Sabtu, 28 Juli 2012

Mencoba "Menikmati" Paniknya Dikejar Aparat

SETELAH berkeliling menelisik warung-warung di Kampung Cibogo, Cipatat, Kabupaten Bandung, dari mulai rumah makan khas Sunda hingga sepanjang lima ratus meter ke arah Cianjur beberapa kali, saya akhirnya singgah di sebuah warung yang tidak terlalu ramai. Warung yang satu ini hanya dihuni dua orang penjaga laki-laki dan seorang perempuan. Sebutlah namanya Pualam. Cewek yang kira-kira berusia 26 tahun tapi mengaku berumur 21 tahun ini seperti merajuk.
Saya kemudian duduk di atas salah satu kursi dari lima kursi yang tersedia yang sudah mulai sobek dan bolong-bolong. Untuk meyakinkan bahwa saya tidak akan pergi lagi, Pualam menawarkan minuman. Saya langsung menyebutkan teh dingin dalam botol. Ia kelihatan tidak puas dengan jawaban saya. "Nggak minum bir?" katanya.
"Saya tak suka mabuk, juga tak merokok," kata saya.
"Tapi suka cewek?" sergah Pualam.
"Ya, itu saja," jawab saya.
Sembari mengambilkan minuman untuk saya, Pualam me­minta satu botol bir berwarna hitam. Saya mengiyakannya. Kemudian ia membuka dua botol di depan saya. Saya meminum jatah saya langsung dari botol, sedangkan Pualam menuangkan minumannya dalam gelas besar. Sebelum meminumnya, ia kembali meminta saya membelikan untuknya sebuah minuman energi. Setelah saya mengiyakan, Pualam menuangkannya dalam gelas yang nyaris penuh. Setelah minuman dicampurkannya, Pualam pun menyeruputnya dengan rasa nikmat.
Meski kelihatan puas dengan minuman oplosannya, Pualam kelihatan masih kurang sesuatu. "Bagaimana kalau sekalian saya dibelikan rokok?" katanya. Saya pun mengangguk. Kemudian ia buru-buru datang ke counter rokok mengambil sebungkus rokok filter yang isinya 20 batang.
Pualam memang akhirnya menawarkan saya untuk melakukan hubungan seks. Tarifnya Rp 150.000,00 untuk short time, dan Rp 500.000,00 untuk long time, ditambah uang cabutan (untuk mucikari) Rp 50.000,00. Saya menyanggupi membayarnya Rp 150.000,00 untuk sekadar berfoto-foto di kamar-kamar yang biasa dia gunakan untuk melayani para tamunya.
Sembari mengajak Pualam bercerita tentang perjalanan hidupnya, saya mencoba memotretnya dalam beberapa pose. Tapi baru mendapatkan dua kali jepretan, tiba-tiba lampu di kamar kami padam. Pualam pun berteriak, "Aa...! Ada apa, kok lampunya dimatikan?"
Penjaga warung yang dari tadi tengah minum bir sembari setengah berbisik berteriak, "Ada razia...!"
Mendengar kabar adanya penertiban, Pualam segera bergegas. Matanya melihat ke segala arah, kemudian tertuju ke tas miliknya dan menyambarnya. Penjaga warung yang memadamkan lampu kamar tersebut menyarankan kami untuk meneruskan kencan di rumah kontrakannya di belakang warung tersebut. Tanpa banyak bicara, Pualam pun menarik tangan saya ke rumah kontrakan yang disebutkan penjaga warung.
Kami menyelinap dari pintu samping, kemudian menuruni jalan yang begitu terjal dan gelap. Pualam sudah begitu hafal jalan ke arah jurang ini, sehingga meskipun jalannya terjal dan berbatu ia dapat melewatinya dengan sigap. Sebaliknya, saya yang baru malam itu melewati lereng ini gelagapan. Bahkan sesekali kaki terpeleset sehingga nyaris terjatuh. Sebetulnya saya tidak perlu tergesa-gesa seperti Pualam yang lari dari tempat praktiknya, tapi saya harus solider kepadanya dan sekaligus "menikmati" dramatisnya dikejar aparat.
Kami berjalan dengan bergegas sekira 100 meter dari warung yang letaknya jauh di bawah dari warung remang-remang itu. Kami masuk ke dalam rumah petak yang menurut Pualam rumah kos milik penjaga warung. Setelah meletakkan tas miliknya, Pualam kemudian pergi ke kamar mandi yang letaknya di luar. Ia sengaja membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya. Ia khawatir aparat yang tengah me­lakukan razia mendatangi tempat kosnya. Dengan keadaan wajah yang polos ia dapat berkilah bahwa dirinya bukanlah WTS.
Meskipun semua make up sudah dibersihkan dan kemudian mengganti pakaian rumahan, Pualam masih kelihatan panik. Ia kembali mengecek dompetnya, KTP-nya ternyata aman. Kemudian ia mengambil dokumen berwarna merah. Ternyata itu adalah kartu keluarga (KK). Ia mengaku, namanya sudah tercantum dalam daftar sebagai anggota keluarga pemilik warung. Melihat beberapa dokumen yang dimaksudkan sudah lengkap, Pualam kelihatan tenteram.
Meski Pualam sudah mulai tenang, justru kegaduhan terjadi di luar. Kali ini teman Pualam bernama Viruz justru tengah mengalami kepanikan. Ia melihat tiga buah mobil aparat melintas di depan warungnya yang biasa ia gunakan untuk mangkal. Saya menyarankan agar Pualam mengajak Viruz untuk bergabung di kamar kami. Tapi sebelum bergabung, Virus pun pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Ia membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya sebagaimana dilakukan Pualam.
Begitu kumpul bertiga di kamar kos itu, Pualam kemudian melontarkan ide untuk bermain kartu. Ia menyebutnya dengan istilah bermain "merahan". Mereka terbiasa tidur sekira pukul 3.00 atau 4.00 dini hari, padahal malam itu baru menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kembali ke warung bagi mereka tidak mungkin, Pualam dan Viruz tidak mau mengambil risiko ditangkap aparat, sementara untuk tidur sore belum bisa, karena kantuk belum kunjung datang. Bermain kartu adalah alternatif untuk membunuh waktu, sebagaimana mereka selalu lakukan saat-saat menanti para pelanggan.
Saya sebetulnya siap ikut ber­main kartu, namun saya tidak paham sistem "merahan" yang mereka mainkan. Apalagi, Pualam menyarankan agar saya tidak perlu ikut bermain kartu, karena cukup dilakukan dua orang. Saya hanya diminta menjadi donatur, siapa pun yang kalah untuk membayarinya. Sebelum mereka bermain, uang receh yang ada di kantung saya dimintanya, sebagai modal. Dua perempuan ini pun kemudian tenggelam dalam permainan kartu. Sesekali Pualam mengocok kartu, namun kadang-kadang Viruz yang mengo­coknya.
Selama kedua perempuan ini bermain kartu sambil berjudi, saya kembali mengajak mereka mengobrol. Pualam tidak banyak menjawab pertanyaan saya, ia lebih memilih tenggelam dalam kartu yang tengah dipegangnya. Justru Viruz yang lebih mudah untuk bercerita. Meskipun usianya sekarang sudah 35 tahun, ia masih beroperasi sebabagi pelacur. Ia memulai menjadi WTS di Cibogo setelah diceraikan suaminya. Wanita yang mengaku berasal dari Garut ini baru terjun ke dunia esek-esek setelah usianya 30 tahun.
Sejak tidak memiliki suami dan harus menghidupi seorang anaknya, ia memang ingin bekerja. Namun, meskipun sudah melamar ke sejumlah pabrik, ia tidak kunjung diterima sebagai karyawan. Makanya saat ada seorang menawarinya untuk menjadi penunggu warung, ia menyanggupinya. Pada mulanya ia tidak menyangka bahwa menunggu warung sekaligus menjual dirinya untuk berbuat mesum. Itulah sebabnya setelah beberapa bulan di Cibogo ia kembali ke Garut. Namun karena terus didera kemiskianan, Viruz kembali ke Cibogo. Kali ini ia datang sendiri dengan kemauan sendiri, sehingga dijalaninya selama dua tahun.
Pualam maupun Virus saat ditanya kapan akan berhenti menjadi WTS, tidak tahu harus menjawabnya. "Nggak tahu, kapan. Terserah. Apa yang akan terjadi terjadilah," kata Viruz. Pualam pun mengamininya. Kami mengobrol hingga pukul 1.00 dini hari. Penjaga warung tiba-tiba datang, dan menyodorkan bon minuman yang diminum Pualam dan dirinya sendiri ratusan ribu rupiah. Saya pun membayarnya sekalian pamitan.
Setelah menaiki tebing yang begitu terjal, saya pun sampai di depan warung remang-remang itu kembali. Sebagian besar warem tersebut sudah tutup. Rupanya beberapa mobil aparat yang lewat hanya mampir di dua warung tidak bermaksud melakukan razia. Tapi para WTS telanjur lari tunggang langgang. (Wakhudin/"PR")***

Berhaji Hanya Perlu Satu Kata, Pasrah


(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh “rafats”, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Q.S. Albaqarah:197)


PESAWAT take-off pukul 8.00 pagi. Tapi jam 1.00 dini hari, sudah hiruk pikuk. Jemaah yang sudah mulai mengantuk tak lagi bisa tidur. Petugas melalui pengeras suara yang bising meminta mereka naik ke dalam bus yang segera membawanya ke bandara. Pukul 2.00, semua jemaah satu kloter kelihatannya sudah naik ke dalam bus. Ketua kloter yang dibantu ketua rombongan menghitung jemaah satu per satu. Ternyata jumlahnya 449 jemaah, kurang 6 orang.

Maka para karom (ketua rombongan) segera mencari jemaah yang belum masuk ke dalam bus. Dua orang jemaah ditemukan di dalam WC asrama, tapi tidak dapat segera naik bus, karena masih buang hajat. Petugas pun menungguinya, sampai selesai. Sementara dua jemaah yang lain segera menaiki bus setelah mengisap sebatang rokok. Ketua kloter pun kembali menghitung mereka, dan jumlahnya tetap belum genap, masih kurang dua orang.

Para petugas kembali sibuk mencari mereka. Sebagian melakukan sweeping ke kamar-kamar jemaah. Tapi hasilnya nihil. Maka petugas segera mengumumkan kembali melalui pengeras suara meminta dua jemaah segera naik ke dalam bus yang sebentar lagi berangkat. Tapi lagi-lagi tidak ada jemaaah yang memasuki bus.

Sebagian jemaah kesal, sebagan lain uring-uringan, namun sebagian lain menikmati tidur di dalam bus. Beberapa waktu kemudian seorang kakek berusia 75 tahun pun datang dengan dituntut anaknya memasuki bus. Waktu pun terus berlalu, pukul 2.30. Ketua kloter kembali menghitung jemaahnya, namun lagi-lagi kurang satu orang. “Halo... halo...” kembali berkumandang. Ternyata, jemaah yang belum masuk adalah orang yang tadi ikut mencari jemaah yang belum datang. Jam 3.05 rombongan bus itu baru berangkat ke bandara dengan jumlah jemaah yang genap, 455 orang.

Pergi menunaikan ibadah haji memang berbeda dengan melancong pada umumnya. Mengunjungi Baitullah dituntut kekompakan rombongan dan kelompok terbang. Ketua kloter, tim pembimbing haji daerah (TPHD), tim pembimbing ibadah haji (TPIH), dan tim kesehatan haji Indonesia (TKHI) yang dibantu sejumlah ketua rombongan dituntut bekerja keras mengoordinasikan jemaah. Satu saja jemaah yang ketinggalan atau mengalami peristiwa di luar dugaan, akan merepotkan semua jemaah. Oleh karena itu, sekadar naik ke dalam bus pun memakan waktu tiga jam lebih.

Padahal, bepergian biasa memerlukan waktu tak lebih dari satu jam untuk mencegat hingga naik bus. Bahkan satu jam untuk boarding pass sebelum terbang pun masih punya kesempatan jalan-jalan di bandara.

Saat berhaji sebetulnya jemaah sudah terbebas dari pekerjaan rutin kantor dan pekerjaan rumah. Tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, selain makan dan minum demi kesehatan serta beribadah. Meski demikian, peluang meningkatnya stres sangat tinggi. Bayangkan, naik bus saja memakan waktu tiga jam dan bertele-tele. Padahal, perjalanan yang penuh tekanan seperti itu berlangsung setiap hari selama sekitar 40 hari.

Setibanya di bandara, jemaah dituntut antre naik pesawat setelah sebelumnya mendapatkan pemeriksaan dokumen dan barang bawaan. Tentu, tidak semua jemaah familiar dengan bandara sehingga sering proses pemeriksaan ini memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kalau pemeriksaan dilakukan di bandara Arab Saudi, baik di Bandara Jeddah maupun Madinah. Soal bahasa senantiasa menjadi kendala dalam berkomunikasi.

Setelah istirahat di bandara, jemaah melanjutkan perjalanan ke Kota Madinah atau langsung ke Mekah bagi jemaah gelombang II. Akibat kelelahan perjalanan, jemaah biasanya semakin menurut saat mulai diberangkatkan ke kota suci ini. Namun saat sampai di pemondokan, keributan sangat potensial terjadi. Jemaah yang masih berusia muda kerap tidak mau mengalah untuk menempati pondokan di lantai bawah, sementara jemaah yang berusia lanjut terpaksa tinggal di kamar lantai atas. Para petugas kali ini dituntut memberikan pengertian kepada jemaah yang berusia muda untuk mengalah.

Tinggal di pemondokan Madinah relatif lebih bagus dan longgar ruangannya dibandingkan dengan di Mekah. Tentu saja, satu kamar yang dihuni 5 sampai 10 orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri, meskipun bangunan pondokan tersebut setara dengan hotel berbintang. Kondisi pemondokan dapat menyebabkan jemaah bertengkar.

Soal antre menggunakan WC, memasak yang cocok untuk semua jemaah sekamar, pengaturan jam tidur dan tempat tidur, waktu berangkat ibadah ke Masjidilharam dan sebagainya sepertu kelihatan sepele. Namun demikian, banyak jemaah yang menjadikan masalah remeh temeh ini menjadi pemicu adu mulut.

Maka tidak heran kalau tiba-tiba kita baru tahu ada pasangan suami istri yang tidak melakukan tegur sapa lebih dari seminggu. Suami kadang ingin langsung pulang usai melaksanakan salat di masjid, sementara sang istri masih ingin berjalan-jalan ke toko untuk berbelanja. Kadang suami meminta bantuan membawakan barang tentengan, sementara istri yang menenteng beberapa tas menjawab dengan ketus.

Maka tidak mustahil, percekcokan pun terjadi antara suami istri, antara sesama penghuni kamar, antarkamar atau bahkan antar kloter. Tidak mustahil juga pertengkaran terjadi antara satu warga negara dengan warga negara yang lain. Peristiwa tabrakan maut di seputar Jumrah Aqabah beberapa tahun silam bermula dari tidak adanya pihak yang mengalah antara jemaah dari Afrika Selatan dengan jemaah lain dari Turki dan Pakistan.

Masalah hubungan seks antara suami dan istri kerap pula menjadi problem yang menyebabkan pasangan kehilangan keharmonisan. Melakukan hubungan intim dalam ruang terbatas yang kerap hanya disekat kain tentu tidak nyaman. Namun membiarkan suami atau istri tanpa hubungan seks menyebabkan pergaulan dalam perjalanan ini mengarah kepada konflik.

Belum lagi saat kita berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang tempat kemahnya terbatas. Saat menaikturunkan barang bawaan dari asrama ke bus atau sebaliknya, saat salat di masjid, saat berbelanja, dan semua kegiatan haji memungkinkan kita untuk stres. Apalagi kalau sampai jemaah mengalami kehilangan barang, uang, atau dokumen, atau kehilangan keluarga. Tekanan batin akan sedemikian dahsyat.

Menghadapi berbagai peristiwa seperi itu, hanya satu kata untuk menyelesaikannya, pasrah. Memasrahkan diri kepada Allah SWT. Kita harus segera berintrospeksi diri. Bukankah berhaji berarti menjadi tamu Allah? Sang Khalik tentu akan memperlakukan tamu-Nya sebagaimana tamunya bersikap. (Wakhudin/”PR”)*** 

Seks Komersial, Antara Deru dan Debu


MESKI sesekali hujan, musim kemarau tahun ini menyebabkan debu berterbangan ke seluruh Kota Bandung dan sekitarnya. Di daerah pinggiran kota, seperti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, pencemaran udara diperparah oleh beroperasinya pabrik-pabrik dan penambangan kapur di kawa­san pegunungan Masigit. Para pelancong dapat menderita sesak napas saat "menikmati" udara perjalanan Padalarang-Cianjur yang tercemar mulai dari Situ Ciburuy, hingga ke Kecamatan Cipatat. Belum lagi, pencemaran ditambah suara bising truk pengangkut pasir dan bus-bus jurusan Jakarta-Bandung yang masih bertahan, meski sudah ada jalan tol Jakarta-Bandung atau bus jurusan Sukabumi-Bandung.
Di antara deru kendaraan bermotor dan pabrik pembakaran gamping di sekitar perjalanan yang berkelak-kelok itu, kita dapat menyaksikan sekira 50 warung dibangun dipinggir jalan di Kampung Cibogo. Di bagian depan warung tersebut, tiang menancap setara dengan tingginya jalan raya. Namun di bagian belakang, tiang-tiang warung tersebut terpancang setinggi antara 5 hingga 10 meter, dengan kemiringan tanah lebih dari 50 derajat, dan menurun hingga ke jurang. Di bagian lembah ini berdiri ratusan rumah penduduk.
Di antara warung-warung tersebut terdapat ruang yang cukup lebar di seberang bagian utara yang dapat digunakan parkir lebih dari 20 kendaraan, juga dikelilingi bangunan-bangunan warung sederhana. Di antara warung-warung itu terdapat kafe, tempat karaoke, diskotek, dan pertunjukan musik dangdut. Di seberang bagian selatan, meskipun merupakan bukit yang curam juga terdapat sebuah bangunan yang digunakan sebagai ruang pertunjukan musik.
Setiap malam, tempat-tempat ini tidak terlalu ramai. Namun, Sabtu di akhir bulan Juli, terlihat dua mobil dan 5 sepeda motor diparkir di depan pertunjukan dangdut di tepi bukit di seberang bagian selatan. Para penumpangnya yang sebagian besar kaum pria masuk ke dalam ruangan. Mereka disambut puluhan wanita bergincu merah menyala yang rata-rata berusia antara 20 hingga 30 tahun. Pakaian mereka pun tak ubahnya para artis dangdut yang sering kita saksikan di televisi, setelan kaus lengan panjang dan celana panjang ketat dengan warna-warna yang mencolok.
Masuk ruang hiburan tidak dikenakan charge. Para tamu hanya membayar minuman yang mereka pesan dan sesekali membayar uang sawer untuk penyanyi saat menyamperinya. Para tamu bisa ditemani perempuan yang juga berdandan seperti penyanyi saat menikmati musik. Namun, mereka juga boleh menolak tawaran itu jika sedang ingin menyendiri. Karena tawaran dilakukan berulang-ulang, tamu biasanya tidak tahan untuk menikmati dangdut sendirian, sehingga akhirnya ia turun berjoget ditemani perempuan yang sudah lama menunggunya.
Perempuan-perempuan yang menemani berjoget dan minum di tempat hiburan tersebut, juga bisa diajak keluar ke mana pun tamu mau. Semua bergantung pada "transaksi" yang disepakati. Mereka boleh dibawa ke hotel-hotel kecil di sekitar Padalarang atau di Kota Bandung, Lembang, atau bahkan di tempat di sekitar tempat hiburan tersebut. Namun, setiap tamu yang mengajak cewek Cibogo ini dikenakan charge Rp 50.000,00 yang disebut dengan "uang cabut". Sebab, setiap perempuan yang tidak lain adalah para pelacur ini memiliki induk semang masing-masing sebagai mucikari.
Namun para tamu yang tidak mau membayar "uang cabut" tersebut, dapat menuntaskan nafsunya di warung remang-remang yang mengelilingi tempat hiburan di Cibogo ini. Warung-warung tersebut, selain menyediakan aneka macam minuman juga terdapat satu atau dua kamar yang dapat disewakan untuk melakukan hubungan seks short time. Harga sewanya antara Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00. Namun, perempuan yang diajak kencan biasanya mengenakan tarif Rp 50.000,00 kepada tamunya.
Warung remang-remang ini sendiri biasanya menyediakan seorang hingga lima orang wanita tuna susila (WTS). Para tamu yang hanya menginginkan layanan seks dapat langsung menuju warung-warung ini, tanpa harus terlebih dahulu mencari WTS di tempat hiburan. Meskipun namanya warung dan dibangun di atas jurang, namun di dalamnya biasanya terdapat ruang yang lumayan lega. Ruang terbuka yang tak ada meja kursi ini biasanya dapat digunakan untuk berjoget atau berdansa bersama cewek kencannya. Sebab, di depan ruang lega yang membelakangi jalan raya tersebut terdapat TV dilengkapi seperangkat CD dan DVD player yang dapat mengiringi para tamunya melantai. Jangan membayangkan ruang ini mewah, rata-rata lantainya terbuat dari papan dan TV yang mengiringi mereka berjoget pun berukuruan paling besar 21 inci atau bahkan 14 inci.
TV dan alat-alat elektronik lainnya memang hanyalah asesoris tambahan, bisnis para cewek penunggu warung yang utama adalah pelayanan seks secara komersial. Sedangkan bisnis utama pemilik warung adalah minuman, baik beralkohol rendah maupun yang berkohol tinggi. Para pekerja seks komersial (PSK) sendiri tidak dikenai pungutan dari hasil melacurnya dengan tamu. Namun, mereka berkewajiban memasarkan minuman dan rokok milik warung tersebut. Caranya, biasanya WTS tersebut membeli minuman dan rokok untuk tamu dan untuk dirinya sendiri, tapi semua biaya dikenakan kepada tamunya. Bahkan, para PSK tersebut seringkali minum bir berulang-ulang dengan berbagai macam campuran, minuman berenergi aneka macam merek, dengan demikian pemilik warung pun diuntungkan dengan semakin banyak keluarnya uang dari tamu.
Namanya juga bisnis seks, ilegal dan haram jadah. Segala macam hal sering dilakukan untuk mengeduk uang para tamu, tanpa harus memberikan pelayanan yang sebanding dengan uang yang dikeluarkan tamu. Keterampilan para PSK memoroti uang tamu adalah keterampilan yang melekat pada setiap PSK. Anehnya, para lelaki hidung belang tak pernah kapok. Kaditu deui kaditu deui...! (Wakhudin/ "PR”)

Cibogo tak Seramai Dulu


Oleh WAKHUDIN
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjaning wong kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
(Ranggawarsita 1802-1873)

BAIT macapat di atas merupakan karya pujangga Keraton Surakarta, Jawa Tengah, Ranggawarsita. Karya tersebut sangat terkenal, karena memiliki nilai prediksi yang sangat aktual dengan kondisi zaman sekarang. Syair yang disusun dua abad lalu itu mengungkapkan bahwa suatu saat akan datang zaman gila. Zaman gila ini sangat membingungkan masyarakat. Kalau ikut gila, rakyat benar-benar tidak tahan. Tapi, kalau tidak ikut gila, rakyat tidak kebagian. Bahkan pada gilirannya akan mengalami kelaparan. Tapi- bagaimanapun, seharusnya semua tetap berada di jalan Allah. Sebab, semulia-mulianya orang yang lupa akan lebih mulia orang yang selalu ingat dan waspada.
Zaman yang dilukiskan Ranggawarsita disebut zaman Kalabendu. Masa seperti ini dapat dirasakan nyaris di semua sendi kehidupan oleh masyarakat modern. Masyarakat kini sering dihadapkan berbagai dilema yang dramatis, antara pilihan salah atau benar, jujur tapi miskin dengan kaya tapi culas, korupsi dan karier melejit atau bersih tapi karier mentok, dan sebagainya. Sayangnya, tidak sedikit di antara kita yang memilih alternatif ikut gila ketimbang eling dan waspada.
Yang paling ironis adalah masyarakat yang memilih ikut gila, namun tidak juga sejahtera. Norma-norma kemasyarakatan dan agama sudah terlanjur diterjang, namun harta benda yang diidamkan tidak kunjung tiba. Alih-alih mereka semakin sejahtera, tapi justru semakin hina dina di mata sesama, namun kalau mati dan tidak sempat bertobat, dijamin masuk neraka.
Nasib wanita tuna susila (WTS) di Cibogo, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat ini dapat dimasukkan dalam kategori yang ironis ini. Tidak seorang perempuan pun ingin menjadi WTS. Hanya karena kondisi yang luar biasa menyeret mereka terjun ke dalam dunia pelacuran. Meskipun segala hal sudah dijualnya, termasuk menjual dirinya sendiri, namun nasib mereka secara materi tidak kunjung membaik. Hari demi hari, lokalisasi di Cibogo semakin sepi. Satu demi satu, warung remang-remang ini tutup. Beberapa tempat hiburan sebagai induk daya tarik masyarakat untuk datang pun satu demi satu gulung tikar. Dibangunnya jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) semakin membuat Cibogo sepi.
Meskipun para pelacur setiap saat melakukan perzinaan, namun semua menyadari bahwa perzinaan bukanlah perbuatan bermoral dan bermartabat. Bahkan lebih jauh, para WTS sesungguhnya ingin meninggalkan dunia prostitusi itu secepatnya, jika problematika hidup mereka telah terselesaikan. Sayangnya, batasan problem hidup mereka tidak pernah jelas sebagaimana adanya garis antara hitam dan putih, melainkan selalu samar-samar. Itu pula sebabnya, setiap pelacur yang terjun dalam dunia prostitusi tidak mudah untuk mentas dari lembah hitam tersebut.
Meski demikian, penelitian membuktikan banyaknya perempuan pelacur yang berani meninggalkan dunianya untuk meraih masa depan mereka yang lebih jernih. Proses penyadaran dari wanita pelacur menjadi wanita baik-baik ini bersifat unik. Antara satu perempuan dengan perempuan yang lain memiliki proses sendiri-sendiri.
Meski demikian, terdapat kecenderungan yang sama yakni bagi para WTS untuk meninggalkan dunia pelacuran, yakni (a) Proses penyadaran bersifat represif. Proses penyadaran wanita pelacur menggunakan cara-cara represif memang bukanlah cara yang ideal. Sebab, para pelacur ditangkap oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja. Meskipun bersifat represif, namun cara-cara tersebut selama ini terbukti relatif efektif. Para pelacur yang tinggal di panti rehabilitasi dipaksa untuk hidup normal dan hidup sehat. Mereka diajarkan bagaimana cara mencari nafkah di luar melacurkan diri, yakni dengan berbagai usaha wiraswasta atau belajar bekerja kepada orang lain dengan cara halal. Apalagi setelah keluar dari panti mereka dibekali modal kerja, pada umumnya dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri.
(b) Habis "masa produktifnya". Perempuan yang menjadi pelacur pada saatnya akan meninggalkan dunianya. Salah satu jalannya adalah jika pelacur tersebut kehabisan "masa produktifnya". Artinya, kondisi fisik dan psikisnya tidak memungkinkan lagi untuk tetap bertahan menjadi pelacur. Usia yang semakin tua, dengan kulit yang semakin keriput, disertai rambut yang beruban, serta gigi ompong, akan memaksa seorang perempuan menghentikan kegiatannya sebagai pelacur.
Aktivitas melacur dalam banyak kasus kemudian diikuti dengan langkah-langkah melakukan degradasi kelas pelacuran. Misalnya, perempuan pelacur yang tadinya menjadi primadona, suatu saat kemudian turun menjadi pelacur biasa. Pelacur biasa yang sebelumnya cukup menunggu di lokalisasi, lama kelamaan turun ke jalan secara agresif menyambut para lelaki hidung belang yang lewat di jalan-jalan. Sementara pelacur jalanan yang semakin tua, bisa jadi kemudian mengalami degradasi menjadi pelacur di pasar-pasar dengan melayani para pedagang atau masyarakat kecil di gubuk seadanya dengan tarif antara Rp 10.000,00 hingga Rp 25.000,00.
Habisnya "masa produktif" bagi pelacur dapat juga disebabkan oleh berbagai penyakit yang menggerogoti dirinya. Sebagai kelompok yang berisiko tinggi (risti) terhadap berbagai penyakit menular seksual, para pelacur sangat rentan mengidap berbagai penyakit berbahaya, bahkan tidak sedikit yang kemudian mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan. Dalam kondisi sakit seperti itu,pelacur dengan sendirinya kehabisan "masa produktifnya" sehingga berhenti melakukan perzinaan.
(c) Tersentuh hati dan sanubarinya. Peluang lain pelacur mengalami proses pencerahan, dari menjadi pelacur menjadi wanita baik-baik adalah jika merasa tersentuh hati sanubarinya. Berbagai upaya yang dapat menyentuh kalbu mereka, apalagi dilakukan secara humanis, merupakan terobosan terbaik untuk menyadarkan pelacur untuk kembali menjadi manusia yang beradab dan bermartabat. Dalam soal ini, Rasulullah Muhammad saw. telah mengantisipasi peluang itu dengan mengatakan bahwa wanita terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Jika dibiarkan ia akan tetap bengkok, namun jika diluruskan dengan cara paksa, tulang tersebut akan patah. Maka, melakukan proses penyadaran dengan cara menyentuh hati mereka adalah pilihan yang paling baik di antara pilihan lainnya.
Rupanya, kasus pelacuran di Cobogo cukup unik, tidak masuk dari tiga kemungkinan di atas. Sebab, pelacuran di wilayah Cipatat ini justru satu demi satu tutup bukan karena ditangkap, bukan karena kehabisan WTS, atau bukan pula karena sadar, melainkan ditinggalkan pelanggannya. Zaman sebelum jalan tol Cipularang dibangun merupakan masa keemasan Cibogo. Para awak truk dan trailer setiap saat mampir di warung remang-remang ini. Namun kini mereka tidak lagi melewati jalur ini, karena melewati jalan tol lebih mudah dan efektif.
Maman (35), sebutlah namanya demikian, seorang penunggu warung remang-remang (warem) di Cibogo pekan lalu menuturkan, jumlah warem remang-remang di Cibogo sekira 50. Yang masih beroperasi berjumlah 30-an. Setiap warung dihuni oleh seorang, dua orang, hingga lima orang WTS. Dengan demikian, jumlah WTS di Cibogo yang masih bertahan sekira 200 orang.
"Di sini para pemilik warung tidak ada yang mengoordinasikan. Semua berjalan sendiri-sendiri. Setiap orang juga boleh membuka usaha di sini, asalkan mampu membayar sewa warung tersebut. Harga sewa warung di sini Rp 600.000,00 perbulan. Kenyataannya, banyak pengusaha yang tidak tahan lama berusaha di sini, sebab makin hari makin sepi," kata Maman.
Ia menunjuk tiga tempat hiburan yang menjadi "induk" dari lokalisasi ini yang mulai tutup. Tinggal dua tempat yang masih beroperasi, itu pun terseok-seok dalam perjalanannya, karena para pelanggan meninggalkan tempat hiburan ini. Saat malam Sabtu atau Minggu, pengunjung yang datang dapat dihitung dengan jari tangan.
Cibogo kini dalam persimpangan jalan. Mau diteruskan untuk maksiat, toh semakin ditinggalkan pelanggan. Bukan keuntungan materi yang didapat, melainkan rugi dan terus merugi. Kalau begitu, mengapa tidak sekalian ditinggalkan saja dunia esek-esek itu dan pindah kepada dunia yang lebih cerah, lebih bermartabat, dan sekaligus mendatangkan rezeki?***