Jumat, 20 Maret 2009

Sontoloyo


BINTANG lama yang kembali bersinar. Itulah Sontoloyo. Kosa kata itu kembali populer ketika Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Samsir Siregar menyebut para menteri yang berasal dari partai politik pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai Sontoloyo. Sebab, mereka dinilai tidak mampu mengendalikan DPR dalam melakukan hak angket.
Dalam khazanah perwayangan Jawa, tokoh Sontoloyo kini jarang dimainkan. Pertunjukan wayang klasik sekitar tahun 1970, Sontoloyo sering ditayangkan. Fungsinya sama persis dengan Togog, punakawan yang selalu menjadi pendamping raja jahat. Togog biasanya berdampingan dengan Sarawita, sedangkan Sontoloyo berdampingan dengan Jahewono. Tokoh Togog dan Sontoloyo hanya sebagai variasi permainan wayang.
Secara silsilah, Togog masih satu kelahiran dengan Sang Hyang Batara Guru dan Sang Hyang Ismaya (Semar). Mereka lahir dari telur yang sama. Kuning telurnya menjadi Batara Guru yang menjadi raja di Kahyangan, putih telurnya menjadi Semar yang selalu mengabdi kepada raja adil dan ksatria, sedangkan cangkang telurnya menjadi Togog (Sang Hyang Tejamantri) yang selalu mengabdi kepada kejahatan. 
Sedangkan Sontoloyo lahir dari titah marcapada atau rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, Sontoloyo kerap pula disebut dengan kere munggah balai atau seorang yang hina dina tetapi kemudian mendapat kesempatan menduduki posisi penting. Karena berasal dari orang susah, saat berada di lingkungan kekuasaan pun sikapnya tetap sama. Ribet, rese, kasak-kusuk, tidak fair, dan sikap-sikap buruk lainnya.
Apakah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang berasal dari partai politik pendukung SBY-JK seperti Sontoloyo? Tentu, itu terserah kepada penilaian Kepala BIN. Yang pasti, kekuasaan SBY-JK tinggal sekitar 14 bulan. Dalam kurun waktu setahun lebih itu, adalah wajar bagi para pemimpin partai menyiapkan kembali semua potensi yang dimiliki untuk memperebutkan kekuasaan periode berikutnya.
Persiapan dilakukan dengan merapikan manajemen dan kepemimpinan ke dalam, seperti membangun kembali komitmen pengurus partai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Sementara itu, ekspansi keluar dilakukan dengan melakukan penggalangan massa kader partai terutama di kalangan grass root. 
Demi meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya, pemimpin partai sering melakukan manuver dan akrobat politik. Yang penting namanya dikenal masyarakat. Soal manuvernya bermanfaat bagi rakyat atau tidak, dianggap bukan masalah. Nama yang dikenal banyak orang adalah investasi.
Apakah hak angket yang disepakati DPR sekadar manuver dan akrobat politik? Bisa jadi ya, jika hak angket sekadar digunakan untuk mencari perhatian rakyat tanpa menyelesaikan substansi masalah berkaitan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus melambung. Namun, jika hak angket dapat menyelesaikan kasus mafia BBM, apalagi rakyat dapat mencari jalan keluar dari kebuntuan krisis, rakyat akan semakin tahu siapa yang sebetulnya Sontoloyo. (Wakhudin/"PR")***