SETELAH
berkeliling menelisik warung-warung di Kampung Cibogo, Cipatat, Kabupaten
Bandung, dari mulai rumah makan khas Sunda hingga sepanjang lima ratus meter ke
arah Cianjur beberapa kali, saya akhirnya singgah di sebuah warung yang tidak
terlalu ramai. Warung yang satu ini hanya dihuni dua orang penjaga laki-laki
dan seorang perempuan. Sebutlah namanya Pualam. Cewek yang kira-kira berusia 26
tahun tapi mengaku berumur 21 tahun ini seperti merajuk.
Saya kemudian duduk di atas salah satu kursi dari lima kursi
yang tersedia yang sudah mulai sobek dan bolong-bolong. Untuk meyakinkan bahwa
saya tidak akan pergi lagi, Pualam menawarkan minuman. Saya langsung
menyebutkan teh dingin dalam botol. Ia kelihatan tidak puas dengan jawaban
saya. "Nggak minum bir?" katanya.
"Saya tak suka mabuk, juga tak merokok," kata
saya.
"Tapi suka cewek?" sergah Pualam.
"Ya, itu saja," jawab saya.
Sembari mengambilkan minuman untuk saya, Pualam meminta
satu botol bir berwarna hitam. Saya mengiyakannya. Kemudian ia membuka dua
botol di depan saya. Saya meminum jatah saya langsung dari botol, sedangkan
Pualam menuangkan minumannya dalam gelas besar. Sebelum meminumnya, ia kembali
meminta saya membelikan untuknya sebuah minuman energi. Setelah saya
mengiyakan, Pualam menuangkannya dalam gelas yang nyaris penuh. Setelah minuman
dicampurkannya, Pualam pun menyeruputnya dengan rasa nikmat.
Meski kelihatan puas dengan minuman oplosannya, Pualam kelihatan
masih kurang sesuatu. "Bagaimana kalau sekalian saya dibelikan
rokok?" katanya. Saya pun mengangguk. Kemudian ia buru-buru datang ke
counter rokok mengambil sebungkus rokok filter yang isinya 20 batang.
Pualam memang akhirnya menawarkan saya untuk melakukan
hubungan seks. Tarifnya Rp 150.000,00 untuk short
time, dan Rp 500.000,00 untuk long
time, ditambah uang cabutan (untuk mucikari) Rp 50.000,00. Saya menyanggupi
membayarnya Rp 150.000,00 untuk sekadar berfoto-foto di kamar-kamar yang biasa
dia gunakan untuk melayani para tamunya.
Sembari mengajak Pualam bercerita tentang perjalanan
hidupnya, saya mencoba memotretnya dalam beberapa pose. Tapi baru mendapatkan
dua kali jepretan, tiba-tiba lampu di kamar kami padam. Pualam pun berteriak,
"Aa...! Ada apa, kok lampunya dimatikan?"
Penjaga warung yang dari tadi tengah minum bir sembari
setengah berbisik berteriak, "Ada razia...!"
Mendengar kabar adanya penertiban, Pualam segera bergegas.
Matanya melihat ke segala arah, kemudian tertuju ke tas miliknya dan
menyambarnya. Penjaga warung yang memadamkan lampu kamar tersebut menyarankan
kami untuk meneruskan kencan di rumah kontrakannya di belakang warung tersebut.
Tanpa banyak bicara, Pualam pun menarik tangan saya ke rumah kontrakan yang
disebutkan penjaga warung.
Kami menyelinap dari pintu samping, kemudian menuruni jalan
yang begitu terjal dan gelap. Pualam sudah begitu hafal jalan ke arah jurang
ini, sehingga meskipun jalannya terjal dan berbatu ia dapat melewatinya dengan
sigap. Sebaliknya, saya yang baru malam itu melewati lereng ini gelagapan.
Bahkan sesekali kaki terpeleset sehingga nyaris terjatuh. Sebetulnya saya tidak
perlu tergesa-gesa seperti Pualam yang lari dari tempat praktiknya, tapi saya
harus solider kepadanya dan sekaligus "menikmati" dramatisnya dikejar
aparat.
Kami berjalan dengan bergegas sekira 100 meter dari warung
yang letaknya jauh di bawah dari warung remang-remang itu. Kami masuk ke dalam
rumah petak yang menurut Pualam rumah kos milik penjaga warung. Setelah
meletakkan tas miliknya, Pualam kemudian pergi ke kamar mandi yang letaknya di
luar. Ia sengaja membersihkan semua make up yang menempel di wajahnya. Ia
khawatir aparat yang tengah melakukan razia mendatangi tempat kosnya. Dengan
keadaan wajah yang polos ia dapat berkilah bahwa dirinya bukanlah WTS.
Meskipun semua make up
sudah dibersihkan dan kemudian mengganti pakaian rumahan, Pualam masih
kelihatan panik. Ia kembali mengecek dompetnya, KTP-nya ternyata aman. Kemudian
ia mengambil dokumen berwarna merah. Ternyata itu adalah kartu keluarga (KK).
Ia mengaku, namanya sudah tercantum dalam daftar sebagai anggota keluarga
pemilik warung. Melihat beberapa dokumen yang dimaksudkan sudah lengkap, Pualam
kelihatan tenteram.
Meski Pualam sudah mulai tenang, justru kegaduhan terjadi di
luar. Kali ini teman Pualam bernama Viruz justru tengah mengalami kepanikan. Ia
melihat tiga buah mobil aparat melintas di depan warungnya yang biasa ia
gunakan untuk mangkal. Saya menyarankan agar Pualam mengajak Viruz untuk
bergabung di kamar kami. Tapi sebelum bergabung, Virus pun pergi ke kamar mandi
terlebih dahulu. Ia membersihkan semua make
up yang menempel di wajahnya sebagaimana dilakukan Pualam.
Begitu kumpul bertiga di kamar kos itu, Pualam kemudian
melontarkan ide untuk bermain kartu. Ia menyebutnya dengan istilah bermain
"merahan". Mereka terbiasa tidur sekira pukul 3.00 atau 4.00 dini
hari, padahal malam itu baru menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kembali ke warung
bagi mereka tidak mungkin, Pualam dan Viruz tidak mau mengambil risiko
ditangkap aparat, sementara untuk tidur sore belum bisa, karena kantuk belum
kunjung datang. Bermain kartu adalah alternatif untuk membunuh waktu,
sebagaimana mereka selalu lakukan saat-saat menanti para pelanggan.
Saya sebetulnya siap ikut bermain kartu, namun saya tidak
paham sistem "merahan" yang mereka mainkan. Apalagi, Pualam
menyarankan agar saya tidak perlu ikut bermain kartu, karena cukup dilakukan
dua orang. Saya hanya diminta menjadi donatur, siapa pun yang kalah untuk
membayarinya. Sebelum mereka bermain, uang receh yang ada di kantung saya
dimintanya, sebagai modal. Dua perempuan ini pun kemudian tenggelam dalam
permainan kartu. Sesekali Pualam mengocok kartu, namun kadang-kadang Viruz yang
mengocoknya.
Selama kedua perempuan ini bermain kartu sambil berjudi,
saya kembali mengajak mereka mengobrol. Pualam tidak banyak menjawab pertanyaan
saya, ia lebih memilih tenggelam dalam kartu yang tengah dipegangnya. Justru
Viruz yang lebih mudah untuk bercerita. Meskipun usianya sekarang sudah 35
tahun, ia masih beroperasi sebabagi pelacur. Ia memulai menjadi WTS di Cibogo
setelah diceraikan suaminya. Wanita yang mengaku berasal dari Garut ini baru
terjun ke dunia esek-esek setelah usianya 30 tahun.
Sejak tidak memiliki suami dan harus menghidupi seorang
anaknya, ia memang ingin bekerja. Namun, meskipun sudah melamar ke sejumlah
pabrik, ia tidak kunjung diterima sebagai karyawan. Makanya saat ada seorang
menawarinya untuk menjadi penunggu warung, ia menyanggupinya. Pada mulanya ia
tidak menyangka bahwa menunggu warung sekaligus menjual dirinya untuk berbuat
mesum. Itulah sebabnya setelah beberapa bulan di Cibogo ia kembali ke Garut.
Namun karena terus didera kemiskianan, Viruz kembali ke Cibogo. Kali ini ia
datang sendiri dengan kemauan sendiri, sehingga dijalaninya selama dua tahun.
Pualam maupun Virus saat ditanya kapan akan berhenti menjadi
WTS, tidak tahu harus menjawabnya. "Nggak tahu, kapan. Terserah. Apa yang
akan terjadi terjadilah," kata Viruz. Pualam pun mengamininya. Kami
mengobrol hingga pukul 1.00 dini hari. Penjaga warung tiba-tiba datang, dan
menyodorkan bon minuman yang diminum Pualam dan dirinya sendiri ratusan ribu
rupiah. Saya pun membayarnya sekalian pamitan.
Setelah menaiki tebing yang begitu terjal, saya pun sampai
di depan warung remang-remang itu kembali. Sebagian besar warem tersebut sudah
tutup. Rupanya beberapa mobil aparat yang lewat hanya mampir di dua warung
tidak bermaksud melakukan razia. Tapi para WTS telanjur lari tunggang langgang.
(Wakhudin/"PR")***