Jumat, 20 Maret 2009
Demokrasi
DEWI Anjani, Guwarsa, dan Guwari merupakan tiga bersaudara anak Resi Gotama dari Pertapaan Gunung Sukendra yang cerdas dan santun. Ketiganya saling menyayangi. Namun kerukunan keluarga ini pecah setelah Dewi Anjani memiliki cincin Cupu Manik Astagina. Sebab, Guwarsa dan Guwarsi berminat pula memiliki cincin yang menggambarkan keindahan surga itu. Maka dua adik memaksa kakak perempuannya menyerahkan cincin bertuah tersebut, sehingga terjadi pertengkaran besar.
Melihat pertikaian yang tidak lazim ini, tahulah Resi Gotama bahwa yang menjadi pangkal pertengkaran itu adalah cincin pemberian ibu mereka, Dewi Windradi. Yang lebih mengejutkan lagi, cincin tersebut ternyata milik Batara Surya, dewa yang selama ini dicurigai Resi Gotama sebagai soulmate istrinya yang masih muda dan cantik. Dalam keadaan marah, Gotama melemparkannya ke arah hutan.
Ketiga anaknya segera berlari mengejar Cupu Manik Astagina itu, namun cupu itu tidak ditemukannya. Dalam keadaan lelah, sampailah ketiganya ke telaga. Guwarsa dan Guwarsi mandi supaya segar, sedangkan Dewi Anjani sekadar cuci muka. Rupanya, telaga itu jelmaan dari cupu manik itu. Siapa pun yang terkena airnya akan tumbuh rambut. Maka, Guwarsa dan Guwarsi berubah menjadi monyet, sedangkan Dewi Anjani menjadi monyet pada bagian wajah.
Kisah dalam Ramayana tersebut menggambarkan kehidupan demokrasi Indonesia sekarang. Saat negeri ini tidak memiliki sistem demokrasi yang mapan, rakyatnya relatif tenang. Penguasa yang represif menyebabkan stabilitas politik mantap. Tidak ada pemberontakan kecuali segera ditumpas. Tidak ada demonstrasi kecuali setelahnya ada penangkapan aktivis.
Ketika itu, demokrasi terlihat begitu berkilau dan sangat bertuah. Setiap anak bangsa mengidamkannya dan ingin memilikinya. Pada akhirnya, demokrasi itu telah benar-benar menjadi milik semua anak bangsa.
Sayangnya, demokrasi yang indah itu mirip Cupu Manik Astagina, selalu menjadi rebutan dan menjadi bahan pertengkaran. Dengan alasan demokrasi, orang menyelesaikan persoalan dengan demonstrasi. Demonstrasi memang bagian dari demokrasi, tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan demonstrasi itu.
Kita mengaku berdemokrasi, tapi tidak menerima kekalahan. Kalah pilkada, yang kalah menggugat yang menang ke pengadilan, memboikot, bahkan mengerahkan massa pendukung. Apakah gara-gara demokrasi kita justru menjadi monyet seperti putra Gotama? Haruskah kita berjalan mundur ke zaman represif? Tentunya tidak. Kita harus meraih kemilaunya demokrasi, tetapi tidak harus bertengkar sepanjang zaman. Hukum saatnya menjadi demarkasi, menentukan yang benar dan salah. (Wakhudin/"PR")***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar