Senin, 25 Februari 2008
Cakil Rakyat
APA bedanya wakil dan cakil? Tentu saja huruf depannya, "w" dan "c". Cakil adalah nama sewayang (seorang) raksasa atau buta yang sangat atraktif, suka memperlihatkan kemampuannya bersalto di depan umum, sembari menghunus senjata menakut-nakuti wayang yang lain. Teman-teman Cakil adalah jin, setan priprayangan, ilu-ilu banaspati, wewe gombel, genderuwa, jerangkong, barongsai, dan tongtongsot. "Profesi" cakil adalah begal dan menodong setiap satria yang melewati hutan untuk bersemedi atau melakukan "lelaku" utama.Sedangkan wakil adalah orang yang melakukan perbuatan sesuai dengan orang (zat) yang diwakili. Semakin tepat dan presisi seorang wakil melaksanakan perbuatan yang diwakili, orang tersebut dapat disebut semakin baik. Sebaliknya, semakin jauh perbuatan seseorang dari yang diwakilinya, orang tersebut semakin cocok disebut "cakil". Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi. Artinya, manusia harus berbuat sesuai dengan sifat-sifat Allah dalam mengelola alam ini. Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang baik), merupakan parameter bagi manusia apakah ia benar-benar menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi ini atau tidak.Istilah "wakil" dan "cakil" juga dapat digunakan untuk mencandra para anggota DPR dan DPRD yang sedang dihadapkan pada dilema, mengembalikan uang rapelan atau mengambilnya, terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2006. Saya tidak akan memvonis apakah mereka wakil rakyat atau cakil rakyat. Rakyat yang diwakili sendiri yang dapat menentukan.Parameternya pun mudah, apakah anggota DPR/DPRD melakukan perbuatan sesuai yang diwakilinya atau tidak. Yang pasti, rakyat saat ini terus menerus ditimpa musibah, segala jenis musibah dari "A" sampai "Z" telah turun di negeri ini. Pada saat bencana alam sedang jeda, musibah akibat ulah langsung manusia jahanam pun turun lagi. Bom kembali meledak, bentrokan aparat-rakyat yang menelan korban jiwa, dan sebagainya. Kemiskinan terus menyebar dan meluas. Beras yang menjadi makanan pokok semakin tidak terjangkau. Beras operasi pasar (OP) yang mestinya memotong harga-harga yang dipatok spekulan justru dicaplok oknum atau penimbun. Lapangan pekerjaan terus mengalami penyempitan. Pertanian yang sepanjang sejarah Indonesia menjadi penyelamat rakyat justru ditelantarkan dan dibuat mubazir. Rakyat pun meninggalkan kampung halamannya, memilih bermigrasi, mesti keleleran di kota. Pada saat rakyat yang diwakili menderita kurang pangan dan kurang sandang, para wakilnya justru menerima rapelan dalam jumlah fantastis dan sulit dibayangkan jika dibandingkan dengan keuntungan usaha pertanian. Adalah hak anggota DPR/DPRD jika mereka bekerja setara dengan nilai rapel yang mereka terima. Bahkan, rakyat sangat berdosa jika para wakilnya sudah bekerja tapi gaji/honornya tidak dibayarkan. Mestinya, mereka dibayar selagi keringat akibat bekerja belum mengering. Persoalannya, adakah para wakil rakyat telah bekerja sesuai yang diwakilinya? Atau jangan-jangan mereka lebih tepat disebut "cakil rakyat". Terserah rakyat menilainya. (Wakhudin/"PR")
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar