Selasa, 13 Maret 2012
Arab Saudi, Puncak Arab Spring?
Oleh WAKHUDIN
(Wartawan Senior Pengelola Newsroom Universitas Pendidikan Indonesia)
MUSIM Semi Dunia Arab (Arab Spring) akhirnya memasuki Arab Saudi. Riak demonstrasi menentang penguasa mulai meletup di Ryadh, ibu kota negeri Petro Dolar itu. Pemerintah setempat langsung memadamkan “bara” yang masih kecil itu. Namun sekecil apa pun peristiwa ini, publikasi di media mampu mem-blow up-nya menjadi peristiwa besar. Saat publikasi terus berkobar, maka “bara” yang meletup di Ryadh bisa menyebar bagaikan api yang membakar apa pun di sekelilingnya. Benarkah Arab Saudi merupakan antiklimaks dari Arab Spring yang meruntuhkan para penguasa di Timur Tengah? Apakah ada relevansinya antara Arab Spring dan gerakan antiterorisme yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikan George Walker Bush menyusul runtuhnya World Trade Center 2001?
Arab Saudi tidak mustahil menjadi incaran utama gerakan Arab Spring itu. Saudi adalah pusat dari segala ajaran Islam. Di sini ada Haramain, dua tempat suci, Mekah dan Madinah. Di Mekah terdapat Kabah, kiblat seluruh umat Islam menghadap. Mekah adalah pusat umat Islam berziarah untuk umrah maupun berhaji. Mekah adalah sumber Islam yang pertama, sementara Madinah adalah sumber Islam kedua. Di Madinahlah semua ajaran Islam diimplementasikan. Di Madinah, Rasulullah Muhammad saw. dimakamkan bersama Abubakar Ashidiq, Umar bin Khattab, dan jutaan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Seperti seorang yang makan bubur. Makan bubur dimulai dari pinggir, dipilih dari yang relatif dingin, lama kelamaan ke tengah saat bubur tidak terlalu panas. Demikian pula Arab Spring, gerakan yang menumbangkan rezim kuat di berbagai negara di Timur Tengah. Dimulai tahun 2010 di Tunisia, gerakan ini menumbangkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, sehingga ia kabur ke Arab Saudi. Demam di Tunisia menyebabkan Mesir ikut menggigil. Presiden Mesir Hosni Mubarok yang pun menyerah, meletakkan jabatan setelah lebih 32 tahun berkuasa, di tengah gerakan demonstrasi di Lapangan At-Tahrier.
Gerakan Arab Spring di Libya lebih mengenaskan, karena memakan lebih banyak korban jiwa. Perang saudara antara pemberontak dengan pro status quo berjalan cukup lama, sehingga jatuh korban jiwa ribuan orang dan infrastruktur pun porak poranda. Gerakan ini berakhir dengan tewasnya Muammar Qaddafi di tangan pemberontak, bahkan kemudian memajang mayat penguasa selama 42 tahun itu di sebuah mal.
Sukses menggulingkan penguasa di Tunisia, Mesir dan Libya akhirnya menjadi trend di negara-negara Arab. Maka, masyarakat sipil memberontak di di Bahrain; Aljazair; Yordania; Maroko; Oman; sempat ada protes kecil di Kuwait; Lebanon dan berbagai negara. Iran dan Suriah merupakan dua negara yang sudah lama digoda dengan pemberontakan gaya Arab Spring ini, namun keduanya memiliki daya tahan yang relatif kuat. Meski demikian, Suriah secara perlahan mengalami demam dahsyat. Pemberontakan bersenjata mampu mengundang badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab untuk ikut campur tangan. Suriah kini tinggal menanti hasil akhir, apakah kekuatan Presiden Basyar Al-Assad yang konon didukung Iran dan Republik Rakyat Cina ataukah kekuatan pemberontak yang didukung AS, Uni Eropa, dan Liga Arab yang akan memenangi pertempuran.
Perbenturan peradaban
Gerakan Arab Spring, menurut hemat penulis, tak bisa dipisahkan dari skenario perbenturan peradaban (clash civilization) yang digagas Sammuel Huntington dalam bukunya The Clash Civilization and the Remaking of World Order yang ditulis 1998. Setelah komunis bangkrut dengan runtuhnya Uni Soviet, Barat memerlukan sparing partner untuk berkonflik. Huntington berhasil menyodorkan konflik baru, yaitu antara Barat dengan dunia Islam, dengan judul perbenturan peradaban itu.
Maka masuk akal kalau Presiden Iran Mahmoud Ahmadijed menuduh bahwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di Washington DC merupakan skenario Amerika sendiri untuk memuluskan perbenturan peradaban itu. Sebab, hancurnya menara kembar itu merupakan tiket bagi Barat untuk melakukan perbenturan. Tanpa runtuhnya WTC, tak ada alasan bagi AS, Uni Eropa, dan sekutunya untuk menyerbu Afganistan. Setelah menaklukkan Afganistan 2001, Barat kemudian menekuk Irak 2003 dan menghukum gantung Saddam Husein.
Amerika dan Uni Eropa menghitung bahwa perang di Afganistan dan Irak hanya berlangsung sebentar, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun. Nyatanya, lebih dari sepuluh tahun tak kunjung berakhir, dan kemenangan nyata tak pernah terlihat. Puluhan ribu rakyat di dua negara itu memang tewas, tapi tak kurang dari 8.000 tentara AS dan NATO juga mati di dua negara itu.
Semakin lama mereka menduduki dua negara itu, semakin banyak tentara mereka yang tewas, puluhan ribu lainnya luka-luka. Sementara keuntungan nyata tak pernah terlihat. Minyak dan tambang yang diduga menjadi daya tarik penyerbuan dua negara itu tak kunjung diraih, sebab penguasaannya tetap di tangan pemberontak. Maka satu persatu tentara NATO mundur dari gelanggang pertempuran di Afganistan dan Irak. Amerika dan Uni Eropa pun pelan-pelan menarik tentara mereka dari Bagdad dan Kabul dengan malu. Taliban yang ditendang dan kemudian dituduh sebagai teroris mulai diajak bicara.
Perang di Afganistan dan Irak tak membuahkan hasil dan bahkan membuat Barat kini jatuh ke dalam krisis ekonomi. Mereka nyaris bangkrut. Sementara tujuan Barat menaklukkan dunia Islam, gagal total. Di dalam negeri, sekitar 20.000 warga AS justru masuk Islam setiap tahun, jumlah yang hampir sama terjadi di Uni Eropa. Meski demikian, ambisi Barat menghancurkan dunia Islam makin membara. Itulah sebabnya, Barat terus menggunakan berbagai cara menghancurkan rezim dunia Islam.
Memanas-manasi oposisi melakukan pemberontakan adalah cara yang cukup efektif. Pemberontakan dengan cara Arab Spring itulah yang mereka gunakan. Maka, hubungan antara gerakan antiterorisme yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikan George Walker Bush, dengan Arab Spring sangat relevan. Keduanya merupakan bagian dari paket perbenturan peradaban itu. Lihatlah keberpihakan Barat pada setiap pemberontakan di setiap negara terlihat begitu nyata dan terang-terangan. Tidak saja gerakan politik dan bermain spionase, melainkan secara nyata mempersenjatai kaum pemberontak di Libya, dan kini di Suriah, serta berbagai negara yang tengah bergolak.
Maka, ketika Arab Saudi juga mulai meletup, jangan-jangan inilah puncak dari perbenturan peradaban itu. Meletupkan pemberontakan dari Ryadh juga merupakan pola letupan gaya makan bubur itu. Ryadh memang kota strategis untuk mengguncang politik Arab Saudi, sebab ibu kota negara itu. Kalau guncangan politik dimulai daru Jeddah, apalagi Mekah dan Madinah, maka yang akan mempertahankan rezim Arab Saudi bukan saja keluarga besar Ibnu Saud, melainkan umat Islam seluruh dunia. Sebab, Arab Spring kini semakin kelihatan arahnya, kelanjutan dari clash civilization itu. Hanya saja, gerakan umat Islam tak kunjung kelihatan nyata. Liga Arab yang mestinya berada di dunia Arab malah menjadi alat barat.***
(Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Sabtu (20/2/2012)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar