Minggu, 24 Februari 2008

Ujian Nasional


GATOTKACA dari Pringgandani, merupakan ksatria legendaris. Putra pasangan Bima-Arimbi ini dikenal sakti mandraguna. Ia tidak mempan kalau sekadar dipukul dengan palu godam atau ditusuk menggunakan pedang yang paling tajam sekalipun. Bahkan, mimis kalantaka (peluru) pun tidak akan mampu melukainya. Mengapa? Karena Gatotkaca sejak lahir sudah dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Sebuah tempat paling buruk yang digambarkan sebagai tempat penyiksaan bagi makhluk yang dianggap tidak taat kepada para dewa. Begitu lahir, bayi yang diberi nama Jabang Tetuka ini dibawa para dewa ke Kahyangan untuk dijadikan ksatria sakti. Caranya, bayi yang masih berwarna merah itu dilempar ke dalam api besar yang menyala-nyala. Anehnya, bayi itu tidak meninggal. Maka para dewa yang jumlahnya 30 orang dan berwatak 9 macam itu menyerang bayi Tetuka dengan berbagai senjata yang dimilikinya. Semua pedang, golok, tombak, keris, bahkan senjata pemusnah masal pun disarangkan ke dalam tubuh Gatotkaca. Ajaib, Tetuka justru malah mampu merangkak, tersenyum, bahkan keluar dari kawah dalam keadaan mampu berbicara. Berbagai senjata yang ditusukkan ke dalam raganya justru menjadi kekuatannya. Dalam kehidupan nyata, rumus Kawah Candradimuka itu dapat dikemukakan bahwa, semakin mampu seseorang mengatasi keadaan paling sulit, maka semakin tinggi tingkat kemampuannya untuk survive. Sebagaimana Gatotkaca yang mampu mengatasi masalah yang tingkat kesulitannya ultimate dalam usia paling dini, ia menjadi ksatria paling terkenal di Pandawa. Alquran pun menyatakan, semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula Allah mengangkat derajat orang tersebut.Pada kenyataannya, semakin tinggi ilmu, semakin sulit diraih. Orang yang mampu meraih derajat yang lebih tinggi tentu telah melampaui tingkat kesulitan yang lebih tinggi pula. Derajat yang tinggi tersebut sebagai buah dari "derita" dan pengorbanan yang didedikasikan bagi pencarian ilmu tersebut.Ketika Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menetapkan ujian nasional (UN) bagi siswa SMP/MTs/SMA/MA/SMK dan terakhir bagi siswa SD/MI, sesungguhnya pemerintah telah menetapkan suatu tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari sekadar ujian tingkat sekolah, ujian tingkat kota/kabupaten atau provinsi. Seseorang yang lulus dalam UN berarti memiliki "derajat" yang lebih tinggi daripada yang lulus ujian lokal. Maka wajar jika untuk meraih nilai UN yang bagus diperlukan tingkat "derita" dan keprihatinan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan ujian lokal. Maka kita dapat mengatakan, kalau kita menolak UN karena takut menghadapi kesulitan, itu artinya kita menolak tingkat derajat yang lebih tinggi. Bahwa dalam praktik terdapat banyak penyimpangan, itu adalah masalah lain yang harus secara bersama-sama ditanggulangi. Atau, misalnya, banyak siswa yang tidak lulus, itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi siswa. Hidup memang tidak selamanya mulus, ada pahit dan manis. Kedua-duanya adalah alat belajar. Hanya orang bijaklah yang mampu memaknainya demi peningkatan derajat tersebut. Seandainya Gatotkaca tidak pernah dimasukkkan Kawah Candradimuka, maka ia tak lebih dari Cepot atau Dawala. (Wakhudin)

Tidak ada komentar: