Minggu, 20 Juni 2010

Menangkal Pornografi dengan Media Literasi


Oleh H. WAKHUDIN

ADEGAN seks dalam film antara orang mirip Ariel "Peterpan" serta wanita mirip Luna Maya dan Cut Tari, merupakan anak kandung dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi. Melalui media, informasi yang masuk kepada masyarakat sangat dahsyat, sehingga kekuatan pengaruhnya melebihi pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak, atau pendidikan yang dilakukan guru kepada siswanya, atau pengaruh ustaz di musala atau masjid kepada para santrinya.

Semakin populernya telefon seluler yang dapat merekam gambar, justru digunakan untuk merekam berbagai macam adegan seks, ketelanjangan, dan segala macam kegiatan tak senonoh lainnya. Dalam waktu lima tahun setelah munculnya VCD "Bandung Lautan Asmara", beredar lebih dari lima ratus film porno amatiran (Sony Set, 2007). Setiap hari, minimal dua film porno lokal baru diunggah ke internet. Sebagian besar dibuat menggunakan handphone berkamera dalam durasi yang singkat (kurang dari 10 menit). Cuplikan video porno tadi dikonversi menjadi file berukuran kecil, yang tersebar di handphone dan pemutar film mini (MP4 player) yang harganya semakin murah. Set (2007: 10) juga mengungkapkan, sembilan puluh persen pelaku dan pembuat film video porno amatiran tersebut adalah pelajar dan mahasiswa.

Persoalannya, bagaimana agar bangsa Indonesia bisa selamat agar tidak tenggelam dalam arus informasi yang kontraproduktif, semacam pornografi itu? Sebaliknya, informasi yang melimpah di dalam media tersebut justru menjadikan bangsa ini semakin bernilai dan bahkan memberikan nilai tambah?

Setidaknya ada tiga pilihan. Pertama, pemerintah membebaskan rakyatnya untuk mengakses media seluas-luasnya. Silakan masyarakat mengonsumsi informasi apa pun, dari mulai persoalan yang baik, hingga persoalan yang selama ini termasuk tabu. Cepat atau lambat, pada gilirannya, masyarakat akan jenuh dengan sendirinya. Pilihan ini tentu sarat risiko. Sebelum masyarakat mencapai tingkat jenuh dan membutuhkan informasi yang berguna, mereka telah tersesat ke arah yang tak terbayang jauhnya. Oleh karena itu, pilihan ini sangat riskan, mengancam kesatuan dan persatuan bangsa, bahkan dapat menghancurkan bangsa dan negara Indonesia.

Pilihan kedua, pemerintah memberlakukan sensor total. Pemerintah bisa menggunakan wewenang yang dimiliki memilihkan informasi yang bermanfaat untuk rakyat, dan mengendalikan informasi yang dinilai tidak baik mereka. Pemerintah bisa memblokir pada tingkat masyarakat, tingkat institusi/perkantoran, dan tingkat internet service providers (ISP). Metode bisa dilakukan menggunakan piranti lunak software filter.

Meski demikian, menurut para pakar teknologi informasi, jika langkah sensor seperti itu dilakukan, pemilik situs porno Indonesia dapat menutup "warungnya", tetapi mereka mengganti alamat kontak di data whois kepemilikan domain ke nama orang lain atau sekalian diubah ke mode privacy protect yang disediakan di kontrol domain. Dengan privacy protect, siapa pun tak akan tahu pemilik domain itu. Dari sisi hosting (kapasitas server untuk meletakkan data atau file website) mereka dengan singkat (hanya hitungan menit) bisa memindahkan ke hosting luar negeri yang lebih aman.

Pakar teknologi informasi Onno W. Purbo (2003) mengemukakan, undang-undang yang dikeluarkan berasumsi pemerintah Indonesia superpower dan serbabisa. Yang terjadi di lapangan, pemerintah lebih sering bermain power (bedil dan kekuasaan) daripada memberdayakan rakyat serta memfasilitasi pembangunan untuk kemajuan rakyat. Ini yang terjadi di dunia internet.

Pendeknya, teknologi informasi kini sedemikian berpengaruh, dan tidak mustahil dapat menjadi tuhan baru (thaghut) sehingga pada gilirannya masyarakat menyembah selera dan nafsu. Masyarakat akan berubah secara drastis menjadi masyarakat yang hedonistis, ingin senantiasa bersenang-senang, pendek akal, sangat mencintai dunia dan takut mati (wahn). Sementara arus informasi tidak dapat dibendung lagi karena sedemikian deras bagaikan air laut yang menerjang daratan seperti tsunami.

Maka, alternatif ketiga merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia. Membendung derasnya arus informasi media itu bukan dengan cara menghentikan informasi media tersebut, melainkan justru membuat masyarakat semakin melek media (literasi media). Model pembelajaran literasi media menawarkan berbagai keterampilan proses, dari mulai bagaimana mengakses media, menganalisis media, mengevaluasi, bahkan sampai menciptakan media. Dengan pembelajaran literasi media, masyarakat tidak diasingkan dari media, melainkan justru dilibatkan sekaligus ke dalamnya.

Orang yang melek media mampu memanfaatkan teknologi informasi secara positif, dan mampu menghindari penggunaan teknologi untuk kepentingan yang kontraproduktif. Keterampilan menggunakan teknologi untuk kebajikan dan menolak keburukan bukan atas dasar pemaksaan, melainkan tumbuh dari dalam diri sendiri melalui berbagai pelatihan literasi media. Dengan literasi media, pengetahuan dan keterampilan masyarakat ditingkatkan, tidak hanya pasif menerima apa pun yang disajikan media, melainkan mereka mampu menganalisis arus informasi yang masuk, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan kritis terhadap media. Bahkan suatu waktu, generasi baru bangsa Indonesia diharapkan mampu menciptakan media sendiri yang menjadi alternatif dari media yang dinilai tidak sehat dan kontraproduktif.

Pembelajaran literasi media ini disarankan dilakukan setiap orang tua kepada putra dan putrinya yang mulai berminat terhadap komputer dan mulai mengakses internet. Awal mengakses internet merupakan masa yang amat penting. Jangan biarkan anak yang secara dini membuka internet melakukan trial and error, melainkan langsung diarahkan untuk belajar literasi media sehingga anak dapat memanfaatkan internet untuk kepentingan masa depannya yang lebih gemilang.

Pembelajaran multimedia ini juga dapat dilakukan dalam lembaga pendidikan formal dan nonformal. Pelajaran internet yang bernilai ini dapat dilakukan dalam pelajaran ekstrakurikuler atau masuk ke dalam mata pelajaran berinternet yang reguler. Setiap pendidikan internet yang bernilai ini dapat disusun kurikulumnya secara lebih rinci.***

Penulis, wartawan HU "Pikiran Rakyat" Bandung, doktor bidang pendidikan nilai.

2 komentar:

Sukron Abdilah mengatakan...

memang sangat diperlukan sekali kang haji..pemahaman warga terhadap fungsi TIK dalam hidup kesehariannya. Apakah PR dapat mewujudkannya dengan memberikan ruang untuk memperkaya wawasan warga ttg media literasi ini? Saya berharap bisa..rubrik @Jejaring adalah upaya menuju warga melek media...salut...salam baktos dari saya...

Rahadian P. Paramita mengatakan...

Sip! Kapan nih komunitas media literasi Bandung kumpul? :D Saya juga di Bandung Pak, sedang berupaya membangun program pendidikan melek media. Saya buat di http://medialiterasi.co.cc.

Salam!