Selasa, 09 Maret 2010

Agama Membentuk Karakter Bangsa


SITUASI yang terjadi di Indonesia saat ini, bisa jadi, merupakan bagian dari tesis Samuel P. Huntington tentang benturan peradaban (The clash of civilization). Jika di masa lalu, konflik terjadi berdasarkan peta ideoligis, Barat dan Timur, namun setelah perang dingin berakhir, perbenturan terjadi berdasarkan peta peradaban dunia. Secara garis besar ada delapan peradaban dunia yang potensial saling berbenturan, yakni Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Namun potensi konflik yang paling besar adalah perbenturan antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.

Bahwa Indonesia setelah dipimpin oleh rezim otoriter selama 32 tahun kemudian terempas ke tubir jurang kebangkrutan, memang iya. Namun, itu terjadi sejak tahun 1997-an atau akhir abad ke-20 di mana ketika itu Presiden Soeharto semakin kentara keberpihakannya kepada Islam. Padahal sebelumnya, Indonesia dipuji-puji sebagai emerging force di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat menakjubkan bersama Korea Selatan. Ekonomi negeri ini hancur setelah George Soros bermain valas, sehingga membenamkan rupiah sampai nilai terendah Rp 16.000,00/dolar AS. Padahal, ketika itu pemerintah bersama swasta sedang jatuh tempo untuk membayar utang-utang luar negari kepada para donatur. Itulah sebabnya, Indonesia kemudian menyerah kepada International Monetery Fund (IMF).

Penyerahan masalah ekonomi Indonesia kepada IMF, bisa jadi merupakan bagian dari skenario Barat dalam melakukan perbenturan peradaban dengan Islam. Sebab, bagaimanapun, Indonesia merupakan negara yang sangat besar dengan jumlah umat Islam terbanyak. Itulah sebabnya, Huntington dituduh bukan sekadar futurolog, melainkan seorang provokator yang memanas-manasi Barat untuk melakukan perbenturan peradaban.

Perbenturan Barat dengan Islam dilakukan secara fisik maupun secara moral. Penyerangan AS yang dibantu Inggris, Australia, dan mitra koalisi lainnya ke Irak merupakan ekspresi perbenturan fisik. Konflik ini bisa jadi merembet ke Iran dan Suriah, serta negara-negara Islam lain yang dinilai membandel kepada Barat.

Sedangkan perang secara moral dilakukan terhadap Indonesia. Proses utang-piutang Indonesia dengan para donatur yang sebagian besar dari negara-negara Barat bukan tanpa skenario jangka panjang. Para donatur juga bukannya tidak tahu adanyanya korupsi dan kolusi dalam penggunaan dana mereka. Bisa jadi, mereka justru memfasilitasi para pejabat untuk mengorupsi dana pinjaman mereka. Perang dilakukan dengan cara pembusukan para pejabat melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Nama Indonesia sebagai negara Timur yang dikenal sangat religius pun runtuh. Kegiatan ritual siang-malam tidak cukup untuk menutupi aib sebagai negara paling korup di dunia. Bahkan secara finansial, negeri ini selalu mengalami defisit anggaran, sehingga mau tidak mau harus terus berutang kepada IMF untuk menutupi utang-utang yang menggunung sebelumnya. Ya, Indonesia kini telah kalah secara moral, dan hancur mental keagamaannya akibat KKN. Nilai-nilai yang bersifat kebendaan dan hedonistis menjadi panglima, sedangkan nilai-nilai religius yang menjadi kebanggaan selama ini, justru semakin ditinggalkan. Itulah inti kebangkrutan negeri ini yang semakin lama justru semakin parah.

Pendidikan karakter bangsa yang didasarkan atas nilai-nilai religius saat ini sangat penting. Berbagai studi tentang pengajaran agama yang efektif amat diperlukan untuk mengembalikan semangat juang asli bangsa ini kepada semangat pengabdian kepada Tuhan, bukan mengabdi kepada materi. Itulah sebabnya, mempelajari agama dan nilai-nilai moral menjadi relevan. Bangsa ini perlu disemangati untuk kembali meraih karakternya sebagai bangsa yang religius, adil, dan makmur. Kita perlu menyerukan kembali pernyataan Presiden I RI Ir. Soekarno tentang nation character building. Membangun kembali karakter bangsa.

Andil agama

Agama sangat kuat dan memiliki andil besar dalam proses pembentukan karakter seseorang, jika agama tersebut diajarkan secara benar. Tak ada yang membantah, terdapat hubungan positif antara agama dan pembentukan karakter yang baik. Yang sering menjadi persoalan dan lelucon adalah sering terjadi tak adanya hubungan antara orang yang pengetahuan agamanya baik (secara kognitif) dengan perilakunya sehari-hari.

Peran agama dalam proses membentuk karakter bangsa, adalah menjadikan moral agama menjadi pemimpin dalam kehidupan bangsa tersebut sehari-hari. Sergiovanni (1992) mengemukakan, kepemimpinan moral jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kepemimpinan tradisional. Sebab, jika moral telah menjadi pemimpin dalam setiap individu, seseorang itu akan melakukan yang terbaik, baik ada yang mengawasi atau tidak. Sebab, yang mengawasi adalah moral itu sendiri yang dalam dirinya menjadi pemimpin.

Seseorang yang menjadikan moral agama sebagai pemimpin, maka ajaran agama akan menjadi petunjuk dalam setiap perilakunya. Mereka tidak perlu pengawasan secara fisik, sebagaimana para mandor mengawasi para buruh bekerja, melainkan dalam setiap dirinya sudah ada "pengawas". Dalam ajaran Islam, "para pengawas" itu disebut dengan malaikat pencatat amal yang diyakini senantiasa mencatat perbuatan setiap manusia yang disebut Malaikat Raqib dan Atid. Dengan kepemimpinan moral seperti itu, setiap orang yang beragama dengan sendirinya akan berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Emile Durkheim (1925), misalnya, mengemukakan, bagaimanapun, moral senantiasa krusial, baik dilihat secara teori maupun praktik. Secara teoretis, moral merupakan sistem intrinsik ketahanan manusia dalam hubungan dengan orang lain, dalam soal ini termasuk kemampuan memaksa diri untuk berperilaku dan berbuat baik, sehingga pada akhirnya menciptakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kesatuan masyarakat. Sementara secara praktis, moralitas merupakan syarat mutlak terciptanya suatu bangsa yang sehat, bahkan menjadi tidak bisa dinafikan jika bangsa itu ingin survive.

Itulah sebabnya, jika suatu bangsa menjadikan agama sebagai sumber moral, maka jalan hidup bangsa tersebut akan lurus. Bahkan dalam Islam, suatu bangsa yang beriman dan bertakwa, maka Tuhan menjamin negeri itu mendapatkan kemakmuran dan kejayaan. "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya," firman Allah dalam Alquran Surat Al-A'raf, 7:96.

Sayangnya, agama belum menjadi inspirasi moral di negeri ini. Bahkan, moral secara umum belum menjadi pemimpin bagi sebagian besar anak bangsa termasuk para pemimpin. Itulah sebabnya, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tetap merajalela. Mereka tidak memiliki kendali secara intrinsik yang mampu menolak saat akan mengambil uang rakyat demi kepentingan diri sendiri dan kelompok.

Pembentukan moral bangsa yang dilandasi kepercayaan keagamaan sebagaimana yang selama ini kita banggakan sebagai bangsa yang religius, perlu kembali digaungkan. Semangat pendiri bangsa (founding father) Ir. Soekarno untuk membangun karakter bangsa (nation character building) saat ini justru sangat relevan untuk menyelamatkan negeri ini dari malapetaka. Dengan pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan agama, pada gilirannya kita mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain.(Wakhudin)

Tidak ada komentar: