SEANDAINYA Munarman yang disiram
air oleh Thamrin Amal Tamagola, maka media (yang kemudian diikuti oleh publik),
akan menyalahkan dia. Jangankan berperilaku salah, benar pun dianggap salah.
Itulah nasib pembela Front Pembela Islam (FPI), organisasi gerakan nahi munkar.
Nasib gerakan nahi munkar sangat berbeda dengan gerakan amar ma’ruf. Amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) bisa
dilakukan oleh siapa pun tanpa risiko besar. Para penceramah atau mubalig dan
da’i pada umumnya disebut sebagai orang
yang menyeru kepada klebenaran itu. Bahwa yang diseru untuk baik dan benar itu
bersedia atau tidak bukan urusan mereka.
Sementara gerakan nahi munkar (mencegah kemaksiatan,
pemurtadan, kekafiran, dan sebagainya) tidak sekadar menyeru kebaikan,
melainkan mencegah dan mengatasi masyarakat yang sudah munkar. Itulah sebabnya,
FPI bersemboyan, “Jangan pernah membiarkan kemunkaran terjadi begitu saja tanpa
diusik.”
Maka kalau melihat anak-anak muda mabok
karena minum-minuman keras atau narkoba, FPI tak mau diam. Awalnya mereka
melaporkan kasus itu ke polisi. Kalau polisi tak kunjung bergerak, mereka menangani
sendiri. Demikian juga kalau ada gerakan pemurtadan dan pengkafiran, mereka
akan selalu menghadangnya.
Rasulullah dalam sebuah hadis
bersabda, “Kalau kalian melihat
kemunkaran, ubahlah dengan tanganmu. Kalau tak mampu (tak berani), ubahlah
dengan lisanmu. Kalau tak mampu (tak berani), cukuplah dalam hatimu mengatakan
bahwa perbuatan itu tidak baik. Itulah selemah-lemah iman).”
Hadis ini memang sangat menantang.
Tapi, sedikit umat Islam yang berani mengambil opsi yang pertama, mengubah
dengan tangan. FPI selama ini mengambil pilihan pertama itu. Tapi akibatnya,
citranya menjadi sangat buruk dan tidak popular. Kebanyakan umat Islam mengamil
opsi terakhir, mengubah dengan hati, mengatakakan bahwa, “Oh, prostitusi tidak baik.
Oh, minum narkoba tidak baik, dst.” Tapi banyak dari umat Islam yang malah tak
peduli. Berarti lebih rendah dari selemah-lemah iman.
Gerakan nahi munkar sangat berisiko. Karena berhadapan dengan perilaku
masyarakat yang anomali dan dalam kondisi sakit. Menghadapi dunia narkoba sama
dengan menghadapi dunia mafia. Karena penjualan narkoba selalu melibatkan mafia
(walaupun dalam skala kecil) yang bergerak secara ilegal. Menghadapi dunia
mafia memaksa gerakan nahi munkar
berhadapan dengan kekerasan.
Di samping itu, media di Indonesia
selama ini sangat tidak memihak kepada gerakan nahi munkar. Media kita lebih memilih pada gerakan amar ma’ruf, terutama yang bias menaikkan
rating. Bahkan secara umum, media kita cenderung mengikuti gerakan Islam phobi.
Secara membabi buta media sangat produktif ikut-ikutan menggunakan istilah Barat
menjelek-jelekkan ajaran Islam.
Maka, mendengar kata “jihad”, “jemaah
Islamiah”, “Al-Qa’idah”, “Thaliban” dan seterusnya langsung berkonotasi kepada keburukan, kekerasan, kejahatan, dan
seterusnya. Padahal, jihad adalah ajaran yang sangat mendasar dalam Islam.
Sepanjang hayat, Rasulullah selalu berjihad, baik jihad nafs maupun jihadul qital.
Jamaah Islamiyah artinya umat Islam. Asalkan kita Islam, maka kita disebut
jamaah Islamiyah. Al Qaeda artinya kaidah, ajaran Islamiyah. Tapi mendengar kata
Al Qaeda selalu dikaitan dengan Osama bin Laden. Apalagi mendengar nama Thaliban,
selalu dikaitan dengan mantan penguasa di Afganistan, padahal Thaliban artinya “Pelajar”.
Kembali ke Munarman, nasib dia
tidak berbeda dengan istilah-istilah di atas.
Jangankan salah, benar pun akan dianggap salah. Nasib FPI pun kurang
lebih sama. Dia akan terus disoraki media kalau berani mengusik pedagang jamu
yang menjual narkoba, kalau berani membubarkan prostitusi, kalau melawan
pemurtadan dan seterusnya. Tapi mereka telah memilih jalan hidupnya dengan
segala risikonya. Kita juga tinggal memilih menyorakinya atau membiarkannya.