Oleh WAKHUDIN
(Wartawan senior. Doktor Bidang Pendidikan Moral Universitas Pendidikan
Indonesia di Bandung)
N
|
ASIB partai politik religius
dikhawatirkan runtuh, menyusul ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Padahal, PKS oleh para pengusungnya digadang menjadi
benteng terakhir partai Islam yang konsisten memberikan warna agama, menyusul
partai religius lain yang secara perlahan berubah menjadi partai nasionalis.
Pemilu Gubernur Jawa Barat membuktikan bahwa partai religius belumlah mati,
terbukti pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar yang diusung PKS masih unggul
dalam beberapa penghitungan cepat (quick
count), Minggu (24/2/2013).
Secara teoretis, warna politik Indonesia terdiri atas partai
politik nasionalis dan religius. Kekuatannya, 60% berbanding 40%. Partai
politik yang dapat dikategorikan sebagai partai nasionalis adalah Partai
Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra,
dan Partai Nasdem. Sedangkan partai berbasis agama dan kelompok agama terdiri
atas Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan
Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. PKS disebut partai religius karena
sejak berdiri sudah mengusung warna agama; PAN secara kultur mewadahi kelompok Islam
Muhammadiyah; PKB mewadahi umat Islam dari kalangan NU; Sedangkan PPP sejak
lahir mewadahi suara umat Islam saat partai politik Islam “dipaksa” melakukan
fusi.
Pada kenyataannya, perbedaan antara partai nasionalis dan
partai religius tidak bisa ditarik garis lurus. Sebab, kenyataannya, banyak
tokoh partai nasionalis bersikap religius, bahkan lebih saleh perilakunya dari
partai pengusung agama. Sebaliknya, tokoh partai politik Islam juga memiliki
nasionalisme yang kuat. Justru religiusitas yang diusungnya bermakud menjunjung
tinggi nasionalisme. Di samping itu, para pemilih sering berpindah pilihan dari
partai religius ke partai nasionalis atau sebaliknya. Pindah pilihan ini
bergantung pada popularitas tokoh yang dipilih dalam partai politik tersebut.
Berbagai jajak pendapat yang menyebutkan bahwa suara PKS akan
mengalami penurunan drastis pasca ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq terbantahkan
dalam Pilkada Jabar ini. Fenomena ini sekaligus memberikan sinyal bahwa partai
politik Islam masih mendapatkan kepercayaan rakyat. Fakta ini sekaligus
menunjukkan bahwa Jabar berbeda dengan DKI Jakarta, di mana PKS yang mengusung
mantan Presiden PKS Hidayat Nurwahid kalah telak dalam rivalitas Pilgub DKI
Jakarta melawan Jokowi dan Foke.
Meskipun partai Islam belum segera mati, bukan berarti para
pendukungnya bisa berlenggangkangkung. Sebab, pemilih pada umumnya lebih suka
sebagai swing voter, setiap saat
berubah sesuai dengan angin politik yang berembus. Pemilih fanatisk religius
bisa dengan rela memilih pemimpin dari kalangan nasionalis manakala pemimpin
tersebut dinilai bersikap agamis. Tapi sebaliknya, pemilih nasionalis tidak
pernah memberikan suara kepada tokoh agamis. Itulah sebabnya, jika partai
politik religius kehilangan kepercayaan dari konstituennya, suara religius
dapat dengan mudah berpaling ke tokoh n asionalis.
Kasus Aher-Demis
Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar tidak dapat
dilepaskan dari suara pemilih religius. Suara untuk Amad Heryawan dapat
dipastikan hanya masuk dari suara PKS murni yang berkisar belasan persen.
Partai lain sangat sulit mengalihkan suara kepada Aher. Selebihnya adalah suara
untuk Dedy Mizwar. Ketenaran Demiz tidak bisa dilepaskan dari citranya sebagai
artis yang religius. Karena, berbagai sinetron gubahannya selalu berwarna religius
dan dapat diterima dengan baik. Seandainya Aher salah pilih pasangan, maka
suara murni PKS sulit mendongkrak suaranya menuju kemenangan.
Meskipun sebagian besar calon gubernur Jabar dipenuhi artis,
namun “warna” artis tersebut sangat memengaruhi raihan suara. Artis Rieke Diah
Pithaloka sangat mewakili suara nasionalis. Pasangan Rieke-Teten berasal dari
suara murni pemilih nasionalis, ditambah sedikit popularitas Rieke sebagai
artis. Teten Masduki meskipun track
record-nya sangat bagus tidak memiliki daya tambah suara, selain hanya
menguatkan kepada kaum nasionalis memilih mereka. Itulah sebabnya, suara mereka
tak mampu mengungguli pasangan Aher-Demiz.
Klaim Dede Yusuf bahwa kemenangan Aher dalam Pilgub I Jabar
adalah suaranya telah dibuktikan dalam Pilgub II. Suara Dede Yusuf-Lex
Laksamana adalah suara mereka murni. Meskipun pasangan ini didukung Partai
Demokrat dan PAN, bukan berarti suara partai ini masuk ke mereka. Para pemilih
pasangan Dede-Lex merupakan produk profesionalisme keduanya dalam politik,
tanpa disertai fanatisme pemilih, baik dari kaum religius maupun nasionalis.
Nilai lebih Dede Yusuf disbanding pasangan yang kalah lain adalah keartisannya.
Kekalahan pasangan Yance-Tatang sama dengan kekalahan
Dede-Lex, karena tidak didukung pemilih fanatic dari kaum religius dan
nasionalis. Di samping tak didukung pemilih fanatik, mereka tidak “dibedaki”
dengan artis. Kekuatan Yance berada di kewilayahan, terutama Pantura yang
belakangan semakin gerah dengan sistem pembangunan Jabar yang memarginalkan
mereka.
Sedangkan minimnya suara Dikdik-Thoyib bisa dianalisis dari
mesin politik yang tidak dimiliki keduanya, yakni partai politik. Di samping
itu, popularitas mereka juga masih sangat minim. Meski demikian, setidaknya,
munculnya figur mereka dapat menjadi “investasi” menjadi tokoh di Jawa Barat.
Yang pasti, kalau dua tokoh terakhir dapat memperlihatkan religiusitasnya,
tidak mustahil dapat terpilih pada Pemilu Gubernur 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar