Senin, 22 November 2010

Memberi


BIMA marah luar biasa ketika kakaknya, Puntadewa menyerahkan istrinya, Drupadi, kepada Hanoman, utusan dari Pancawati. Maklum, tidak lazim, seseorang menyerahkan istri kepada orang yang memintanya. Di samping itu, Bima marah demi menjaga nama baik kakaknya yang raja Amarta itu. Tapi Puntadewa keukeuh tetap menyerahkan istrinya kepada siapa pun yang membutuhkan, walaupun wajah Dewi Drupadi pucat pasi ketakutan dan tidak mau melakukan. Melihat niatnya dihalang-halangi, Puntadewa balik marah kepada Bima.
“Kalau aku menyerahkan istriku kepada Prabu Rama dihalang-halangi, silakan bunuh aku saja. Sejak muda, aku bersumpah untuk menjadi raja yang suka memberi. Siapa pun yang meminta dariku berupa apa pun, harus aku beri. Hari ini, aku akan melaksanakan sumpahku, tapi kau halang-halangi, berarti engkau menghalang-halangi aku melaksanakan sumpahku,” ujar Puntadewa.
Mendengar alasan Puntadewa, Bima tak bisa berkata-kata. Ucapan kakaknya benar, tapi tidak masuk akal. Krisna yang menjadi penasihat Pendawa segera membujuk Bima untuk menuruti kemauan Puntadewa. Tapi secara diam-diam, Krisna menyuruh Arjuna untuk segera menukar tandu yang berisi Dewi Drupadi dengan Gatotkaca. Maka, Hanoman bersama pasukan monyet bersorak sorai kembali ke Pancawati membawa tandu yang yang mereka duga berisi Dewi Drupadi, padahal berisi Gatotkaca.
Sampai di Pancawati, Hanoman dibuat malu luar biasa. Sebab, tandu yang berisi seorang calon permaisuri rajanya, ternyata seorang ksatria. Maka ditangkaplah Gatotkaca. Tapi ia berhasil lolos. Rupanya, Prabu Rama melamar Drupadi tidak benar-benar mau menikahinya. Tapi dia sesungguhnya sedang melakukan uji coba. Setelah berhasil menumpas angkara murka di Alengka, Prabu Rama mendapatkan janji dari para dewa, bahwa ia akan manitis (menyatu jiwa dan raga) ke dalam raja yang bijaksana.
Maka ketika mendengar bahwa Putadewa begitu bijaksana, Prabu Rama penasaran. Ia bertanya dalam hati, inikah raja yang akan menjadi anugerahnya? Dengan melamar Drupadi, ia sengaja hanya ingin mencari gara-gara agar bisa bertemu muka dengan raja yang super baik itu. Maka ia pun mengerahkan seluruh prajuritnya. Sementara penasihat Amarta yang menjadi raja Dwarawati juga menggelar pasukan yang seimbang. Perang pun segera pecah. Prabu Rama dan Prabu Kresna pun berhadap-hadapan.
Tapi sesaat sebelum dua pasukan saling berkecamuk, Batara Guru pun datang meredakan ketegangan. Ia menjelaskan bahwa Prabu Rama dan Prabu Kresna masih satu darah dan keduanya titisan Batara Wisnu. Krisna adalah anugerah bagi Rama, bukan Puntadewa. Anugerah itu baru datang beberapa tahun kemudian, meskipun Rama saat itu sudah berusia 100 tahun lebih. Bergabungnya “kekuatan” Pancawati ke Amarta semakin menguatkan Pandawa dalam merebut kembali negara mereka, Hastinapura.
Pertemuan kisah antara Ramayana dan Mahabarata ini menggambarkan betapa memberi tidak pernah sia-sia. Bahkan, memberi selalu mendatangkan anugerah. Simaklah kisah sufi yang menceritakan tidak ada orang yang mabrur kecuali orang yang gagal pergi haji, karena uang akan digunakan biaya perjalanan haji digunakan untuk sedekah. Simak pula kisah Rasulullah dan para sahabat yang selalu saling tolong menolong saling membantu. Mereka selalu memberikan yang terbaik miliknya di jalan Allah, bahkan nyawa mereka sekalipun.
Alangkah berbedanya dengan umat sekarang yang lebih suka menerima daripada memberi. Bahkan, apa pun dilakukan untuk mendapat. Aparat melepas tahanan Gayus agar dapat sogokan. Rakyat kecil siap menginjak sesama mereka untuk mendapatkan sepotong daging kurban. Mendapatkan adalah lebih utama dari memberi. Inikah yang menyebabkan negeri ini lebih banyak mendapatkan musibah dari anugerah. Kalau mendapatkan selalu menjadi ciri bangsa ini, maka cita-cita menjadi negara yang maju dan modern serta diridai Tuhan, semakin jauh panggang dari api. (Wakhudin/”PR”)***

Tidak ada komentar: