Sabtu, 25 Maret 2017

Seni Budaya Cilacap, dari Mistis Hingga Menghibur



FESTIVAL Budaya Cilacap, Sabtu (25/3/2017) malam, menggambarkan kekayaan seni di daerah Jawa Tengah bagian Barat Daya itu. Festival yang diikuti 24 kecamatan itu menggambarkan seni dan tradisi yang akarnya hidup di masyarakat. Meskipun dikemas dengan aneka budaya modern dan pop, tetap saja, budaya lokal masih kentara, bahkan mendominasi festival yang digelar dalam rangka HUT ke-161 Kabupaten Cilacap tersebut. 

Akar lokal sekaligus menjadi daya tarik yang luar biasa. Itulah sebabnya, seratusa ribu masyarakat Cilacap tumpah ruah di jalanan menyaksikan fesitaval yang digelar dari halaman Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga di depan Hotel Wijaya Kusuma hingga ke Alun-alun Cilacap. Di depan panggung kehormatan, peserta fesitval menampilkan karya masing-masing di depan Bupati Cilacap Toto Pamuji bersama aparatur Pemkab Cilacap.
Selain menampilkan budaya dan seni tradisi, Cilacap juga memamerkan aneka produk batik khas lokal. Tak kurang dari lima produsen batik memeragakan hasil kreasinya pada parade malam Minggu di long weekend tersebut. Kalau mau jujur, penampilan para peagawan dan peragawati yang mengenakan batik tak kalah dengan festival desain nasional, bahkan festival di Pars sekalipun. Minimnya publikasi menyebabkan karya mereka tak semeriah pameran busana internasional.
Sebanyak 24 kecamatan di Kabupaten Cilacap tidak ada yang tak hadir menampilkan seni tradisi mereka. Di samping itu, seluruh sekolah juga menampilkan kesenian yang hidup di lembaga pendidikan di lingkungan Kabupaten Cilacap, dari Sekolah Dasar, SMP, SMA, dan SMK. Semua sekolah menampilkan seni tradisi yang mencerminkan kesenian yang hidup di lingkungan sekolah masing-masing.
Sementara kecamatan yang tampil menggambarkan kekayaan kesenian Kabupaten Cilacap dalam keragaman seni dan budaya. Mereka mengemas seni tradisi dengan kehidupan modern yang terus mengalami perubahan. Sebagian dari mereka menggambarkan bagaimana masyarakat Cilacap berupaya mempertahankan kehidupan tenteram mereka dengan tekun menjalankan agama.
Maka, seperti digambarkan utusan dari Kampunglaut, mereka melantunkan shalawat Nabi sepanjang mengikuti parade. Religiusitas merupakan kehidupan asli masyarakat Cilacap, termasuk mereka yang tinggal di pesisir Pantai Selatan. Kampung Laut bagi masyarakat Cilacap cukup unik karena berasal dari tanam timbul akibat sedimentasi lumpur laut yang kemudian menjadi daratan. Tanah yang baru muncul tersebut kemudian dihuni kaum nelayan. Meskipun sepanjang hari mencari nafkah di laut, namun mereka tetap menjalankan kehidupan keagamaan.
Dari sekian banyak peserta parade, kesenian ebeg dan lengger cukup mendominasi tampilan peserta. Mereka menyanyi dan menari sembari naik kuda kepang sejauh sekitar satu kilometer. Lazimnya, ebeg memperlihatkan adegan trans, di mana pemainnya mengalami kesurupan atau mendem. Karena tampil hanya tiga menit, mereka tak sempat menampilkan adegan yang biasanya memacu adrenaline tersebut.
Mesti demikian, Kecamatan Binangun yang memenangi festival tersebut berhasil menampilkan performa terbaiknya berjudul Olah Keprajuritan. Mereka berhasil mengolah seni ebeg dan lengger menjadi paduan serasi. Hanya dalam waktu singkat, mereka pun mampu menampilkan adegan mendem khas ebeg itu. Kali ini, mereka bukan mendem karena ebeg, tapi mabok karena narkoba.
Maka, mereka menggambarkan bagaimana masyarakat Binangun dengan sigap dan selalu siap membentengi diri dari bahaya minuman keras, narkoba, dan terorisme yang selalu mengancam masyarakat. Yang pasti, semua penampilan secara umum sangat menarik dan menghibur. Bahkan, sejumlah daerah yang berbatasan dengan Jawa Barat yang berbahasa Sunda pun berhasil memukau penonton. (Wakhudin)