Senin, 22 November 2010

Pakem Wayang Golek dan Modernitas




LAKON Bambang Sumantri mengabdi kedapa Raja Mahespati, Prabu Sasrabahu sesungguhnya cerita klasik dan termasuk kisah tua. Disebut tua karena peristiwa ini terjadi sebelum kisah Mahabarata, kisah pertempuran antara sesama darah Kuru di medan pertempuran Kurusetra. Bahkan, kisah ini lebih tua dibandingkan dengan cerita Ramayana.

Kisah Ramayana diyakini terjadi lebih tua dibandingkan dengan Mahabarata. Sebab, Prabu Rama Wijaya dari Ayodya yang menjadi titisan Dewa Wisnu merupakan kakek moyang Prabu Kresna dari Dwarawati. Prabu Kresna adalah operator perang Baratayudha. Dia adalah tokoh yang keukeuh agar "Perang Dunia III" dalam pewayangan ini harus terjadi. Sebab, perang ini sudah menjadi nazar para dewa, demi sirnanya angkara murka.

Meskipun kisah Bambang Sumantri Mengabdi termasuk kisah yang klasik, di tangan dalang Ki Umar Darusman Sunandar (30), kisah itu menjadi sedemikian aktual. Dialog antara satu tokoh dan tokoh lainnya sangat masa kini. Lihatlah nasihat ayah Sumantri, Resi Suwandageni dari Pertapan Jaka Sampurna tentang pengabdian seorang warga terhadap negara. Pengabdian seorang ksatria terhadap negara harus tanpa pamrih, bukan sekadar mendapatkan takhta agar berkuasa dan memperoleh kuasa, melainkan merupakan ekspresi pengabdian seorang makhluk kepada Sang Khalik yang diekspresikan dalam upaya menjaga keseimbangan kekuasaan antara pamong praja dan rakyat. Tugas aparat yang duduk di kursi kekuasaan bukan untuk menikmati kue pembangunan dengan porsi paling besar, melainkan mendistribusikan kesejahteraan yang berhasil dikuasai negara kepada sebagian besar warga.

"Tugas aparat bukan malah melarang warga mencari rezekinya masing-masing. Negara sudah tidak mendistribusikan kesejahteraan kepada rakyat, di saat yang sama malah membatasi warganya mencari rezeki sendiri. Pedagang asongan yang cuma menjual tiga bungkus rokok pun disita barang dagangannya. Lalu, di mana tingkat keadilan aparat yang demikian," kata Begawan Suwandageni ketika menasihati anaknya yang akan melamar menjadi aparat di Kerajaan Mahespati itu.

Kemudian, Suwandageni pun menceritakan nasib pilu yang dihadapi masyarakat yang diperlakukan secara tidak adil oleh aparat. Kisah para pedagang kaki lima yang tidak pernah tenteram berdagang di tempat strategis. Akibatnya, Si Amed nangis terus seharian karena gerobaknya disita aparat. "Yang paling membuat saya sedih, istri saya di gerobak itu sedang tidur, terbawa aparat," katanya.

Di tangan murid dalang kondang Ki Asep Sunandar Sunarya ini, semua yang klasik bisa berubah menjadi sangat aktual. Simaklah bagaimana bingungnya Sukrasana ketika bangun kesiangan dan ternyata kakak kesayangannya, Bambang Sumantri, tidak ditemuinya.

"Ama, Kakang Sumantri ke mana?" tanya Sukrasana, adik Bambang Sumantri yang berbadan raksasa dan bermuka buruk.

"Mungkin sedang mandi," ujar Suwandageni sembari membelai rambut Sukrasana.

"Sudah kubuka seluruh kamar mandi, tidak ada tuh?" ujar Sukrasana sembari penasaran.

"Atau mungkin ke warung?" ujar ayah Suwandageni yang semakin tua. Lagi-lagi, Sukrasana tidak percaya. Sebab, selama ini kakaknya Sumantri tidak suka ke warung, bahkan kalau memiliki kebutuhan kakaknya lebih suka menyuruh dia agar membelikan barang.

"Atau, kakakmu mungkin pergi ke warnet," ujar Suwandageni sembari membujuk Sukrasana.

"Ah, tidak mungkin. Kakang Sumantri termasuk orang yang gagap teknologi. Menggunakan Facebook saja tidak bisa. Bahkan, kirim sms saja tidak pakai spasi," ujar Sukrasana yang disambut gerrr... penonton.

Akhirnya, Suwandageni pasrah dan menceritakan kepergian Sumantri ke Mahespati untuk melamar sebagai aparat di negara itu.

Bagi dalang yang akrab dipanggil Ki Dalang Riswa ini, kekunoan kisah wayang dan kekakuan pakem tidak pernah menjadi masalah sebagai bahan bodoran. Ia termasuk dalang yang sangat produktif memproduksi kosa kata baru, termasuk berbagai macam idiom yang menunjukkan kelucuan.

Dawala dan Cepot yang bersaudara kadang harus terlibat konflik. Mereka pun bertengkar sengit. Namun, ketika satu dengan yang lain saling menyakiti, Cepot pun sadar dan berkata, "Kamu kok tega sih menyakiti aku yang fakir misscall?"

"Fakir miskin, meureun?" ujar Dawala menanggapi keluhan Cepot.

"Bukan, saya ini fakir misscall. Habis, menelefon pacar tidak kunjung diangkat sehingga misscall melulu," ujar Cepot.

Dawala juga mengeluhkan perilaku Cepot yang menganiayanya. "Saya ini seorang yatim piano, tetapi kamu tega menganiayaku?" keluh Dawala.

"Maksudnya, yatim piatu?" ujar Cepot berusaha membetulkan ucapan Dawala.

"Bukan yatim piatu, tetapi yatim piano. Kalau yatim piatu berarti tidak punya ayah dan ibu. Kalau yatim piano, berarti tidak punya gitar-gitar acan," ujar Dawala.

**

KESENIAN Sunda, khususnya wayang golek sesungguhnya bagaikan lautan yang tidak bertepi. Sangat luas. Kisah yang diceritakan sesungguhnya hanya lakon yang diambil dari kisah Ramayana dan Mahabarata atau akar dari kisah itu, serta kisah turunannya.

Namun, uraian antawacana, setting konflik, dan intrik yang berkaitan dengan kehidupan kontemporer seperti tidak pernah kering. Semakin piawai seorang dalang, semakin pintar ia mengelaborasi kisah wayang dalam kehidupan kekinian. Artinya, wayang sesungguhnya tidak pernah kering digunakan untuk melakukan proses edukasi manusia modern.

Di samping itu, sumber daya manusia yang berada di balik pergelaran wayang juga cukup banyak. Ki Dalang Riswa merupakan salah seorang dalang muda yang tengah bergelut dengan dinamika modernitas. Ia bersama teman seangkatannya dapat dikatakan sebagai pejuang untuk mempertahankan eksistensi kesenian dan budaya tradisi.

Itulah sebabnya, dengan berbagai kemasan, Ki Riswa berupaya menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Salah satunya adalah pergelaran Pojok Si Cepot di stasiun televisi Kota Bandung.

"Tujuannya, supaya setiap warga negara merasa memiliki terhadap seni budaya ini. Sebab, kalau bukan bangsa Indonesia yang mengembangkan seni budaya sendiri, lalu siapa lagi?" ujar Dalang Riswa.

Karena menonton wayang seseorang dituntut berkonsentrasi selama 6 hingga 8 jam, Ki Riswa pun mencoba mengakalinya dengan membuat wayang yang tidak ada sebelumnya, seperti dalam kisah Mahabarata dan Ramayana. Maka, ia pun membuat wayang bersosok hansip, petani, militer, pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Tujuannya, untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka memiliki kesenian yang adiluhung ini.

Ki Asep Sunandar Sunarya yang menjadi guru Riswa di Pedalangan, telah terlebih dahulu membuat banyak kreasi menghadapi era modern dalam bidang perwayangan. Sabetan yang kreatif dengan ekspresi yang lebih manusia menjadi kekuatannya sehingga ia menjadi dalang tenar di era serbadigital ini.

Sayangnya, arah angin modernitas kurang memberi tempat bagi kekayaan seni tradisi orisinal karya Indonesia. Masyarakat lebih banyak tergiring untuk mencintai budaya manca yang tidak memiliki akar di dalam masyarakat. Bahkan, budaya manca tersebut menggerogoti akhlak dan moral bangsa.

Sementara itu, seni tradisi milik bangsa sendiri menawarkan keindahan estetika yang tak ternilai harganya. Di sinilah, para seniman telah menyumbangkan seluruh kreativitas dan kemampuannya untuk mengabdi.

Penonton yang hadir dalam pentas wayang golek semalam suntuk di Taman Pramuka, Jumat (5/11) malam pasti gemuruh dengan gelak tawa menyaksikan lakon Bambang Sumantri Ngenger. Mereka pun merenungi kisah dan petuah yang lahir dari tontonan itu.

Akan tetapi, sayang, tak banyak masyarakat yang tergugah untuk mengikuti tradisi ini. Di malam yang dingin disertai rintik hujan, masyarakat lebih enak tidur di rumah. Mungkin mereka tidak tahu akan adanya pementasan wayang dalam rangka HUT ke-200 Kota Bandung. Bahkan, yang tahu pun tidak tertarik menonton kisah wayang. Akan tetapi, jangan mengeluh jika kelak seni budaya ini tiba-sudah menjadi milik bangsa lain. Mengapa tidak kita pertahankan? (Wakhudin/"PR") ***

Tidak ada komentar: