Rabu, 27 Februari 2013

Partai Religius Belum Mati



Oleh WAKHUDIN
(Wartawan senior. Doktor Bidang Pendidikan Moral Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung)
N
ASIB partai politik religius dikhawatirkan runtuh, menyusul ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Padahal, PKS oleh para pengusungnya digadang menjadi benteng terakhir partai Islam yang konsisten memberikan warna agama, menyusul partai religius lain yang secara perlahan berubah menjadi partai nasionalis. Pemilu Gubernur Jawa Barat membuktikan bahwa partai religius belumlah mati, terbukti pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar yang diusung PKS masih unggul dalam beberapa penghitungan cepat (quick count), Minggu (24/2/2013).
Secara teoretis, warna politik Indonesia terdiri atas partai politik nasionalis dan religius. Kekuatannya, 60% berbanding 40%. Partai politik yang dapat dikategorikan sebagai partai nasionalis adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra, dan Partai Nasdem. Sedangkan partai berbasis agama dan kelompok agama terdiri atas Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. PKS disebut partai religius karena sejak berdiri sudah mengusung warna agama; PAN secara kultur mewadahi kelompok Islam Muhammadiyah; PKB mewadahi umat Islam dari kalangan NU; Sedangkan PPP sejak lahir mewadahi suara umat Islam saat partai politik Islam “dipaksa” melakukan fusi.
Pada kenyataannya, perbedaan antara partai nasionalis dan partai religius tidak bisa ditarik garis lurus. Sebab, kenyataannya, banyak tokoh partai nasionalis bersikap religius, bahkan lebih saleh perilakunya dari partai pengusung agama. Sebaliknya, tokoh partai politik Islam juga memiliki nasionalisme yang kuat. Justru religiusitas yang diusungnya bermakud menjunjung tinggi nasionalisme. Di samping itu, para pemilih sering berpindah pilihan dari partai religius ke partai nasionalis atau sebaliknya. Pindah pilihan ini bergantung pada popularitas tokoh yang dipilih dalam partai politik tersebut.
Berbagai jajak pendapat yang menyebutkan bahwa suara PKS akan mengalami penurunan drastis pasca ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq terbantahkan dalam Pilkada Jabar ini. Fenomena ini sekaligus memberikan sinyal bahwa partai politik Islam masih mendapatkan kepercayaan rakyat. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa Jabar berbeda dengan DKI Jakarta, di mana PKS yang mengusung mantan Presiden PKS Hidayat Nurwahid kalah telak dalam rivalitas Pilgub DKI Jakarta melawan Jokowi dan Foke.
Meskipun partai Islam belum segera mati, bukan berarti para pendukungnya bisa berlenggangkangkung. Sebab, pemilih pada umumnya lebih suka sebagai swing voter, setiap saat berubah sesuai dengan angin politik yang berembus. Pemilih fanatisk religius bisa dengan rela memilih pemimpin dari kalangan nasionalis manakala pemimpin tersebut dinilai bersikap agamis. Tapi sebaliknya, pemilih nasionalis tidak pernah memberikan suara kepada tokoh agamis. Itulah sebabnya, jika partai politik religius kehilangan kepercayaan dari konstituennya, suara religius dapat dengan mudah berpaling ke tokoh n asionalis.
Kasus Aher-Demis
Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar tidak dapat dilepaskan dari suara pemilih religius. Suara untuk Amad Heryawan dapat dipastikan hanya masuk dari suara PKS murni yang berkisar belasan persen. Partai lain sangat sulit mengalihkan suara kepada Aher. Selebihnya adalah suara untuk Dedy Mizwar. Ketenaran Demiz tidak bisa dilepaskan dari citranya sebagai artis yang religius. Karena, berbagai sinetron gubahannya selalu berwarna religius dan dapat diterima dengan baik. Seandainya Aher salah pilih pasangan, maka suara murni PKS sulit mendongkrak suaranya menuju kemenangan.
Meskipun sebagian besar calon gubernur Jabar dipenuhi artis, namun “warna” artis tersebut sangat memengaruhi raihan suara. Artis Rieke Diah Pithaloka sangat mewakili suara nasionalis. Pasangan Rieke-Teten berasal dari suara murni pemilih nasionalis, ditambah sedikit popularitas Rieke sebagai artis. Teten Masduki meskipun track record-nya sangat bagus tidak memiliki daya tambah suara, selain hanya menguatkan kepada kaum nasionalis memilih mereka. Itulah sebabnya, suara mereka tak mampu mengungguli pasangan Aher-Demiz.
Klaim Dede Yusuf bahwa kemenangan Aher dalam Pilgub I Jabar adalah suaranya telah dibuktikan dalam Pilgub II. Suara Dede Yusuf-Lex Laksamana adalah suara mereka murni. Meskipun pasangan ini didukung Partai Demokrat dan PAN, bukan berarti suara partai ini masuk ke mereka. Para pemilih pasangan Dede-Lex merupakan produk profesionalisme keduanya dalam politik, tanpa disertai fanatisme pemilih, baik dari kaum religius maupun nasionalis. Nilai lebih Dede Yusuf disbanding pasangan yang kalah lain adalah keartisannya.
Kekalahan pasangan Yance-Tatang sama dengan kekalahan Dede-Lex, karena tidak didukung pemilih fanatic dari kaum religius dan nasionalis. Di samping tak didukung pemilih fanatik, mereka tidak “dibedaki” dengan artis. Kekuatan Yance berada di kewilayahan, terutama Pantura yang belakangan semakin gerah dengan sistem pembangunan Jabar yang memarginalkan mereka.
Sedangkan minimnya suara Dikdik-Thoyib bisa dianalisis dari mesin politik yang tidak dimiliki keduanya, yakni partai politik. Di samping itu, popularitas mereka juga masih sangat minim. Meski demikian, setidaknya, munculnya figur mereka dapat menjadi “investasi” menjadi tokoh di Jawa Barat. Yang pasti, kalau dua tokoh terakhir dapat memperlihatkan religiusitasnya, tidak mustahil dapat terpilih pada Pemilu Gubernur 2019.

Tidak ada komentar: