Jumat, 20 Maret 2009

”Jejaden”


MENGINGINKAN "A" tapi jadinya "B", itulah jejaden. Lagu "Cucakrawa" melukiskan jejaden itu, "Kucoba-coba melamar gadis. Gadis yang kulamar, tapi janda yang kudapat." Sebagian orang menginginkan keadaan lingkungannya bersih. Maka, ia memasang plakat, "Buanglah sampah pada tempatnya." Ternyata yang didapat adalah, "Buanglah tempat sampah padanya." Kebohongan yang sering dipercaya masyarakat, misalnya, seseorang yang menginginkan kaya, kemudian pergi ke dukun tertentu. Tetapi, bukannya menjadi kaya, malah menjadi bagong jejaden.
Jejaden bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Bukan hanya di wilayah kumuh dan urban, tapi juga terjadi di dunia maju yang scientific. Penemuan ilmiah kerap pula merupakan jejaden, tentu saja prosesnya melalui kerja ilmiah juga. Amerika Serikat sesungguhnya merupakan jejaden. Sebab, Columbus yang menemukannya bermula sekadar mencari rempah. Australia yang semakin sempurna menjadi Barat juga hanya jejaden. Bermula dari tempat pembuangan orang jahat, akhirnya menjadi benua yang raya. Singapura yang kini berkelas dunia juga jejaden. Dari semula tempat kubangan ternak, kini kekayaannya melebihi Indonesia yang sedemikian luas dan besar.
Hidup memang tidak selalu linear, tapi senantiasa berliku. Maksud hati ingin santun, supaya terkesan ramah. Tapi bisa jadi dituduh cengengesan atau malah dikira menghina dan menertawakan orang lain. Bagaimanapun, hidup ini harus jadi, jadi apa pun. Menjadi apa pun, bisa dimulai dari mimpi. Tentu hanya dengan kerja keras, mimpi jadi kenyataan. Dream may comes true.
Orang boleh mengharapkan menjadi apa pun, bahwa kemudian menjadi yang lain adalah sah. Tetapi, harus ada rumus dalam jejaden itu. Kita tak boleh menjadi sesuatu yang lebih rendah dan lebih tidak bernilai dari sebelumnya. Sebelumnya adalah manusia, namun kalau kemudian salah jejaden menjadi babi hutan, itu adalah kehancuran. 
Indonesia semula negara yang kaya raya, gemah ripah loh nijawi. Apa pun yang ditanam tumbuh. Tongkat dan kayu pun bisa menjadi tanaman. Akan tetapi, kenapa eh kenapa, kini rakyatnya banyak menjadi pengangguran? Kalaupun bekerja ke luar negeri, sekadar menjadi pembantu rumah tangga? Pemerintah pun sibuk mencari utangan untuk membayar utang sebelumnya yang jatuh tempo? Kita negara yang betul-betul jadi-jadian dan hancur-hancuran. Agar menjadi negara dan bangsa yang mempunyai nilai lebih, harus menggunakan rumus berkah. Hitungan matematika menunjukkan, 2+2=4. Kalau berkah, 2+2 mudah-mudahan lima, bahkan mudah-mudahan 10, 15, 20, dan seterusnya.
Namun, mengapa jejaden yang dialami bangsa Indonesia senantiasa merosot dan defisit, dari negara yang kaya menjadi semakin fakir? Jangan-jangan kita selama ini tidak bersyukur. Sebab, sebagaimana firman Allah, hanya dengan bersyukur kita dilipatgandakan kekayaan dan kenikmatannya. Sebaliknya, karena mengingkari kenikmatan, kita justru semakin terperosok ke jurang krisis. Apakah bangsa Barat lebih bersyukur dari kita? Bisa jadi, begitu, makanya kita melulu menjadi subkultur mereka. Mengapa kita tidak menjadi jejaden diri kita sendiri? (Wakhudin/"PR")***

Tidak ada komentar: