TIDAK
banyak bangunan yang diplester tahun 1970-an. Hanya orang kaya raya yang rumahnya ditutup semen dan dipel setiap saat sampai
mengkilat. SD Negeri Bangsa 1 dan 2 di Desa Bangsa, Kebasen, Banyumas, Jawa
Tengah merupakan salah satu bangunan yang sudah dipasang tegel. Karuan banyak
anak kampung yang sangat “mengaguminya”. Anak-anak datang ke sekolah tidak
hanya hari Senin s.d. Sabtu, bahkan hari Minggu pun mereka datang. Sekadar bermain
di tempat yang nyaman.
Pada saat hujan besar,
dan sebagian air tampias hingga membasahi lantai, itulah momentum membahagiakan
bagi anak-anak. Di rumah masing-masing, kalau adaa air masuk ke teras, maka
teras menjadi basah dan becek. Makulum, semua penduduk lantainya masih berupa
tanah. Kalau ingin melihat teras yang terkena hujan tidak becek ya ke sekolah
itu.
Kalau lantai sekolah
terkena air hanya sedikit, biasanya anak-anak menambahi air lebih banyak.
Setelah jumlah air cukup, maka sruuuuuuuuooookkkk.... anak-anak meluncur. Plarakan.
Itulah pengalaman paling indah tak terlupakan
menjadi siswa SD Negeri Bangsa 1. Karena plarakan di SD menyenangkan, maka
setiap habis hujan puluhan anak datang ke SD, sekadar ingin ikut plarakan.
Pokoknya tak kalah dengan Dunia Fantasi (Dufan) di Ancol, Jakarta Utara.
Saking asyiknya plarakan
di teras sekolah, tak sedikit anak yang benjol jidatnya atau kepalanya. Ya,
mereka tidak menghitung diri bahwa plarakan yang tidak terkendali dapat
menyebabkan kepala terbentur. Jidat njendhol
sudah biasa. Itu menjadi bagian dari indahnya memiliki SD yang mempunyai mester (tegel).
Hal menarik yang takan
terlupakan bagi siswa SD 1970-1980-an adalah Pohon Cemara. Tak banyak Pohon di
Cemara di Desa Bangsa saat itu. Bahkan, SD Bangsa merupakan tempat satu-satunya
yang menanam Cemara itu. Daunnya aneh, mirip rambut. Ada teman yang mengatakan,
mirip rambut setan. Patah-patah, tapi dapat disatukan kembali. Daun yang menguning
berguguran di bawah pohon kemudian mencoklat dan lama-lama membusuk.
Tapi daun Cemara di
sekitar SD Negeri Bangsa 1 dan 2 tidak sampai membusuk. Karena Pohon Cemara menjadi
tempat anak-anak bermain. Pohon Cemara tumbuh di taman sekolah. Anak-anak
kadang memanjatnya, tapi sulit karena dahan dan rantingnya agak tinggi. Maka
lingkungan di sekitar pohon Cemara sangat padat karena diinjak banyak anak.
Pohon tebu juga menjadi
kenangan yang tidak terlupakan selama saya sekolah di SD Negeri 1 bangsa dari
tahun 1971 s.d. 1977. Pohon tebu ditanam dan tumbuh subur di sekitar sekolah.
Saat usia tebu sudah cukup tua, sekolah memanennya. Setiap siswa kebagian
meskipun hanya sejengkal-sejengkal. Tapi semua merasa bersyukur, mereka baru
tahu ada sebuah pohon kalau dihisap rasanya manis. Sebagian siswa sering tidak
sabar menunggu pembagian dari guru, sehingga nyolong tebu.
Lapangan sekolah saat itu
cukup lebar. Memang tidak standar lapangan bola. Tapi untuk bermain bola bagi
anak SD sangat cukup. Di pojok lapangan terdapat tempat untuk locat tinggi
maupun loncat jauh. Setelah hujan, lapangan sangat becek. Tapi anak-anak tetap
semangat bermain bola saat istirahat sekolah. Saat masuk kembali ke kelas, ada
anak yang sudah mandi, meskipun bajunya basah. Tapi ada juga anak yang masuk sekolah
dalam keadaan gupak belet.
Lapangan SD Negeri Bangsa
penuh kenangan. Di sini saya sering dibanting teman yang tidak suka ke saya. Sebaliknya,
saya juga sering membalasnya. Ada juga teman yang tiba-tiba meninju saya dan
mengajak berantem. Di lapangan inilah pahit getir sekolah di SD saya jalani.
Di samping lapangan masih
ada sawah. Pada saat musim mencangkul, anak-anak dilibatkan untk
mencangkulinya. Demikian pula saat menanam, ndhaut, maupun saat memanen.
Hasilnya untuk sekolah. Proses ini sangat baik sebetulnya untuk mengajar siswa
menjadi petani. Kini lapangan maupun sawah, semua sudah menjadi sawah. Proses
penggarapannya diserahkan ke perani profesional. Siswa tidak lagi dilibatkan.
Siapa lagi punya
pengalaman belajar di SD Negeri Bangsa 1 dan 2? Silakan share di sini. (WAKHUDIN)