GUNDUL, dugul, atau botak merupakan keadaan objektif, tiadanya rambut di kepala, baik karena dicukur atau karena akar rambutnya tidak mau tumbuh lagi. Tak ada nilai baik atau nilai buruk dalam peristiwa gundul, kecuali jika dikaitkan dengan peristiwa atau keadaan tertentu. Gundul untuk bertahalul setelah melakukan umrah atau haji mengandung nilai baik, karena perintah agama yang secara fiqh hukumnya sunah, atau bahkan sangat diutamakan. Sebagian jemaah haji merasa sangat bangga dengan memangkas habis seluruh rambut di kepalanya. Gundul dianggap sebagai sebuah "pesta", pesta untuk tampil seadanya, pesta kesederhanaan dan menampilkan manusia benar-benar sebagai manusia. Padahal saat di tanah air, tidak semua orang berani tampil dengan kepala plontos.Sedangkan dugul di usia 40-an, sangat menghantui para pria di saat puber keduanya. Di saat meraka "gatal" dan ingin genit lagi, terkendala oleh penampilan rambutnya yang tak macho lagi. Kebotakan seperti ini tentu bernilai buruk (disvalue). Kecuali jika orang mensyukuri kebotakannya, sehingga berketetapan hati untuk tidak genit, apalagi selingkuh, sehingga tidak merusak rumah tangganya.Ungkapan, misalnya Persib "menggunduli" tamunya 5-0, berarti Persib berhasil "mempermalukan" lawan tanding di Stadion Persib dengan skor 5, sedangkan lawan tandingnya tidak berhasil satu pun memasukkan gol. Kata "gundul" di sini memiliki nilai (value) bagi Persib, tapi tidak bernilai (disvalue) bagi tamunya. Istilah pajenggut-jenggut nu dugul jeung nu botak (saling menjambak antara yang gundul dengan yang botak) juga cenderung berkonotasi pada nilai yang negatif. Pada musim anak-anak lulus sekolah seperti sekarang dan mereka ingin melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya, banyak orang tua yang panik. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai sekolah lanjutan. Jalan satu-satunya yang dilakukan adalah berutang kepada sanak saudara atau teman dekat. Namun jika orang-orang dekat yang ingin dipinjami sama-sama sedang "belingsatan" akibat beratnya beban hidup alias bokek, maka peristiwa ini bisa disebut, pajenggut-jenggut nu dugul jeung nu botak. Sama-sama tidak punya uang, dan sama-sama menderita, bagaimana mungkin dua orang yang miskin ini saling meminjami uang?Penulis bermaksud menggunakan terminologi gundul dan dugul dalam pengertian kedua, untuk menggambarkan betapa "gundulnya" negeri ini. Aparat dan pejabat pemerintah kita bersama rakyatnya sama-sama dugul. Bangsa dan negara kita cenderung menuju kepada gundul karena "rambut di kepala" tidak tumbuh lagi, bukan dugul karena dicukur. Negeri ini makin maju menuju ke jurang kebangkrutan.**KRISIS multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sejak 1987-an hingga saat ini, dapat dilukiskan sebagai peristiwa gundul. Satu sisi, pemerintah dan birokrat pada umumnya tidak memiliki moralitas yang kredibel untuk memimpin. Pejabat dari golongan I sampai tingkat eselon, bahkan pejabat-pejabat politis benar-benar gundul dalam soal moral. Amat sangat sulit birokrat dan pejabat kita untuk terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kalaupun ada, sifatnya kasuistik dan terbatas waktunya. Dalam kasus tertentu, pejabat kita bebas KKN, namun dalam kasus yang lain, mereka ikut KKN dan masa tertentu ikut menyuap atau disuap. Banyak orang bisa mengerti perilaku birokrat dan pejabat kita karena sejak dari "hulu"-nya, dari saat pendaftaran dan proses masuk pun, calon pegawai harus "kasak-kusuk" dan memiliki koneksi. Dan "koneksi" paling mujarab adalah uang. Para calon pegawai yang membayar pun bukanlah orang yang "bodoh". Membayar untuk menjadi pegawai dihitung sebagai "investasi" yang harus kembali selama menjadi pegawai atau pejabat. Itulah sebabnya, gaji yang kecil sebagai pegawai pun tidak menghalanginya untuk hidup kaya, mereka bisa mendapatkan uang kembali dari berbagai sumber, ti sisi ti gigir. Halal dan haram dianggapnya sebagai slogan lama, terakhir diganti, halal atau haram yang penting ada. Bahkan orang yang sudah "kembali modal" pun semakin rakus, halal atau haram yang penting banyak, terus-menerus, dan berkesinambungan.Sulit dimengerti, negeri yang sedemikian luas, memiliki potensi kekayaan yang luar biasa, baik di laut berupa ikan, bahan tambang; hutan dengan kekayaan flora dan faunanya; daratan untuk perkebunan; isi perut bumi baik berupa gas alam, panas bumi, minyak; dan begitu banyak kekayaan alam lainnya, tapi rakyatnya kemudian mati kelaparan. Anak-anak perutnya buncit dan tulang iga yang menonjol diserta pandangan yang kuyu tidak bergairah karena menderita busung lapar. Pemandangan anak-anak yang memilukan dengan ingus yang dihinggapi lalat itu beberapa tahun lalu hanya kita saksikan di negara-negara Afrika miskin yang dilanda pertikaian antarsuku. Tapi dalam hari-hari terakhir ini, pemandangan seperti itu kita lihat di negeri kita, bahkan di kabupaten kita. Jangan-jangan juga menimpa tetangga kita, hanya kita apriori.Kalau dilihat dari potensi alam, tidak masuk akal jika banyak anak negeri ini yang menjadi generasi yang hilang (the lost generation). Namun melihat kerakusan dan ambisi para elite, maka kita bisa tahu bahwa kekayaan alam kita memang bisa habis oleh moralitas pemimpin yang ambruk. Secara de jure negara kita memang merdeka, diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tapi de facto siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa ini harus mendapat "restu" dari "penjajah" di luar negeri. Dengan "modal restu" siapa pun bisa menjadi pemimpin. Hanya saja, jika sudah duduk di kursi empuk, si pemberi "restu" harus mendapatkan kebebasan untuk mengambil sendiri kekayaan negeri ini. Tambang emas boleh diambil dengan memberikan fee yang sedemikian kecil untuk pemda dan penduduk di sekitar tambang emas; panas bumi juga boleh diambil dengan menyisakan "limbahnya" untuk penduduk sekeleling. Demikian juga kekayaan hutan berupa kayu dan aneka macam isinya yang lain, mereka boleh mengambil sesuka hatinya, dan rakyat cukup mendapatkan dampaknya berupa banjir setiap tahun. Para pejabat cukup menandatangani UU dan berbagai macam peraturan yang intinya membolehkan "investasi" dan eksploitasi asing terhadap kekayaan alam kita. Para pejabat dan birokrat tidak berpikir panjang tentang masa depan rakyat yang dipimpinnya. Yang penting, teken UU dan berbagai macam peraturan yang bisa menguntungkan diri sendiri sembari "menyuapi" bangsa asing, meski mengabaikan rakyat sendiri. Dengan cara begitu, mereka bisa hidup nikmat, dapat membangun rumah megah, membeli mobil mewah, berpesiar ke seluruh penjuru dunia. KKN terus bebas merajalela, rakyat pun bebas merdeka untuk miskin dan menderita.Meski demikian, kita harus jujur memandang, tidak semua pemerintah dan birokrat kita amburadul dan gundul. Gebrakan pemerintah sekarang untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme cukup menggentarkan para elite yang culas. Penangkapan para pejabat yang dianggap korupsi, dari mulai KPU, KPUD di berbagai tempat, para gubernur, DPR dan DPRD, bupati, yang tidak bersih telah membuat pejabat yang lain berpikir panjang untuk melakukan korupsi dengan vulgar.Gebrakan pemerintah SBY untuk menindak para koruptor ibarat kepala botak yang mulai tumbuh rambutnya. Namun kita terus menunggu, apakah pejabat yang "botak moralnya" akan benar-benar ditindak semua, atau hanya terhenti kepada orang-orang tertentu dan kelompok tertentu. Jika hanya masyarakat dan kelompok tertentu yang akan ditindak dan hanya berhenti sampai di sini, "rambut" yang tumbuh kembali itu bisa rontok. Moralitas pejabat kembali "gundul" dan rakyat pun akan bertambah dugul.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar