Sabtu, 28 Juli 2012

Cibogo tak Seramai Dulu


Oleh WAKHUDIN
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjaning wong kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
(Ranggawarsita 1802-1873)

BAIT macapat di atas merupakan karya pujangga Keraton Surakarta, Jawa Tengah, Ranggawarsita. Karya tersebut sangat terkenal, karena memiliki nilai prediksi yang sangat aktual dengan kondisi zaman sekarang. Syair yang disusun dua abad lalu itu mengungkapkan bahwa suatu saat akan datang zaman gila. Zaman gila ini sangat membingungkan masyarakat. Kalau ikut gila, rakyat benar-benar tidak tahan. Tapi, kalau tidak ikut gila, rakyat tidak kebagian. Bahkan pada gilirannya akan mengalami kelaparan. Tapi- bagaimanapun, seharusnya semua tetap berada di jalan Allah. Sebab, semulia-mulianya orang yang lupa akan lebih mulia orang yang selalu ingat dan waspada.
Zaman yang dilukiskan Ranggawarsita disebut zaman Kalabendu. Masa seperti ini dapat dirasakan nyaris di semua sendi kehidupan oleh masyarakat modern. Masyarakat kini sering dihadapkan berbagai dilema yang dramatis, antara pilihan salah atau benar, jujur tapi miskin dengan kaya tapi culas, korupsi dan karier melejit atau bersih tapi karier mentok, dan sebagainya. Sayangnya, tidak sedikit di antara kita yang memilih alternatif ikut gila ketimbang eling dan waspada.
Yang paling ironis adalah masyarakat yang memilih ikut gila, namun tidak juga sejahtera. Norma-norma kemasyarakatan dan agama sudah terlanjur diterjang, namun harta benda yang diidamkan tidak kunjung tiba. Alih-alih mereka semakin sejahtera, tapi justru semakin hina dina di mata sesama, namun kalau mati dan tidak sempat bertobat, dijamin masuk neraka.
Nasib wanita tuna susila (WTS) di Cibogo, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat ini dapat dimasukkan dalam kategori yang ironis ini. Tidak seorang perempuan pun ingin menjadi WTS. Hanya karena kondisi yang luar biasa menyeret mereka terjun ke dalam dunia pelacuran. Meskipun segala hal sudah dijualnya, termasuk menjual dirinya sendiri, namun nasib mereka secara materi tidak kunjung membaik. Hari demi hari, lokalisasi di Cibogo semakin sepi. Satu demi satu, warung remang-remang ini tutup. Beberapa tempat hiburan sebagai induk daya tarik masyarakat untuk datang pun satu demi satu gulung tikar. Dibangunnya jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) semakin membuat Cibogo sepi.
Meskipun para pelacur setiap saat melakukan perzinaan, namun semua menyadari bahwa perzinaan bukanlah perbuatan bermoral dan bermartabat. Bahkan lebih jauh, para WTS sesungguhnya ingin meninggalkan dunia prostitusi itu secepatnya, jika problematika hidup mereka telah terselesaikan. Sayangnya, batasan problem hidup mereka tidak pernah jelas sebagaimana adanya garis antara hitam dan putih, melainkan selalu samar-samar. Itu pula sebabnya, setiap pelacur yang terjun dalam dunia prostitusi tidak mudah untuk mentas dari lembah hitam tersebut.
Meski demikian, penelitian membuktikan banyaknya perempuan pelacur yang berani meninggalkan dunianya untuk meraih masa depan mereka yang lebih jernih. Proses penyadaran dari wanita pelacur menjadi wanita baik-baik ini bersifat unik. Antara satu perempuan dengan perempuan yang lain memiliki proses sendiri-sendiri.
Meski demikian, terdapat kecenderungan yang sama yakni bagi para WTS untuk meninggalkan dunia pelacuran, yakni (a) Proses penyadaran bersifat represif. Proses penyadaran wanita pelacur menggunakan cara-cara represif memang bukanlah cara yang ideal. Sebab, para pelacur ditangkap oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja. Meskipun bersifat represif, namun cara-cara tersebut selama ini terbukti relatif efektif. Para pelacur yang tinggal di panti rehabilitasi dipaksa untuk hidup normal dan hidup sehat. Mereka diajarkan bagaimana cara mencari nafkah di luar melacurkan diri, yakni dengan berbagai usaha wiraswasta atau belajar bekerja kepada orang lain dengan cara halal. Apalagi setelah keluar dari panti mereka dibekali modal kerja, pada umumnya dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri.
(b) Habis "masa produktifnya". Perempuan yang menjadi pelacur pada saatnya akan meninggalkan dunianya. Salah satu jalannya adalah jika pelacur tersebut kehabisan "masa produktifnya". Artinya, kondisi fisik dan psikisnya tidak memungkinkan lagi untuk tetap bertahan menjadi pelacur. Usia yang semakin tua, dengan kulit yang semakin keriput, disertai rambut yang beruban, serta gigi ompong, akan memaksa seorang perempuan menghentikan kegiatannya sebagai pelacur.
Aktivitas melacur dalam banyak kasus kemudian diikuti dengan langkah-langkah melakukan degradasi kelas pelacuran. Misalnya, perempuan pelacur yang tadinya menjadi primadona, suatu saat kemudian turun menjadi pelacur biasa. Pelacur biasa yang sebelumnya cukup menunggu di lokalisasi, lama kelamaan turun ke jalan secara agresif menyambut para lelaki hidung belang yang lewat di jalan-jalan. Sementara pelacur jalanan yang semakin tua, bisa jadi kemudian mengalami degradasi menjadi pelacur di pasar-pasar dengan melayani para pedagang atau masyarakat kecil di gubuk seadanya dengan tarif antara Rp 10.000,00 hingga Rp 25.000,00.
Habisnya "masa produktif" bagi pelacur dapat juga disebabkan oleh berbagai penyakit yang menggerogoti dirinya. Sebagai kelompok yang berisiko tinggi (risti) terhadap berbagai penyakit menular seksual, para pelacur sangat rentan mengidap berbagai penyakit berbahaya, bahkan tidak sedikit yang kemudian mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan. Dalam kondisi sakit seperti itu,pelacur dengan sendirinya kehabisan "masa produktifnya" sehingga berhenti melakukan perzinaan.
(c) Tersentuh hati dan sanubarinya. Peluang lain pelacur mengalami proses pencerahan, dari menjadi pelacur menjadi wanita baik-baik adalah jika merasa tersentuh hati sanubarinya. Berbagai upaya yang dapat menyentuh kalbu mereka, apalagi dilakukan secara humanis, merupakan terobosan terbaik untuk menyadarkan pelacur untuk kembali menjadi manusia yang beradab dan bermartabat. Dalam soal ini, Rasulullah Muhammad saw. telah mengantisipasi peluang itu dengan mengatakan bahwa wanita terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Jika dibiarkan ia akan tetap bengkok, namun jika diluruskan dengan cara paksa, tulang tersebut akan patah. Maka, melakukan proses penyadaran dengan cara menyentuh hati mereka adalah pilihan yang paling baik di antara pilihan lainnya.
Rupanya, kasus pelacuran di Cobogo cukup unik, tidak masuk dari tiga kemungkinan di atas. Sebab, pelacuran di wilayah Cipatat ini justru satu demi satu tutup bukan karena ditangkap, bukan karena kehabisan WTS, atau bukan pula karena sadar, melainkan ditinggalkan pelanggannya. Zaman sebelum jalan tol Cipularang dibangun merupakan masa keemasan Cibogo. Para awak truk dan trailer setiap saat mampir di warung remang-remang ini. Namun kini mereka tidak lagi melewati jalur ini, karena melewati jalan tol lebih mudah dan efektif.
Maman (35), sebutlah namanya demikian, seorang penunggu warung remang-remang (warem) di Cibogo pekan lalu menuturkan, jumlah warem remang-remang di Cibogo sekira 50. Yang masih beroperasi berjumlah 30-an. Setiap warung dihuni oleh seorang, dua orang, hingga lima orang WTS. Dengan demikian, jumlah WTS di Cibogo yang masih bertahan sekira 200 orang.
"Di sini para pemilik warung tidak ada yang mengoordinasikan. Semua berjalan sendiri-sendiri. Setiap orang juga boleh membuka usaha di sini, asalkan mampu membayar sewa warung tersebut. Harga sewa warung di sini Rp 600.000,00 perbulan. Kenyataannya, banyak pengusaha yang tidak tahan lama berusaha di sini, sebab makin hari makin sepi," kata Maman.
Ia menunjuk tiga tempat hiburan yang menjadi "induk" dari lokalisasi ini yang mulai tutup. Tinggal dua tempat yang masih beroperasi, itu pun terseok-seok dalam perjalanannya, karena para pelanggan meninggalkan tempat hiburan ini. Saat malam Sabtu atau Minggu, pengunjung yang datang dapat dihitung dengan jari tangan.
Cibogo kini dalam persimpangan jalan. Mau diteruskan untuk maksiat, toh semakin ditinggalkan pelanggan. Bukan keuntungan materi yang didapat, melainkan rugi dan terus merugi. Kalau begitu, mengapa tidak sekalian ditinggalkan saja dunia esek-esek itu dan pindah kepada dunia yang lebih cerah, lebih bermartabat, dan sekaligus mendatangkan rezeki?***