Senin, 25 Februari 2008
Gara-gara
GARA-gara dalam wayang ditandai dengan peristiwa bumi yang gonjang-ganjing, langit sebentar gelap sebentar terang, gempa bumi sehari tujuh kali. Hujan turun di luar musim, guntur menggelegar siang dan malam bercampur angin, air laut bergulung-gulung hingga ke daratan. Kawah Candradimuka terus bergejolak dan meluap-luap hingga menakutkan manusia di marcapada, ekor ular anantaboga terus bergerak-gerak sehingga nyaris menghancurkan pintu Selamatangkep di Kahyangan.Saat sedang puncaknya gara-gara, muncullah dua anak kembar berkepala botak. Salah satunya membawa sebatang lidi, ia mengatakan sanggup menyapu seluruh dunia. Sedangkan satunya lagi membawa tempurung kelapa, ia menyatakan diri mampu mengeringkan semua lautan. Kedua anak kembar ini bertemu di perempatan jalan, dan saling menyombongkan diri bahkan akhirnya berkelahi.Selesai gara-gara, dunia berganti dengan situasi gembira dan penuh gelak tawa. Empat orang punakawan, Dawala, Cepot, Gareng, dan Semar bercanda dan bersendau gurau. Namun kegembiraan belum usai, para buta ijo kemudian mengganggu juragan mereka, Arjuna. Setelah perang kembang, adegan berganti. Sebelum wayang selesai, terjadi lagi beberapa perang pungkasan.Indonesia kini dalam keadaan seperti digambarkan gara-gara. Berbagai bencana datang silih berganti, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, tanah longsor. Di tengah bencana muncul satu pasangan, dua orang. Yang satu menyatakan sanggup memberantas korupsi, namun yang satu malah sering mendatangkan kontroversi. Di tingkat internasional, muncul "duet dua negara kembar" Israel-Amerika Serikat. Mereka sombong ingin menaklukkan umat manusia sedunia.Berdasarkan setting wayang di atas, setelah selesai musim bencana akan datang masa tenang yang penuh gelak dan tawa. Bagi bangsa Indonesia, masa seperti itu tentu bukanlah taken for granted, ada begitu saja, melainkan harus melalui proses engineering (rekayasa secara sistematis). Situasi tenang merupakan masa yang menghargai hak-hak warga negara, humanis, religius, namun kreatif. Namun masa tenang hanya berlangsung sebentar, sebab buta ijo dari Astina Serikat (AS), Uni Alengka (UA), dan sekutu lainnya yang mereka tebar di mana-mana, tidak tinggal diam menyaksikan kita hidup makmur. Hanya dengan keteguhan hati dan tekad baja kita mampu mempertahankan jati diri dan mengusir para kolonialis itu. Menepis kebudayaan dan ideologi penjajah juga hanya bersifat sementara. Kekalahan buta ijo justru mengundang kemarahan bos-bos mereka, sehingga mereka datang dengan seluruh bala tentara. Pada saat seperti itu, kita membutuhkan para kesatria yang setara dengan Gatotkaca, Bima, dan Arjuna. Kombinasi antara kekuatan akal pikir, fisik, dan gerak lincah di lapangan. Tapi kapan kita menyiapkan generasi setangguh itu? Kita selama ini hanya tenggelam dalam gelak tawa meski gara-gara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar