Oleh WAKHUDIN
(Penulis wartawan senior. Doktor bidang Pendidikan Umum
(Penulis wartawan senior. Doktor bidang Pendidikan Umum
Universitas Pendidikan Indonesia)
TIDAK hanya padi dan tanaman yang terkena hama, tapi hampir semua kehidupan memiliki “hama” masing-masing. Hama pemerintahan dan birokrasi, misalnya, berupa korupsi kolusi, dan nepotisme (KKN); Hama dunia bisnis adalah kecurangan, dan mengurangi timbangan; Hama dunia olah raga, misalnya wasit curang, kerusuhan suporter, dan sebagainya. Dunia pendidikan mestinya menjadi penawar terhadap berbagai racun dan hama dunia yang lain, tapi dalam praktiknya, dunia pendidikan sendiri mengalami keracunan yang parah. Salah satu “hama” dunia pendidikan adalah praktik wartawan gadungan. Mereka bergentayangan mendatangi pimpinan sekolah dengan berbagai alasan, tapi ujungnya memeras meminta uang. Kalau tidak memberi, “Awas, kebobrokan sekolah ini akan kami muat di surat kabar,” dalih mereka. Wartawan gadungan memiliki banyak sebutan. Di Jakarta, mereka disebut wartawan boderek. Sebagian orang menyebut wartawan Muntaber (Kerap muncul tapi tanpa membuat berita), kadang disebut juga WTS (Wartawan tanpa surat kabar), juga dijuluki Wartawan Abal-abal. Di setiap daerah, mereka punya sebutan sendiri-sendiri sebagai kode bahwa mereka datang, dan yang didatangi supaya hati-hati. Saat tertentu, mereka mengaku sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun di saat yang lain mengaku sebagai wartawan. Bahkan, mereka mengaku diri sebagai wartawan investigasi, wartawan yang khusus melakukan penyelidikan terhadap penyalahgunaan wewenang sekolah. Mereka biasanya datang bergerombol, meskipun saat tertentu datang sendiri-sendiri. Modusnya, mereka mendatangi kepala sekolah, terutama saat sekolah tersebut baru menerima dana dari pemerintah, misalnya biaya operasional sekolah (BOS). Kadang, dengan gaya menginterogasi mereka menanyakan banyak persoalan, dari mulai bangunan sekolah, jenis kayu yang digunakan, genting sekolah yang tidak lurus, warna cat sekolah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, mereka menyalahkan pengurus sekolah, karena spesifikasi yang dimaksudkan tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dengan demikian, kepala sekolah bisa dipanggil polisi atau jaksa karena diduga telah menyelewengkan dana pemerintah melalui bantuan operasional sekolah (BOS) atau dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Apalagi kalau kasus mereka dimuat di surat kabar mereka. “Sekarang persoalannya, kasus ini mau dimuat di surat kabar atau tidak? Kalau ingin tidak dimuat, kami bisa bantu. Tapi perlu biaya, sekadar untuk menutupi kasus dan biaya rokok untuk kami yang menguruskan,” demikian kurang lebih cara mereka membujuk pimpinan sekolah agar membayar sejumlah uang atas “kasus” yang mereka karang sendiri. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, atau guru yang tidak pernah berurusan dengan dunia hukum kerap gentar bahkan gemetar menghadapi gertakan mereka. Apalagi kalau oknum sekolah memang benar-benar melakukan kesalahan. Maka supaya kasusnya tidak muncul, mereka membayar sejumlah uang agar “wartawan” itu segera enyah dan tidak memuat pemberitaan yang berkaitan dengan sekolah mereka. Sebagian pengurus sekolah menyadari bahwa mereka sedang diperas, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Caranya, lagi-lagi, membayar sekadar uang rokok. Yang penting “wartawan” ini segera pergi. Tapi sikap wartawan gadungan ini memang benar-benar seperti hama. Sekali dikasih, apalagi kalau pimpinan sekolah bersikap baik dan memberikan uang dalam jumlah yang memadai, mereka kerap datang lagi. Tak hanya sendiri, tapi berombongan dan berulang-ulang. Sebagian wartawan gadungan ini bahkan melakukan pengawasan, benar-benar mengawasi kepala sekolah dari jarak sangat dekat, satu atau dua meter. Mereka mengambil kursi sendiri kemudian duduk di depan atau di samping kepala sekolah, dan terus melihat setiap gerak kepala sekolah itu, seharian. Ke mana pun kepala sekolah bergerak, ia mengikutinya. Dalihnya, mereka bertugas mengawasi kepala sekolah. Tentu saja kepala sekolah merasa risi, apalagi kalau kepala sekolahnya wanita. Maka jalan paling mudah, wartawan gadungan itu diberi uang supaya pergi. Karena memang itu yang ditunggu, maka mereka benar-benar pergi setelah mendapatkan uang itu. Surat kabar sekolah Dunia pendidikan di Indonesia memang aneh, dan ini pula mungkin yang menyebabkan tumbuhnya “hama” yang sangat menyebalkan itu. Dunia pendidikan dari mulai sekolah dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi mestinya mengajarkan siswa menulis, termasuk menulis populer. Namun pada kenyataannya, siswa dan mahasiswa sedikit yang memiliki keterampilan menulis. Maka, saat ada satu atau dua orang yang merasa mampu menulis, mereka pun menyalahgunakan kemampuan menulisnya dengan menyamar sebagai wartawan. Tapi, ujung-ujungnya memeras. Di negara maju, menyampaikan pendapat, baik melalui lisan (public speaking) maupun tulisan (writing) sudah menjadi pendidikan umum. Artinya, setiap pelajar, mahasiswa, apalagi guru dan dosen, wajib memiliki keterampilan itu. Maka jangan heran, tukang cuci piring di rumah makan yang sudah bekerja selama 10 tahun bisa menulis buku, misalnya bagaimana cara mencuci piring yang efektif. Tapi di Indonesia, jangankan siswa dan mahasiswa, bahkan guru dan dosen sekalipun, menulis merupakan pekerjaan yang amat berat. Sebagian dari mereka yang tidak sabar kemudian mengambil jalan pintas dengan melakukan plagiasi. Itulah sebabnya, banyak guru dan kepala sekolah yang mentok di Golongan IVA sulit naik ke Golongan IVB, karena mengalami kesulitan dalam membuat laporan ilmiah. Maka, dunia pendidikan, terutama siswa, mahasiswa, guru dan dosen harus mempunyai keterampilan dan kebiasaan menulis. Apalagi, perkembangan teknologi informasi sekarang memungkinkan bagi setiap orang menjadi wartawan, apalagi insan pendidik dan pendidikan. Dunia maya memungkinkan setiap orang membuat situs, blog, atau setidaknya mempunyai akun di jejaring sosial. Melalui sarana yang ada, seseorang bisa membuat media sendiri, menyusun berita sendiri dan menyampaikannya kepada publik. Semangat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah setiap bangsa Indonesia saat ini memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengakses, mengelola, dan memberikan informasi. Ini artinya, setiap orang adalah wartawan. Setiap siswa, mahasiswa, guru, dan dosen adalah wartawan. Menjadi wartawan tentang dunia mereka sendiri. Surat kabar yang digunakan bisa berupa, situs, blog, akun di jejaring sosial, atau bahkan majalah dinding sekolah dan kampus. Bisa juga berupa majalah sekolah, tabloid, dan berbagai media yang lain. Kalau setiap insan pendidikan adalah wartawan, maka mestinya mereka tidak akan lagi gentar apalagi gemetar menghadapi wartawan gadungan itu. Kalau saja setiap sekolah mengelola majalah dinding dengan baik, misalnya setiap minggu informasinya di-up date, maka mereka bisa gagah berani menghadapi “hama” ini. Misalnya, saat wartawan gadungan sedang menggertak, kepala sekolah bisa membalas, “Lho, saya juga seorang wartawan. Wartawan majalah dinding. Kalau kalian mau memeras, foto kalian saya pajang di majalah dinding. Kami tulis, ‘Awas: Hati-hati Wartawan Gadungan’,” sambil membidikkan kamera ke wajah para wartawan gadungan. Dijamin, mereka akan kabur. Apalagi kalau majalah dinding sekolah juga dibuat dalam situs. Katakanlah, majalah dinding sekolah bernama Majalah Dinding Melati. Maka, sekolah bisa membuat situs www.madingmelatismp28.com atau nama yang lain. Kalau situs dikelola dengan baik, maka majalah dinding akan ter-up date dengan baik pula. Setidaknya, paling lama dalam seminggu majalah dinding harus diganti isinya. Salam, dan selamat mencoba. Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat 8 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar