Kamis, 28 Februari 2008
Terorisme di Amarta
DALANG mana pun, wayang golek atau wayang kulit, menceritakan bahwa Amarta adalah negerinya orang baik-baik. Rajanya, Puntadewa alias Yudistira bersama rakyatnya terkenal saleh dan religius. Tapi sejak kehilangan Jamus Kalimasada, sebuah jimat yang dapat dikatakan roh dan eksistensi negeri itu, Amarta terlihat suram. Matahari seakan-akan ragu-ragu muncul dari ufuk timur. Menjelang siang, terik pun tidak, tapi tidak juga dingin, hanya terasa nggereges sampai ke sumsum tulang. Para birokrat maupun rakyat seakan gamang menghadapi situasi baru, kultur baru, sementara kepribadian lamanya pelan-pelan ditinggalkan.Maka lihatlah apa yang terjadi di pusat ibu kota Amarta itu. Kafe, diskotek, bar, dan pusat hiburan lainnya dibangun dengan investasi besar. Anehnya, tempat-tempat hiburan dibuka dengan doa bersama yang diawali dengan pengajian yang menampilkan ustaz yang terkenal di Amarta itu. Tapi lazimnya tempat hiburan malam, begitu ustaz selesai membuka secara resmi, tempat hiburan itu pun langsung dioperasikan. Makanan dan minuman mewah tersaji dengan apik. Minuman keras produk manca maupun lokal dihidangkan sepanjang malam.Sementara di Jln. Madukara dibangun masjid bersama sarana penunjang lainnya, termasuk tempat parkir mewah. Pondok pesantren dan tempat belajar agama juga tampak mengelilingi masjid. Masyarakat dengan kultur lama pun masih ada. Bahkan, mereka antusias mempelajari agama tanpa menolak kultur baru yang selama berabad-abad sebelumnya ditentang para pendiri bangsa Amarta. Pada saat Ramadan, muda-mudi yang belum menikah dengan antusias bergandengan tangan menuju ke masjid. Masyarakatnya yang baong pun mulai "insyaf", mereka kembali melaksanakan salat isya sebelum berzina dengan pelacur, supaya mandi keramasnya cukup dilakukan sebelum salat subuh.Amarta belakangan ini memang terus mengalami perubahan menuju modernisme tanpa ingin meninggalkan kepribadiannya yang lama. Di satu sisi, bangsa Amarta telah mewariskan nilai-nilai luhur bangsa baik yang bersumber dari tradisi maupun religi. Namun di sisi lain, gempuran dari budaya asing masih lebih dahsyat mendompleng kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itulah sebabnya masyarakat Amarta mengalami kepribadian yang pecah (split personality). Satu sisi, mereka ingin mewarisi nilai-nilai luhur bangsa, sementara di sisi yang lain mereka telah menganut nilai baru tanpa disertai sikap selektif.Memang, kehidupan religius makin familier di kalangan masyarakat Amarta, namun di sisi lain kehidupan jahiliah masih melekat dan menjadi kebiasaan hidup. Itulah sebabnya, mereka kemudian mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Mereka seolah telah mendamaikan antara setan dan malaikat. Dua makhluk ciptaan Tuhan ini seakan sudah menandatangani perjanjian damai (MoU) untuk tidak saling bermusuhan, sehingga antara surga dan neraka tidak ada batasnya.Secara ekonomi, Amarta terus mengalami kemerosotan. Namun situasi ekonomi yang chaos tersebut justru sangat menarik hati investor asing. Maka, investasi dari manca, baik dari Astina Raya bersama sekutu-sekutunya maupun dari Alengka Serikat bersama kroni bisnisnya terus mengincar berbagai komoditas yang memungkinkan mereka beli dari Amarta. Perusahaan milik kerajaan maupun milik para kesatria dibeli para investor asing dengan harga sangat murah. Maklum kurs mata uang dan indeks saham negeri itu terus merosot sampai ke titik nadir. Berbagai perusahaan tambang di Amarta sudah lama menjadi milik Dasamuka Group dari Alengka, dan PT Duryudana Perkasa dari Astina. Penguasaan aneka tambang di Amarta tak lebih sebagai kompensasi dukungan para petinggi di Alengka dan Astina terhadap kepemimpinan raja dan para petinggi di Amarta. Apalagi saat ini Amarta menganut demokrasi modern, sehingga setiap kali diselenggarakan pemilu langsung, para kandidat tersebut membutuhkan dana segar dalam jumlah yang besar. Pada saat itulah para calon investor tampil sebagai pahlawan dengan menyediakan seluruh fasilitas yang diperlukan oleh kandidat pejabat tersebut. Kompensasinya, setelah duduk sebagai raja, adipadi, tumenggung atau wakil rakyat, mereka kemudian memberikan perizinan kepada investor untuk mengeksploitasi kekayaan alam Amarta. Toh pekerjaan pejabat itu tidak sulit, sekadar memberikan secarik kertas izin. Para investor mengambil dan mengekploitasi sendiri kekayaan alam di perut bumi Amarta, tanpa bantuan apa pun dari pihak kerajaan Amarta. Sejak Jamus Kalimasada hilang, Raja Yudistira alias Puntadewa pun tak jelas keberadaannya. Demikian pula para pangeran, Bima, Arjuna, maupun si kembar Nakula dan Sadewa. Kekuasaan mereka telah digantikan oleh badut-badut yang merupakan penjelmaan dari para abdi dalem. Maklum, karena yang menjadi raja adalah para pelawak, lawak menjadi komoditas yang paling mahal di Amarta saat ini. Para pelawak amatiran pun akhirnya menjadi orang-orang yang kaya raya setara dengan konglomerat.Jangankan acara hiburan dangdut, atau huburan lainnya yang memang selalu menampilkan acara dagelan sebagai selingan. Seluruh kegiatan kemasyarakatan, acara di televisi, radio, surat kabar, semua menggunakan jasa pelawak. Masak dibantu para pelawak; makan pagi ditemani pelawak; berbuka puasa bahkan makan sahur pun ditemani pelawak. Semua kegiatan baru dianggap afdol jika dilakukan bersama pelawak. Maka para dai pun belajar jadi pelawak, sementara para pelawak pun tampil lebih dai daripada para dai itu sendiri.Meski raja dan para pangeran tidak jelas keberadaannya, rakyat tidak terlalu merasa kehilangan. Hanya secara ekonomis, kehidupan mereka sangat merosot. Ruang lingkup mata pencaharian mereka semakin menyempit, PHK besar-besaran sejak krisis sepuluh tahun terakhir ini semakin menyesakkan dada mereka. Makanya, mereka tidak peduli lagi siapa pun yang menjadi pemimpinnya, yang penting mereka bisa hidup, makan, mampu menyekolahkan anak, syukur bisa bersenang-senang.Hilangnya raja dan pangeran memang misterius. Namun saat terjadi peristiwa pengeboman di jantung kota Alengka Serikat sehingga terjadi kebakaran besar, jaringan Pandawa dituduh sebagai pelaku utama pengeboman itu. Apalagi setelah Anoman diidentifikasi sebagai pelaku utama pengeboman sehingga menimbulkan kebakaran besar pada gedung-gedung pemerintahan di Alengka. Kepolisian setempat pun berkesimpulan bahwa Anoman adalah pecahan teroris dari Pandawa karena Anoman seperguruan dengan Bima.Seringnya terjadi pengeboman menjadikan para kesatria ini menjadi tertuduh sehingga stigma teroris melekat kepada diri mereka. Terakhir, terjadilah peledakan besar di Hotel Sigala-gala di pusat kota Astina Raya. Puluhan orang tewas, dan ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Sangkuni yang menjadi kepala kepolisian negeri itu langsung angkat bicara dan menyatakan bahwa pelaku pengeboman dilakukan dengan bunuh diri. Pelakunya kini adalah para Pandawa. Ratusan mayat yang menjadi korban jiwa, lima orang di antaranya diidentifikasi sebagai Pandawa. Sidik jari lima mayat tersebut segera diambil, dan penguasa di Astina itu memutuskan untuk tidak perlu melakukan tes DNA atas mayat-mayat tersebut. Yang jelas, empat orang mayat bertubuh sedang dan kecil, sementara satu mayat bertubuh besar. Itulah Bima, sedangkan empat lainnya adalah Yudistira, Arjuna, dan Sadewa serta Nakula. Rakyat cukup puas dengan penjelasan Sangkuni yang siarannya terus diulang-ulang di Astina TV dan jaringannya serta surat-surat kabar setempat.Para dalang biasanya mengakhiri kisah pengeboman Balai Sigala-gala dengan terbongkarnya kasus yang sebenarnya, di mana sesungguhnya yang tewas dalam hajatan di ruang pertemuan itu bukanlah Pandawa, tapi orang-orang yang dikorbankan oleh Sangkuni dan orang-orang Korawa. Sementara Yudistira dengan adik-adiknya justru diselamatkan oleh binatang landak, dengan masuk ke dalam bunker. Skandal itu juga terbongkar, karena bahwa pengeboman di Hotel Sigala-gala adalah rekayasa Sangkuni yang sengaja membunuh Pandawa untuk menguasai Astina sekaligus Amarta.Sementara dalam kisah hilangnya Jamus Kalimasada, para Pandawa kembali muncul, namun mereka dikalahkan oleh raja badut, Welgeduwelbeh Tongtongsot alias Petruk. Namun berkat bantuan Seman, ayah para badut itu, raja-raja gadungan itu dikalahkan. Apalagi setelah Pandawa kembali menemukan Jamus Kalimasada yang merupakan lambang tauhid dan lambang kepribadian, sehingga Amarta kembali tenteram. Namun kisah di rubrik ini dengan sengaja tidak sampai kepada happy ending seperti itu. Sebab, pada saat laporan ini disusun, peristiwa pengeboman tersebut baru saja terjadi, dan para rajanya masih para pelawak itu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar