Jumat, 20 Maret 2009

Duh, Pancasila!


MEMPUNYAI istri cantik dengan kulit lembut, wajah selalu cerah, taat beragama, salehah, serta selalu melayani suami dengan baik mestinya membuat laki-laki betah di rumah. Meski demikian, suami tetap jelalatan, cunihin, mengejar-ngejar wanita lain yang dandanannya menor, yang sayang kalau abang punya uang, dan menendang kalau abang pulang hanya membawa celana doang. Istrinya dibiarkan terlantar mengurus anak, sembari menjaga kehormatan diri dan memelihara harta suami.
Itulah gambaran tentang Pancasila, dasar negara Indonesia yang telah "dinikahi" bangsa Indonesia sejak negeri ini berdiri tahun 1945. Pancasila setia mengikuti ke mana pun "suami" mengembara, ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan orde apa pun di masa depan. Pancasila ikhlas dinafkahi dengan apa pun oleh "suaminya", para penguasa. Orde Baru sempat memanjakannya dengan pakaian yang bagus, mengajarkan Pancasila dalam paket penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila). Namun perlakuan terhadap Pancasila tidaklah jujur, hanya mendandani Pancasila dengan baju yang bagus tapi hakikatnya melakukan proses pembusukan terhadap dasar negara tersebut. Setiap kali ada penataran P4, ternyata ujungnya adalah kebulatan tekad untuk meneruskan Orde Baru dan memilih kembali Pak Harto sebagai presiden.
Karena Orde Baru runtuh, Pancasila pun menjadi resisten. Dasar negara itu dipersalahkan sebagaimana dipersalahkannya para penguasa yang mendorong negeri ini menggelinding ke tubir jurang krisis multidimensional. Maka selama Indonesia memasuki alam reformasi, orientasi pun tidak menentu. Bangsa ini seperti kapal di tengah lautan yang kehilangan orientasi. Berkompas kepada Pancasila, tetapi dasar negara itu telah dicaci maki oleh anak bangsa sendiri. 
Maka kapal itu pun mencoba mencari bintang yang bersinar terang berupa materialisme Barat. Namun bintang itu pun semakin redup cahayanya. Para pemilik materialisme justru sedang dalam duka yang mendalam karena ideologi yang dianutnya mendorong masyarakatnya manja dan hedonis sehingga daya juangnya semakin tumpul. Ujung-ujungnya, mereka juga hampir ambruk akibat krisis global. Kapal besar Indonesia pun kadang cenderung melirik bintang yang lain, komunisme. Akan tetapi, bintang ini telah terkoyak dengan runtuhnya Uni Soviet. Republik Rakyat Cina yang semakin bersinar juga justru karena meninggalkan komunisme dan menerapkan pasar bebas. 
Jalan terbaik bagi kapal besar Indonesia adalah kembali memegang Pancasila sebagai kompas arah perjalanan bangsa. Gagasan Rektor UPI Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata dan Dekan FPIPS Prof. Dr. Idrus Affandi yang akan menggelar simposium nasional, "Pancasila Sebagai Pendidikan Kebangsaan", 11 Maret, merupakan upaya "merekatkan" kembali hubungan "suami-istri" yang semakin renggang ini. Hanya "pengkhianatan suami akan mendorong perceraian". Duh, Pancasila! Semoga tidak. (Wakhudin/"PR")***

Tidak ada komentar: