Selasa, 14 Juli 2009

Pemilu Presiden 2009


KRESNA gelisah menyaksikan Setiaki, adiknya, semakin terpojok saat duel maut di Medan Kurusetra melawan Burisrawa dalam Perang Baratayuda. Beberapa pukulan menghantam rahang Setiaki. Saat terhuyung, Burisrawa mengejar Setiaki dan berhasil mengunci leher si jagoan Pandawa itu, sehingga Setiaki tak bisa bernapas. Sesungguhnya hanya dengan sekali putaran, leher satria Garbaruji itu bisa patah. Tapi Burisrawa tidak ingin segera membunuhnya. Jago Kurawa itu ingin menyaksikan Setiaki mengaduh kesakitan. Itulah sebabnya, Burisrawa kemudian menyiksa Setiaki.
Melihat posisi yang lemah, Kresna ingin membantu Setiaki. Tapi aturan main tak mengizinkannya. Sebab, tak seorang pun boleh membantu orang yang berduel satu lawan satu. Di tengah kekalutannya, Kresna melihat Arjuna terduduk lemas di bawah pohon. Penengah Pendawa ini sedang mengalami strs berat, karena dua anaknya --Raden Irawan dan Raden Abimanyu-- tewas dalam perang Baratayuda ini. Kresna pun mendekat, tapi Arjuna tetap bergeming.
Meski demikian, Kresna terus menggoda dan menyatakan bahwa seluruh kesaktian Arjuna telah sirna akibat tekanan jiwa yang begitu dahsyat. Menyadari ucapan Kresna, Arjuna pun bangkit. Ia tidak ingin semua keterampilan berperangnya hilang dengan begitu mudah. Ia tertantang ingin membuktikannya. Melihat perubahan sikap Arjuna, Kresna semakin menggodanya. Ia ingin mengetes kemampuan arjuna dalam memanah.
Arjuna tergoda. Maka Kresna mengambil sehelai rambut dan Arjuna diminta memanahnya menggunakan Pasupati. Arjuna pun berhasil tepat mengenai sasaran. Meskipun secara lahiriah Arjuna memanah sehelai rambut, Kresna sesungguhnya mengarahkan anak panah Arjuna itu ke tengah Medan Kurusetra. Anak panah itu tepat mengenai pundak Burisrawa yang sedang mengunci leher Setiaki.
Seketika, anak sulung Prabu Salya ini menjerit kesakitan akibat tangannya nyaris putus. Saat itulah Setiaki terlepas dari kuncian tangan Burisrawa. Bahkan ia kemudian bangkit dan membunuh Burisrawa dalam sekali pukulan. Setiaki hampir saja bersikap jumawa dan sombong, karena berhasil membunuh musuhnya. Tapi ia kemudian pergi tanpa bicara sepatah kata pun setelah diberi tahu oleh Kresna apa yang sesungguhnya terjadi.
Peristiwa tewasnya Burisrawa dapat terjadi dalam Pemilu Presiden 8 Juli 2009 ini. Kandidat yang sejak pemilu legislatif berada di atas angin bisa jadi gagal memenangi pemilu akibat tidak terampil memainkan isu. Bahkan, isu yang dikembangkan tim suksesnya dalam beberapa kasus menyebabkan kontraproduktif.
Lawan politiknya sesungguhnya memiliki tingkat elektabilitas yang rendah. Namun ia mempunyai banyak "Kresna" yang memiliki jam terbang tinggi dalam memainkan isu. Berbagai isu dilepaskan untuk menggoda lawan, dari mulai soal neoliberalisme, istri capres dan cawapres yang tidak berjilbab. Terakhir yangs cukup dahsyat adalah isu daftar pemilih tetap (DPT) yang boleh menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor sebagai alat bukti boleh memilih.
Apakah gaya Kresna ini ampuh dimainkan dalam perang "Baratayuda" Pilpres 2009 ini? Ternyata tidak. Otak Kresna hanya dapat dicerna oleh 10% masyarakat pemilih. Kata koran Kompas, pemilih Kresna hanya kaum rasional yang berada di perkotaan. Sedangkan selebihnya yang berada di perdesaan cukup menelan isu berdasarkan image. Bayangan bahwa seseorang bersikap tenang, mengayomi, dan seterusnya. Tapi apa pun hasilnya, selamat untuk pemenang. (Wakhudin/"PR")***

Senin, 25 Mei 2009

Citra Partai Politik Islam Dipertaruhkan


PROSES pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2009 melahirkan citra buruk bagi partai politik ataupun politisi muslim. Puncaknya, sikap agresif partai Islam --Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)-- terhadap mitra koalisinya Partai Demokrat menyebabkan antipati terhadap partai dakwah itu. Partai Islam pun mendapatkan stigma plinplan, ambisius, bawel, suka ngerecoki, ribet, dan sebagainya.
Proses penentuan calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pun dimanfaatkan lawan politiknya untuk menyudutkan partai Islam sebagai pecundang. Mereka menyoraki kegagalan partai ini sembari membenamkannya agar tidak muncul lagi.
Kiprah parpol Islam dalam Pemilu 2009 ini tak bisa dipisahkan dari Pemilu 2004. Tepatnya, politisi muslim belajar dari pahit getirnya Pemilu 2004. Saat itu, hampir semua parpol menggandeng santri agar dapat memenangi pilpres. Sebutlah, Wiranto menggandeng K.H. Salahudin Wahid, Megawati menggandeng K.H. Hasyim Muzadi, Siswono Yudhohusodo menggandeng Amien Rais. Kenyataannya, semua gagal. Yang berhasil, justru Yudhoyono yang menggandeng Jusuf Kalla. Pasangan yang tidak dikenal publik sebagai santri.
Belajar dari pengalaman itu, partai Islam dalam Pemilu 2009 tak seorang pun yang percaya diri mencalonkan sendiri calon presidennya. Mereka lebih banyak bersandar kepada Yudhoyono yang popularitasnya memang terus naik. Sikap ini merupakan ekspresi partai Islam yang realistis, sekaligus pengakuan mereka terhadap keberhasilan Yudhoyono memimpin bangsa. Apalagi, dalam kepemimpinan Yudhoyono, Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menggulung sejumlah kasus besar.
Sikap politisi muslim sempat terusik dengan proses pembentukan bangunan koalisi Partai Demokrat, terutama berkaitan dengan posisi Partai Golkar. Jusuf Kalla bersama DPP Partai Golkar sejak sebelum pemilu legislatif selalu meneriakkan untuk maju sebagai capres sendiri untuk menandingi Yudhoyono. Bahkan, Kalla dalam satu kesempatan menyatakan, dirinya lebih baik daripada Yudhoyono.
Sekadar menjaga konsistensi, partai Islam yang sejak awal setia mendampingi Yudhoyono tentu merasa risih jika tiba-tiba Golkar kembali merapat ke Yudhoyono lantaran perolehan suara mereka merosot dalam pemilu legislatif. Itulah sebabnya, PKS berencana keluar dari koalisi jika bangunan SBY-JK tetap dipertahankan.
Deklarasi JK-Wiranto semakin memperkokoh bangunan koalisi partai Islam dengan Partai Demokrat. Akan tetapi, saat partai Islam tidak sedikit pun meragukan Yudhoyono, tiba-tiba Partai Demokrat merangkul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dua partai raksasa ini jika bergabung tak dapat diragukan dapat memenangi secara mutlak Pilpres 2009.
Tanpa disadari, niat PD merangkul PDIP membuat shock politisi Islam. PDIP dan partai Islam dalam banyak kasus bertentangan secara ideologis meskipun dalam beberapa kasus menyangkut sosial politik sering sejalan dan senapas. Sikap PD yang sempat bermesraan dengan PDIP menyebabkan partai Islam tak bisa berkutik. Mati kutu.
Pada waktu yang bersamaan, partai Islam mendengar kabar bahwa Yudhoyono akan mengangkat Boediono sebagai pendamping dalam Pilpres 2009. Maka, PKS, PAN, dan PPP tidak dapat memilih isu yang dijadikan alasan untuk mengekspresikan kemarahan mereka kepada Yudhoyono. Mereka mengekspresikan kejengkelannya dengan menolak Boediono. Padahal, sejatinya, isu besarnya, mereka tidak bersedia berada dalam satu wadah koalisi dengan PDIP.
Seiring dengan sikap PDIP yang keukeuh mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, sesungguhnya kemarahan partai Islam telah mereda. Namun, sayangnya, isu yang diekspresikan soal penolakan terhadap Boediono. Alasan formalnya, komunikasi yang dilakukan PD dengan mitra koalisinya tidak beres. Sebagian tuduhan adalah Boediono beraliran ekonomi neoliberalisme ala Amerika Serikat.
Seiring dengan dinamika ini, maka runyamlah wajah bangunan partai Islam. Kalau alasan utamanya hanya tidak suka terhadap Boediono, PKS, PAN, dan PPP sebetulnya bisa keluar dari koalisi Partai Demokrat. Meskpun hanya memiliki waktu dalam hitungan jam, mereka bisa melakukan konsolidasi setelah mendaftar sebagai capres-cawapres.
Keluar dari barisan Partai Demokrat bisa menjadikan politisi Muslim bak pahlawan. Lagi pula, pada saat politisi nasionalis terpecah ke dalam tiga kelompok --Koalisi SBY Berbudi, JK-Win, dan Mega-Pro-- maka peluang partai Islam terbuka lebar.
Situasi ini bisa disamakan dengan Pilkada Jawa Barat, ketika Ahmad Heryawan mampu memenangi pemilu gubernur. Sebab, peta kekuatan politik Indonesia sampai saat ini belum berubah nasionalis dan agamis. Kaum nasionalis berjumlah sekitar 60 persen dan agamis 40 persen. Pada saat nasionalis terpecah ke dalam tiga blok, maka partai agamis berpeluang menang.
Kenyataannya, partai Islam tidak berani keluar dari koalisi Partai Demokrat. Mereka menuntut penjelasan langsung dari Yudhoyono sekadar tidak kehilangan muka saat mereka menerima Boediono sebagai calon wapres. Mereka menerima Boediono karena sejak awal partai Islam tidak mempersoalkan mantan Gubernur Bank Indonesia ini.
Hanya, dinamika politik ini meninggalkan kesan buruk pada parpol dan politisi Islam. Mereka terkesan ambisius, berebut kekuasaan melulu, pasea, dan citra buruk lainnya. Bagaimana membersihkan citra ini? Inilah pekerjaan rumah mereka yang tidak ringan. Sebab, memulihkan citra pun bagian dari dakwah. (Wakhudin/"PR")***

Selasa, 05 Mei 2009

Wait and See


IBARAT bertinju, para kandidat calon presiden yang akan bertarung dalam Pilpres 10 Juli mendatang memiliki karakter yang berbeda. Kandidat dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung bertipe counter boxer. Ia jarang sekali menyerang terlebih dahulu, tetapi selalu waspada, dan segera membalas setiap serangan. Tipe ini cenderung pasif, meskipun cekatan memasukkan pukulan saat lawan baru bergerak memukul. Itulah sebabnya, Yudhoyono tidak buru-buru menentukan calon wapresnya, meskipun namanya sudah ada di tangan.
Kandidat dari Partai Golkar Jusuf Kalla berkarakter sebaliknya, fighter. Ia selalu berinisiatif melakukan serangan dengan terus mencari celah memasukkan pukulan, baik sekadar mendapatkan angka, maupun bisa meraih kemenangan knock out (KO). Karena bertipe fighter itulah, Kalla paling cepat menentukan pasangan. Wiranto termasuk calon wapres bertipe lincah yang mampu membuat inisiatif melakukan penyerangan maupun dapat bermain counter.
Petarung yang ketiga adalah "petinju" yang belum mampu melupakan "trauma" akibat kekalahan dalam pertarungan pada Pemilu 2004. Petarung tipe ini cenderung memilih dua alternatif, bertarung ulang dan menang atau tidak bertarung sama sekali. Fenomena menunjukkan, bertarung ulang dan menang semakin jauh dari jago Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini. Sebab, Pemilu 2004 menunjukkan, PDIP yang keluar sebagai pemenang papan atas saja dalam pemilu legislatif nyatanya dikalahkan calon dari partai papan tengah.
Apalagi, Partai Demokrat sekarang sudah meloncat menjadi partai papan atas, dan PDIP terus melorot, antatara posisi kedua dan ketiga. Akibat trauma kalah dalam Pemilu 2004 ditambah dengan posisi yang semakin tidak menguntungkan, jago dari PDIP terus berhitung untuk masuk ke dalam "ring" Pilpres 2009. Koalisi besar yang dibentuk antara PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Golkar, nyatanya telah didahului dengan pencalonan Kalla-Wiranto.
Jika Megawati juga maju sebagai calon presiden, maka niscaya koalisi besar itu dengan sendirinya menjadi koalisi kecil, karena masing-masing mengajukan calon. Maka dapat dipahami, PDIP semakin kesulitan mencari partner koalisi.
Bergabung bersama Gerindra mengajukan capres-cawapres, sesungguhnya dapat menutupi trauma PDIP dalam pertarungan Pilpres 2004 tersebut. Sebab, Ketua DPP Partai Gerindra Prabowo termasuk tokoh yang sangat energik. Ia cenderung bermain dengan tipe fighter dengan penuh inisiatif. Kampanyenya yang mengajukan program konkret mendapatkan pujian dari banyak pakar, meskipun partainya hanya masuk papan tengah. Meski demikian, mereka patut bersyukur, sebab setidaknya lolos dari parliamentary threshold.
Kalaupun dalam Pilpres 2009 ini gagal menjadi presiden, misalnya, Prabowo akan menjadi kandidat terbaik dalam Pilpres 2014. Pasangan yang ditunggu Prabowo dari PDIP sebaiknya memang tidak mundur dari Pilpres 2009. Kalaupun Megawati masih trauma melakukan rematching, ia bisa mengajukan Puan Maharani saat ini agar semakin matang menghadapi Pilpres 2014. Apa pun langkah masing-masing kandidat, setiap langkah selalu diawasi lawan. Sebab, semua wait and see, menunggu dan waspada.***

Rabu, 22 April 2009

Gula


GULA rasanya manis. Sangat nikmat dan bermanfaat jika digunakan untuk mencampur minuman atau bumbu masakan dengan ukuran yang pas. Anak suka memakannya yang dikemas dalam kembang gula. Masyarakat Cirebon dan Tegal menggunakan batu gula untuk teh poci. Orang tua yang bejat moralnya suka "gula-gula", permainan wanita di antara pekerjaannya.

Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadikan gula sebagai lambang kesejahteraan. Kalau bertamu kepada mereka dan disuguhi minuman bergula, itu menunjukkan bahwa mereka sedang memiliki rezeki yang cukup, setidaknya cukup membeli gula. Sebagian besar masyarakat Sunda dan Jawa Barat tidak suka gula. Itulah sebabnya, teh yang disajikan saat bertamu tidak mesti terasa manis. Gula atau glukosa sangat bermanfaat untuk tubuh, khususnya untuk membentuk tenaga. Tetapi jika kadar gula di dalam darah terlalu banyak maka bisa menyebabkan sakit gula.

Demokrasi tak ubahnya gula. Paham yang memberikan kesempatan luas bagi konstituen ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi demokrasi jika diberikan kepada masyarakat terlalu besar bisa juga kontraproduktif. Kebebasan yang kebablasan bisa menggoyahkan stabilitas nasional. Dalam beberapa kasus, ketika keran demokrasi diberikan secara lebih leluasa kepada masyarakat, yang memanfaatkan lebih optimal kebebasan ini justru para penjahat, petualang, dan kaum spekulan.

Pemilu 2009 secara sistemik relatif lebih demokratis dibandingkan dengan Pemilu 2004 atau pemilu sebelumnya. Di masa lalu, calon jadi adalah calon yang menempati nomor urut awal. Sistem ini memungkinkan manipulasi oleh para pengurus partai, sehingga hanya orang yang menguasai partai yang dapat mengatur siapa yang jadi anggota legislatif. Pemilu 2009 sekarang ini memungkinkan semua caleg memenangi pemilu, selama perolehan suaranya memenuhi angka yang ditetapkan walaupun berada pada nomor urut bontot.

Meski demikian, karena semua caleg mempunyai peluang yang sama memenangi pemilu maka setiap apa pun yang terjadi di tempat pemungutan suara menjadi sangat sensitif. Jika kartu suara tercoret sedikit akibat error, misalnya, maka coretan tak sengaja pun bisa diklaim sebagai pencontrengan. Demikian pula saat penetapan suara, seberapa pun selisih suara akan menentukan apakah seorang caleg akan mendapatkan kursi atau tidak. Kebebasan ini juga memberikan celah konflik yang lebih luas, baik bagi caleg internal partai maupun caleg antarpartai.

Dapat dikatakan, Pemilu 2009 adalah ujian bagi demokrasi bangsa Indonesia. Apakah gula demokrasi yang dicampurkan dalam politik ini proporsional, sehingga hasilnya dapat direguk dengan nikmat oleh bangsa Indonesia atau bahkan sebaliknya, gula yang terlalu banyak justru memperparah sakit gula yang memang belakangan ini menyebabkan memar di beberapa bagian tubuh bangsa Indonesia.

Kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kunci apakah gula demokrasi ini dapat dicerna dengan baik, sehingga demokrasi menjadi wahana mengantar bangsa Indonesia ke pintu gerbang kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebaliknya, jika gula demokrasi ini hanya mendatangkan mudarat, maka semua pihak harus ikhlas melakukan evaluasi. Yang pasti, bukankah semua tidak suka menghadapi otoritarianisme? (Wakhudin/"PR")***

Agamis Versus Nasionalis



SIAPA yang akan menduduki kursi Presiden RI 2009-2014 dengan mudah dapat ditebak, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab, kemenangan Partai Demokrat pada hakikatnya merupakan hadiah rakyat untuk Yudhoyono yang dinilai berhasil menciptakan stabilitas politik. Yang kini sedang menjadi pertempuran seru justru siapa yang akan mendampingi Yudhoyono meneruskan masa baktinya lima tahun mendatang, kelompok partai agamis atau nasionalis?
Memang tidak ada garis perbedaan yang tegas antara partai agamis dan nasionalis. Bahkan dapat dikatakan tidak ada, tapi kenyataannya ada. Atau sebaliknya disebut ada, tapi tidak ada yang mengaku. Sebab, politikus yang agamis sekaligus seorang nasionalis. Atau sebaliknya, tokoh nasionalis tapi bersikap saleh dan rajin beribadah.
Tulisan ini mengacu kepada anggapan tradisional bahwa partai politik di tanah air terpolarisasi ke dalam dua kelompok, agamis dan nasionalis. Disebut agamis karena konstituennya mengandalkan basis umat beragama, seperti PAN yang lebih banyak didukung warga Muhammadiyah, PKB yang dipilih kaum Nahdliyin, PKS yang di-support kaum muda Muslim dan seterusnya. 
Sedangkan partai nasionalis adalah partai yang konstituennya khas bangsa Indonesia, beragama tapi tidak bergabung dalam kelompok agama mana pun. Sebagian pakar menyebut konstituen ini dengan sebutan kaum abangan, sedangkan konsituen partai agama adalah kaum santri.
Secara tradisional juga, jumlah konstituen partai beragama berkisar 40%, sedangkan konstituen partai nasionalis sekitar 60%. Jumlah ini ternyata tidak kunjung berubah, meskipun jumlah partai politik bertambah atau berkurang, bahkan berganti baju dan berubah nama.
Mengacu kepada komunikasi politik parpol sebelum berlangsung Pemilu Legislatif, 9 April lalu, Yudhoyono mestinya berkoalisi dengan partai yang berkomitmen mendukungnya. Beberapa parpol yang kukuh bersanding adalah PKS, PKB Muhaimin Iskandar, dan PAN (meskipun sebagian bersikap oposisi).
Sedangkan Partai Golkar terlanjur declare akan mencalonkan Ketua Umumnya, Jusuf Kalla. PDI Perjuangan sejak “pagi hari” sudah menggadang calon wakil presiden yang akan mendampingi Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri. Maka, PDIP pun sibuk mematut-matut diri dengan para politikus dari partai lain untuk menghadang laju Yudhoyono.
Kini, pemilu legislatif telah berlalu. Hasil real count belum selesai dihitung, tapi hasil quick count sudah menjadi dasar penghitungan politik selanjutnya. Intinya, hasil Pemilu 2004 sama sekali berbeda dengan Pemilu 2009. Partai Demokrat keluar sebagai satu-satunya partai yang tanpa berkoalisi pun mampu mengajukan Yudhoyono sebagai calon presiden.
Maka, pertempuran siapa yang akan menjadi presiden nyaris fix, Yudhoyono. Persoalannya, siapa yang akan mendampingi dia? Politikus dari partai agamis atau nasionalis? Menilik dari komunikasi politik sebelum pemilu legislatif, maka calon wapres yang dapat mendampingi Yudhoyono adalah dari PKS, mungkin Hidayat Nurwahid. PKS merupakan partai agamis tertinggi perolehan suaranya. Di samping itu, PKS juga menjadi pendukung utama Partai Demokrat dalam Pemilu Presiden 2004. Selama proses pemerintahan SBY-JK, PKS juga tidak melakukan tindakan wanprestasi.
Persoalannya, kaum nasionalis tentu tidak rela jika Yudhoyono kemudian dikelilingi kaum agamis. Mereka khawatir, iklim politik kembali seperti ujung pemerintahan Orde Baru di mana kabinet dan parlemen bernuansa ijo royo-royo. Hasil pemilu 2009 ini tidaklah menghijaukan legislatif, tapi warna itu bisa mendominasi kabinet.
Itulah sebabnya, Partai Golkar yang semula berniat berkoalisi dengan PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan. Sebagian rela menjilat ludahnya untuk berpisah dengan Yudhoyono dan kembali merapat ke Partai Demokrat. Namun sebagian lain terus mencari jalan agar langkahnya tetap konsisten, mandiri dari Yudhoyono.
PKS tentu tidak happy dengan langkah Golkar yang dinilai plin plan ini. Itulah sebabnya, Sekjennya Anis Matta menyatakan akan keluar dari koalisi dengan Partai Demokrat jika Yudhoyono kembali berduet dengan Kalla. Jika duet SBY-JK diulang dalam Pemilu Presiden 2009 ini, maka peta politik dapat berubah. Katakanlah, PKS kemudian mengajukan capres sendiri dengan menggalang kekuatan sesama partai agamis. 
Jika PKS berhasil mengumpulkan kekuatan konstituen kaum agamis secara optimal, dia akan meraih suara 40% dalam pilpres mendatang. Jumlah ini tentu dapat menjungkirbalikkan penghitungan, terutama jika kaum nasionalis lain, dalam hal ini PDI Perjuangan, juga mengajukan calonnya sendiri. Maka, suara nasionalis yang 60% bisa terpecah ke dalam kubu Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-10 nasionalis. Sebutlah, Megawati meraih suara minimal 20%, maka suara Yudhoyono akan mendapat 40%. Artinya, SBY-JK dan partai agamis akan meraih suara yang imbang. Baru setelah pilpres kedua, Yudhoyono dapat kembali di atas angin.
Soal calon wapres memang terpulang kepada Partai Demokrat dan Yudhoyono. Kalau mereka memilih partai agamis, maka bangunan politik nasional semakin lengkap, nasionalis didukung agamis. Tapi jika nasionalis bergabung dengan nasionalis, sementara politikus agamis termarginalkan, maka stabilitas politik 2009-2014 kembali dipertanyakan. Tapi semua terpulang kepada sang pemenang, toh semua adalah pilihan-pilihan. (Wakhudin/”PR”)***

Legawa



NAPAS Resi Bhisma sudah di tenggorokan. Panah Srikandi tepat mengenai jantungnya dalam Perang Bharatayudha. Kresna dan Pandawa lima pun mendekat, demikian pula Duryudana dan Korawa. Saat menjelang ajal, pewaris tahta Astina ini ingin istirahat di tempat yang nyaman. Maka Duryudana membawakan tempat tidur yang terbaik agar Bhisma bisa beristirahat. Tapi ditolak. Sedangkan Werkudara membawakan bekas peralatan perang seperti patahan tombak, pedang yang buntung, pecahan meriam dan sebagainya. Bhisma pun menerima pemberian Pandawa dengan senyum bahagia.
Sebelum tidur, Bhisma meminta air minum yang dapat menghilangkan rasa hausnya. Maka Korawa membawakan anggur yang paling mahal dengan aneka macam jus buah segar. Tapi lagi-lagi ditolak. Sedangkan Pandawa membawakan air bekas mencuci peralatan perang. Bhisma meminum air bekas mencuci peralatan perang itu. Bagi dia, seindah-indahnya kematian adalah orang yang mati di dalam peperangan karena membala negara. Mati di dalam peperangan ditandai dengan tidur di atas potongan senjata dan minum air bekas mencuci peralatan perang.
Bhisma sesungguhnya pewaris tahta Astina yang sah. Tapi demi kesetiaan kepada ayahnya Prabu Sentanu yang menyerahkan negara kepada anak dari istri keduanya, ia ikhlas tidak menduduki tahta itu. Tapi saat Bharatayudha pecah, ia berada di kubu Korawa, dengan alasan ia membela negara Astina. Siapa pun yang menyerang Astina, dia akan membelanya. Meskipun kalah oleh tentara wanita, Srikandi, ia tetap mati sebagai ksatria yang mulia. Pandawa maupun Korawa sama-sama menghormatinya. Kematian bagi Bhisma merupakan jalan terbaik untuk berkumpul dengan istrinya Ambika dan Ambalika yang telah menanti di pintu sorga.
Seperti Bhismalah mestinya calon anggota legislatif yang kalah dalam pemilu, 9 April 2009. Kekalahan tidak dianggap sebagai “kiamat”, akhir dari segalanya. Orang yang menghargai demokrasi akan menerima apa pun yang menjadi pilihan rakyat. Sebaliknya, meskipun mengaku sebagai orang yang demokrat, jika menafikan pilihan rakyat, dan asal menggugat, maka ia hakikatnya orang yang sesat. Demokrasi membutuhkan kedewasaan sikap, bukan asal embat.
Apa pun hasil pemilu, semua pihak harus menerimanya dengan lapang dada. Sebab, kekalahan hanyalah satu titik pandang, sebab di balik kekalahan ada kemenangan. Setidaknya, kemenangan moral. Sesungguhnya di balik siang adalah malam, di balik malam ada siang. Begitulah hakikat hidup.Yang menang tak perlu sombong dan kembang kempis hidungnya. Yang kalah dan tidak meraih suara yang cukup untuk menduduki kursi legislatif masih berhak menjadi orang yang terhormat. Caranya, bersikap jantan, mengakui kemenangan lawan. Bukan malah sumpah serapah, sembari mencari orang yang salah, nanti ujung-ujungnya mencari rumah sakit jiwa yang murah.
Bahwa dalam proses pemilu ada kesalahan dan kecurangan, itu adalah “lazim”. Semua orang boleh mempersoalkan dan mengajukan gugatan ke lembaga yang berwenang. Indonesia butuh manusia ksatria yang ikhlas dan legawa menghadapi realita. Asal berbeda dan waton sulaya selalu bagus dimainkan pelawak untuk memancing orang tertawa. Tapi peristiwa yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menentukan arah peradaban tak cukup diserahkan kepada para pelawak. Para ksatria harus istikamah pada darmanya, menjaga moralitas bangsa. (Wakhudin/"PR")***

Jumat, 20 Maret 2009

”Jejaden”


MENGINGINKAN "A" tapi jadinya "B", itulah jejaden. Lagu "Cucakrawa" melukiskan jejaden itu, "Kucoba-coba melamar gadis. Gadis yang kulamar, tapi janda yang kudapat." Sebagian orang menginginkan keadaan lingkungannya bersih. Maka, ia memasang plakat, "Buanglah sampah pada tempatnya." Ternyata yang didapat adalah, "Buanglah tempat sampah padanya." Kebohongan yang sering dipercaya masyarakat, misalnya, seseorang yang menginginkan kaya, kemudian pergi ke dukun tertentu. Tetapi, bukannya menjadi kaya, malah menjadi bagong jejaden.
Jejaden bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Bukan hanya di wilayah kumuh dan urban, tapi juga terjadi di dunia maju yang scientific. Penemuan ilmiah kerap pula merupakan jejaden, tentu saja prosesnya melalui kerja ilmiah juga. Amerika Serikat sesungguhnya merupakan jejaden. Sebab, Columbus yang menemukannya bermula sekadar mencari rempah. Australia yang semakin sempurna menjadi Barat juga hanya jejaden. Bermula dari tempat pembuangan orang jahat, akhirnya menjadi benua yang raya. Singapura yang kini berkelas dunia juga jejaden. Dari semula tempat kubangan ternak, kini kekayaannya melebihi Indonesia yang sedemikian luas dan besar.
Hidup memang tidak selalu linear, tapi senantiasa berliku. Maksud hati ingin santun, supaya terkesan ramah. Tapi bisa jadi dituduh cengengesan atau malah dikira menghina dan menertawakan orang lain. Bagaimanapun, hidup ini harus jadi, jadi apa pun. Menjadi apa pun, bisa dimulai dari mimpi. Tentu hanya dengan kerja keras, mimpi jadi kenyataan. Dream may comes true.
Orang boleh mengharapkan menjadi apa pun, bahwa kemudian menjadi yang lain adalah sah. Tetapi, harus ada rumus dalam jejaden itu. Kita tak boleh menjadi sesuatu yang lebih rendah dan lebih tidak bernilai dari sebelumnya. Sebelumnya adalah manusia, namun kalau kemudian salah jejaden menjadi babi hutan, itu adalah kehancuran. 
Indonesia semula negara yang kaya raya, gemah ripah loh nijawi. Apa pun yang ditanam tumbuh. Tongkat dan kayu pun bisa menjadi tanaman. Akan tetapi, kenapa eh kenapa, kini rakyatnya banyak menjadi pengangguran? Kalaupun bekerja ke luar negeri, sekadar menjadi pembantu rumah tangga? Pemerintah pun sibuk mencari utangan untuk membayar utang sebelumnya yang jatuh tempo? Kita negara yang betul-betul jadi-jadian dan hancur-hancuran. Agar menjadi negara dan bangsa yang mempunyai nilai lebih, harus menggunakan rumus berkah. Hitungan matematika menunjukkan, 2+2=4. Kalau berkah, 2+2 mudah-mudahan lima, bahkan mudah-mudahan 10, 15, 20, dan seterusnya.
Namun, mengapa jejaden yang dialami bangsa Indonesia senantiasa merosot dan defisit, dari negara yang kaya menjadi semakin fakir? Jangan-jangan kita selama ini tidak bersyukur. Sebab, sebagaimana firman Allah, hanya dengan bersyukur kita dilipatgandakan kekayaan dan kenikmatannya. Sebaliknya, karena mengingkari kenikmatan, kita justru semakin terperosok ke jurang krisis. Apakah bangsa Barat lebih bersyukur dari kita? Bisa jadi, begitu, makanya kita melulu menjadi subkultur mereka. Mengapa kita tidak menjadi jejaden diri kita sendiri? (Wakhudin/"PR")***

Sontoloyo


BINTANG lama yang kembali bersinar. Itulah Sontoloyo. Kosa kata itu kembali populer ketika Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Samsir Siregar menyebut para menteri yang berasal dari partai politik pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai Sontoloyo. Sebab, mereka dinilai tidak mampu mengendalikan DPR dalam melakukan hak angket.
Dalam khazanah perwayangan Jawa, tokoh Sontoloyo kini jarang dimainkan. Pertunjukan wayang klasik sekitar tahun 1970, Sontoloyo sering ditayangkan. Fungsinya sama persis dengan Togog, punakawan yang selalu menjadi pendamping raja jahat. Togog biasanya berdampingan dengan Sarawita, sedangkan Sontoloyo berdampingan dengan Jahewono. Tokoh Togog dan Sontoloyo hanya sebagai variasi permainan wayang.
Secara silsilah, Togog masih satu kelahiran dengan Sang Hyang Batara Guru dan Sang Hyang Ismaya (Semar). Mereka lahir dari telur yang sama. Kuning telurnya menjadi Batara Guru yang menjadi raja di Kahyangan, putih telurnya menjadi Semar yang selalu mengabdi kepada raja adil dan ksatria, sedangkan cangkang telurnya menjadi Togog (Sang Hyang Tejamantri) yang selalu mengabdi kepada kejahatan. 
Sedangkan Sontoloyo lahir dari titah marcapada atau rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, Sontoloyo kerap pula disebut dengan kere munggah balai atau seorang yang hina dina tetapi kemudian mendapat kesempatan menduduki posisi penting. Karena berasal dari orang susah, saat berada di lingkungan kekuasaan pun sikapnya tetap sama. Ribet, rese, kasak-kusuk, tidak fair, dan sikap-sikap buruk lainnya.
Apakah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang berasal dari partai politik pendukung SBY-JK seperti Sontoloyo? Tentu, itu terserah kepada penilaian Kepala BIN. Yang pasti, kekuasaan SBY-JK tinggal sekitar 14 bulan. Dalam kurun waktu setahun lebih itu, adalah wajar bagi para pemimpin partai menyiapkan kembali semua potensi yang dimiliki untuk memperebutkan kekuasaan periode berikutnya.
Persiapan dilakukan dengan merapikan manajemen dan kepemimpinan ke dalam, seperti membangun kembali komitmen pengurus partai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Sementara itu, ekspansi keluar dilakukan dengan melakukan penggalangan massa kader partai terutama di kalangan grass root. 
Demi meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya, pemimpin partai sering melakukan manuver dan akrobat politik. Yang penting namanya dikenal masyarakat. Soal manuvernya bermanfaat bagi rakyat atau tidak, dianggap bukan masalah. Nama yang dikenal banyak orang adalah investasi.
Apakah hak angket yang disepakati DPR sekadar manuver dan akrobat politik? Bisa jadi ya, jika hak angket sekadar digunakan untuk mencari perhatian rakyat tanpa menyelesaikan substansi masalah berkaitan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus melambung. Namun, jika hak angket dapat menyelesaikan kasus mafia BBM, apalagi rakyat dapat mencari jalan keluar dari kebuntuan krisis, rakyat akan semakin tahu siapa yang sebetulnya Sontoloyo. (Wakhudin/"PR")***

Mencari Merdeka


KUMBAYANA sesungguhnya seorang pangeran di Kerajaan Hargajembangan. Ayahnya, Prabu Baratwaja, sangat ditakuti semua negara di kawasan Atasangin. Dapat dikatakan, Hargajembangan adalah ibu kota Atasangin Serikat. Meskipun Durna, panggilan akrab Kumbayana, bisa saja mewarisi kekuasaan ayahnya, namun ia memilih merantau ke Hastina. Sebab, kekuasaan yang diraih ayahnya ialah berkat senjata Pulanggeni, yang dipinjam dari Resi Wiyasa, penguasa Hastina. Ketika Pulanggeni dikembalikan ke pemiliknya, Durna malah minggat dari Hargajembangan, dan mencari Wiyasa atau anak turunannya.
Sayangnya, ketika mau menyeberang ke Hastina, Durna dihadang kabut tebal dan dihadapkan pada samudera yang luas dengan gelombang yang besar. Saat itulah seekor kuda cantik bersayap turun di hadapan Durna. Kuda itu memberi isyarat agar Durna segera menaikinya. Maka Kumbayana dibawa terbang melewati mega yang sempat menutupi cakrawala.
Dalam perjalanan terbang inilah Durna terlena. Ia khilaf. Dalam imajinasinya, ia terbang dengan seorang bidadari cantik. Bahkan akhirnya ia melakukan hubungan seksual dengan kuda yang menerbangkannya. Eloknya, begitu kuda itu turun di seberang lautan, Durna benar-benar diantar sampai ke daratan Hastina. Dan saat itulah kuda itu hamil sekaligus melahirkan anak hasil hubungan badan Durna dengan kuda tersebut. Anak tersebut kemudian diberi nama Aswatama. Rupanya, kuda yang membawa Durna adalah Batari Wilutama, yang sedang terkena kutukan. Setelah melahirkan seorang manusia, Kuda Wilutama kembali menjadi bidadari dan pulang ke kahyangan. Sesampainya di Hastina, Durna menjadi guru Pandawa, anak cucu Wiyasa. Ia merangkap sebagai guru dan penasihat spiritual para Kurawa, kakak ipar Pandawa.
Niat Durna sebetulnya baik, ingin mencari kemerdekaan diri. Dia menolak menjadi raja dengan bayang-bayang kebesaran ayahnya. Namun Kumbaya orang yang gampang dipengaruhi, terutama bisikan jahat dari Sangkuni, patih Hastina. Memiliki anak dari seekor kuda sesungguhnya menggambarkan lemahnya nurani dan keimanannya. Maka, saat mencari kemerdekaan itu, sesunguhnya Durna hanya meraih "belenggu". Ia memilih untuk mengumbar hawa nafsunya, daripada mencari keutamaan hidup. 
Kemerdekaan RI yang diraih bangsa Indonesia dengan cucuran darah dan air mata 63 tahun lalu juga sangat mengkhawatirkan salah arah sebagaimana Durna. Kemerdekaan RI semakin ternoda dengan ketidakmandirian secara ekonomi. Langkah membayar utang ke IMF, membubarkan IGGI, dan menutup utang luar negeri lainnya adalah jalan lurus menuju kemerdekaan. Namun privatisasi BUMN, apalagi BUMN yang produktif adalah jalan tol menuju "penjajahan" ekonomi. Inilah arah kemerdekaan yang secara perlahan mengalami distorsi. (Wakhudin/"PR")***

Memberi


DARAHNYA berwarna putih, karena ia selalu ikhlas dan tulus dalam memberi. Apa pun yang diperlukan orang lain, ia akan menyerahkannya tanpa ragu-ragu. Jangankan harta atau kekuasaannya, nyawa dan istrinya pun akan diberikan jika hal itu diinginkan orang lain. Itulah Samiaji atau Prabu Puntadewa, raja Amarta. 
Syahdan suatu hari, utusan dari Pancawati bernama Hanoman datang ke Amarta meminta Drupati, istri Puntadewa, untuk dipersunting Prabu Rama. Tanpa berpikir panjang, Drupadi pun diserahkan dan dibawa pulang Hanoman. Empat adik Puntadewa pun marah akan kelakuan kakaknya. Akan tetapi Kresna, penasihat Pandawa, melarang mereka protes. Kresna kemudian mencari akal menyelesaikan kasus ini. Maka, Arjuna ditugasi menculik kembali Drupadi dari iring-iringan kendaraan pimpinan Hanoman. Mereka menukar Drupadi dengan Gatotkaca, anak Bima calon panglima perang Amarta.
Kedatangan Hanoman disambut sukacita Prabu Rama. Namun, mereka berubah menjadi murka manakala yang keluar dari kendaraan calon pengantin ternyata seorang tentara. Maka, Pancawati segera mengerahkan pasukan untuk berperang melawan Amarta. Namun, perang belum sampai berkecamuk, dewa dari kahyangan turun dan melerai pertengkaran. 
Prabu Rama berterus terang bahwa dirinya tidak bermaksud menikahi Drupadi, melainkan sekadar melakukan uji coba terhadap Puntadewa. Sebab, dewa telah berjanji jika berhasil memerangi Prabu Dasamuka, Prabu Rama akan mendapat ganjaran berupa reinkarnasi ke dalam raja yang adil. Namun, dewa memberitahukan bahwa raja adil yang dimaksudkan bukanlah Samiaji, melainkan Kresna. Sebab, Kresna masih sama-sama keturunan Dewa Wisnu dan masih cucu dari Prabu Rama.
Kisah Prabu Puntadewa yang sangat dermawan begitu terkenal dan legendaris. Namun setiap pemberiannya tidak pernah menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan. Justru dengan memberi ia senantiasa mendapatkan keberuntungan. Dalam kasus di atas, Puntadewa justru mendapatkan anugerah berupa sekutu. Karena, selain Prabu Rama yang manunggal dengan Kresna, adik Prabu Rama bernama Lesmana akhirnya juga menyatu dan reinkarnasi ke dalam diri Arjuna, adik Puntadewa. Bagi Puntadewa, memberi tidak perlu menunggu kaya, apa pun yang dimiliki bisa digunakan untuk membantu orang lain. Memberi tidak membutuhkan kecerdasan, dan ia yakin dengan memberi akan selalu mendatangkan keuntungan.
Para sahabat Nabi Muhammad saw. adalah umat yang sangat suka memberi. Mereka bahu membahu dan saling tolong di saat susah. Saat akan berperang, Umar bin Khattab membawa separuh hartanya untuk digunakan bekal perang. Pada saat yang nyaris bersamaan, Abubakar Ashiddieq bahkan membawa semua hartanya diserahkan kepada Rasulullah untuk bekal perjuangan Islam.
Kini saat bangsa Indonesia dalam masa sulit, sifat memberi seperti yang dilakukan Samiaji dan para sahabat Rasul sangat diperlukan. Karena hanya dengan sikap ikhlas memberi, bangsa ini akan mendapatkan keberuntungan. Sayang, sifat itu belum tumbuh. Yang kaya justru semakin rakus mengeruk harta, meski harus memakan uang rakyat. Padahal, yang kaya saatnya memperlihatkan solidaritasnya. Bahkan tak perlu menunggu kaya, sama-sama miskin pun bisa saling membantu. (Wakhudin/”PR”)***

Main Keroyok


USIANYA belum genap 20 tahun, tetapi Raden Irawan sudah bertempur dalam Perang Baratayuda di medan Kurusetra. Bahkan karena kegigihannya, putra pasangan Arjuna-Dewi Palupi ini mampu membuat kocar-kacir musuh. Maka para Kurawa pun membuat jebakan. Saat terpisah dari pasukannya, Irawan dikeroyok. Ia dibacok pedang, ditusuk keris, ditombak, bahkan akhirnya diremukkan dengan gada besar. Kematian Irawan pun membangkitkan amarah Arjuna sehingga ia kemudian maju dalam pertempuran dengan tekad bulat.
Kelakuan Amerika Serikat tak ubahnya pasukan Astina yang main keroyok dalam pertempuran yang mereka namakan "Perang Melawan Terorisme". Meskipun selalu ditutup-tutupi, perang ini sesungguhnya merupakan wujud nyata dari tesis Samuel Huntington tentang clash of civilization, yaitu perbenturan antara peradaban Barat dan dunia Islam. Dengan dalih harus bertanggung jawab atas runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC), AS bersama sekutunya menyerang pemerintahan Taliban yang dianggap melindungi Osama bin Laden di Afganistan. 
Tidak terlalu sulit bagi Presiden George Bush menekuk Afganistan. Sebab, pemerintahan Taliban baru saja berdiri setelah puluhan tahun berperang melawan komunis Uni Soviet (Rusia). AS dengan amarah yang besar disertai restu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama sekutunya dari Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia menyerbu mereka. Dalam waktu sebentar, Kabul pun jatuh.
Setelah itu, Bush berambisi menaklukkan Irak. AS pun menuduh Bagdad mengembangkan senjata pemusnah massal. Meskipun hasil inspeksi IAEA menunjukkan, Irak tak punya senjata yang dituduhkan itu, namun AS tetap saja menyerbu negeri seribu satu malam itu. Lagi-lagi, AS tidak sendirian menyerang Irak. Ia mengeroyok Saddam Husein setelah negeri itu diembargo ekonomi dan pangannya selama bertahun-tahun. 
Kini, nafsu Bush semakin membara. Ia berambisi pula mencaplok Iran. Cara lama pun dilakukan, menuduh negeri para mullah itu mengembangkan senjata nuklir. AS bersama Uni Eropa dan sekutu yang lain berupaya mengisolasi Teheran. Mereka melakukan embargo ekonomi dan politik. Namun kali ini, Bush berhadapan dengan musuh yang relatif sepadan. Presiden Ahmadinejad telah belajar dari tetangganya yang satu per satu takluk di tangan Bush. Akan tetapi Iran melawan, tak mengindahkan sanksi PBB maupun umpatan Barat. Ahmadinejad bahkan meluncurkan peluru kendali Shahab-3 untuk mengantisipasi serangan Israel dan AS. Bush tentu meradang dan seperti nenek-nenek yang kehilangan sirih. Meskipun para pengeroyoknya siap membantu, AS rupanya berpikir seribu kali. Jangankan menyerang Iran, menghadapi Afganistan dan Irak saja mereka kewalahan. Bahkan, itu menjadi penyebab jebloknya popularitas Bush. (Wakhudin/"PR")***

Idulfitri=”Recovery”


MENILIK akar katanya, Idulfitri dan recovery memiliki makna yang hampir sama. Idulfitri berasal dari kata 'ied (kembali) dan fithri (suci), sedangkan recovery berasal dari kata re (kembali) dan cover (tutup). Recovery diterjemahkan menjadi pulih. Luka menganga yang kemudian tertutup kembali disebut pulih atau sembuh.
Semangat Idulfitri dan recovery terasa berbeda, sebab kata yang pertama mengandung unsur ritus, sedangkan kata yang kedua merujuk pada peristiwa umum yang tidak berkaitan dengan ibadah. Namun jika ditelaah lebih mendalam, lagi-lagi kedua kata itu memiliki kemiripan. Sebutlah, kata Idulfitri diterjemahkan dengan ”pulih”, terjemahan dari ”recovery”, maka terjemahan itu tidak lari terlalu jauh. Pasalnya, puasa Ramadan selama sebulan merupakan proses penyembuhan dari berbagai penyakit hati. Kikir, tamak, hasud, egois, sombong, malas, dan berbagai kelakuan baong dan bedegong lainnya dibakar dengan saum. Ketika proses pembakaran mencapai 29 atau 30 hari, maka kita disebut pulih dan menjadi fitri atau suci.
Bagaimana kalau sudah saum sebulan tetapi kelakuan tidak pulih juga? Itu berarti sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, "Begitu banyak orang yang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus." Pasalnya, puasa yang dilakukan sekadar menahan lapar dan haus, sedangkan perbuatan maksiat lainnya tidak terkendali.
Persoalan berikutnya, apakah fitri atau pulih hanya berlaku selama lebaran? Itu sama juga dengan sakit. Orang yang sakit mag tahu bahwa kalau makan terlalu pedas atau terlalu asam atau terlalu telat makan, magnya kumat. Kalau tak ingin sakit, setiap saat ia menjaga tidak sesekali menabrak pantangan itu. Sebaliknya, penderita ambeien tahu bahwa kalau makan terlalu pedas atau mengonsumsi daging kambing serta kurang makanan berserat wasirnya akan kumat, tetapi ia tetap memakannya, maka bersiap-siaplah setiap saat mengalami pendarahan.
Oleh karena itu, setelah Lebaran, orang saum pun tidak boleh sembarang mengonsumsi kelakuan "yang pedas" dan "makanan ekstrem" lainnya. Saum adalah ajaran hidup agar selalu mengendalikan diri. Kebangkrutan Indonesia sehingga menenggelamkan rakyatnya dalam utang kepada nyaris semua negara kaya atau populer disebut Paris Club, disebabkan oleh para pemimpin yang tidak mampu menahan diri untuk berutang. Begitu kredit mengucur, tangan para pemegang projek tidak tahan mengambil bagiannya secara ilegal dengan cara korupsi dan kolusi dengan pejabat yang memberi projek. Berapa banyak nafsu tidak terkendali menebang hutan secara ilegal sehingga menggunduli hutan kita, sehingga menyebabkan banjir di musim hujan dan kering di musim kemarau. Betapa tidak terkendalinya pungutan liar di kantor pelayanan publik, di sekolah, pasar, jalanan, dan di hampir semua sektor. Maka "wajar" Indonesia terus mengalami kemunduran, menjadi negara kaya raya yang termiskin di dunia. Pasalnya, hal itu merupakan akumulasi dari semua orang yang tidak mampu menahan diri. Bangsa dan pemimpin bangsa ini lama tidak berpuasa. Lusa kita memang Idulfitri, tetapi justru saatnya kita berpuasa secara sosial. (Wakhudin/"PR")***

Duh, MUI!


SEBELUM bekerja, para kesatria senantiasa menghadap sesepuh, meminta nasihat tentang berbagai persoalan dari perspektif agama. Para kesatria Pandawa, misalnya Arjuna atau anaknya, Abimanyu, senantiasa berdiskusi dengan kakeknya, Resi Wiyasa, tentang problem yang dihadapi kesatria penyelenggara negara dari perspektif spiritual dan afektif. Mencerna dan melaksanakan nasihat ulama semacam Resi Wiyasa tentu banyak tantangan. Godaan pertama biasanya datang dari Cakil dan para buta, dari mulai Buta Hijau, Buta Gulundung, hingga Buta Berhidung Belang. Hanya karena keteguhan hati, godaan itu dapat disingkirkan. 
Dalam kehidupan modern yang serba dipenuhi teknologi informasi, membahas berbagai persoalan dari perspektif agama tetaplah relevan. Sebab, kehidupan dari yang paling primitif hingga zaman paling mutakhir tetaplah tidak pernah lepas dari penciptaan dan pengawasan Al-Khalik. Maka, membahas masalah apa pun dari kacamata kitab suci dan berbagai turunannya berarti merupakan proses pencarian sumber masalah dari perspektif Sang Maha Pencipta. 
Ijtimak para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Madrasah Diniah Putri Padangpanjang, Sumatra Barat 24 s.d. 26 Januari harus diposisikan sebagai nasihat para sesepuh dari kacamata keagamaan. Hasil ijtimak berupa fatwa juga merupakan panduan masalah yang dilihat dari kacamata Alquran, sunah, qiyas, dan berbagai turunannya. Kalaupun MUI membuat keputusan berkaitan dengan masalah keduniawian, khususnya masalah politik, itu tak lebih sebagai panduan rekayasa sosial (social engineering) menuju bangsa yang bermartabat dan mendapat rida Tuhan. 
Haruskah bangsa Indonesia mengikuti nasihat ulama MUI? Tergantung dari pribadi masing-masing. Mereka yang berjiwa kesatria akan menjadikan nasihat ulama sebagai panduan hidup, baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Mereka yang berjiwa cakil menganggap fatwa ulama sebagai penghalang, mengada-ada, tidak efektif, dan percuma. Para Buta Hijau melihat ulama sebagai bedebah, bubarkan saja. Buta Gulundung biasanya apriori dan alergi terhadap apa pun yang bernuansa religius. Apalagi Buta Berhidung Belang selalu hanya memuaskan nafsu diri sendiri. Fatwa ulama yang menghalang-halangi nafsunya akan didemo, bahkan bisa diberangus.
Sebetulnya, berapa banyak bangsa Indonesia yang berjiwa kesatria dan berjiwa cakil? Belum ada sensus yang menghitungnya. Namun dalam tradisi bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai religius, menghargai pendapat ulama merupakan tradisi bangsa yang lurus dan bersih. Hanya saja, dalam era reformasi dan kebebasan berpendapat, yang paling lantang bersuara justru Cakil dan Buta. Itulah sebabnya, begitu ulama mengeluarkan fatwa, mereka menyambarnya dengan sumpah serapah. Duh, MUI! (Wakhudin/”PR”)***

Demokrasi


DEWI Anjani, Guwarsa, dan Guwari merupakan tiga bersaudara anak Resi Gotama dari Pertapaan Gunung Sukendra yang cerdas dan santun. Ketiganya saling menyayangi. Namun kerukunan keluarga ini pecah setelah Dewi Anjani memiliki cincin Cupu Manik Astagina. Sebab, Guwarsa dan Guwarsi berminat pula memiliki cincin yang menggambarkan keindahan surga itu. Maka dua adik memaksa kakak perempuannya menyerahkan cincin bertuah tersebut, sehingga terjadi pertengkaran besar.
Melihat pertikaian yang tidak lazim ini, tahulah Resi Gotama bahwa yang menjadi pangkal pertengkaran itu adalah cincin pemberian ibu mereka, Dewi Windradi. Yang lebih mengejutkan lagi, cincin tersebut ternyata milik Batara Surya, dewa yang selama ini dicurigai Resi Gotama sebagai soulmate istrinya yang masih muda dan cantik. Dalam keadaan marah, Gotama melemparkannya ke arah hutan. 
Ketiga anaknya segera berlari mengejar Cupu Manik Astagina itu, namun cupu itu tidak ditemukannya. Dalam keadaan lelah, sampailah ketiganya ke telaga. Guwarsa dan Guwarsi mandi supaya segar, sedangkan Dewi Anjani sekadar cuci muka. Rupanya, telaga itu jelmaan dari cupu manik itu. Siapa pun yang terkena airnya akan tumbuh rambut. Maka, Guwarsa dan Guwarsi berubah menjadi monyet, sedangkan Dewi Anjani menjadi monyet pada bagian wajah.
Kisah dalam Ramayana tersebut menggambarkan kehidupan demokrasi Indonesia sekarang. Saat negeri ini tidak memiliki sistem demokrasi yang mapan, rakyatnya relatif tenang. Penguasa yang represif menyebabkan stabilitas politik mantap. Tidak ada pemberontakan kecuali segera ditumpas. Tidak ada demonstrasi kecuali setelahnya ada penangkapan aktivis.
Ketika itu, demokrasi terlihat begitu berkilau dan sangat bertuah. Setiap anak bangsa mengidamkannya dan ingin memilikinya. Pada akhirnya, demokrasi itu telah benar-benar menjadi milik semua anak bangsa. 
Sayangnya, demokrasi yang indah itu mirip Cupu Manik Astagina, selalu menjadi rebutan dan menjadi bahan pertengkaran. Dengan alasan demokrasi, orang menyelesaikan persoalan dengan demonstrasi. Demonstrasi memang bagian dari demokrasi, tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan demonstrasi itu. 
Kita mengaku berdemokrasi, tapi tidak menerima kekalahan. Kalah pilkada, yang kalah menggugat yang menang ke pengadilan, memboikot, bahkan mengerahkan massa pendukung. Apakah gara-gara demokrasi kita justru menjadi monyet seperti putra Gotama? Haruskah kita berjalan mundur ke zaman represif? Tentunya tidak. Kita harus meraih kemilaunya demokrasi, tetapi tidak harus bertengkar sepanjang zaman. Hukum saatnya menjadi demarkasi, menentukan yang benar dan salah. (Wakhudin/"PR")***

Berkuasa


SAAT masih muda, Rahwana alias Dasamuka dikalahkan Resi Subali. Ia pun bersabar bahkan merendahkan diri dengan berguru kepada manusia kera anak Resi Gotama ini. Apa pun perintah guru, ia taati, termasuk bertapa seperti kelelawar, menggantung di atas pohon. Kedisiplinannya belajar membuahkan hasil dengan meraih Aji Pancasona, ia seperti memiliki nyawa rangkap lima. Karena kerja kerasnya pula, Rahwana mendapatkan Aji Rawarontek dari kakak tirinya, Prabu Danaraja, meskipun meraihnya dengan kekerasan.
Namun dengan kedigdayaannya, Rahwana lupa diri. Ia menjerumuskan gurunya, Subali, berkonflik dengan adiknya Sugriwa. Ia merebut kekuasaan dari kakeknya, Sumali dengan menyingkirkan pamannya Prahasta. Dasamuka membunuh Prabu Danaraja, kakak tirinya dan merebut negara Lokapala. Ia menyerang Suralaya dan memetik Dewi Tari, putri Batara Indra sebagai istrinya sehingga berputra Indrajid. Kekuasaan mendorongnya berwatak angkara murka. 
Bersabar saat keadaan memaksa merupakan sesuatu yang lazim, sebagaimana Dasamuka saat masih ringkih. Hidup hemat saat tidak punya uang merupakan hal biasa. Tidak mabuk karena sedang sakit, tidak memiliki nilai lebih. Tidak berselingkuh karena tidak punya modal dan tak punya tampang, tidaklah istimewa. Bersabar saat berkuasa jauh memberikan tantangan dan memiliki nilai lebih yang luar biasa.
Rasulullah, Muhammad saw. adalah pribadi mulia yang selalu bersabar saat dalam keadaan sempit maupun ketika berkuasa. Saat beliau menunggu kering pakaian yang dijemur dan melepas pedangnya, tiba-tiba seorang kafir Da'tsur mengambil pedangnya dan menodongkan ke lehernya. Da'tsur pun membentak, "Sekarang aku akan memotong lehermu. Siapa yang akan menolongmu?" Rasulullah pun dengan tenang mengatakan, "Allah". Mendengar jawaban Nabi, tangan Da'tsur gemetar, keringat meleleh dari sekujur tubuh, dan lemas lunglai. Pedang yang di tangan pun jatuh. Kini keadaan berbalik. Pedang dipegang Nabi. Meskipun Rasulullah bisa memotong leher orang yang sudah menyerah ini, namun Rasulullah kemudian memaafkannya. Datsur pun mendapatkan hidayah dan masuk Islam.
Bangsa Indonesia tengah merindukan pemimpin yang sabar seperti Rasulullah. Bersabar saat susah maupun saat berkuasa. Mereka bersabar bukan hanya saat ingin meraih suara dengan memberi "gula-gula" menggunakan pancing sejumput beras dan mi instan. Namun setelah menduduki kursi justru mereka menjual suara rakyat kepada siapa pun yang mau membayarnya. Bangsa ini tengah menanti penguasa yang bersabar dengan kekuasaannya untuk kesejahteraan bersama, meski harus berhadapan dengan para "investor" yang menanamkan modal mengantarkannya berkuasa saat mereka menagih jatah uang negara. (Wakhudin/"PR")***

Duh, Pancasila!


MEMPUNYAI istri cantik dengan kulit lembut, wajah selalu cerah, taat beragama, salehah, serta selalu melayani suami dengan baik mestinya membuat laki-laki betah di rumah. Meski demikian, suami tetap jelalatan, cunihin, mengejar-ngejar wanita lain yang dandanannya menor, yang sayang kalau abang punya uang, dan menendang kalau abang pulang hanya membawa celana doang. Istrinya dibiarkan terlantar mengurus anak, sembari menjaga kehormatan diri dan memelihara harta suami.
Itulah gambaran tentang Pancasila, dasar negara Indonesia yang telah "dinikahi" bangsa Indonesia sejak negeri ini berdiri tahun 1945. Pancasila setia mengikuti ke mana pun "suami" mengembara, ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan orde apa pun di masa depan. Pancasila ikhlas dinafkahi dengan apa pun oleh "suaminya", para penguasa. Orde Baru sempat memanjakannya dengan pakaian yang bagus, mengajarkan Pancasila dalam paket penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila). Namun perlakuan terhadap Pancasila tidaklah jujur, hanya mendandani Pancasila dengan baju yang bagus tapi hakikatnya melakukan proses pembusukan terhadap dasar negara tersebut. Setiap kali ada penataran P4, ternyata ujungnya adalah kebulatan tekad untuk meneruskan Orde Baru dan memilih kembali Pak Harto sebagai presiden.
Karena Orde Baru runtuh, Pancasila pun menjadi resisten. Dasar negara itu dipersalahkan sebagaimana dipersalahkannya para penguasa yang mendorong negeri ini menggelinding ke tubir jurang krisis multidimensional. Maka selama Indonesia memasuki alam reformasi, orientasi pun tidak menentu. Bangsa ini seperti kapal di tengah lautan yang kehilangan orientasi. Berkompas kepada Pancasila, tetapi dasar negara itu telah dicaci maki oleh anak bangsa sendiri. 
Maka kapal itu pun mencoba mencari bintang yang bersinar terang berupa materialisme Barat. Namun bintang itu pun semakin redup cahayanya. Para pemilik materialisme justru sedang dalam duka yang mendalam karena ideologi yang dianutnya mendorong masyarakatnya manja dan hedonis sehingga daya juangnya semakin tumpul. Ujung-ujungnya, mereka juga hampir ambruk akibat krisis global. Kapal besar Indonesia pun kadang cenderung melirik bintang yang lain, komunisme. Akan tetapi, bintang ini telah terkoyak dengan runtuhnya Uni Soviet. Republik Rakyat Cina yang semakin bersinar juga justru karena meninggalkan komunisme dan menerapkan pasar bebas. 
Jalan terbaik bagi kapal besar Indonesia adalah kembali memegang Pancasila sebagai kompas arah perjalanan bangsa. Gagasan Rektor UPI Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata dan Dekan FPIPS Prof. Dr. Idrus Affandi yang akan menggelar simposium nasional, "Pancasila Sebagai Pendidikan Kebangsaan", 11 Maret, merupakan upaya "merekatkan" kembali hubungan "suami-istri" yang semakin renggang ini. Hanya "pengkhianatan suami akan mendorong perceraian". Duh, Pancasila! Semoga tidak. (Wakhudin/"PR")***

Duh, Heryawan!


JANGANKAN mengeluarkan surat keputusan atau surat instruksi, berbicara pun tidak, tetapi Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan langsung "diserang". Isunya, ia melarang tari jaipong. Setidaknya, Heryawan minta agar jaipong diperhalus dalam menampilkan G3, yaitu gitek, geol, dan goyang. Ternyata setelah bertemu dengan para seniman, Gubernur menyatakan tidak pernah melakukan komunikasi dengan wartawan tentang jaipong itu. Bahkan, dirinya tahu istilah G3 saja setelah membaca isu itu di koran.
"Penyerangan" seperti itu kemungkinan bukan yang pertama, mungkin berkali-kali dengan isu yang berbeda-beda. Bahkan, Heryawan mengaku sudah menerima protes bahwa dirinya akan menjadikan Jawa Barat sebagai Taliban. Tuduhan seperti itu merupakan risiko sebagai pemimpin yang berasal dari partai yang mendeklarasikan sebagai partai dakwah. Dalam berbagai dialog, para kader partai dakwah selalu ditanya, bahkan cenderung dituduh bahwa mereka akan menutup gedung bioskop, melarang kesenian, dan berbagai tradisi yang hidup di tanah air.
Nasib Heryawan dan para pemimpin yang berasal dari partai dakwah bisa jadi seperti Taliban di Afganistan. Taliban makna asalnya adalah mahasiswa. Nama istilah ini merujuk pada nama para pemuda yang berhasil mengusir penjajah Uni Soviet dari negerinya dengan bergerilya. Namun, setelah mengusir Uni Soviet, tiba-tiba Amerika Serikat menyerbu negeri mereka. Alasannya, AS diserang teroris, dengan runtuhnya World Trade Center (WTC) akibat ditabrak pesawat komersial. 
Presiden AS saat itu, George W. Bush, menuduh orang yang bertanggung jawab di balik serangan itu adalah Osama bin Laden. Sementara itu, Osama diduga tinggal di Afganistan. Maka diserbulah Afganistan dan tumbang pula kekuasaan Taliban. Para pemuda yang berkuasa ini langsung dicap sebagai teroris yang sangat membahayakan dunia. Bahkan setelah Presiden AS berganti, Barack Obama pun menghitung Taliban sebagai teroris yang masih berbahaya. Itulah sebabnya, pasukan AS di Irak segera ditarik dan ditempatkan di Afganistan.
Nasib yang lebih tragis dialami bangsa Palestina, terutama Hamas. Demikian pula Hezbullah di Lebanon. Karena tidak mengakui Israel, stempel pun melekat pada mereka, teroris. Barat sesungguhnya memasukkan Iran dan Suriah sebagai teroris. Akan tetapi, karena kekuatan mereka yang sulit dihitung, Barat pun berpikir-pikir melakukan penyerangan.
Intrik dan gaya "penyerangan" di Jawa Barat cenderung sama dengan isu di tingkat global. Siapa pun yang mengaku sebagai orang dakwah akan menghadapi berbagai tuduhan. Jangankan beriktikad buruk, beriktikad baik pun akan disalahkan. Para penjajah selalu menggunakan komprador untuk beroperasi membuat intrik dan mengadu domba. Mereka tidak menginginkan Indonesia bermoral, mempunyai harga diri, dan berdaya. Akan tetapi, itulah nasibmu. Duh, Heryawan! (Wakhudin/"PR")***