Selasa, 06 Juli 2010

Bermimpi Memiliki Pesantren Bola


Oleh H. WAKHUDIN

MASYARAKAT dunia berpesta bola di Afrika Selatan, Juni-Juli 2010. Pemenang berpesta pora, yang kalah menangis. Tapi aneh bagi bangsaIndonesia, siapa pun pemenangnya, dia ikut berpesta. Itulah sebabnya kafe dan berbagai tempat nonton ramai dikunjungi penggila si kulit bundar.
Maklum, Indonesia tidak pernah mengirimkan timnya ke pentas bola dunia. Jangankan masuk piala dunia, bahkan mewakili Asia, atau ASEAN pun tidak. Karena hanya menonton, maka bangsa ini ikut bersorak siapa pun yang menang. Bahkan banyak orang yang latah ikut mengenakan kausseragam kesebelasan tertentu.
Mengapa bangsa Indonesia senantiasa menjadi penonton dan menjadi objek? Padahal penduduk negeri ini begitu banyak, mencapai 240 juta orang. Apakah tidak ada11 orang ditambah beberapa orang lagi sebagai cadangan yang piawai bermain bola? Inilah ironi betapa terpuruknya pengelolaan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Memang ada anggapan bahwa kemajuan sepak bola suatu bangsa banyak ditentukan oleh kemajuan ekonomi suatu negara. Maka, bangsa-bangsa di Eropa yang secara ekonomi lebih baik, mendominasi sebagai negara peserta Piala Dunia terbanyak. Bahkan, Jerman, Belanda, Prancis, Inggris, dan negara Eropa lainnya selalu menjadi peserta favorit, di samping Brazil dan Argentina, dan Paraguai dari Amerika Latin. Sementara Indonesia yang ekonominya tak kunjung bangkit dengan sendirinya tidak memiliki harapan memiliki pesepak bola andal. Benarkah demikian? Jawabannya tergantung kita, bisa ya bisa tidak. Kalau tak pernah usaha, maka keberhasilan itu tidak akan pernah ada. Sebaliknya, kalau kita berjuang keras, insya Allah kita akan memilikinya.
Kalau begitu, apakah bangsa Indonesia mungkin mengirimkan timnya ke Piala Dunia? Persoalan dunia, apa yang tidak mungkin? Menurut saya, Indonesia mungkin mengirimkan timnya ke Piala Dunia, bahkan harus menjadi pemenang. Bisa gitu? Kenapa tidak? Caranya, Indonesia harus membuat pesantren bola. Hah? Apa pula itu pesantren bola?
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat terkenal di Indonesia. Lembaga pendidikan ini mengajarkan santrinya selama 24 jam. Tak hanya mengajarkan kecerdasan otak, tapi juga mengajarkan moral, perilaku, dan nilai. Pendeknya, mengambil istilah Bloom, pesantren mengajarkan ranah kognitif (kecerdasan), afektif (nilai moral), dan
psikomotorik (gerak).
Suasana pesantren memungkinkan tersedianya SDM yang qualified untuk bermain bola. Bayangkan, kalau ada pesantren bola, maka pagi setelah subuh,santri wajib lari pagi atau latihan fisik. Setelah sarapan dan mandi, siswa belajar berbagai ilmu tentang bola secara teoretik.
Inilah yang jarang dipelajari oleh pemain bola di Indonesia, mereka jago bermain bola, tapi tidak memiliki ilmunya secara mendalam. Setelah salat zuhur dan makan, santri bisa beristirahat sampai salat asar. Setelah salat asar, santri kembali ke lapangan untuk belajar teknik dan taktik. Sesekali santri bertanding antar kelas.
Setelah salat magrib, santri bola harus belajar agama. Pelajaran ini penting untuk memompa semangat,ghirah, bahkan untuk membimbing kedisiplinan santri. Pelajaran yang bersifat afektif ini dimaksudkan untuk membentuk karakter santri sehingga membentuk jiwa ksatria, sportif, jujur, terbebas dari sikap jahil, kasar, dan sikap jahat
lainnya.
Setelah salat Isya dan makan malam, santri diajak masuk gedung bioskop khusus yang menayangkan berbagai pertandingan kelas dunia. Setelah menonton film, santri dan kiai kemudian berdiskusi tentang tayangan yang mereka tonton.
Jika dalam sehari semalam santri disiapkan secara afektif, kognitif dan psikomotorik, maka sangat memungkinkan terciptanya SDM yang andal dalam bermain bola. Jika santri dimulai dari SD, maka tidak mustahil, begitu lulus, para santrinya mampu melawan klub profesional Indonesia seperti PSIS Semarang, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, AremaMalang, dan sebagainya.
Begitu tamat SMP, sangat memungkinkan bagi mereka untuk tampil di ajang pertandingan tingkat nasional. Baru kalau tamat SMA, mereka siap bertanding di ajang internasional sampai dengan usia mereka mencapai 30-an tahun.
Sejak masuk pesantren ini, santri mestinya dibebaskan dari berbagai biaya. Pemerintah mestinya membiayai seluruh operasional pesantren bola ini. Kalau tidak, klub tertentu bisa membiayainya. Daripada membayar pemain asing yang tidak juga memenangkan klubnya, mengapa uangnya tidak digunakan untuk kaderisasi?
Santri harus mendapatkan makanan dan minuman yang cukup dan bergizi. Sebab, untuk menunjang pertumbuhan fisik yang bagus harus ditunjang oleh makanan yang cukup dan berimbang. Dengan makanan dan gizi yang cukup, maka tulang, otot, dan seluruh fisik yang sangat diperlukan dalam permainan bola akan berkembang dengan pesat dan baik.
Dengan pesantren bola, memungkinkan bangsa Indonesia tidak melulu menjadi penonton, tapi tidak mustahil menjadi pemain di ajang internasional. Kapan mulai? (Penulis wartawan HU Pikiran Rakyat Bandung, alumni Pondok Pesantren Madrasah
Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Banyumas, 1983)***