Selasa, 05 Mei 2009
Wait and See
IBARAT bertinju, para kandidat calon presiden yang akan bertarung dalam Pilpres 10 Juli mendatang memiliki karakter yang berbeda. Kandidat dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung bertipe counter boxer. Ia jarang sekali menyerang terlebih dahulu, tetapi selalu waspada, dan segera membalas setiap serangan. Tipe ini cenderung pasif, meskipun cekatan memasukkan pukulan saat lawan baru bergerak memukul. Itulah sebabnya, Yudhoyono tidak buru-buru menentukan calon wapresnya, meskipun namanya sudah ada di tangan.
Kandidat dari Partai Golkar Jusuf Kalla berkarakter sebaliknya, fighter. Ia selalu berinisiatif melakukan serangan dengan terus mencari celah memasukkan pukulan, baik sekadar mendapatkan angka, maupun bisa meraih kemenangan knock out (KO). Karena bertipe fighter itulah, Kalla paling cepat menentukan pasangan. Wiranto termasuk calon wapres bertipe lincah yang mampu membuat inisiatif melakukan penyerangan maupun dapat bermain counter.
Petarung yang ketiga adalah "petinju" yang belum mampu melupakan "trauma" akibat kekalahan dalam pertarungan pada Pemilu 2004. Petarung tipe ini cenderung memilih dua alternatif, bertarung ulang dan menang atau tidak bertarung sama sekali. Fenomena menunjukkan, bertarung ulang dan menang semakin jauh dari jago Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini. Sebab, Pemilu 2004 menunjukkan, PDIP yang keluar sebagai pemenang papan atas saja dalam pemilu legislatif nyatanya dikalahkan calon dari partai papan tengah.
Apalagi, Partai Demokrat sekarang sudah meloncat menjadi partai papan atas, dan PDIP terus melorot, antatara posisi kedua dan ketiga. Akibat trauma kalah dalam Pemilu 2004 ditambah dengan posisi yang semakin tidak menguntungkan, jago dari PDIP terus berhitung untuk masuk ke dalam "ring" Pilpres 2009. Koalisi besar yang dibentuk antara PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Golkar, nyatanya telah didahului dengan pencalonan Kalla-Wiranto.
Jika Megawati juga maju sebagai calon presiden, maka niscaya koalisi besar itu dengan sendirinya menjadi koalisi kecil, karena masing-masing mengajukan calon. Maka dapat dipahami, PDIP semakin kesulitan mencari partner koalisi.
Bergabung bersama Gerindra mengajukan capres-cawapres, sesungguhnya dapat menutupi trauma PDIP dalam pertarungan Pilpres 2004 tersebut. Sebab, Ketua DPP Partai Gerindra Prabowo termasuk tokoh yang sangat energik. Ia cenderung bermain dengan tipe fighter dengan penuh inisiatif. Kampanyenya yang mengajukan program konkret mendapatkan pujian dari banyak pakar, meskipun partainya hanya masuk papan tengah. Meski demikian, mereka patut bersyukur, sebab setidaknya lolos dari parliamentary threshold.
Kalaupun dalam Pilpres 2009 ini gagal menjadi presiden, misalnya, Prabowo akan menjadi kandidat terbaik dalam Pilpres 2014. Pasangan yang ditunggu Prabowo dari PDIP sebaiknya memang tidak mundur dari Pilpres 2009. Kalaupun Megawati masih trauma melakukan rematching, ia bisa mengajukan Puan Maharani saat ini agar semakin matang menghadapi Pilpres 2014. Apa pun langkah masing-masing kandidat, setiap langkah selalu diawasi lawan. Sebab, semua wait and see, menunggu dan waspada.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar