Selasa, 09 Maret 2010

Itulah Indonesia


UANG hilang Rp 6,7 triliun adalah data dan semua orang mengakui sebagai fakta yang luar biasa dan banyak jumlahnya. Tapi ketika ditanya siapa yang menghilangkan uang itu? Uang mengalir ke mana? Siapa yang menerima? Siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya semua gelap. Si ini tidak mengaku, si itu tidak tahu menahu, yang lain juga bukan pelaku. Itulah Indonesia.
Di negeri ini, orang masuk penjara tidak menderita. Di sel, apa pun ada. Makan minum setiap saat tersedia. Meskipun matahari bersinar terik, tapi AC selalu menyala. Perawatan kecantikan bisa dilakukan dari mulai kaki, paha, dada, kulit muka, sampai kepala. Di tempat terpisah, seorang yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang curang malah bernasib malang. Jaksa terus menyerang meskipun pengadilan negeri menyatakan dia menang. Itulah Indonesia.
Demokrasi dan reformasi telah bergelora sejak lama. Tapi rakyat tak kunjung sejahtera. Mereka bahkan semakin bertambah menderita. Anak yang mengalami busung lapar justru ada di mana-mana. Orang jahat dan suka berbuat aniaya justru paling merdeka. Sebaliknya, orang berilmu yang saleh hanya bisa mengelus dada. Para kekasih Tuhan ini tidak lagi ditunggu ketika mengeluarkan fatwa, tapi sebaliknya tidak lagi dianggap berwibawa. Para ulama, yabar, ya....! Itulah Indonesia.
Indonesia memang eksklusif. Tidak menganut paham sosialis, bukan pula kapitalis. Bukan pula negara yang berdasarkan satu agama, tapi bukan pula ateis. Maksud hati ingin punya kepribadian sendiri, berdasarkan Pancasila. Tapi para pengikutnya sudah lama melupakannya. Bahkan banyak yang malu meskipun sekadar menyebut namanya. Itulah Indonesia.
Berapa pun uang akan dikeluarkan demi pemilihan presiden, DPR, DPD, dan pilkada. Sebab, demokrasi memang mahal harganya. Dari mana uang untuk pemilu maupun pilkada? Jangan tanya, pokoknya selalu ada. Mau utang ke luar negeri, utang ke bank, atau menerbitkan surat berharga cuek saja. Rakyat mau jenuh, neg, muak melihat muka-muka dipajang di jalan raya, biarkan saja. Itulah Indonesia.
Meskipun menghamburkan uang segudang, tapi hasil pemilu tetap menghasilkan pemimpin yang curang. Setelah menang, mereka dibelit utang bank. Maka setelah duduk di kursi empuk, bukannya memikirkan jalanan yang berlubang-lubang atau rakyat yang semakin susah tidak kepalang. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dianggap sebagai jalan yang paling lapang dan gampang. Pemimpin malah terjebak utang, membayar jasa tim sukses dengan membiarkan mereka memilih projek yang paling strategis meskipun tidak melalui tender atau prosedur yang pantas. Pemimpin malah menjadi orang yang sadis, menggilas kelompok yang selalu kritis. Sebaliknya, ia selalu merasa bahagia kalau orang dekatnya mencari muka. Itulah Indonesia.
Sudah tahu setiap hujan banjir akibat got mampet, tapi tetap saja orang membuang sampah sembarangan. Setelah menyapu, kotoran tidak dikumpulkan di suatu tempat, dikubur atau dibakar, tapi langsung dihanyutkan di sungai atau di empang. Sudah tahu hutan yang dirambah semena-mena menyebabkan banjir di mana-mana, khususnya wilayah di sekitarnya. Itulah Indonesia.
Sudah tahu negara adidaya datang sebagai penjajah. Ia menguras semua sumber daya alam sampai tinggal sampah. Tapi tetap saja kita bersikap ramah. Peradaban dan budayanya selalu menjadi anutan. Musik, film, dan keseniannya dinilai lebih unggul dibandingkan budaya lokal yang adiluhung. Apa pun yang datang dari mereka disikat tanpa seleksi yang ketat. Sebaliknya, kekayaan budaya sendiri dikira tidak lagi bermanfaat. Itulah Indonesia.
Jika kondisi seperti ini berjalan secara konstan. Maka cepat atau pelan, Indonesia akan masuk ke dalam tubir jurang. Ideologi, politik, sosial dan budaya lokal pada akhirnya hilang. Bahkan tak mustahil, peta Indonesia pun musnah, berubah menjadi wilayah yang terbelah-belah. Na’udzubillah. Maka, seluruh komponen bangsa harus kembali menata diri, bukan berjalan sendiri-sendiri. Mari....! (Wakhudin)

Tidak ada komentar: