sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun di saat yang lain mengaku sebagai wartawan. Bahkan, mereka mengaku diri sebagai wartawan investigasi, wartawan yang khusus melakukan penyelidikan terhadap penyalahgunaan wewenang sekolah. Mereka biasanya datang bergerombol, meskipun saat tertentu datang sendiri-sendiri. Modusnya, mereka mendatangi kepala sekolah, terutama saat sekolah tersebut baru menerima dana dari pemerintah, misalnya biaya operasional sekolah (BOS). Kadang, dengan gaya menginterogasi mereka menanyakan banyak persoalan, dari mulai bangunan sekolah, jenis kayu yang digunakan, genting sekolah yang tidak lurus, warna cat sekolah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, mereka menyalahkan pengurus sekolah, karena spesifikasi yang dimaksudkan tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dengan demikian, kepala sekolah bisa dipanggil polisi atau jaksa karena diduga telah menyelewengkan dana pemerintah melalui bantuan operasional sekolah (BOS) atau dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Apalagi kalau kasus mereka dimuat di surat kabar mereka. “Sekarang persoalannya, kasus ini mau dimuat di surat kabar atau tidak? Kalau ingin tidak dimuat, kami bisa bantu. Tapi perlu biaya, sekadar untuk menutupi kasus dan biaya rokok untuk kami yang menguruskan,” demikian kurang lebih cara mereka membujuk pimpinan sekolah agar membayar sejumlah uang atas “kasus” yang mereka karang sendiri. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, atau guru yang tidak pernah berurusan dengan dunia hukum kerap gentar bahkan gemetar menghadapi gertakan mereka. Apalagi kalau oknum sekolah memang benar-benar melakukan kesalahan. Maka supaya kasusnya tidak muncul, mereka membayar sejumlah uang agar “wartawan” itu segera enyah dan tidak memuat pemberitaan yang berkaitan dengan sekolah mereka. Sebagian pengurus sekolah menyadari bahwa mereka sedang diperas, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Caranya, lagi-lagi, membayar sekadar uang rokok. Yang penting “wartawan” ini segera pergi. Tapi sikap wartawan gadungan ini memang benar-benar seperti hama. Sekali dikasih, apalagi kalau pimpinan sekolah bersikap baik dan memberikan uang dalam jumlah yang memadai, mereka kerap datang lagi. Tak hanya sendiri, tapi berombongan dan berulang-ulang. Sebagian wartawan gadungan ini bahkan melakukan pengawasan, benar-benar mengawasi kepala sekolah dari jarak sangat dekat, satu atau dua meter. Mereka mengambil kursi sendiri kemudian duduk di depan atau di samping kepala sekolah, dan terus melihat setiap gerak kepala sekolah itu, seharian. Ke mana pun kepala sekolah bergerak, ia mengikutinya. Dalihnya, mereka bertugas mengawasi kepala sekolah. Tentu saja kepala sekolah merasa risi, apalagi kalau kepala sekolahnya wanita. Maka jalan paling mudah, wartawan gadungan itu diberi uang supaya pergi. Karena memang itu yang ditunggu, maka mereka benar-benar pergi setelah mendapatkan uang itu. Surat kabar sekolah Dunia pendidikan di Indonesia memang aneh, dan ini pula mungkin yang menyebabkan tumbuhnya “hama” yang sangat menyebalkan itu. Dunia pendidikan dari mulai sekolah dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi mestinya mengajarkan siswa menulis, termasuk menulis populer. Namun pada kenyataannya, siswa dan mahasiswa sedikit yang memiliki keterampilan menulis. Maka, saat ada satu atau dua orang yang merasa mampu menulis, mereka pun menyalahgunakan kemampuan menulisnya dengan menyamar sebagai wartawan. Tapi, ujung-ujungnya memeras. Di negara maju, menyampaikan pendapat, baik melalui lisan (public speaking) maupun tulisan (writing) sudah menjadi pendidikan umum. Artinya, setiap pelajar, mahasiswa, apalagi guru dan dosen, wajib memiliki keterampilan itu. Maka jangan heran, tukang cuci piring di rumah makan yang sudah bekerja selama 10 tahun bisa menulis buku, misalnya bagaimana cara mencuci piring yang efektif. Tapi di Indonesia, jangankan siswa dan mahasiswa, bahkan guru dan dosen sekalipun, menulis merupakan pekerjaan yang amat berat. Sebagian dari mereka yang tidak sabar kemudian mengambil jalan pintas dengan melakukan plagiasi. Itulah sebabnya, banyak guru dan kepala sekolah yang mentok di Golongan IVA sulit naik ke Golongan IVB, karena mengalami kesulitan dalam membuat laporan ilmiah. Maka, dunia pendidikan, terutama siswa, mahasiswa, guru dan dosen harus mempunyai keterampilan dan kebiasaan menulis. Apalagi, perkembangan teknologi informasi sekarang memungkinkan bagi setiap orang menjadi wartawan, apalagi insan pendidik dan pendidikan. Dunia maya memungkinkan setiap orang membuat situs, blog, atau setidaknya mempunyai akun di jejaring sosial. Melalui sarana yang ada, seseorang bisa membuat media sendiri, menyusun berita sendiri dan menyampaikannya kepada publik. Semangat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah setiap bangsa Indonesia saat ini memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengakses, mengelola, dan memberikan informasi. Ini artinya, setiap orang adalah wartawan. Setiap siswa, mahasiswa, guru, dan dosen adalah wartawan. Menjadi wartawan tentang dunia mereka sendiri. Surat kabar yang digunakan bisa berupa, situs, blog, akun di jejaring sosial, atau bahkan majalah dinding sekolah dan kampus. Bisa juga berupa majalah sekolah, tabloid, dan berbagai media yang lain. Kalau setiap insan pendidikan adalah wartawan, maka mestinya mereka tidak akan lagi gentar apalagi gemetar menghadapi wartawan gadungan itu. Kalau saja setiap sekolah mengelola majalah dinding dengan baik, misalnya setiap minggu informasinya di-up date, maka mereka bisa gagah berani menghadapi “hama” ini. Misalnya, saat wartawan gadungan sedang menggertak, kepala sekolah bisa membalas, “Lho, saya juga seorang wartawan. Wartawan majalah dinding. Kalau kalian mau memeras, foto kalian saya pajang di majalah dinding. Kami tulis, ‘Awas: Hati-hati Wartawan Gadungan’,” sambil membidikkan kamera ke wajah para wartawan gadungan. Dijamin, mereka akan kabur. Apalagi kalau majalah dinding sekolah juga dibuat dalam situs. Katakanlah, majalah dinding sekolah bernama Majalah Dinding Melati. Maka, sekolah bisa membuat situs www.madingmelatismp28.com atau nama yang lain. Kalau situs dikelola dengan baik, maka majalah dinding akan ter-up date dengan baik pula. Setidaknya, paling lama dalam seminggu majalah dinding harus diganti isinya. Salam, dan selamat mencoba. Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat 8 Juni 2012.

Selasa, 13 Maret 2012

Perbenturan Islam-Barat, Siapa Yang Menang?


Oleh H. WAKHUDIN
Jurnalis, doktor bidang pendidikan moral Universitas Pendidikan Indonesia

Dihitung dari terbitnya buku The Clash Civilization and the Remaking of World Order yang ditulis Sammuel P Huntington 1998, maka perbenturan antara Barat dan dunia Islam sudah berlangsung selama 14 tahun. Setidaknya, perbenturan itu sudah berjalan selama 12 tahun terhitung sejak runtuhnya Uni Soviet tahun 1990. Perbenturan dua peradaban itu sudah relatif lama. Bagaimana hasilnya? Siapa yang kalah dan siapa yang memenangi perbenturan itu?
Dalam The clash of civilization Huntington menulis tentang benturan peradaban. Jika di masa lalu, konflik terjadi berdasarkan peta ideoligis, Barat dan Timur, namun setelah perang dingin berakhir, perbenturan terjadi berdasarkan peta peradaban dunia. Secara garis besar ada delapan peradaban dunia yang potensial saling berbenturan, yakni Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Namun potensi konflik yang paling besar adalah perbenturan antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.
Umat Islam tidak begitu menyadari adanya perbenturan peradaban itu antara tahun 1990 hingga tahun 2000-an. Jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, bisa jadi merupakan bagian dari perbenturan peradaban itu. Maklum, Pak Harto ketika itu begitu dekat dengan umat Islam. Berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menandai pemerintahan yang “ijo royo-royo” itu. Sebab, Pak Harto mengangkat para pembantunya yang berasal dari santri. Demikian pula parlemen, serta Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau sekarang TNI. Posisi strategis di DPR/MPR serta di tubuh ABRI didominasi santri.
Bahwa Presiden Soeharto dibelit kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), memang ya. Tapi “dosa” terbesar Pak Harto sesungguhnya karena ia dekat dengan umat Islam itu. Itulah sebabnya, Barat meruntuhkan Orde Baru dengan menciptakan krisis moneter (krismon) melalui tangan George Soros yang menanam uang panas dalam jumlah besar dan kemudian menariknya secara besar-besaran dalam waktu cepat. Penarikan uang dalam jumlah besar itu menimbulkan kepanikan (rush) yang kemudian memicu krisis ekonomi. Rupiah yang selalu stabil sekitar Rp 2.500 perdolar AS selama Orde Baru tiba-tiba melonjak hingga Rp 16.000 perdolar AS. Krisis ekonomi kemudian merembet ke krisis politik, dan akhirnyanya menjadi krisis multidimensi sehingga Soeharto jatuh di tengah demonstrasi mahasiswa yang menduduki gadung parlemen.
Perbenturan peradaban Barat dan dunia Islam itu mulai terasa saat terjadi serangan terhadap World Trade Center (WTC) di Washington DC tahun 2001. Saat Presiden Amerika Serikat mendeklarasikan perang terhadap terorisme menyusul runtuhnya menara kembar itu, hari-hari dunia Islam terasa semakin pahit. Taliban yang baru saja berkuasa merebut kekuasaan dari penjajah Rusia di Afganistan langsung diruntuhkan. Alasannya, penguasa Afganistan melindungi Osama bin Laden yang dituduh menjadi otak utama penyerangan WTC itu.
Kalau alasannya karena penguasa Kabul terlibat penyerbuan WTC, mengapa AS, Uni Eropa dan sekutunya menghajar Irak tahun 2003? Padahal, tidak ada track record Presiden Irak Saddam Husein melakukan penyarangan terhadap menara kembar itu. Presiden Bush ketika itu menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Namun inspeksi IAEA, Badan Pengawas Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap negeri seribu satu malam itu membuktikan bahwa Irak tak memiliki senjata yang dituduhkan Barat itu. Meski demikian, AS dan sekutunya tetap menginvasi Irak, sehingga Saddam Husein jatuh dan digantung.
Barat mengira dapat menyelesaikan pertempuran di Afganistan dan Irak dalam waktu singkat. Sebab, mereka ingin segera menekuk Iran dan menggulung Suriah. Boro-boro memperluas peperangan ke kedua negara itu, mempertahankan basis pertempuran di Afganistan dan Irak saja berat dan kewalahan. Berhasil membantai rakyat dua negara itu sampai hingga puluhan ribu orang bukan jaminan mereka menang. Para pejuang Muslim yang berasal dari berbagai negara bagaikan hantu di siang bolong. Pemberontak ini satu persatu berhasil membunuh tentara AS dan sekutu.
Padahal, tentara Barat pada umumnya berusia muda, gagah, dan dipersenjatai dengan peralatan yang canggih. Kematian demi kematian tentara Barat selalu diratapi. Sebaliknya, kematian warga sipil dianggap sebagai peristiwa wajar dan biasa. Pembunuhan terhadap tentara yang berlangsung terus menerus dalam waktu puluhan tahun membuat tentara Barat frustrasi. Itulah sebabnya mereka mengalami paranoid, sehingga membantai warga masyarakat secara sembarangan. Mereka juga menyiksa para tahanan yang tak berdaya di Penjara Guantanamo dan kamp-kamp tahanan.
Perang Barat di dunia Muslim tak hanya menguras air mata, tapi juga menguras kantong mereka. Sumber minyak dan tambang yang menjadi incaran mereka tak kunjung dikuasai Barat. Bahkan, sekadar mengantar bahan logistik dari Pakistan menuju pusat militer NATO di Afganistan pun butuh pengawalan, yang konon disewa dari salah satu sel organisasi Taliban, yang notabene musuh mereka. Itulah sebabnya, AS dan Uni Eropa terus menyalahkan Pakistan yang dianggap tidak tegas terhadap Al Qaeda dan Taliban.
Maka, saat dukungan finansial AS dan Uni Eropa semakin menipis, hanya karena kemacetan investasi di sektor properti yang dikenal dengan morgan mortgage pun dapat mendorong ekonomi AS pada krisis ekonomi berkepanjangan. Ekonomi Eropa juga terus merosot yang dipicu oleh krisis ekonomi Yunani. Bahkan, kini ekonomi AS dan Uni Eropa tak mampu lagi dipertahankan oleh mereka sendiri, tanpa dukungan kepercayaan dari Republik Rakyat Cina sebagai investor terbesar mereka. International Monetary Fund (IMF) yang sok jagoan menyelamatkan ekonomi negara yang runtuh pun tak sanggup mengatasinya.
Ekonomi Barat yang terus merosot tentu saja tak mampu mempertahankan tentara mereka yang masih ada di lapangan, dengan dana yang sangat cekak. Apalagi, medan pertempuran semakin tidak mudah. Itulah sebabnya, Barat lebih memilih membangkitkan semangat oposisi mengambil alih kekuasaan di dunia Arab. Arab Spring, dunia Arab mengalami musim semi, dengan bangkitnya rakyat memusihi para penguasa yang dinilai diktator. Memecah belah bangsa model Arab Spring seperti itu merupakan perang paling murah bagi Barat. Toh nyatanya, sejumlah penguasa Arab runtuh. Dimulai dari terusirnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi, menyusul kemudian Presiden Mesir Husni Mubarok yang menyerah, tewasnya Presiden Libya Muammar Qaddafi yang dibantai massa, dan sekarang pertempuran di Suriah.
Meskipun para penguasa Arab jatuh, kenyataannya Islam tetap bersinar. Bahkan berbagai pemilu di dunia Muslim dimenangkan kekuatan Islam. Sebaliknya, Barat yang tengah hancur menuju ke kebangkrutan justru diwarnai dengan berbondong-bondongnya warga mereka masuk Islam. Sekitar 20.000 orang AS menyatakan bersyahadat setiap tahun dan di Eropa. Fenomena itu menunjukkan, perbenturan Barat dengan dunia Islam tidak dimenangkan oleh Barat. Perbenturan itu, bagaimanapun, membuat kedua belah pihak babak belur. Umat Islam sampai jengah dituduh sebagai teroris dan puluhan ribu orang tewas menjadi korban. Sementara Barat tidak semakin, cemerlang melainkan semakin terperosok ke tubir jurang kebangkrutan. Apakah Barat masih bernafsu meneruskan perbenturan peradaban itu? Mestinya, mereka melempar anduk untuk menciptakan perdamaian.
Memuncaknya perlawanan rakyat Afganistan dan umat Islam dunia terhadap pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan Amerika Serikat (AS) akibat pembakaran mushaf Alquran di Penjara Bagram bisa menjadi titik balik dan menandai runtuhnya kejayaan Barat. Di saat bersamaan, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan AS juga tengah mengalami krisis ekonomi parah, sehingga jika tidak mendapatkan solusi, mereka terjun ke dalam jurang krisis yang menjerumuskan ke dalam kebangkrutan itu.***

Arab Saudi, Puncak Arab Spring?



Oleh WAKHUDIN
(Wartawan Senior Pengelola Newsroom Universitas Pendidikan Indonesia)
MUSIM Semi Dunia Arab (Arab Spring) akhirnya memasuki Arab Saudi. Riak demonstrasi menentang penguasa mulai meletup di Ryadh, ibu kota negeri Petro Dolar itu. Pemerintah setempat langsung memadamkan “bara” yang masih kecil itu. Namun sekecil apa pun peristiwa ini, publikasi di media mampu mem-blow up-nya menjadi peristiwa besar. Saat publikasi terus berkobar, maka “bara” yang meletup di Ryadh bisa menyebar bagaikan api yang membakar apa pun di sekelilingnya. Benarkah Arab Saudi merupakan antiklimaks dari Arab Spring yang meruntuhkan para penguasa di Timur Tengah? Apakah ada relevansinya antara Arab Spring dan gerakan antiterorisme yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikan George Walker Bush menyusul runtuhnya World Trade Center 2001?
Arab Saudi tidak mustahil menjadi incaran utama gerakan Arab Spring itu. Saudi adalah pusat dari segala ajaran Islam. Di sini ada Haramain, dua tempat suci, Mekah dan Madinah. Di Mekah terdapat Kabah, kiblat seluruh umat Islam menghadap. Mekah adalah pusat umat Islam berziarah untuk umrah maupun berhaji. Mekah adalah sumber Islam yang pertama, sementara Madinah adalah sumber Islam kedua. Di Madinahlah semua ajaran Islam diimplementasikan. Di Madinah, Rasulullah Muhammad saw. dimakamkan bersama Abubakar Ashidiq, Umar bin Khattab, dan jutaan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Seperti seorang yang makan bubur. Makan bubur dimulai dari pinggir, dipilih dari yang relatif dingin, lama kelamaan ke tengah saat bubur tidak terlalu panas. Demikian pula Arab Spring, gerakan yang menumbangkan rezim kuat di berbagai negara di Timur Tengah. Dimulai tahun 2010 di Tunisia, gerakan ini menumbangkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, sehingga ia kabur ke Arab Saudi. Demam di Tunisia menyebabkan Mesir ikut menggigil. Presiden Mesir Hosni Mubarok yang pun menyerah, meletakkan jabatan setelah lebih 32 tahun berkuasa, di tengah gerakan demonstrasi di Lapangan At-Tahrier.
Gerakan Arab Spring di Libya lebih mengenaskan, karena memakan lebih banyak korban jiwa. Perang saudara antara pemberontak dengan pro status quo berjalan cukup lama, sehingga jatuh korban jiwa ribuan orang dan infrastruktur pun porak poranda. Gerakan ini berakhir dengan tewasnya Muammar Qaddafi di tangan pemberontak, bahkan kemudian memajang mayat penguasa selama 42 tahun itu di sebuah mal.
Sukses menggulingkan penguasa di Tunisia, Mesir dan Libya akhirnya menjadi trend di negara-negara Arab. Maka, masyarakat sipil memberontak di di Bahrain; Aljazair; Yordania; Maroko; Oman; sempat ada protes kecil di Kuwait; Lebanon dan berbagai negara. Iran dan Suriah merupakan dua negara yang sudah lama digoda dengan pemberontakan gaya Arab Spring ini, namun keduanya memiliki daya tahan yang relatif kuat. Meski demikian, Suriah secara perlahan mengalami demam dahsyat. Pemberontakan bersenjata mampu mengundang badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab untuk ikut campur tangan. Suriah kini tinggal menanti hasil akhir, apakah kekuatan Presiden Basyar Al-Assad yang konon didukung Iran dan Republik Rakyat Cina ataukah kekuatan pemberontak yang didukung AS, Uni Eropa, dan Liga Arab yang akan memenangi pertempuran.
Perbenturan peradaban
Gerakan Arab Spring, menurut hemat penulis, tak bisa dipisahkan dari skenario perbenturan peradaban (clash civilization) yang digagas Sammuel Huntington dalam bukunya The Clash Civilization and the Remaking of World Order yang ditulis 1998. Setelah komunis bangkrut dengan runtuhnya Uni Soviet, Barat memerlukan sparing partner untuk berkonflik. Huntington berhasil menyodorkan konflik baru, yaitu antara Barat dengan dunia Islam, dengan judul perbenturan peradaban itu.
Maka masuk akal kalau Presiden Iran Mahmoud Ahmadijed menuduh bahwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di Washington DC merupakan skenario Amerika sendiri untuk memuluskan perbenturan peradaban itu. Sebab, hancurnya menara kembar itu merupakan tiket bagi Barat untuk melakukan perbenturan. Tanpa runtuhnya WTC, tak ada alasan bagi AS, Uni Eropa, dan sekutunya untuk menyerbu Afganistan. Setelah menaklukkan Afganistan 2001, Barat kemudian menekuk Irak 2003 dan menghukum gantung Saddam Husein.
Amerika dan Uni Eropa menghitung bahwa perang di Afganistan dan Irak hanya berlangsung sebentar, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun. Nyatanya, lebih dari sepuluh tahun tak kunjung berakhir, dan kemenangan nyata tak pernah terlihat. Puluhan ribu rakyat di dua negara itu memang tewas, tapi tak kurang dari 8.000 tentara AS dan NATO juga mati di dua negara itu.
Semakin lama mereka menduduki dua negara itu, semakin banyak tentara mereka yang tewas, puluhan ribu lainnya luka-luka. Sementara keuntungan nyata tak pernah terlihat. Minyak dan tambang yang diduga menjadi daya tarik penyerbuan dua negara itu tak kunjung diraih, sebab penguasaannya tetap di tangan pemberontak. Maka satu persatu tentara NATO mundur dari gelanggang pertempuran di Afganistan dan Irak. Amerika dan Uni Eropa pun pelan-pelan menarik tentara mereka dari Bagdad dan Kabul dengan malu. Taliban yang ditendang dan kemudian dituduh sebagai teroris mulai diajak bicara.
Perang di Afganistan dan Irak tak membuahkan hasil dan bahkan membuat Barat kini jatuh ke dalam krisis ekonomi. Mereka nyaris bangkrut. Sementara tujuan Barat menaklukkan dunia Islam, gagal total. Di dalam negeri, sekitar 20.000 warga AS justru masuk Islam setiap tahun, jumlah yang hampir sama terjadi di Uni Eropa. Meski demikian, ambisi Barat menghancurkan dunia Islam makin membara. Itulah sebabnya, Barat terus menggunakan berbagai cara menghancurkan rezim dunia Islam.
Memanas-manasi oposisi melakukan pemberontakan adalah cara yang cukup efektif. Pemberontakan dengan cara Arab Spring itulah yang mereka gunakan. Maka, hubungan antara gerakan antiterorisme yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikan George Walker Bush, dengan Arab Spring sangat relevan. Keduanya merupakan bagian dari paket perbenturan peradaban itu. Lihatlah keberpihakan Barat pada setiap pemberontakan di setiap negara terlihat begitu nyata dan terang-terangan. Tidak saja gerakan politik dan bermain spionase, melainkan secara nyata mempersenjatai kaum pemberontak di Libya, dan kini di Suriah, serta berbagai negara yang tengah bergolak.
Maka, ketika Arab Saudi juga mulai meletup, jangan-jangan inilah puncak dari perbenturan peradaban itu. Meletupkan pemberontakan dari Ryadh juga merupakan pola letupan gaya makan bubur itu. Ryadh memang kota strategis untuk mengguncang politik Arab Saudi, sebab ibu kota negara itu. Kalau guncangan politik dimulai daru Jeddah, apalagi Mekah dan Madinah, maka yang akan mempertahankan rezim Arab Saudi bukan saja keluarga besar Ibnu Saud, melainkan umat Islam seluruh dunia. Sebab, Arab Spring kini semakin kelihatan arahnya, kelanjutan dari clash civilization itu. Hanya saja, gerakan umat Islam tak kunjung kelihatan nyata. Liga Arab yang mestinya berada di dunia Arab malah menjadi alat barat.***
(Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Sabtu (20/2/2012)

Sabtu, 07 Januari 2012

Ke Mana Engkau, Wahai Jurnalisme Mabrur?


Oleh H. WAKHUDIN

IDULADHA merupakan ritual yang agung. Menapaki sejarah Bapak Para Nabi, Ibrahim a.s. dan Ismail. Kaum Nasrani menyebut itu kisah Nabi Ishak. Makna di balik ritual juga begitu besar. Ada solidaritas sosial, pentingnya berbagi, pentingnya kolesterol dan lemak bagi si miskin, dan banyak makna mendalam lainnya. Dalam empat hari, jutaan ton daging dibagikan secara gratis kepada kaum papa.
Tapi apa yang diberitakan TV, Koran, radio, internet serta media kita? Berita ecek-ecek. Ditemukan cacing dalam hati sapi kurban; Sejumlah hewan kurban diketahui mengandung antrax; Rusuh, penerima kurban berdesak-desakan; Hewan kurban mengamuk saat akan disembelih; Tukang jagal tertusuk pisau sendiri saat akan menyembelih hewan kurban; Jatuh korban pada penyembelihan kurban; Takut rusuh, pembagian hewan kurban dialihkan subuh. Semua berita itu tak satu pun yang mencerminkan keagungan Iduladha. Bahkan terkesan, Iduladha menyebabkan bencana.
Penulis betul-betul mengeluh. Padahal, sebagian besar wartawan dan redakturnya adalah umat beragama. Tapi tanpa sadar mereka tidak menjadikan momentum Iduladha sebagai syiar agama. Tapi justru menorehkan noktah pada citra agama. Keluhan seperti ini sesungguhnya tidak saja terjadi saat Iduladha, tapi juga dalam kehidupan di hari lain. Saat Idulfitri, misalnya, media kita sangat produktif memberitakan secara simplistik: Gara-gara Idulfitri, Pantura macet total; Gara-gara Idulfitri, harga bahan pokok terus melonjak; Gara-gara Idulfitri, kecelakaan meningkat.
Islam dan umat Islam dalam citra media di seluruh dunia memang terus dipojokkan. Sejak isu terorisme diluncurkan, semua tangan menuding umat Islam biangnya. Meskipun sederet fakta menunjukkan ada teroris yang lebih hakiki, tetap saja umat Islam menjadi objek penderita. Umat Islam sendiri yang menyusun agenda setting media tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya turut memproduksi informasi yang tidak proporsional ini. Umat Islam sendiri sangat produktif menghasilkan informasi buruk tentang Islam dan dunia Muslim.
Fakta lain menunjukkan, berita dari dunia Muslim selalu perang, saling mengebom antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Semua dilihat dari sisi buruknya. Tapi kalau dari Barat, informasinya tentang peluncuran film terbaru, produk teknologi mutakhir, pertandingan bola yang seru, dll. Hanya saja belakangan memang dunia akan berbalik. Barat menuju kebangkrutan. Ekonomi mereka melesak, dimulai dari Yunani akan merembet ke Uni Eropa. Amerika Serikat juga pertumbuhan ekonominya terus merosot hingga 2,5%.
Tulisan ini hanya bermaksud mengingatkan bahwa bermedia itu sangat penting. Kebatilan dan keburukan yang diulang-ulang seribu kali di media bisa berubah menjadi kebenaran dan kebaikan. Dengan pemberitaan yang diulang-ulang, dengan berbagai media, bahwa Iduladha adalah rusuh, Iduladha adalah bencana, maka lama kelamaan tercipta bayangan bahwa Iduladha adalah benar-benar bencana. Maka bagi umat Islam, mengembangkan media untuk dakwah menjadi titik strategis. Umat Islam tidak bisa mengabaikan media sebagai salah satu pilar kehidupan berekspresi.
Berita buruk lebih mudah dijual ketimbang informasi yang bersifat positif. Mereka menyebut bad news is good news. Tapi paradigma ini tidak selamanya benar. Banyak berita postif juga menarik diikuti. Semua tergantung dari bagaimana mengemasnya. Informasi sepele yang dikemas baik juga menarik. Yuni Shara pisah dengan Rafi sangat adalah persoalan sangat pribadi dan bukan persoalan umat, tapi informasi ini menarik dan dikonsumsi jutaan pemirsa.
Persoalannya, bagaimana visi dakwah dan syiar bisa memegang kendali melakukan agenda setting media itu? Caranya, umat Islam harus membangun sistem media sendiri. Setidaknya, media yang bisa dikonsumsi sendiri. Itulah sebabnya, penulis manawarkan gagasan tentang Jurnalisme Mabrur, yaitu jurnalisme yang mampu memberikan inspirasi bagi orang lain untuk berbuat baik. Media yang mabrur adalah media yang bertanggung jawab.
Jurnalisme saat ini pada umumnya berkaitan dengan industri, maka jurnalisme memiliki paradigma tersendiri yang dapat mendorong agar produk yang dihasilkannya dapat dijual. Maka berbagai persoalan yang bersifat populair selalu menjadi objek pembahasan. Itulah sebabnya, media pada umumnya ber­paradigma bahwa bad news is good news, berita buruk adalah beria yang baik. Sebab, berita buruk biasanya lebih menarik ketimbang berita tentang kebaikan. Kecelakaan yang menyebabkan tewasnya 50 orang, misalnya, adalah berita yang bagus ketimbang berita tentang arus lalu lintas yang lancar. Itulah sebabnya, insan media sering diibaratkan dengan “burung pemakan bangkai”. Mereka akan melahap habis seluruh berita buruk sampai “ke tulang-tulangnya”, namun mereka tidak “doyan memakan” peristiwa yang baik. Saat seseorang sukses, wartawan tidak suka memberitakannya, sementara saat terjadi peristiwa buruk, wartawan selalu mem­beritakannya sampai tuntas.

Kata mabrur berasal dari kata “barra” atau “birru”, artinya baik. Kata “birrul walidain” atau berbuat baik kepada kedua orang tua, diambil dari kosa kata yang sama, “birru” atau “barru” itu. Itulah sebabnya, kemabruran haji tidak terbatas saat jemaah sedang melaksanakan ritus haji di Tanah Suci, melainkan terus ditumbuhsuburkan saat mereka kembali ke tanah air, dan buahnya dapat dipetik oleh masyarakat sekitar.

Itu artinya, jemaah haji yang mabrur adalah sumber daya manusia Indo­nesia yang secara spiritual telah terbarukan dengan proses daur ulang melalui proses ritus haji. Sebab, jemaah yang meraih haji mabrur siap berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan dirinya, keluarga dan handai tolan, lingkungan sekitar, dan untuk kejayaan bangsanya. Menilai seseorang mabrur atau mardud (ditolak) memang hak Allah, tapi kalau seseorang yang sudah berhaji tidak juga mengubah perilakunya yang buruk, maka itu pertanda hajinya ditolak. Dan orang lain dapat merasakan dampaknya.

Maka, jurnalisme mabrur tak berbeda dengan jurnalisme yang bertanggung jawab. Artinya, jurnalisme yang bebas memberitakan apa pun. Tapi kebebas­annya dibatasi oleh diri sendiri hanya memberitakan segala sesuatu yang dapat mendorong masyarakat berbuat yang terbaik, dan menghentikan peristiwa buruk.

Jurnalisme mabrur sesungguhnya merupakan bagian dari jurnalisme pada umumnya yang bergelut dengan industri. Itulah sebabnya, jurnalisme mabrur juga tidak boleh steril dari persoalan yang sedang trend dan popular di dalam masyarakat. Meski demikian, menurut hemat penulis, jurnalisme mabrur harus didasarkan pada paradigma yang berbeda. Jurnalisme pada umumnya berpara­digma bahwa bad news is good news, sedangkan jurnalisme mabrur harus berpara­digma bahwa apa pun berita dan informasi yang disampaikan harus mampu meng­inspirasi penerima informasi untuk berbuat baik.***

Penulis, jurnalis senior.

HPN Kupang: PWI Rilis 17 Buku Karya Wartawan

Jakarta (Rakyat Merdeka) – Sebanyak 17 buku dilaunch pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 9 Februari lalu
Belasan buku karya para jurnalis itu dipersembahkan sebagai bakti PWI kepada negeri dalam rangka penguatan sumber daya insani.
Penerbitan buku ini adalah bukti komitmen kuat PWI untuk menata kecerdasan bangsa agar lebih demokratis dan berperadaban.
Ketua Umum PWI Margiono menegaskan, peringatan Hari Pers Nasional 2011 harus dijadikan momentum untuk melecut insan pers melahirkan karya-karya yang bermanfaat, baik bagi masyarakat pers sendiri, maupun bagi bangsa dan negara.
Hal tersebut, tambah Margiono, merupakan tujuan yang relevan dan aktual untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam kata sambutan di semua buku yang diterbitkan, Margiono mengatakan, tujuan tersebut tercapai apabila pers nasional memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi serta senantiasa mau terus belajar, membaca, menulis bahkan menulis buku.
“Oleh karena itu kita patut bersyukur menyambut baik atas terbitnya sejumlah buku karya wartawan dan tokoh pers nasional yang sengaja diluncurkan dalam menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2011 ini,” kata Margiono.
Pernyataan Margiono tersebut diamini oleh Ketua Pelaksana Hari Pers Nasional 2011 Priyambodo RH.
“Khusus Hari Pers Nasional 2011 menfokuskan pula kegiatan melek media (media literacy) dan pengembangan potensi kepulauan,” ujar Priyambodo.
Dijelaskan Priyambodo, 17 buku yang diterbitkan sepenuhnya ditulis oleh para wartawan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Sebut saja buku; Bila Parodi Diadili karya Karim Paputungan, Off The Record, Kisah-kisah Jurnalistik dari Lapangan & Meja Redaksi Surat Kabar racikan Zaenuddin HM. Berikutnya, buku Jurnalisme Haji yang disunting Wakhudin.
Ada juga yang khusus menilik bahasa visual, Politik Santun dalam Kartun yang digarap Misrad dan Ratna Susilowati serta buku Jurnalisme Karikatur karya Gatot Eko Cahyono.
Dalam paket penerbitan buku ini tak ketinggalan buku yang menegaskan kearifan lokal, seperti Wartawan NTT Bicara, yang disunting Tony Kleden.
Selebihnya buku-buku tersebut diracik, karena kedalaman para wartawan tanah air atas berita, baik nasional maupun internasional. Selain buku-buku konvensional, PWI juga meluncurkan buku-buku digital (e-book) agar bisa diakses lebih luas.
Penerbitan e-book tersebut sebagai lanjutan dari rilis Ensiklopedi Pers Indonesia (EPI) yang dapat diakses melalui kenal Presspedia di laman http://www.pwi.or.id
Dari 17 buku yang diterbitkan Rakyat Merdeka Books (RMBooks) dipercaya menggarap 15 judul buku yang akan diluncurkan di Kupang nanti.
Penerbitan buku ini menegaskan “getaran intelektual” luar biasa dari para wartawan tanah air. Semoga terus bisa berkarya untuk meramaikan pasar intelektual. Dan tentu saja, Selamat Hari Pers Nasional 2011 untuk bangsa dan negara! * (RM)