Jumat, 20 Maret 2009

Duh, MUI!


SEBELUM bekerja, para kesatria senantiasa menghadap sesepuh, meminta nasihat tentang berbagai persoalan dari perspektif agama. Para kesatria Pandawa, misalnya Arjuna atau anaknya, Abimanyu, senantiasa berdiskusi dengan kakeknya, Resi Wiyasa, tentang problem yang dihadapi kesatria penyelenggara negara dari perspektif spiritual dan afektif. Mencerna dan melaksanakan nasihat ulama semacam Resi Wiyasa tentu banyak tantangan. Godaan pertama biasanya datang dari Cakil dan para buta, dari mulai Buta Hijau, Buta Gulundung, hingga Buta Berhidung Belang. Hanya karena keteguhan hati, godaan itu dapat disingkirkan. 
Dalam kehidupan modern yang serba dipenuhi teknologi informasi, membahas berbagai persoalan dari perspektif agama tetaplah relevan. Sebab, kehidupan dari yang paling primitif hingga zaman paling mutakhir tetaplah tidak pernah lepas dari penciptaan dan pengawasan Al-Khalik. Maka, membahas masalah apa pun dari kacamata kitab suci dan berbagai turunannya berarti merupakan proses pencarian sumber masalah dari perspektif Sang Maha Pencipta. 
Ijtimak para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Madrasah Diniah Putri Padangpanjang, Sumatra Barat 24 s.d. 26 Januari harus diposisikan sebagai nasihat para sesepuh dari kacamata keagamaan. Hasil ijtimak berupa fatwa juga merupakan panduan masalah yang dilihat dari kacamata Alquran, sunah, qiyas, dan berbagai turunannya. Kalaupun MUI membuat keputusan berkaitan dengan masalah keduniawian, khususnya masalah politik, itu tak lebih sebagai panduan rekayasa sosial (social engineering) menuju bangsa yang bermartabat dan mendapat rida Tuhan. 
Haruskah bangsa Indonesia mengikuti nasihat ulama MUI? Tergantung dari pribadi masing-masing. Mereka yang berjiwa kesatria akan menjadikan nasihat ulama sebagai panduan hidup, baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Mereka yang berjiwa cakil menganggap fatwa ulama sebagai penghalang, mengada-ada, tidak efektif, dan percuma. Para Buta Hijau melihat ulama sebagai bedebah, bubarkan saja. Buta Gulundung biasanya apriori dan alergi terhadap apa pun yang bernuansa religius. Apalagi Buta Berhidung Belang selalu hanya memuaskan nafsu diri sendiri. Fatwa ulama yang menghalang-halangi nafsunya akan didemo, bahkan bisa diberangus.
Sebetulnya, berapa banyak bangsa Indonesia yang berjiwa kesatria dan berjiwa cakil? Belum ada sensus yang menghitungnya. Namun dalam tradisi bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai religius, menghargai pendapat ulama merupakan tradisi bangsa yang lurus dan bersih. Hanya saja, dalam era reformasi dan kebebasan berpendapat, yang paling lantang bersuara justru Cakil dan Buta. Itulah sebabnya, begitu ulama mengeluarkan fatwa, mereka menyambarnya dengan sumpah serapah. Duh, MUI! (Wakhudin/”PR”)***

Tidak ada komentar: