Sabtu, 28 Juli 2012

Seks Komersial, Antara Deru dan Debu


MESKI sesekali hujan, musim kemarau tahun ini menyebabkan debu berterbangan ke seluruh Kota Bandung dan sekitarnya. Di daerah pinggiran kota, seperti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, pencemaran udara diperparah oleh beroperasinya pabrik-pabrik dan penambangan kapur di kawa­san pegunungan Masigit. Para pelancong dapat menderita sesak napas saat "menikmati" udara perjalanan Padalarang-Cianjur yang tercemar mulai dari Situ Ciburuy, hingga ke Kecamatan Cipatat. Belum lagi, pencemaran ditambah suara bising truk pengangkut pasir dan bus-bus jurusan Jakarta-Bandung yang masih bertahan, meski sudah ada jalan tol Jakarta-Bandung atau bus jurusan Sukabumi-Bandung.
Di antara deru kendaraan bermotor dan pabrik pembakaran gamping di sekitar perjalanan yang berkelak-kelok itu, kita dapat menyaksikan sekira 50 warung dibangun dipinggir jalan di Kampung Cibogo. Di bagian depan warung tersebut, tiang menancap setara dengan tingginya jalan raya. Namun di bagian belakang, tiang-tiang warung tersebut terpancang setinggi antara 5 hingga 10 meter, dengan kemiringan tanah lebih dari 50 derajat, dan menurun hingga ke jurang. Di bagian lembah ini berdiri ratusan rumah penduduk.
Di antara warung-warung tersebut terdapat ruang yang cukup lebar di seberang bagian utara yang dapat digunakan parkir lebih dari 20 kendaraan, juga dikelilingi bangunan-bangunan warung sederhana. Di antara warung-warung itu terdapat kafe, tempat karaoke, diskotek, dan pertunjukan musik dangdut. Di seberang bagian selatan, meskipun merupakan bukit yang curam juga terdapat sebuah bangunan yang digunakan sebagai ruang pertunjukan musik.
Setiap malam, tempat-tempat ini tidak terlalu ramai. Namun, Sabtu di akhir bulan Juli, terlihat dua mobil dan 5 sepeda motor diparkir di depan pertunjukan dangdut di tepi bukit di seberang bagian selatan. Para penumpangnya yang sebagian besar kaum pria masuk ke dalam ruangan. Mereka disambut puluhan wanita bergincu merah menyala yang rata-rata berusia antara 20 hingga 30 tahun. Pakaian mereka pun tak ubahnya para artis dangdut yang sering kita saksikan di televisi, setelan kaus lengan panjang dan celana panjang ketat dengan warna-warna yang mencolok.
Masuk ruang hiburan tidak dikenakan charge. Para tamu hanya membayar minuman yang mereka pesan dan sesekali membayar uang sawer untuk penyanyi saat menyamperinya. Para tamu bisa ditemani perempuan yang juga berdandan seperti penyanyi saat menikmati musik. Namun, mereka juga boleh menolak tawaran itu jika sedang ingin menyendiri. Karena tawaran dilakukan berulang-ulang, tamu biasanya tidak tahan untuk menikmati dangdut sendirian, sehingga akhirnya ia turun berjoget ditemani perempuan yang sudah lama menunggunya.
Perempuan-perempuan yang menemani berjoget dan minum di tempat hiburan tersebut, juga bisa diajak keluar ke mana pun tamu mau. Semua bergantung pada "transaksi" yang disepakati. Mereka boleh dibawa ke hotel-hotel kecil di sekitar Padalarang atau di Kota Bandung, Lembang, atau bahkan di tempat di sekitar tempat hiburan tersebut. Namun, setiap tamu yang mengajak cewek Cibogo ini dikenakan charge Rp 50.000,00 yang disebut dengan "uang cabut". Sebab, setiap perempuan yang tidak lain adalah para pelacur ini memiliki induk semang masing-masing sebagai mucikari.
Namun para tamu yang tidak mau membayar "uang cabut" tersebut, dapat menuntaskan nafsunya di warung remang-remang yang mengelilingi tempat hiburan di Cibogo ini. Warung-warung tersebut, selain menyediakan aneka macam minuman juga terdapat satu atau dua kamar yang dapat disewakan untuk melakukan hubungan seks short time. Harga sewanya antara Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00. Namun, perempuan yang diajak kencan biasanya mengenakan tarif Rp 50.000,00 kepada tamunya.
Warung remang-remang ini sendiri biasanya menyediakan seorang hingga lima orang wanita tuna susila (WTS). Para tamu yang hanya menginginkan layanan seks dapat langsung menuju warung-warung ini, tanpa harus terlebih dahulu mencari WTS di tempat hiburan. Meskipun namanya warung dan dibangun di atas jurang, namun di dalamnya biasanya terdapat ruang yang lumayan lega. Ruang terbuka yang tak ada meja kursi ini biasanya dapat digunakan untuk berjoget atau berdansa bersama cewek kencannya. Sebab, di depan ruang lega yang membelakangi jalan raya tersebut terdapat TV dilengkapi seperangkat CD dan DVD player yang dapat mengiringi para tamunya melantai. Jangan membayangkan ruang ini mewah, rata-rata lantainya terbuat dari papan dan TV yang mengiringi mereka berjoget pun berukuruan paling besar 21 inci atau bahkan 14 inci.
TV dan alat-alat elektronik lainnya memang hanyalah asesoris tambahan, bisnis para cewek penunggu warung yang utama adalah pelayanan seks secara komersial. Sedangkan bisnis utama pemilik warung adalah minuman, baik beralkohol rendah maupun yang berkohol tinggi. Para pekerja seks komersial (PSK) sendiri tidak dikenai pungutan dari hasil melacurnya dengan tamu. Namun, mereka berkewajiban memasarkan minuman dan rokok milik warung tersebut. Caranya, biasanya WTS tersebut membeli minuman dan rokok untuk tamu dan untuk dirinya sendiri, tapi semua biaya dikenakan kepada tamunya. Bahkan, para PSK tersebut seringkali minum bir berulang-ulang dengan berbagai macam campuran, minuman berenergi aneka macam merek, dengan demikian pemilik warung pun diuntungkan dengan semakin banyak keluarnya uang dari tamu.
Namanya juga bisnis seks, ilegal dan haram jadah. Segala macam hal sering dilakukan untuk mengeduk uang para tamu, tanpa harus memberikan pelayanan yang sebanding dengan uang yang dikeluarkan tamu. Keterampilan para PSK memoroti uang tamu adalah keterampilan yang melekat pada setiap PSK. Anehnya, para lelaki hidung belang tak pernah kapok. Kaditu deui kaditu deui...! (Wakhudin/ "PR”)