Senin, 25 Februari 2008
Kalla
DALAM mitos pewayangan, "Kalla" berkonotasi buruk, yakni Batara Kalla. Ia anak Batara Guru dari istrinya Batari Durga yang berwajah raksasa jahat. Pekerjaannya adalah memakan manusia yang lahir dengan keadaan tertentu namun belum diruwat. Itulah sebabnya, tradisi ruwat di berbagai daerah masih ada, meskipun skalanya semakin menyempit. Wakil Presiden RI bernama Jusuf Kalla. Tentu, nama "Kalla" di belakangnya bukan bermakna "Kalla" dalam mitos pewayangan di Jawa. Kalla justru diambilkan dari nama ayahnya, seorang pengusaha terhormat dan kaya raya di Sulawesi Selatan. Jauh sebelum menjadi wakil presiden, nama Kalla sudah terkenal sebagai pengusaha nasional. Di kalangan wartawan ibu kota, nama "Kalla" juga sangat beken. Bahkan saking terkenalnya, nama Kalla kemudian menjadi "mata uang" di kalangan para jurnalis untuk menunjuk angka Rp 50.000,00, namun dengan cara mempelesetkannya menjadi "kalai". Untuk mengatakan Rp 100.000,00 misalnya, wartawan yang biasa meliput di bidang ekonomi akan menyebutnya dengan, "dua kalai".Posisi sebagai wakil presiden menambah dia semakin termasyhur. Tidak perlu banyak bekerja, sebagai wapres itu saja, akan mengantar seseorang semakin terkenal. Apalagi, Jusuf Kalla bukanlah wapres seperti pada masa-masa Orde Baru yang sekadar bersifat seremonial, sebab semua keputusan strategis diambil oleh presiden. Posisi wapres yang kuat tersebut pula yang membuat kalang -kabut Mendiknas Bambang Sudibyo dan dunia pendidikan di tanah air. Pernyataan Kalla yang tidak bermaksud menyelenggarakan ujian negara (UN) ulang bagi siswa yang tidak lulus telah menimbulkan pro dan kontra yang semakin panas. Kalla mempunyai alasan kuat mengapa kelulusan siswa harus didasarkan pada UN, yakni bangsa Indonesia harus semakin maju mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Itulah sebabnya, pelajar di Indonesia harus memiliki standar kemampuan secara nasional, yaitu UN. Sayang, cita-cita Kalla memajukan pendidikan masih terbentur realitas, masih banyaknya siswa yang tidak lulus UN. Anehnya, yang tidak lulus justru mereka yang di kelasnya dikenal berprestasi. Lebih tragis lagi, penyelenggaraan UN disinyalir tidak bersih, karena banyak daerah yang membentuk "tim sukses" agar para siswa memperoleh angka UN yang bagus. Sejumlah pihak yang tidak puas dengan UN kini terus menuntut Kalla untuk "meruwat" mereka dengan cara UN ulang atau meniadakan sama sekali UN. Kini semua menunggu keputusan Kalla. (Wakhudin/"PR")***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar