Senin, 25 Mei 2009
Citra Partai Politik Islam Dipertaruhkan
PROSES pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2009 melahirkan citra buruk bagi partai politik ataupun politisi muslim. Puncaknya, sikap agresif partai Islam --Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)-- terhadap mitra koalisinya Partai Demokrat menyebabkan antipati terhadap partai dakwah itu. Partai Islam pun mendapatkan stigma plinplan, ambisius, bawel, suka ngerecoki, ribet, dan sebagainya.
Proses penentuan calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pun dimanfaatkan lawan politiknya untuk menyudutkan partai Islam sebagai pecundang. Mereka menyoraki kegagalan partai ini sembari membenamkannya agar tidak muncul lagi.
Kiprah parpol Islam dalam Pemilu 2009 ini tak bisa dipisahkan dari Pemilu 2004. Tepatnya, politisi muslim belajar dari pahit getirnya Pemilu 2004. Saat itu, hampir semua parpol menggandeng santri agar dapat memenangi pilpres. Sebutlah, Wiranto menggandeng K.H. Salahudin Wahid, Megawati menggandeng K.H. Hasyim Muzadi, Siswono Yudhohusodo menggandeng Amien Rais. Kenyataannya, semua gagal. Yang berhasil, justru Yudhoyono yang menggandeng Jusuf Kalla. Pasangan yang tidak dikenal publik sebagai santri.
Belajar dari pengalaman itu, partai Islam dalam Pemilu 2009 tak seorang pun yang percaya diri mencalonkan sendiri calon presidennya. Mereka lebih banyak bersandar kepada Yudhoyono yang popularitasnya memang terus naik. Sikap ini merupakan ekspresi partai Islam yang realistis, sekaligus pengakuan mereka terhadap keberhasilan Yudhoyono memimpin bangsa. Apalagi, dalam kepemimpinan Yudhoyono, Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menggulung sejumlah kasus besar.
Sikap politisi muslim sempat terusik dengan proses pembentukan bangunan koalisi Partai Demokrat, terutama berkaitan dengan posisi Partai Golkar. Jusuf Kalla bersama DPP Partai Golkar sejak sebelum pemilu legislatif selalu meneriakkan untuk maju sebagai capres sendiri untuk menandingi Yudhoyono. Bahkan, Kalla dalam satu kesempatan menyatakan, dirinya lebih baik daripada Yudhoyono.
Sekadar menjaga konsistensi, partai Islam yang sejak awal setia mendampingi Yudhoyono tentu merasa risih jika tiba-tiba Golkar kembali merapat ke Yudhoyono lantaran perolehan suara mereka merosot dalam pemilu legislatif. Itulah sebabnya, PKS berencana keluar dari koalisi jika bangunan SBY-JK tetap dipertahankan.
Deklarasi JK-Wiranto semakin memperkokoh bangunan koalisi partai Islam dengan Partai Demokrat. Akan tetapi, saat partai Islam tidak sedikit pun meragukan Yudhoyono, tiba-tiba Partai Demokrat merangkul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dua partai raksasa ini jika bergabung tak dapat diragukan dapat memenangi secara mutlak Pilpres 2009.
Tanpa disadari, niat PD merangkul PDIP membuat shock politisi Islam. PDIP dan partai Islam dalam banyak kasus bertentangan secara ideologis meskipun dalam beberapa kasus menyangkut sosial politik sering sejalan dan senapas. Sikap PD yang sempat bermesraan dengan PDIP menyebabkan partai Islam tak bisa berkutik. Mati kutu.
Pada waktu yang bersamaan, partai Islam mendengar kabar bahwa Yudhoyono akan mengangkat Boediono sebagai pendamping dalam Pilpres 2009. Maka, PKS, PAN, dan PPP tidak dapat memilih isu yang dijadikan alasan untuk mengekspresikan kemarahan mereka kepada Yudhoyono. Mereka mengekspresikan kejengkelannya dengan menolak Boediono. Padahal, sejatinya, isu besarnya, mereka tidak bersedia berada dalam satu wadah koalisi dengan PDIP.
Seiring dengan sikap PDIP yang keukeuh mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, sesungguhnya kemarahan partai Islam telah mereda. Namun, sayangnya, isu yang diekspresikan soal penolakan terhadap Boediono. Alasan formalnya, komunikasi yang dilakukan PD dengan mitra koalisinya tidak beres. Sebagian tuduhan adalah Boediono beraliran ekonomi neoliberalisme ala Amerika Serikat.
Seiring dengan dinamika ini, maka runyamlah wajah bangunan partai Islam. Kalau alasan utamanya hanya tidak suka terhadap Boediono, PKS, PAN, dan PPP sebetulnya bisa keluar dari koalisi Partai Demokrat. Meskpun hanya memiliki waktu dalam hitungan jam, mereka bisa melakukan konsolidasi setelah mendaftar sebagai capres-cawapres.
Keluar dari barisan Partai Demokrat bisa menjadikan politisi Muslim bak pahlawan. Lagi pula, pada saat politisi nasionalis terpecah ke dalam tiga kelompok --Koalisi SBY Berbudi, JK-Win, dan Mega-Pro-- maka peluang partai Islam terbuka lebar.
Situasi ini bisa disamakan dengan Pilkada Jawa Barat, ketika Ahmad Heryawan mampu memenangi pemilu gubernur. Sebab, peta kekuatan politik Indonesia sampai saat ini belum berubah nasionalis dan agamis. Kaum nasionalis berjumlah sekitar 60 persen dan agamis 40 persen. Pada saat nasionalis terpecah ke dalam tiga blok, maka partai agamis berpeluang menang.
Kenyataannya, partai Islam tidak berani keluar dari koalisi Partai Demokrat. Mereka menuntut penjelasan langsung dari Yudhoyono sekadar tidak kehilangan muka saat mereka menerima Boediono sebagai calon wapres. Mereka menerima Boediono karena sejak awal partai Islam tidak mempersoalkan mantan Gubernur Bank Indonesia ini.
Hanya, dinamika politik ini meninggalkan kesan buruk pada parpol dan politisi Islam. Mereka terkesan ambisius, berebut kekuasaan melulu, pasea, dan citra buruk lainnya. Bagaimana membersihkan citra ini? Inilah pekerjaan rumah mereka yang tidak ringan. Sebab, memulihkan citra pun bagian dari dakwah. (Wakhudin/"PR")***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar