Jumat, 20 Maret 2009

”Jejaden”


MENGINGINKAN "A" tapi jadinya "B", itulah jejaden. Lagu "Cucakrawa" melukiskan jejaden itu, "Kucoba-coba melamar gadis. Gadis yang kulamar, tapi janda yang kudapat." Sebagian orang menginginkan keadaan lingkungannya bersih. Maka, ia memasang plakat, "Buanglah sampah pada tempatnya." Ternyata yang didapat adalah, "Buanglah tempat sampah padanya." Kebohongan yang sering dipercaya masyarakat, misalnya, seseorang yang menginginkan kaya, kemudian pergi ke dukun tertentu. Tetapi, bukannya menjadi kaya, malah menjadi bagong jejaden.
Jejaden bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Bukan hanya di wilayah kumuh dan urban, tapi juga terjadi di dunia maju yang scientific. Penemuan ilmiah kerap pula merupakan jejaden, tentu saja prosesnya melalui kerja ilmiah juga. Amerika Serikat sesungguhnya merupakan jejaden. Sebab, Columbus yang menemukannya bermula sekadar mencari rempah. Australia yang semakin sempurna menjadi Barat juga hanya jejaden. Bermula dari tempat pembuangan orang jahat, akhirnya menjadi benua yang raya. Singapura yang kini berkelas dunia juga jejaden. Dari semula tempat kubangan ternak, kini kekayaannya melebihi Indonesia yang sedemikian luas dan besar.
Hidup memang tidak selalu linear, tapi senantiasa berliku. Maksud hati ingin santun, supaya terkesan ramah. Tapi bisa jadi dituduh cengengesan atau malah dikira menghina dan menertawakan orang lain. Bagaimanapun, hidup ini harus jadi, jadi apa pun. Menjadi apa pun, bisa dimulai dari mimpi. Tentu hanya dengan kerja keras, mimpi jadi kenyataan. Dream may comes true.
Orang boleh mengharapkan menjadi apa pun, bahwa kemudian menjadi yang lain adalah sah. Tetapi, harus ada rumus dalam jejaden itu. Kita tak boleh menjadi sesuatu yang lebih rendah dan lebih tidak bernilai dari sebelumnya. Sebelumnya adalah manusia, namun kalau kemudian salah jejaden menjadi babi hutan, itu adalah kehancuran. 
Indonesia semula negara yang kaya raya, gemah ripah loh nijawi. Apa pun yang ditanam tumbuh. Tongkat dan kayu pun bisa menjadi tanaman. Akan tetapi, kenapa eh kenapa, kini rakyatnya banyak menjadi pengangguran? Kalaupun bekerja ke luar negeri, sekadar menjadi pembantu rumah tangga? Pemerintah pun sibuk mencari utangan untuk membayar utang sebelumnya yang jatuh tempo? Kita negara yang betul-betul jadi-jadian dan hancur-hancuran. Agar menjadi negara dan bangsa yang mempunyai nilai lebih, harus menggunakan rumus berkah. Hitungan matematika menunjukkan, 2+2=4. Kalau berkah, 2+2 mudah-mudahan lima, bahkan mudah-mudahan 10, 15, 20, dan seterusnya.
Namun, mengapa jejaden yang dialami bangsa Indonesia senantiasa merosot dan defisit, dari negara yang kaya menjadi semakin fakir? Jangan-jangan kita selama ini tidak bersyukur. Sebab, sebagaimana firman Allah, hanya dengan bersyukur kita dilipatgandakan kekayaan dan kenikmatannya. Sebaliknya, karena mengingkari kenikmatan, kita justru semakin terperosok ke jurang krisis. Apakah bangsa Barat lebih bersyukur dari kita? Bisa jadi, begitu, makanya kita melulu menjadi subkultur mereka. Mengapa kita tidak menjadi jejaden diri kita sendiri? (Wakhudin/"PR")***

Sontoloyo


BINTANG lama yang kembali bersinar. Itulah Sontoloyo. Kosa kata itu kembali populer ketika Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Samsir Siregar menyebut para menteri yang berasal dari partai politik pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai Sontoloyo. Sebab, mereka dinilai tidak mampu mengendalikan DPR dalam melakukan hak angket.
Dalam khazanah perwayangan Jawa, tokoh Sontoloyo kini jarang dimainkan. Pertunjukan wayang klasik sekitar tahun 1970, Sontoloyo sering ditayangkan. Fungsinya sama persis dengan Togog, punakawan yang selalu menjadi pendamping raja jahat. Togog biasanya berdampingan dengan Sarawita, sedangkan Sontoloyo berdampingan dengan Jahewono. Tokoh Togog dan Sontoloyo hanya sebagai variasi permainan wayang.
Secara silsilah, Togog masih satu kelahiran dengan Sang Hyang Batara Guru dan Sang Hyang Ismaya (Semar). Mereka lahir dari telur yang sama. Kuning telurnya menjadi Batara Guru yang menjadi raja di Kahyangan, putih telurnya menjadi Semar yang selalu mengabdi kepada raja adil dan ksatria, sedangkan cangkang telurnya menjadi Togog (Sang Hyang Tejamantri) yang selalu mengabdi kepada kejahatan. 
Sedangkan Sontoloyo lahir dari titah marcapada atau rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, Sontoloyo kerap pula disebut dengan kere munggah balai atau seorang yang hina dina tetapi kemudian mendapat kesempatan menduduki posisi penting. Karena berasal dari orang susah, saat berada di lingkungan kekuasaan pun sikapnya tetap sama. Ribet, rese, kasak-kusuk, tidak fair, dan sikap-sikap buruk lainnya.
Apakah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang berasal dari partai politik pendukung SBY-JK seperti Sontoloyo? Tentu, itu terserah kepada penilaian Kepala BIN. Yang pasti, kekuasaan SBY-JK tinggal sekitar 14 bulan. Dalam kurun waktu setahun lebih itu, adalah wajar bagi para pemimpin partai menyiapkan kembali semua potensi yang dimiliki untuk memperebutkan kekuasaan periode berikutnya.
Persiapan dilakukan dengan merapikan manajemen dan kepemimpinan ke dalam, seperti membangun kembali komitmen pengurus partai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Sementara itu, ekspansi keluar dilakukan dengan melakukan penggalangan massa kader partai terutama di kalangan grass root. 
Demi meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya, pemimpin partai sering melakukan manuver dan akrobat politik. Yang penting namanya dikenal masyarakat. Soal manuvernya bermanfaat bagi rakyat atau tidak, dianggap bukan masalah. Nama yang dikenal banyak orang adalah investasi.
Apakah hak angket yang disepakati DPR sekadar manuver dan akrobat politik? Bisa jadi ya, jika hak angket sekadar digunakan untuk mencari perhatian rakyat tanpa menyelesaikan substansi masalah berkaitan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus melambung. Namun, jika hak angket dapat menyelesaikan kasus mafia BBM, apalagi rakyat dapat mencari jalan keluar dari kebuntuan krisis, rakyat akan semakin tahu siapa yang sebetulnya Sontoloyo. (Wakhudin/"PR")***

Mencari Merdeka


KUMBAYANA sesungguhnya seorang pangeran di Kerajaan Hargajembangan. Ayahnya, Prabu Baratwaja, sangat ditakuti semua negara di kawasan Atasangin. Dapat dikatakan, Hargajembangan adalah ibu kota Atasangin Serikat. Meskipun Durna, panggilan akrab Kumbayana, bisa saja mewarisi kekuasaan ayahnya, namun ia memilih merantau ke Hastina. Sebab, kekuasaan yang diraih ayahnya ialah berkat senjata Pulanggeni, yang dipinjam dari Resi Wiyasa, penguasa Hastina. Ketika Pulanggeni dikembalikan ke pemiliknya, Durna malah minggat dari Hargajembangan, dan mencari Wiyasa atau anak turunannya.
Sayangnya, ketika mau menyeberang ke Hastina, Durna dihadang kabut tebal dan dihadapkan pada samudera yang luas dengan gelombang yang besar. Saat itulah seekor kuda cantik bersayap turun di hadapan Durna. Kuda itu memberi isyarat agar Durna segera menaikinya. Maka Kumbayana dibawa terbang melewati mega yang sempat menutupi cakrawala.
Dalam perjalanan terbang inilah Durna terlena. Ia khilaf. Dalam imajinasinya, ia terbang dengan seorang bidadari cantik. Bahkan akhirnya ia melakukan hubungan seksual dengan kuda yang menerbangkannya. Eloknya, begitu kuda itu turun di seberang lautan, Durna benar-benar diantar sampai ke daratan Hastina. Dan saat itulah kuda itu hamil sekaligus melahirkan anak hasil hubungan badan Durna dengan kuda tersebut. Anak tersebut kemudian diberi nama Aswatama. Rupanya, kuda yang membawa Durna adalah Batari Wilutama, yang sedang terkena kutukan. Setelah melahirkan seorang manusia, Kuda Wilutama kembali menjadi bidadari dan pulang ke kahyangan. Sesampainya di Hastina, Durna menjadi guru Pandawa, anak cucu Wiyasa. Ia merangkap sebagai guru dan penasihat spiritual para Kurawa, kakak ipar Pandawa.
Niat Durna sebetulnya baik, ingin mencari kemerdekaan diri. Dia menolak menjadi raja dengan bayang-bayang kebesaran ayahnya. Namun Kumbaya orang yang gampang dipengaruhi, terutama bisikan jahat dari Sangkuni, patih Hastina. Memiliki anak dari seekor kuda sesungguhnya menggambarkan lemahnya nurani dan keimanannya. Maka, saat mencari kemerdekaan itu, sesunguhnya Durna hanya meraih "belenggu". Ia memilih untuk mengumbar hawa nafsunya, daripada mencari keutamaan hidup. 
Kemerdekaan RI yang diraih bangsa Indonesia dengan cucuran darah dan air mata 63 tahun lalu juga sangat mengkhawatirkan salah arah sebagaimana Durna. Kemerdekaan RI semakin ternoda dengan ketidakmandirian secara ekonomi. Langkah membayar utang ke IMF, membubarkan IGGI, dan menutup utang luar negeri lainnya adalah jalan lurus menuju kemerdekaan. Namun privatisasi BUMN, apalagi BUMN yang produktif adalah jalan tol menuju "penjajahan" ekonomi. Inilah arah kemerdekaan yang secara perlahan mengalami distorsi. (Wakhudin/"PR")***

Memberi


DARAHNYA berwarna putih, karena ia selalu ikhlas dan tulus dalam memberi. Apa pun yang diperlukan orang lain, ia akan menyerahkannya tanpa ragu-ragu. Jangankan harta atau kekuasaannya, nyawa dan istrinya pun akan diberikan jika hal itu diinginkan orang lain. Itulah Samiaji atau Prabu Puntadewa, raja Amarta. 
Syahdan suatu hari, utusan dari Pancawati bernama Hanoman datang ke Amarta meminta Drupati, istri Puntadewa, untuk dipersunting Prabu Rama. Tanpa berpikir panjang, Drupadi pun diserahkan dan dibawa pulang Hanoman. Empat adik Puntadewa pun marah akan kelakuan kakaknya. Akan tetapi Kresna, penasihat Pandawa, melarang mereka protes. Kresna kemudian mencari akal menyelesaikan kasus ini. Maka, Arjuna ditugasi menculik kembali Drupadi dari iring-iringan kendaraan pimpinan Hanoman. Mereka menukar Drupadi dengan Gatotkaca, anak Bima calon panglima perang Amarta.
Kedatangan Hanoman disambut sukacita Prabu Rama. Namun, mereka berubah menjadi murka manakala yang keluar dari kendaraan calon pengantin ternyata seorang tentara. Maka, Pancawati segera mengerahkan pasukan untuk berperang melawan Amarta. Namun, perang belum sampai berkecamuk, dewa dari kahyangan turun dan melerai pertengkaran. 
Prabu Rama berterus terang bahwa dirinya tidak bermaksud menikahi Drupadi, melainkan sekadar melakukan uji coba terhadap Puntadewa. Sebab, dewa telah berjanji jika berhasil memerangi Prabu Dasamuka, Prabu Rama akan mendapat ganjaran berupa reinkarnasi ke dalam raja yang adil. Namun, dewa memberitahukan bahwa raja adil yang dimaksudkan bukanlah Samiaji, melainkan Kresna. Sebab, Kresna masih sama-sama keturunan Dewa Wisnu dan masih cucu dari Prabu Rama.
Kisah Prabu Puntadewa yang sangat dermawan begitu terkenal dan legendaris. Namun setiap pemberiannya tidak pernah menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan. Justru dengan memberi ia senantiasa mendapatkan keberuntungan. Dalam kasus di atas, Puntadewa justru mendapatkan anugerah berupa sekutu. Karena, selain Prabu Rama yang manunggal dengan Kresna, adik Prabu Rama bernama Lesmana akhirnya juga menyatu dan reinkarnasi ke dalam diri Arjuna, adik Puntadewa. Bagi Puntadewa, memberi tidak perlu menunggu kaya, apa pun yang dimiliki bisa digunakan untuk membantu orang lain. Memberi tidak membutuhkan kecerdasan, dan ia yakin dengan memberi akan selalu mendatangkan keuntungan.
Para sahabat Nabi Muhammad saw. adalah umat yang sangat suka memberi. Mereka bahu membahu dan saling tolong di saat susah. Saat akan berperang, Umar bin Khattab membawa separuh hartanya untuk digunakan bekal perang. Pada saat yang nyaris bersamaan, Abubakar Ashiddieq bahkan membawa semua hartanya diserahkan kepada Rasulullah untuk bekal perjuangan Islam.
Kini saat bangsa Indonesia dalam masa sulit, sifat memberi seperti yang dilakukan Samiaji dan para sahabat Rasul sangat diperlukan. Karena hanya dengan sikap ikhlas memberi, bangsa ini akan mendapatkan keberuntungan. Sayang, sifat itu belum tumbuh. Yang kaya justru semakin rakus mengeruk harta, meski harus memakan uang rakyat. Padahal, yang kaya saatnya memperlihatkan solidaritasnya. Bahkan tak perlu menunggu kaya, sama-sama miskin pun bisa saling membantu. (Wakhudin/”PR”)***

Main Keroyok


USIANYA belum genap 20 tahun, tetapi Raden Irawan sudah bertempur dalam Perang Baratayuda di medan Kurusetra. Bahkan karena kegigihannya, putra pasangan Arjuna-Dewi Palupi ini mampu membuat kocar-kacir musuh. Maka para Kurawa pun membuat jebakan. Saat terpisah dari pasukannya, Irawan dikeroyok. Ia dibacok pedang, ditusuk keris, ditombak, bahkan akhirnya diremukkan dengan gada besar. Kematian Irawan pun membangkitkan amarah Arjuna sehingga ia kemudian maju dalam pertempuran dengan tekad bulat.
Kelakuan Amerika Serikat tak ubahnya pasukan Astina yang main keroyok dalam pertempuran yang mereka namakan "Perang Melawan Terorisme". Meskipun selalu ditutup-tutupi, perang ini sesungguhnya merupakan wujud nyata dari tesis Samuel Huntington tentang clash of civilization, yaitu perbenturan antara peradaban Barat dan dunia Islam. Dengan dalih harus bertanggung jawab atas runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC), AS bersama sekutunya menyerang pemerintahan Taliban yang dianggap melindungi Osama bin Laden di Afganistan. 
Tidak terlalu sulit bagi Presiden George Bush menekuk Afganistan. Sebab, pemerintahan Taliban baru saja berdiri setelah puluhan tahun berperang melawan komunis Uni Soviet (Rusia). AS dengan amarah yang besar disertai restu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama sekutunya dari Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia menyerbu mereka. Dalam waktu sebentar, Kabul pun jatuh.
Setelah itu, Bush berambisi menaklukkan Irak. AS pun menuduh Bagdad mengembangkan senjata pemusnah massal. Meskipun hasil inspeksi IAEA menunjukkan, Irak tak punya senjata yang dituduhkan itu, namun AS tetap saja menyerbu negeri seribu satu malam itu. Lagi-lagi, AS tidak sendirian menyerang Irak. Ia mengeroyok Saddam Husein setelah negeri itu diembargo ekonomi dan pangannya selama bertahun-tahun. 
Kini, nafsu Bush semakin membara. Ia berambisi pula mencaplok Iran. Cara lama pun dilakukan, menuduh negeri para mullah itu mengembangkan senjata nuklir. AS bersama Uni Eropa dan sekutu yang lain berupaya mengisolasi Teheran. Mereka melakukan embargo ekonomi dan politik. Namun kali ini, Bush berhadapan dengan musuh yang relatif sepadan. Presiden Ahmadinejad telah belajar dari tetangganya yang satu per satu takluk di tangan Bush. Akan tetapi Iran melawan, tak mengindahkan sanksi PBB maupun umpatan Barat. Ahmadinejad bahkan meluncurkan peluru kendali Shahab-3 untuk mengantisipasi serangan Israel dan AS. Bush tentu meradang dan seperti nenek-nenek yang kehilangan sirih. Meskipun para pengeroyoknya siap membantu, AS rupanya berpikir seribu kali. Jangankan menyerang Iran, menghadapi Afganistan dan Irak saja mereka kewalahan. Bahkan, itu menjadi penyebab jebloknya popularitas Bush. (Wakhudin/"PR")***

Idulfitri=”Recovery”


MENILIK akar katanya, Idulfitri dan recovery memiliki makna yang hampir sama. Idulfitri berasal dari kata 'ied (kembali) dan fithri (suci), sedangkan recovery berasal dari kata re (kembali) dan cover (tutup). Recovery diterjemahkan menjadi pulih. Luka menganga yang kemudian tertutup kembali disebut pulih atau sembuh.
Semangat Idulfitri dan recovery terasa berbeda, sebab kata yang pertama mengandung unsur ritus, sedangkan kata yang kedua merujuk pada peristiwa umum yang tidak berkaitan dengan ibadah. Namun jika ditelaah lebih mendalam, lagi-lagi kedua kata itu memiliki kemiripan. Sebutlah, kata Idulfitri diterjemahkan dengan ”pulih”, terjemahan dari ”recovery”, maka terjemahan itu tidak lari terlalu jauh. Pasalnya, puasa Ramadan selama sebulan merupakan proses penyembuhan dari berbagai penyakit hati. Kikir, tamak, hasud, egois, sombong, malas, dan berbagai kelakuan baong dan bedegong lainnya dibakar dengan saum. Ketika proses pembakaran mencapai 29 atau 30 hari, maka kita disebut pulih dan menjadi fitri atau suci.
Bagaimana kalau sudah saum sebulan tetapi kelakuan tidak pulih juga? Itu berarti sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, "Begitu banyak orang yang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus." Pasalnya, puasa yang dilakukan sekadar menahan lapar dan haus, sedangkan perbuatan maksiat lainnya tidak terkendali.
Persoalan berikutnya, apakah fitri atau pulih hanya berlaku selama lebaran? Itu sama juga dengan sakit. Orang yang sakit mag tahu bahwa kalau makan terlalu pedas atau terlalu asam atau terlalu telat makan, magnya kumat. Kalau tak ingin sakit, setiap saat ia menjaga tidak sesekali menabrak pantangan itu. Sebaliknya, penderita ambeien tahu bahwa kalau makan terlalu pedas atau mengonsumsi daging kambing serta kurang makanan berserat wasirnya akan kumat, tetapi ia tetap memakannya, maka bersiap-siaplah setiap saat mengalami pendarahan.
Oleh karena itu, setelah Lebaran, orang saum pun tidak boleh sembarang mengonsumsi kelakuan "yang pedas" dan "makanan ekstrem" lainnya. Saum adalah ajaran hidup agar selalu mengendalikan diri. Kebangkrutan Indonesia sehingga menenggelamkan rakyatnya dalam utang kepada nyaris semua negara kaya atau populer disebut Paris Club, disebabkan oleh para pemimpin yang tidak mampu menahan diri untuk berutang. Begitu kredit mengucur, tangan para pemegang projek tidak tahan mengambil bagiannya secara ilegal dengan cara korupsi dan kolusi dengan pejabat yang memberi projek. Berapa banyak nafsu tidak terkendali menebang hutan secara ilegal sehingga menggunduli hutan kita, sehingga menyebabkan banjir di musim hujan dan kering di musim kemarau. Betapa tidak terkendalinya pungutan liar di kantor pelayanan publik, di sekolah, pasar, jalanan, dan di hampir semua sektor. Maka "wajar" Indonesia terus mengalami kemunduran, menjadi negara kaya raya yang termiskin di dunia. Pasalnya, hal itu merupakan akumulasi dari semua orang yang tidak mampu menahan diri. Bangsa dan pemimpin bangsa ini lama tidak berpuasa. Lusa kita memang Idulfitri, tetapi justru saatnya kita berpuasa secara sosial. (Wakhudin/"PR")***

Duh, MUI!


SEBELUM bekerja, para kesatria senantiasa menghadap sesepuh, meminta nasihat tentang berbagai persoalan dari perspektif agama. Para kesatria Pandawa, misalnya Arjuna atau anaknya, Abimanyu, senantiasa berdiskusi dengan kakeknya, Resi Wiyasa, tentang problem yang dihadapi kesatria penyelenggara negara dari perspektif spiritual dan afektif. Mencerna dan melaksanakan nasihat ulama semacam Resi Wiyasa tentu banyak tantangan. Godaan pertama biasanya datang dari Cakil dan para buta, dari mulai Buta Hijau, Buta Gulundung, hingga Buta Berhidung Belang. Hanya karena keteguhan hati, godaan itu dapat disingkirkan. 
Dalam kehidupan modern yang serba dipenuhi teknologi informasi, membahas berbagai persoalan dari perspektif agama tetaplah relevan. Sebab, kehidupan dari yang paling primitif hingga zaman paling mutakhir tetaplah tidak pernah lepas dari penciptaan dan pengawasan Al-Khalik. Maka, membahas masalah apa pun dari kacamata kitab suci dan berbagai turunannya berarti merupakan proses pencarian sumber masalah dari perspektif Sang Maha Pencipta. 
Ijtimak para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Madrasah Diniah Putri Padangpanjang, Sumatra Barat 24 s.d. 26 Januari harus diposisikan sebagai nasihat para sesepuh dari kacamata keagamaan. Hasil ijtimak berupa fatwa juga merupakan panduan masalah yang dilihat dari kacamata Alquran, sunah, qiyas, dan berbagai turunannya. Kalaupun MUI membuat keputusan berkaitan dengan masalah keduniawian, khususnya masalah politik, itu tak lebih sebagai panduan rekayasa sosial (social engineering) menuju bangsa yang bermartabat dan mendapat rida Tuhan. 
Haruskah bangsa Indonesia mengikuti nasihat ulama MUI? Tergantung dari pribadi masing-masing. Mereka yang berjiwa kesatria akan menjadikan nasihat ulama sebagai panduan hidup, baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Mereka yang berjiwa cakil menganggap fatwa ulama sebagai penghalang, mengada-ada, tidak efektif, dan percuma. Para Buta Hijau melihat ulama sebagai bedebah, bubarkan saja. Buta Gulundung biasanya apriori dan alergi terhadap apa pun yang bernuansa religius. Apalagi Buta Berhidung Belang selalu hanya memuaskan nafsu diri sendiri. Fatwa ulama yang menghalang-halangi nafsunya akan didemo, bahkan bisa diberangus.
Sebetulnya, berapa banyak bangsa Indonesia yang berjiwa kesatria dan berjiwa cakil? Belum ada sensus yang menghitungnya. Namun dalam tradisi bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai religius, menghargai pendapat ulama merupakan tradisi bangsa yang lurus dan bersih. Hanya saja, dalam era reformasi dan kebebasan berpendapat, yang paling lantang bersuara justru Cakil dan Buta. Itulah sebabnya, begitu ulama mengeluarkan fatwa, mereka menyambarnya dengan sumpah serapah. Duh, MUI! (Wakhudin/”PR”)***

Demokrasi


DEWI Anjani, Guwarsa, dan Guwari merupakan tiga bersaudara anak Resi Gotama dari Pertapaan Gunung Sukendra yang cerdas dan santun. Ketiganya saling menyayangi. Namun kerukunan keluarga ini pecah setelah Dewi Anjani memiliki cincin Cupu Manik Astagina. Sebab, Guwarsa dan Guwarsi berminat pula memiliki cincin yang menggambarkan keindahan surga itu. Maka dua adik memaksa kakak perempuannya menyerahkan cincin bertuah tersebut, sehingga terjadi pertengkaran besar.
Melihat pertikaian yang tidak lazim ini, tahulah Resi Gotama bahwa yang menjadi pangkal pertengkaran itu adalah cincin pemberian ibu mereka, Dewi Windradi. Yang lebih mengejutkan lagi, cincin tersebut ternyata milik Batara Surya, dewa yang selama ini dicurigai Resi Gotama sebagai soulmate istrinya yang masih muda dan cantik. Dalam keadaan marah, Gotama melemparkannya ke arah hutan. 
Ketiga anaknya segera berlari mengejar Cupu Manik Astagina itu, namun cupu itu tidak ditemukannya. Dalam keadaan lelah, sampailah ketiganya ke telaga. Guwarsa dan Guwarsi mandi supaya segar, sedangkan Dewi Anjani sekadar cuci muka. Rupanya, telaga itu jelmaan dari cupu manik itu. Siapa pun yang terkena airnya akan tumbuh rambut. Maka, Guwarsa dan Guwarsi berubah menjadi monyet, sedangkan Dewi Anjani menjadi monyet pada bagian wajah.
Kisah dalam Ramayana tersebut menggambarkan kehidupan demokrasi Indonesia sekarang. Saat negeri ini tidak memiliki sistem demokrasi yang mapan, rakyatnya relatif tenang. Penguasa yang represif menyebabkan stabilitas politik mantap. Tidak ada pemberontakan kecuali segera ditumpas. Tidak ada demonstrasi kecuali setelahnya ada penangkapan aktivis.
Ketika itu, demokrasi terlihat begitu berkilau dan sangat bertuah. Setiap anak bangsa mengidamkannya dan ingin memilikinya. Pada akhirnya, demokrasi itu telah benar-benar menjadi milik semua anak bangsa. 
Sayangnya, demokrasi yang indah itu mirip Cupu Manik Astagina, selalu menjadi rebutan dan menjadi bahan pertengkaran. Dengan alasan demokrasi, orang menyelesaikan persoalan dengan demonstrasi. Demonstrasi memang bagian dari demokrasi, tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan demonstrasi itu. 
Kita mengaku berdemokrasi, tapi tidak menerima kekalahan. Kalah pilkada, yang kalah menggugat yang menang ke pengadilan, memboikot, bahkan mengerahkan massa pendukung. Apakah gara-gara demokrasi kita justru menjadi monyet seperti putra Gotama? Haruskah kita berjalan mundur ke zaman represif? Tentunya tidak. Kita harus meraih kemilaunya demokrasi, tetapi tidak harus bertengkar sepanjang zaman. Hukum saatnya menjadi demarkasi, menentukan yang benar dan salah. (Wakhudin/"PR")***

Berkuasa


SAAT masih muda, Rahwana alias Dasamuka dikalahkan Resi Subali. Ia pun bersabar bahkan merendahkan diri dengan berguru kepada manusia kera anak Resi Gotama ini. Apa pun perintah guru, ia taati, termasuk bertapa seperti kelelawar, menggantung di atas pohon. Kedisiplinannya belajar membuahkan hasil dengan meraih Aji Pancasona, ia seperti memiliki nyawa rangkap lima. Karena kerja kerasnya pula, Rahwana mendapatkan Aji Rawarontek dari kakak tirinya, Prabu Danaraja, meskipun meraihnya dengan kekerasan.
Namun dengan kedigdayaannya, Rahwana lupa diri. Ia menjerumuskan gurunya, Subali, berkonflik dengan adiknya Sugriwa. Ia merebut kekuasaan dari kakeknya, Sumali dengan menyingkirkan pamannya Prahasta. Dasamuka membunuh Prabu Danaraja, kakak tirinya dan merebut negara Lokapala. Ia menyerang Suralaya dan memetik Dewi Tari, putri Batara Indra sebagai istrinya sehingga berputra Indrajid. Kekuasaan mendorongnya berwatak angkara murka. 
Bersabar saat keadaan memaksa merupakan sesuatu yang lazim, sebagaimana Dasamuka saat masih ringkih. Hidup hemat saat tidak punya uang merupakan hal biasa. Tidak mabuk karena sedang sakit, tidak memiliki nilai lebih. Tidak berselingkuh karena tidak punya modal dan tak punya tampang, tidaklah istimewa. Bersabar saat berkuasa jauh memberikan tantangan dan memiliki nilai lebih yang luar biasa.
Rasulullah, Muhammad saw. adalah pribadi mulia yang selalu bersabar saat dalam keadaan sempit maupun ketika berkuasa. Saat beliau menunggu kering pakaian yang dijemur dan melepas pedangnya, tiba-tiba seorang kafir Da'tsur mengambil pedangnya dan menodongkan ke lehernya. Da'tsur pun membentak, "Sekarang aku akan memotong lehermu. Siapa yang akan menolongmu?" Rasulullah pun dengan tenang mengatakan, "Allah". Mendengar jawaban Nabi, tangan Da'tsur gemetar, keringat meleleh dari sekujur tubuh, dan lemas lunglai. Pedang yang di tangan pun jatuh. Kini keadaan berbalik. Pedang dipegang Nabi. Meskipun Rasulullah bisa memotong leher orang yang sudah menyerah ini, namun Rasulullah kemudian memaafkannya. Datsur pun mendapatkan hidayah dan masuk Islam.
Bangsa Indonesia tengah merindukan pemimpin yang sabar seperti Rasulullah. Bersabar saat susah maupun saat berkuasa. Mereka bersabar bukan hanya saat ingin meraih suara dengan memberi "gula-gula" menggunakan pancing sejumput beras dan mi instan. Namun setelah menduduki kursi justru mereka menjual suara rakyat kepada siapa pun yang mau membayarnya. Bangsa ini tengah menanti penguasa yang bersabar dengan kekuasaannya untuk kesejahteraan bersama, meski harus berhadapan dengan para "investor" yang menanamkan modal mengantarkannya berkuasa saat mereka menagih jatah uang negara. (Wakhudin/"PR")***

Duh, Pancasila!


MEMPUNYAI istri cantik dengan kulit lembut, wajah selalu cerah, taat beragama, salehah, serta selalu melayani suami dengan baik mestinya membuat laki-laki betah di rumah. Meski demikian, suami tetap jelalatan, cunihin, mengejar-ngejar wanita lain yang dandanannya menor, yang sayang kalau abang punya uang, dan menendang kalau abang pulang hanya membawa celana doang. Istrinya dibiarkan terlantar mengurus anak, sembari menjaga kehormatan diri dan memelihara harta suami.
Itulah gambaran tentang Pancasila, dasar negara Indonesia yang telah "dinikahi" bangsa Indonesia sejak negeri ini berdiri tahun 1945. Pancasila setia mengikuti ke mana pun "suami" mengembara, ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan orde apa pun di masa depan. Pancasila ikhlas dinafkahi dengan apa pun oleh "suaminya", para penguasa. Orde Baru sempat memanjakannya dengan pakaian yang bagus, mengajarkan Pancasila dalam paket penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila). Namun perlakuan terhadap Pancasila tidaklah jujur, hanya mendandani Pancasila dengan baju yang bagus tapi hakikatnya melakukan proses pembusukan terhadap dasar negara tersebut. Setiap kali ada penataran P4, ternyata ujungnya adalah kebulatan tekad untuk meneruskan Orde Baru dan memilih kembali Pak Harto sebagai presiden.
Karena Orde Baru runtuh, Pancasila pun menjadi resisten. Dasar negara itu dipersalahkan sebagaimana dipersalahkannya para penguasa yang mendorong negeri ini menggelinding ke tubir jurang krisis multidimensional. Maka selama Indonesia memasuki alam reformasi, orientasi pun tidak menentu. Bangsa ini seperti kapal di tengah lautan yang kehilangan orientasi. Berkompas kepada Pancasila, tetapi dasar negara itu telah dicaci maki oleh anak bangsa sendiri. 
Maka kapal itu pun mencoba mencari bintang yang bersinar terang berupa materialisme Barat. Namun bintang itu pun semakin redup cahayanya. Para pemilik materialisme justru sedang dalam duka yang mendalam karena ideologi yang dianutnya mendorong masyarakatnya manja dan hedonis sehingga daya juangnya semakin tumpul. Ujung-ujungnya, mereka juga hampir ambruk akibat krisis global. Kapal besar Indonesia pun kadang cenderung melirik bintang yang lain, komunisme. Akan tetapi, bintang ini telah terkoyak dengan runtuhnya Uni Soviet. Republik Rakyat Cina yang semakin bersinar juga justru karena meninggalkan komunisme dan menerapkan pasar bebas. 
Jalan terbaik bagi kapal besar Indonesia adalah kembali memegang Pancasila sebagai kompas arah perjalanan bangsa. Gagasan Rektor UPI Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata dan Dekan FPIPS Prof. Dr. Idrus Affandi yang akan menggelar simposium nasional, "Pancasila Sebagai Pendidikan Kebangsaan", 11 Maret, merupakan upaya "merekatkan" kembali hubungan "suami-istri" yang semakin renggang ini. Hanya "pengkhianatan suami akan mendorong perceraian". Duh, Pancasila! Semoga tidak. (Wakhudin/"PR")***

Duh, Heryawan!


JANGANKAN mengeluarkan surat keputusan atau surat instruksi, berbicara pun tidak, tetapi Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan langsung "diserang". Isunya, ia melarang tari jaipong. Setidaknya, Heryawan minta agar jaipong diperhalus dalam menampilkan G3, yaitu gitek, geol, dan goyang. Ternyata setelah bertemu dengan para seniman, Gubernur menyatakan tidak pernah melakukan komunikasi dengan wartawan tentang jaipong itu. Bahkan, dirinya tahu istilah G3 saja setelah membaca isu itu di koran.
"Penyerangan" seperti itu kemungkinan bukan yang pertama, mungkin berkali-kali dengan isu yang berbeda-beda. Bahkan, Heryawan mengaku sudah menerima protes bahwa dirinya akan menjadikan Jawa Barat sebagai Taliban. Tuduhan seperti itu merupakan risiko sebagai pemimpin yang berasal dari partai yang mendeklarasikan sebagai partai dakwah. Dalam berbagai dialog, para kader partai dakwah selalu ditanya, bahkan cenderung dituduh bahwa mereka akan menutup gedung bioskop, melarang kesenian, dan berbagai tradisi yang hidup di tanah air.
Nasib Heryawan dan para pemimpin yang berasal dari partai dakwah bisa jadi seperti Taliban di Afganistan. Taliban makna asalnya adalah mahasiswa. Nama istilah ini merujuk pada nama para pemuda yang berhasil mengusir penjajah Uni Soviet dari negerinya dengan bergerilya. Namun, setelah mengusir Uni Soviet, tiba-tiba Amerika Serikat menyerbu negeri mereka. Alasannya, AS diserang teroris, dengan runtuhnya World Trade Center (WTC) akibat ditabrak pesawat komersial. 
Presiden AS saat itu, George W. Bush, menuduh orang yang bertanggung jawab di balik serangan itu adalah Osama bin Laden. Sementara itu, Osama diduga tinggal di Afganistan. Maka diserbulah Afganistan dan tumbang pula kekuasaan Taliban. Para pemuda yang berkuasa ini langsung dicap sebagai teroris yang sangat membahayakan dunia. Bahkan setelah Presiden AS berganti, Barack Obama pun menghitung Taliban sebagai teroris yang masih berbahaya. Itulah sebabnya, pasukan AS di Irak segera ditarik dan ditempatkan di Afganistan.
Nasib yang lebih tragis dialami bangsa Palestina, terutama Hamas. Demikian pula Hezbullah di Lebanon. Karena tidak mengakui Israel, stempel pun melekat pada mereka, teroris. Barat sesungguhnya memasukkan Iran dan Suriah sebagai teroris. Akan tetapi, karena kekuatan mereka yang sulit dihitung, Barat pun berpikir-pikir melakukan penyerangan.
Intrik dan gaya "penyerangan" di Jawa Barat cenderung sama dengan isu di tingkat global. Siapa pun yang mengaku sebagai orang dakwah akan menghadapi berbagai tuduhan. Jangankan beriktikad buruk, beriktikad baik pun akan disalahkan. Para penjajah selalu menggunakan komprador untuk beroperasi membuat intrik dan mengadu domba. Mereka tidak menginginkan Indonesia bermoral, mempunyai harga diri, dan berdaya. Akan tetapi, itulah nasibmu. Duh, Heryawan! (Wakhudin/"PR")***