Kamis, 28 Februari 2008

Nurustunjung


BAHASA Indonesia yang sepadan dengan kata "nurustunjung" adalah "keterlaluan". Dalam bahasa Jawa, "nurustunjung" sama artinya dengan "lacut" (ala kebacut). Maksudnya, sudah tahu bahwa itu merupakan keburukan tapi nekat dilakukan, bahkan secara terus menerus keburukan itu dilestarikan. Bahasa religius yang paling tepat menggambarkan itu semua adalah "fisq", bentuk jamaknya "fusuq" atau dalam bentuk isim fa'il menjadi "fasiq" (orang fasik), yaitu orang yang telah mengetahui tentang baik-buruk, tapi lebih senang memilih keburukan dan dosa.Sejumlah kosa kata di atas sangat pantas menjadi label (stigma) bagi bangsa Indonesia yang merayakan pergantian tahun baru 2004-2005 dengan cara bergembira ria dengan berhura-hura. Bagaimana tidak disebut nurustunjung, saudara-saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tengah menderita akibat gempa bumi yang diikuti dengan tsunami yang menewaskan puluhan ribu orang, sementara kita yang mengaku sebagai saudaranya tetap berpesta. Belum berhenti darah mengalir, belum pula ditemukan seluruh mayat yang menjadi korban musibah, bahkan jasad-jasad yang mulai membusuk pun belum sempat dikuburkan semua, namun saudara-saudaranya yang berada di daerah lain tetap berjingkrak-jingkrak kegirangan karena tahun 2004 berganti nama menjadi 2005. Kita seperti orang kemaruk yang kalau tidak berjoget barang sehari, seluruh tubuh akan pegal-pegal dan pantat akan terasa gatal-gatal. Aneka lagu riang gembira yang diiringi joget massa dan juga joget erotis yang mendekati striptis atau setidaknya semistriptis selalu menjadi menu pergantian tahun. Kita seperti kehilangan gagasan bahwa satu-satunya cara merayakan pergantian tahun adalah dengan cara berjoget, menari, meniup terompet, membakar kembang api, dan seabrek cara yang semuanya dapat dikategorikan mubazir. Apakah tidak berpikir bagaimana mengambil hikmah yang optimal dari pengorbanan saudara-saudara kita yang sangat luar biasa di Aceh dan Sumatra Utara. Dengan demikian, kita tidak melakukan kesalahan yang kedua kali. Atau seandainya suatu saat musibah itu menimpa kita, maka pada saat itu kita telah siap mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatan kita.Kita sudah berusaha menyingkir dari tempat-tempat terbuka dan jalan-jalan raya yang biasa digunakan untuk merayakan pergantian tahun baru. Tapi tetap saja lagu-lagu gembira di televisi yang masih memasang logo "Indonesia Menangis", "Indoseia Berduka", "Indonesia Berkabung" dan sebagainya tidak tahan untuk tidak menayangkan goyang dan kegembiraan. Padahal, masyarakat yang bermoral, uratnya masih kaku untuk tersenyum, apalagi tertawa. Dahinya masih mengernyit ngeri dan sedih karena menyaksikan dan membayangkan musibah yang dahsyat. Saudara kita yang menyaksikan langsung musibah itu masih banyak yang kelu untuk mengungkap parahnya kerusakan dan kehancuran yang menimpa saudara-saudara kita.Kita memang keterlaluan, nurustunjung. Mungkin karena kelakuan kita yang selalu demikian, sehingga sebagian masyarakat Aceh ingin tidak lagi bersaudara dengan kita. Mereka mungkin membayangkan bahwa hidup berpisah dengan bangsa yang keterlaluan seperti kita ini akan lebih baik dan lebih bermoral. Itulah sebabnya mereka pertaruhkan nyawa dan harta serta keluarga agar bisa keluar dari golongan orang-orang yang fasik. Karena itu pula mereka kemudian diburu, ditembaki, dikejar-kejar terus sampai ke hutan-hutan, sembari mendapat label Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Gerakan Separatis Aceh (GSA). Sebagian dari mereka telah terbunuh oleh obsesinya, sebagian lain tertangkap dan dipindahkan ke berbagai penjara di Pulau Jawa, dan sebagian lain turut menjadi korban tsunami karena saat air pasang itu datang, penjara masih dalam keadaan terkunci.Sebagian dari masyarakat Aceh memang tidak lagi ingin menjadi saudara kita. Nyatanya, kita memilih bertahan agar Aceh tetap menjadi bagian dari kita, bagian dari darah dan daging kita, bagian dari tanah air kita. Bahkan, saking inginnya kita mempertahankan agar Aceh tetap bersaudara, kemudian kita menjadikan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM), kemudian berganti menjadi darurat sipil dan darurat militer, serta serba darurat lainnya. Tapi, ketika kita masih bersaudara dan masih bersatu dengan masyarakat Aceh, beginikah sikap moral kita ketika mereka tengah berduka? Mana wujud empati kita kepada warga Aceh yang telah kita paksa agar tetap menjadi saudara kita? Apakah karena kita telah mengirimkan beberapa dus mi dan membantu beberapa puluh ribu rupiah yang kemudian ditayangkan dalam runing text di TV atau mengisi kolom di surat kabar, lantas kita melupakan penderitaan mereka? Sungguh nurustunjung. Terlalu cepat kita melupakan penderitaan. Katakanlah, selama setahun kita sama sekali tidak menyelenggarakan suatu pesta, maka itu pun sesungguhnya belum impas sebagai pernyataan duka kita.Kita dalam berbangsa dan bertanah air, sejak awal mestinya berterima kasih kepada warga Aceh yang telah amat gigih menyumbang kemerdekaan RI, bahkan secara nyata menyumbang pesawat kepada Presiden Soekarno. Tapi kenyataan, negara yang didukung Aceh tidak kunjung sejahtera, makmur, dan adil sebagaimana yang diimpikan mereka. Alih-alih adil, kekayaan alam mereka berupa hasil hutan dan tambang berupa gas alam cair yang muncul dari perut bumi mereka terus disedot, entah dibawa ke mana. Dibawa orang pusat, dibawa orang asing, atau entah ke mana.Sekali lagi kita pantas berterima kasih dengan sikap mereka yang telah mengingatkan kita bahwa negeri ini tengah mengalami sesuatu yang tidak beres. Protes mereka mestinya kita jawab dengan perbaikan dalam penyelengaraan pemerintahan. Namun apa lacur, api permusuhanlah yang dinyalakan.Peristiwa gempa bumi yang disusul tsunami tanggal 26 Desember 2004 tentu saja memiliki makna yang amat besar bagi keberlangsungan hubungan kita dengan warga Aceh. Tapi lagi-lagi kita berpesta, pamer pusar, pantat berputar-putar, tak bosan menyanyikan lagu yang itu-itu juga. Kita tidak berubah oleh peringatan yang telah mengorbankan warga Aceh dan Sumatra Utara dengan nilai tak terhingga. Kita tak mengambil hikmah apa pun dari sebuah pengorbanan yang amat besar. Dasar, kita memang nurustunjuuuuuungngng!

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Naha bet make kecap nurus/turus jeung tunjung?

Unknown mengatakan...

Punten bade tumaros,

Dupi basa Sundana "Atas nama" teh naon
Contona," Atas nama istri saya, saya mengucapkan terimakasih untuk ucapan selamat ulang tahunnya."

Hatur nuhun