Kamis, 10 Juni 2010
Entertainmen Menjadi Panglima
KETIKA Presiden Soekarno berkuasa, politik menjadi panglima. Dengan gerakan politik, Indonesia bisa merdeka. Sebagai negara yang baru terbebas dari penjajahan, Bung Karno membangun infrastruktur politik sebagai landasan pijak kehidupan berbangsa dan bertanah air. Saat Presiden Soeharto berkuasa, Orde Baru menjadikan pembangunan sebagai panglima. Maka, terjadilah depolitisasi. Partai politik direduksi hanya menjadi tiga parpol --Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kegiatan politik, apalagi politik praktis, berkonotasi negatif. Hanya aktivitas yang diberi judul “pembangunan” yang bisa dijalankan. Maka, Pak Harto kemudian dijuluki “Bapak Pembangunan”. Pada era Reformasi sekarang ini, lalu apa yang menjadi panglima?
Entertainmen menjadi panglima pada era globalisasi ini. Hiburan merupakan inti dari berbagai aktivitas masyarakat sepanjang dua puluh empat jam. Lihatlah generasi muda dan juga generasi tua berbondong-bondong menyaksikan musik yang ditayangkan secara live oleh televisi. Subuh sekalipun, penonton musik selalu padat, siang hari juga ramai, malam hari tetap gegap gempita. Orang yang berduka lari ke musik, sedih mencari musik, senang diekspresikan dengan musik, kegiatan ilmiah dicampur dengan musik, bahkan berdakwah pun dibumbui musik. Musik menjadi semacam tuhan baru (thaghut) yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah.
Lawak menjadi bumbu utama aktivitas manusia Indonesia. Kegiatan tanpa bodor dianggap hambar. Bahkan ceramah agama tanpa tertawa dianggap tidak punya daya tarik. Guru dan dosen yang lucu dianggap sebagai pendidik favorit dan terbaik. Sebaliknya, para pengajar yang tekun dan konsentrasi hanya pada mata pelajaran atau mata kuliah disebut guru atau dosen killer dan zakelijk. Jangan tanya menu di televisi, semua berlomba menampilkan tawa dan canda sebagai menu utama. Progarm TV yang banyak mengundang tawa, semakin tinggi rating-nya. Sebaliknya, acara yang bermaksud memikirkan bangsa dan negara, jika tak dibumbui canda, disebut kaku dan tak menarik. Cukup dengan sekali pencet remote, tayangan TV sudah kembali ke acara tertawa dan musik. Maka, host yang dianggap lucu sangat laris. Waria menjadi pembawa acara favorit, sehingga menu pagi dibawakan oleh bencong, siang banci, dan malam pria yang kemayu.
Bacalah secara seksama profil setiap anggota situs pertemanan di internet. Mereka sebagian tidak mencantumkan pandangan politiknya. Setiap ditanya soal politik, mereka menyebutkan kalimat yang menunjukkan ketidaksukaan pada bidang ini. Misalnya, “No comment, Golput, Au ah... Gelap, dan sebagainya.” Tapi coba simak jawaban soal musik favorit, mereka akan menyusun kalimatnya secara panjang dan lebar melebihi pekerjaan rumah yang kerap dibebankan kepada para pelajar. Mereka menuliskannya secara detail judul dan syairnya secara lengkap dari mulai musik klasik, masa kini, bahkan musik yang akan datang. Demikian juga ketika ditanya soal program televisi, mereka paham betul, bahkan hafal, acara di pagi hari, siang, sore, dan dan acara tengah malam.
Apakah salah orang yang menikmati hiburan? Bukankah mereka tidak melanggar hukum dan tidak menabrak norma? Tentu saja tidak salah, tapi kalau sepanjang hidup, seseorang hanya mencari hiburan, maka kehidupan mereka tidak normal. Logikanya, hidup ini pada intinya memecahkan persoalan. Semakin banyak problem yang bisa diselesaikan, seseorang semakin dianggap sukses. Sebaliknya, semakin sedikit problem yang bisa diselesaikan semakin, seseorang dianggap gagal. Orang yang dianggap pengangguran adalah orang yang tidak punya problem, sehingga tidak ada masalah yang harus diselesaikan. Padahal, problem dia adalah tidak punya problem itu sendiri. Di tengah-tengah seseorang memecahkan masalah, dia butuh waktu untuk refreshing, menyegarkan ruang agar mampu memiliki tenaga kembali untuk meneruskan pemecahan masalah. Persoalannya, kalau sepanjang hari hari hanya berentertainmen, kapan menyelesaikan masalahnya? Entertainmen ibarat vitamin, diperlukan, tapi tak cukup hanya vitamin, butuh makanan yang lain. (Wakhudin/”PR”)***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar