Sabtu, 28 Juli 2012

Mencoba "Menikmati" Paniknya Dikejar Aparat

SETELAH berkeliling menelisik warung-warung di Kampung Cibogo, Cipatat, Kabupaten Bandung, dari mulai rumah makan khas Sunda hingga sepanjang lima ratus meter ke arah Cianjur beberapa kali, saya akhirnya singgah di sebuah warung yang tidak terlalu ramai. Warung yang satu ini hanya dihuni dua orang penjaga laki-laki dan seorang perempuan. Sebutlah namanya Pualam. Cewek yang kira-kira berusia 26 tahun tapi mengaku berumur 21 tahun ini seperti merajuk.
Saya kemudian duduk di atas salah satu kursi dari lima kursi yang tersedia yang sudah mulai sobek dan bolong-bolong. Untuk meyakinkan bahwa saya tidak akan pergi lagi, Pualam menawarkan minuman. Saya langsung menyebutkan teh dingin dalam botol. Ia kelihatan tidak puas dengan jawaban saya. "Nggak minum bir?" katanya.
"Saya tak suka mabuk, juga tak merokok," kata saya.
"Tapi suka cewek?" sergah Pualam.
"Ya, itu saja," jawab saya.
Sembari mengambilkan minuman untuk saya, Pualam me­minta satu botol bir berwarna hitam. Saya mengiyakannya. Kemudian ia membuka dua botol di depan saya. Saya meminum jatah saya langsung dari botol, sedangkan Pualam menuangkan minumannya dalam gelas besar. Sebelum meminumnya, ia kembali meminta saya membelikan untuknya sebuah minuman energi. Setelah saya mengiyakan, Pualam menuangkannya dalam gelas yang nyaris penuh. Setelah minuman dicampurkannya, Pualam pun menyeruputnya dengan rasa nikmat.
Meski kelihatan puas dengan minuman oplosannya, Pualam kelihatan masih kurang sesuatu. "Bagaimana kalau sekalian saya dibelikan rokok?" katanya. Saya pun mengangguk. Kemudian ia buru-buru datang ke counter rokok mengambil sebungkus rokok filter yang isinya 20 batang.
Pualam memang akhirnya menawarkan saya untuk melakukan hubungan seks. Tarifnya Rp 150.000,00 untuk short time, dan Rp 500.000,00 untuk long time, ditambah uang cabutan (untuk mucikari) Rp 50.000,00. Saya menyanggupi membayarnya Rp 150.000,00 untuk sekadar berfoto-foto di kamar-kamar yang biasa dia gunakan untuk melayani para tamunya.
Sembari mengajak Pualam bercerita tentang perjalanan hidupnya, saya mencoba memotretnya dalam beberapa pose. Tapi baru mendapatkan dua kali jepretan, tiba-tiba lampu di kamar kami padam. Pualam pun berteriak, "Aa...! Ada apa, kok lampunya dimatikan?"
Penjaga warung yang dari tadi tengah minum bir sembari setengah berbisik berteriak, "Ada razia...!"
Mendengar kabar adanya penertiban, Pualam segera bergegas. Matanya melihat ke segala arah, kemudian tertuju ke tas miliknya dan menyambarnya. Penjaga warung yang memadamkan lampu kamar tersebut menyarankan kami untuk meneruskan kencan di rumah kontrakannya di belakang warung tersebut. Tanpa banyak bicara, Pualam pun menarik tangan saya ke rumah kontrakan yang disebutkan penjaga warung.
Kami menyelinap dari pintu samping, kemudian menuruni jalan yang begitu terjal dan gelap. Pualam sudah begitu hafal jalan ke arah jurang ini, sehingga meskipun jalannya terjal dan berbatu ia dapat melewatinya dengan sigap. Sebaliknya, saya yang baru malam itu melewati lereng ini gelagapan. Bahkan sesekali kaki terpeleset sehingga nyaris terjatuh. Sebetulnya saya tidak perlu tergesa-gesa seperti Pualam yang lari dari tempat praktiknya, tapi saya harus solider kepadanya dan sekaligus "menikmati" dramatisnya dikejar aparat.
Kami berjalan dengan bergegas sekira 100 meter dari warung yang letaknya jauh di bawah dari warung remang-remang itu. Kami masuk ke dalam rumah petak yang menurut Pualam rumah kos milik penjaga warung. Setelah meletakkan tas miliknya, Pualam kemudian pergi ke kamar mandi yang letaknya di luar. Ia sengaja membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya. Ia khawatir aparat yang tengah me­lakukan razia mendatangi tempat kosnya. Dengan keadaan wajah yang polos ia dapat berkilah bahwa dirinya bukanlah WTS.
Meskipun semua make up sudah dibersihkan dan kemudian mengganti pakaian rumahan, Pualam masih kelihatan panik. Ia kembali mengecek dompetnya, KTP-nya ternyata aman. Kemudian ia mengambil dokumen berwarna merah. Ternyata itu adalah kartu keluarga (KK). Ia mengaku, namanya sudah tercantum dalam daftar sebagai anggota keluarga pemilik warung. Melihat beberapa dokumen yang dimaksudkan sudah lengkap, Pualam kelihatan tenteram.
Meski Pualam sudah mulai tenang, justru kegaduhan terjadi di luar. Kali ini teman Pualam bernama Viruz justru tengah mengalami kepanikan. Ia melihat tiga buah mobil aparat melintas di depan warungnya yang biasa ia gunakan untuk mangkal. Saya menyarankan agar Pualam mengajak Viruz untuk bergabung di kamar kami. Tapi sebelum bergabung, Virus pun pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Ia membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya sebagaimana dilakukan Pualam.
Begitu kumpul bertiga di kamar kos itu, Pualam kemudian melontarkan ide untuk bermain kartu. Ia menyebutnya dengan istilah bermain "merahan". Mereka terbiasa tidur sekira pukul 3.00 atau 4.00 dini hari, padahal malam itu baru menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kembali ke warung bagi mereka tidak mungkin, Pualam dan Viruz tidak mau mengambil risiko ditangkap aparat, sementara untuk tidur sore belum bisa, karena kantuk belum kunjung datang. Bermain kartu adalah alternatif untuk membunuh waktu, sebagaimana mereka selalu lakukan saat-saat menanti para pelanggan.
Saya sebetulnya siap ikut ber­main kartu, namun saya tidak paham sistem "merahan" yang mereka mainkan. Apalagi, Pualam menyarankan agar saya tidak perlu ikut bermain kartu, karena cukup dilakukan dua orang. Saya hanya diminta menjadi donatur, siapa pun yang kalah untuk membayarinya. Sebelum mereka bermain, uang receh yang ada di kantung saya dimintanya, sebagai modal. Dua perempuan ini pun kemudian tenggelam dalam permainan kartu. Sesekali Pualam mengocok kartu, namun kadang-kadang Viruz yang mengo­coknya.
Selama kedua perempuan ini bermain kartu sambil berjudi, saya kembali mengajak mereka mengobrol. Pualam tidak banyak menjawab pertanyaan saya, ia lebih memilih tenggelam dalam kartu yang tengah dipegangnya. Justru Viruz yang lebih mudah untuk bercerita. Meskipun usianya sekarang sudah 35 tahun, ia masih beroperasi sebabagi pelacur. Ia memulai menjadi WTS di Cibogo setelah diceraikan suaminya. Wanita yang mengaku berasal dari Garut ini baru terjun ke dunia esek-esek setelah usianya 30 tahun.
Sejak tidak memiliki suami dan harus menghidupi seorang anaknya, ia memang ingin bekerja. Namun, meskipun sudah melamar ke sejumlah pabrik, ia tidak kunjung diterima sebagai karyawan. Makanya saat ada seorang menawarinya untuk menjadi penunggu warung, ia menyanggupinya. Pada mulanya ia tidak menyangka bahwa menunggu warung sekaligus menjual dirinya untuk berbuat mesum. Itulah sebabnya setelah beberapa bulan di Cibogo ia kembali ke Garut. Namun karena terus didera kemiskianan, Viruz kembali ke Cibogo. Kali ini ia datang sendiri dengan kemauan sendiri, sehingga dijalaninya selama dua tahun.
Pualam maupun Virus saat ditanya kapan akan berhenti menjadi WTS, tidak tahu harus menjawabnya. "Nggak tahu, kapan. Terserah. Apa yang akan terjadi terjadilah," kata Viruz. Pualam pun mengamininya. Kami mengobrol hingga pukul 1.00 dini hari. Penjaga warung tiba-tiba datang, dan menyodorkan bon minuman yang diminum Pualam dan dirinya sendiri ratusan ribu rupiah. Saya pun membayarnya sekalian pamitan.
Setelah menaiki tebing yang begitu terjal, saya pun sampai di depan warung remang-remang itu kembali. Sebagian besar warem tersebut sudah tutup. Rupanya beberapa mobil aparat yang lewat hanya mampir di dua warung tidak bermaksud melakukan razia. Tapi para WTS telanjur lari tunggang langgang. (Wakhudin/"PR")***

Tidak ada komentar: